Ulasan ringan untuk mereka yang bertanya pada saya: “Kenapa
publik merespon video Habib Rizieq berbeda dengan cara mereka merespon video
Ahok?”
Sebelum membaca, ucapkan doa masing2. Pastikan kepala
dingin, logika gak karatan, hati gak kusam, tendang jauh prasangka. :D Saya
hanya ingin membatasi ulasan sesuai judul di atas. Siapkan kopi dulu karena
tulisannya agak panjang.
|
Meme sindiran yang beredar di dunia maya mengenai maraknya politisasi agama di Indonesia akhir-akhir ini |
Dimulai...(pakai) bismillah
Bayangkan situasi berikut:
A. Kamu terbaring di rumah sakit. Kemudian datang seorang
pengunjung, dan berkata “umurmu sudah tidak lama lagi.”
Bagaimana kamu akan merespon? Kaget, tersinggung, marah,
menganggap pengunjung kurang ajar, atau bahkan menganggap dia menyumpahi kamu
lekas meninggal.
Bagaimana jika yang berkata adalah doktermu? Doktermu masuk
kamar dan berkata, “umur anda sudah tidak lama lagi.”
Apakah kamu akan merespon ucapan dokter sama seperti kamu
merespon ucapan si pengunjung? Tidak.
Kenapa? Karena kamu yakin dokter berkata benar dan tidak
bermaksud menyumpahi kamu meninggal. Karena kamu percaya dokter lebih tau
kondisi kesehatanmu, bahkan lebih dari dirimu sendiri.
Apakah kamu telah bersikap tebang pilih kepada pengunjung
dan dokter? (bisa jawab sendiri, kan?) :D
Situasi tersebut menggambarkan bahwa:
Pesan yang sama, disampaikan oleh orang yang berbeda, dapat
memberikan makna yang berbeda!
B. Di tengah keriaan bersama teman-teman, kamu mengeluarkan
lelucon dan tertawa terbahak-bahak. Bagaimana kira-kira teman sekitarmu
merespon? Kemungkinan mereka akan senang dan ikut tertawa terpingkal-pingkal.
Coba bayangkan jika kamu melemparkan lelucon dan tertawa
terbahak-bahak saat sedang takziah. Apakah teman dan orang sekitar akan merespon
dengan cara yang sama? Katakanlah niatmu baik untuk menghibur kesedihan mereka.
Apakah mereka akan ikut tertawa? Tidak. Mereka akan mengusirmu keluar dari
rumah duka!
Konteks situasi menentukan apakah perkataan dan sikapmu
dapat diterima atau tidak. Saya harap kamu mengerti bahwa temanmu tidak sedang
melakukan standar ganda atas sikapmu. (LOL) :D
Situasi tersebut menggambarkan bahwa:
Pesan yang sama, disampaikan oleh orang yang sama, dalam
konteks situasi yang berbeda, dapat menyampaikan makna yang berbeda.
C. Temanmu datang menanyakan pendapatmu tentang cara dia
berpakaian, dan kamu berkata, “Penampilamu terlihat buruk, baju itu tidak
pantas untuk bentuk tubuhmu.” Apa yang akan dilakukan temanmu? Berterima kasih,
mengganti pakaiannya, dan menanyakan pendapatmu kembali.
Bagaimana jika kamu menyampaikan perkataan yang sama kepada
seseorang yang tidak ada ikatan emosi denganmu? Misalnya kepada orang yang kamu
temui di mall, atau seorang tamu yang datang ke rumahmu untuk keperluan lain,
kamu berkata, “Penampilamu terlihat buruk, baju itu tidak pantas untuk bentuk
tubuhmu.”. Bagaimana mereka akan merespon? Jika kamu lakukan pada orang
pertama, kemungkinan dia akan menggamparmu dengan tas belanjaannnya. :D :D Jika
pada orang kedua, tamumu akan langsung pergi, mungkin setelah dia menyiramkan
air minum ke wajahmu. Hihihihihi... :D
Temanmu bukan saja memiliki ikatan lebih dekat denganmu; dia
mempercayai kompetensimu untuk menilai dan juga datang dengan kondisi siap
untuk mendengar penilaianmu tentang penampilannya. Sedangkan tamu kedua datang
tidak untuk mendengarmu mengkritisi penampilannya.
