Menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, suhu politik pun semakin
panas. Terlebih lagi saat Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok dituduh melakukan penistaan agama Islam dengan mengutip isi Surat Al
Maidah.
Kasus penistaan agama serta makin panasnya suhu politik ini,
sedikit banyak membuat publik melupakan kasus lahan Rumah Sakit Sumber Waras
yang ”katanya” menjerat Ahok.
Para pasangan calon Gubernur yang akan bertarung dalam Pilkada DKI 2017 |
“Jangan pilih saya kalau saya memang salah”, itulah ucapan
Ahok saat itu kepada wartawan ketika ditanya tentang kasus lahan rumah sakit
tersebut. Saat sekitar bulan April 2016, Ahok mengatakan akan maju lagi dalam
Pilkada Gubernur DKI mendatang lewat jalur independen.
Menjelang pilkada banyak orang saling sikut, saling
menyudutkan. Banyak orang baik dihadang dengan segala cara. Lihat saja Jokowi
saat mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI dan Presiden RI, banyak tingkah
lawan yang ingin mematikan.
Dalam pemilihan kepala daerah yang paling mudah dilibas
adalah calon independen karena tidak punya partai, dukungannya hanya dari
pemilih murni. Meski demikian jauh-jauh hari Ahok sudah mendapat dukungan
banyak pihak, terbukti tim sukses “Teman Ahok” sudah bisa mengumpulkan tanda
tangan lebih dari yang dibutuhkan.
Tapi apa yang terjadi? Formulir dukungan diubah karena harus
menyebutkan siapa calon wakil gubernur pasangannya sehingga “Teman Ahok” harus
secepatnya mengundang para pendukung untuk mengisi formulir baru. Setelah ini
selesai muncul lagi persyaratan baru, formulir harus memakai meterai. Bayangkan
formulir-formulir yang sudah terkumpul tak bisa dipakai sehingga harus dibuat
yang baru.
Syarat yang terkesan “dibuat-buat” tersebut dianulir oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun tak lama kemudian muncul lagi syarat yang
amat berat dimana calon perseorangan harus bisa mengumpulkan dukungan minimal
10-15 persen dari jumlah penduduk. Sebelumnya hanya 6,5 persen dari jumlah
pemilih, sesuai dengan keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 29 September 2015.
Jadi putusan itu baru akan digunakan sekarang tapi sudah mau
diubah lagi. Ini tertuang dalam rancangan revisi UU Pilkada yang kini dibahas
DPR. Lantas apa bedanya dengan akal-akalan pembentukan Undang Undang MD3 (MPR,
DPR, DPD dan DPRD) dari Koalisi Merah Putih untuk menjegal PDIP di Parlemen?
Sekarang PDIP ikut malah mereka.
Seandainya ini lolos bukan hanya Ahok korbannya tapi seluruh
calon independen akan mengalami hal serupa. Indonesia akan kehilangan
calon-calon pemimpin terbaik. Alangkah bodohnya kalau hanya untuk menghadang
Ahok seluruh calon perseoragan jadi korban.
Nah, jadi “bola panas” pun ada di tangan Presiden Joko
Widodo. Sampai saat ini dia menolak usulan DPR dan minta syarat itu tetap
sesuai putsan MK.
Namun, upaya menjegal Ahok bukan hanya sampai disitu saja.
Kasus pembelian sebagian tanah Rumah Sakit Sumber Waras dan reklamasi Teluk
Jakarta kini menjadi senjata lawan-lawannya untuk menjatuhkannya.
Awal mula masalahnya adalah tanah RS Sumber Waras dibeli
dengan harga Rp 755 miliar sesuai dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Rp 20
juta per meter. Luasnya 36.441 meter persegi, lokasinya di Jalan Kyai Tapa.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpendapat lokasi tanah ada
di Jalan Tomang Utara yang NJOP nya Rp 7 juta/meter sehingga ada kerugian
negara Rp 191 miliar. Ketua BPK Harry Azhar Azis mengumpamakan, Pemprov DKI
ibarat membeli mobil harga mercy dapatnya cuma bajai. DPRD DKI pun
melaporkannya ke KPK.