Situasi tersebut menggambarkan bahwa:
Orang yang sama, mengatakan hal yang sama, pada pendengar
(recipient) yang berbeda, dapat menyampaikan makna yang berbeda.
Sampai di sini kamu masih belum paham kenapa orang merespon
video Ahok berbeda dengan video Habib? Mungkin kamu butuh minum
kopi...hehehehe...
Pragmatik (Pragmatics) seperti halnya semantik (Semantic)
adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji makna. Jika semantic mengkaji makna
satuan lingual secara internal, pragmatic mengkaji makna satuan lingual secara
eksternal. Yule (1996:3) menyebutkan ada 4 definisi pragmatic, yaitu mencakup
(a) bidang yang mengkaji makna penutur, (b) makna menurut konteksnya, (c)
tentang makna yang diujarkan, dan (d) bidang yang mengkaji bentuk ekpresi
menurut jarak sosial yang membatasi participan yang terlibat dalam percakapan
tertentu.
Lebih lanjut Om David Crystal (1987), mendefinisikan
pragmatic sebagai berikut: “pragmatics studies the factors that govern our
choice of language in social interaction and the effect of our choice on
others. In theory, we can say anything we like. In practice, we follow a large
number of social rules (most of them unconsciously) that constrain the way we
speak.”
Lebih jelas ya...? Jadi, dalam berkomunikasi yang penting
bukan hanya apa yang dituturkan (ujaran / utterance), tetapi juga siapa yang
menuturkan (penutur / speaker), kepada siapa kita bertutur (petutur /
recipient) dan dalam konteks apa tindak tutur dilakukan. Secara tidak langsung
Om David juga berkata, dalam interaksi sosial terdapat pilihan bahasa (yang
harus diperhatikan) dan efeknya terhadap orang lain (pendengar). Walaupun dalam
teori kita dapat mengatakan apa saja, namun praktiknya kita mengikuti aturan
sosial yang membatasi cara kita berbicara.
Adakah di antara kamu yang berkomentar, “saya yakin banget
kalo ini pasti bukan penistaan agama soalnya yang ngomong Habib Rizieq, jadi
gak mungkin dia salah maupun didemo!”
Jawabnya: Ya, memang itulah intinya! Masih tidak paham juga?
Coba sesap kopimu dan aktifkan sel-sel kecil kelabu di otakmu itu...
qiqiqiqi... :D
Utterance (Tuturan)
Ahok: “...bapak ibu jangan mau dibohongi pakai al-maidah
ayat 51...”
Habib: “...nipu umat pakai ayat quran, nipu umat pakai
hadist...” (Silakan cari video lengkap masing2).
Sudah paham dong struktur kalimat di atas?
Siapa yang berbohong? Orang! Mereka yang menggunakan ayat.
Bukan ayatnya? Bukan!
Lantas apa peran ayat di sini? Alat untuk berbohong atau
alat kebohongan.
Lalu mengapa respon publik berbeda atas ucapan yang sama?
Simak poin di bawah
Speaker (Penutur)
Ahok: Siapa Ahok? Seorang gubernur / pejabat pemerintah,
beragama Nasrani.
Apakah Ahok dipandang (oleh pendengarnya) sebagai orang yang
mengerti Quran? Tidak.
Mengerti tafsir Quran? Tidak.
Berkompetensi dalam menyampaikan ayat Quran? Tidak.
Mengimani Quran? Tidak.
Habib: Siapa Habib Rizieq? Seorang guru (ustad) yang
memiliki jamaah (pengikut) yang mempercayainya sebagai orang yang berilmu
agama.
Apakah Habib dipandang (oleh pendengarnya) sebagai orang
yang mengerti Quran dan Hadist? Ya.
Berkompetensi dalam menyampaikan ayat Quran? Ya.
Mengimani Quran? Ya.
Publik merespon Habib seperti pasien merespon dokternya.
Habib dianggap lebih tau dan berilmu dari jamaahnya, memiliki kompetensi untuk
membahas Quran, dan mengimaninya. Jamaah percaya yang disampaikan Habib adalah
kebaikan. Sementara Ahok bukanlah orang yang diharapkan mengeluarkan komentar
berkenaan ayat Quran. Selain tidak mengerti, tidak dapat membaca, dia juga
tidak mengimani Al Quran. Walau Ahok berkata tidak bermaksud menistakan, publik
menganggapnya tidak pantas.
Situational Context (Konteks Situasi)
Ahok: Menyampaikan dalam pertemuan kunjungan kerja yang
ditujukan untuk mensosialisasikan prestasi kerja / program kerja pemerintah.
Secara implisit, menyisipkan pesan kampanye politiknya dengan menyinggung ayat
Quran. Disampaikan dalam ruang terbuka, di hadapan pendengar yang majemuk.
Habib: Menyampaikan dalam majelis ilmu, dalam tema yang
ditujukan untuk membahas fenomena munculnya ulama yang memelintirkan ayat,
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Disampaikan dalam lingkup
tertutup (terbatas), di hadapan jamaahnya sendiri.
Ucapan Habib sesuai dengan tema pembahasannya, pada media
(waktu dan tempat) yang sesuai. Seperti orang yang tertawa di tengah keriaan;
pada tempatnya. Ibarat ucapan dokter yang pedih namun dinilai sebagai
kebenaran. Publik meresponnya sebagai peringatan.
Sementara Ahok mengucapkannya tidak pada konteks situasi
yang dapat diterima. Publik meresponkan sebagai tuduhan (mereka yang berbohong)
dan penistaan (alat kebohongan).
Recipients (Petutur)
Ahok: Penduduk pulau dan pegawai Pemda. Pendengar majemuk
(beragam agama). Tidak terdapat ikatan yang kuat dan kepercayaan antara
pendengar dan pembicara terkait apa yang dituturkan. (Kemudian disebarkan dan
mendapat perhatian publik yang lebih luas).
Habib: Jamaahnya sendiri. Pendengar tunggal (kaum muslim).
Terdapat ikatan yang kuat dan kepercayaan antara pendengar dan pembicara
terkait apa yang dituturkan.
Pada kasus Ahok, pendengar hanya berharap Ahok berbicara
terkait agenda kunjungan kerjanya dan tidak berharap Ahok menyinggung ayat
Quran dalam pemaparannya. Seperti tamu yang datang berkunjung, mereka tidak
berharap tuan rumah mengkritisi penampilannya. Itu dianggap tidak sopan.
Sedangkan Habib berhadapan dengan jamaah yang memang datang untuk mendengar
tausiyah sesuai tema. Jamaah siap mendengar apapun yang dikatakan Habib.
Seperti teman yang memang dengan sadar datang meminta saran, dia akan bersiap
dengan penilaian buruk.
“Jadi, subjektif dong?” Benar!
Makna bahasa itu tidak mutlak sama. Jangan karena A berkata
hal yang sama seperti B, lantas pendengar dituntut merespon dengan cara yang
sama. Jika tidak sama, maka pasti benci dengan salah satunya.
Aaaah, terlalu sempit untuk cepat berprasangka demikian.
Coba nikmati kopimu... :D
Julia T Wood, dalam bukunya Interpersonal
Communication (2010) berkata “The meanings of language are subjective.”
Because symbols are abstract, ambiguous, and arbitrary; the
meaning of words are never self-evident or absolute (Duck, 1994a, 1994b; Shotter,
1993). Kita mengkonstruksi makna dalam proses interaksi dengan orang lain
melalui dialog yang mengalir dan tercerna di kepala kita.