Namun, menurut pemilik RS Sumber Waras, tanah itu ada di
Jalan Kyai Tapa sesuai PBB yang dibayarnya setiap tahun, jadi tak ada yang
salah.
Kasus lain yang lagi menelikung Ahok adalah soal reklamasi
Teluk Jakarta. Sejumlah perusahaan sudah mendapat izin, reklamasi sudah
berjalan. Tiba-tiba kini semua berubah.
Masalahnya bermuka ketika DPRD membahas rancangan Peraturan
Daerah tentang reklamasi, tapi di tengah pembahasan Ketua Komisi B DPRD DKI Ir
Muhammad Sanusi (Fraksi Gerindra) tertangkap KPK karena menerima suap dari
sebuah perusahaan yang akan melakukan reklamasi. Kini pembahasan dihentikan dan
nasib reklamasi masih karut marut hingga kini.
Padahal saat itu, pembahasan sebenarnya hampir selesai,
tinggal soal kompensasi saja yang belum sepakat dimana Ahok meminta perusahaan untuk
memberi kompensasi sebesar 15% untuk pemprov yang akan dikembalikan untuk upaya
program pembangunan masyarakat, sedangkan DPRD hanya mau 5%. Dari sini saja
orang awam pun sudah heran, ada apa dengan DPRD?
Akhirnya, masalah reklamasi ini menjadi melebar ke isu-isu
lain. Akibatnya beberapa menteri menjadi marah dan Pemerintah DKI dituding
melakukan pelanggaran karena tidak melalui analisa dampak lingkungan, mematikan
usaha nelayan dan lain sebagainya.
Padahal reklamasi Teluk Jakarta berdasarkan pada Keppres No
52 tahun 1995 sudah lama berjalan atau sejak masa Orde Baru. Namun entah kenapa
baru sekarang masalah ini diributkan. Ujung-ujungnya Presiden menghentikan
reklamasi sambil membenahi peraturannya.
Dari sini kita bisa melihat secara jelas bahwa kepentingan
politik telah merecoki ini semua. Partai mana yang tak ingin menguasai DKI yang
amat prestise, apalagi APBD nya paling fantastis dibandingkan daerah-daerah
lain.
Apabila ingin menilai secara jujur, kita sebenarnya bisa
melihat bahwa Ahok tidak hebat-hebat amat, bicaranya pun sering tidak
terkontrol. Namun Ahok merupakan orang yang tegas, berani, jujur dan terbuka. Makanya,
ia menantang rakyat agar tidak memilihnya kalau memang terbukti bersalah.
Apakah betul begitu, KPK sudah membuktikan bahwa Ahok tidak bersalah dalam
kasus Sumber Waras ini.
Masalah satu selesai, timbullah masalah lain yang menjerat
Ahok. Secara kasat mata kita pun melihat bahwa upaya lawan-lawan politik Ahok
amat sistematis untuk menjatuhkannya. Terakhir kali adalah kasus video “fitnah”
yang ditenggarai disebarkan oleh seseorang berinisial BY yang menyebabkan
timbulnya demonstrasi besar yang berujung ricuh pada 4 November 2016 lalu.
Kalau membaca media sosial yang nyaris tanpa sensor
terlihat, rakyat memang semakin dibuat tidak beradab oleh para elite politik. “Perang
Saudara” pun pecah di media sosial. Hujatan, cacian, postingan yang menebar kebencian
berseliweran tanpa ada yang memantau.
Kalau begini, rakyat Indonesia pun menjadi pelanduk gara-gara
Pilkada Jakarta karena mereka menjadi terprovokasi dan terpecah belah sehingga
bisa menyebabkan potensi bubarnya NKRI. Jadi siapa yang bodoh, rakyat atau para
elite politik?
Saya akan merasa sedih apabila NKRI yang ikut diperjuangkan dengan senjata oleh alm. Ayah dan Eyang saya, bubar. Sudah saatnya kita sedikit menjadi lebih cerdas agar bisa menjadi bangsa yang besar dan maju.
No comments:
Post a Comment