Language use is rule-guided! (Wood, 2010). Kalian yang
pernah ikuti kelas Bahasa Inggris (saya) tentu paham dengan aturan yang
mengatur pengucapan (rules that govern pronunciation / phonology) dan struktur
kalimat (sentence structure / syntax). Selain dua aturan tersebut ada aturan
komunikasi (communication rules), yang terbagi pemahaman atas apa arti
komunikasi dan jenis komunikasi apa yang pantas (sesuai) dalam situasi
tertentu.
Kalian yang pernah ikuti kelas Public Relations (saya)
tentunya juga lazim dalam menyusun perencanaan komunikasi strategis, kita
selalu lebih dulu menganalisa target audience, merancang key messages,
menentukan key speaker, dan media yang digunakan untuk menyampaikan pesan (key
messages).
Why? Because that all matters!
Jadi, jika ingin berteriak, pastikan kamu sadar apa yang
kamu teriakkan.
Silakan berkomentar, namun pastikan komentarmu tidak asbun
:D
“Pasti karena Ahok Cina Kristen...!” --> karena Ahok
Kristen, mungkin saja, tapi tidak ada hubungannya dengan Ahok Cina. Ini contoh
komentar asbun :D
“DR. Zakir Naik juga suka ngutip kitab agama lain, kenapa
Ahok dipermasalahkan?” --> Jika Ahok adalah seorang ahli perbandingan agama,
berbicara di tengah forum yang memang diperuntukkan membahas perbandingan
agama, di hadapan audience yang memang datang dengan kesadaran dan bersiap
mendengarkan apa yang dikatakan sesuai tema seperti apa yang dilakukan Doktor Zakir Naik,
tentunya silakan saja... :D
“Ini pasti dipolitisasi!” --> Ahok adalah seorang
politisi, yang bergabung dalam partai politik, yang sedang melakukan kampanye
politik, pernyataannya keluar dalam ranah politik, saat sedang menyelipkan
pesan politiknya. Apa yang kamu harapkan jika kenyataannya seperti ini? :D
Get up, leave your cocoon and take some fresh air!
Mengharapkan kasus ini bebas politisasi adalah tidak mungkin.
Tahukah kamu, sebuah tabung akan tampak seperti lingkaran
jika kamu hanya melihatnya dari sisi atas. Coba berkeliling mendapatkan
perspektif lain. Andaikan kamu tidak mendapati bentuk tabung dengan jelas,
setidaknya kamu tidak ngotot mempertahankan yang kau lihat adalah lingkaran.
Jangan mudah menuduh mereka yang bergerak adalah orang yang
penuh kebencian. Nyatanya mereka yang mudah menghujat orang lain penuh
kebencian adalah mereka yang tidak dapat melihat hal lain selain kebencian.
Jika kamu tidak bisa mengerti apa yang orang lain rasa, jangan paksa mereka
menuruti pemahamanmu.
Tahukah kamu kenapa kain flannel terlihat indah? Karena
masing-masing kotak menjaga proporsinya dan mendekatkan diri dengan kotak
lainnya, sehingga tercipta pola yang indah. Bayangkan jika kotak satu mengambil
porsi kotak lainnya dan saling menjauh? Tidak akan ada selembar kain flannel :D
Aaah..., kopi saya sudah menjadi dingin. Mari minum teh
saja...! ;)
Silakan share jika mencerahkan; jangan share jika untuk saling menyerang.
Crystal, David. 1987. The Cambridge Encyclopedia of
Language. Cambridge: Cambridge University Press
Duck, S.W. 1994a. Meaningful Relationships. Thousand Oaks,
CA: Sage.
Duck, S.W. 1994b. Steady as (s)he goes: Relational
Maintenance as a Shared Meaning System.
Shotter. J. 1993. Conversational Realities: The Construction
of Life through Language. Newbury Park, CA: Sage
Wood, Julia T. 2010. Interpersonal Communication: Everyday
Encounters. 6th Edition. Wadsworth: Wadsworth Cengage Learning