Wednesday, October 14, 2020

Bank Dunia Sebut Indonesia Masuk 10 Negara dengan Hutang Luar Negeri Terbesar, Ini Kata Pemerintah

Bank Dunia merilis laporan berjudul Interational Debt Statistics (IDS) pada 12 Oktober 2020. Di dalam laporan tersebut, Indonesia berada pada posisi ketujuh dari daftar 10 negara berpendapatan kecil menengah dengan nilai utang luar negeri terbesar di dunia. 

Secara keseluruhan, utang luar negeri Indonesia tercatat mencapai 402,08 miliar dollar AS pada tahun 2019. Total nilai utang itu terdiri atas utang luar negeri pemerintah, BUMN, dan swasta. 

Total nilai utang tersebut berada di bawah China dengan total nilai utang sebesar 2,1 triliun dollat AS, Brazil 569,39 miliar dollar AS, dan India 560,03 miliar dollar AS. Selain itu, posisi nilai utang Indonesia juga di bawah Rusia yang sebesar 490,72 miliar dollar AS, Meksiko 469,72 miliar dollar AS, dan Turki 440,78 miliar dollar AS. Adapun negara yang menempati posisi di bawah Indonesia yakni Argentina dengan nilai utang 279,3 miliar dollar AS, Afrika Selatan 188,1 miliar dollar AS, dan Thailand 180,23 miliar dollar AS. 

Tanggapan pemerintah 

Menanggapi hal tersebut, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Rahayu Puspasari mengatakan laporan tersebut berisi data dan analisis posisi utang Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara berpendapatan kecil dan menengah. 


Namun demikian, laporan perbandingan yang di maksud tidak menyertakan negara-negara maju. Sehingga terlihat bahwa posisi Indonesia, masuk dalam golongan 10 negara dengan ULN terbesar. Di samping itu, struktur ULN Indonesia tetap didominasi ULN berjangka panjang yang memiliki pangsa 88,8 persen dari total ULN. 

"Pemerintah mengelola utang dengan prinsip kehati-hatian (pruden) dan terukur (akuntabel)," jelas dia dikutip dari keterangan tertulis, Rabu 14 Oktober 2020. Rahayu mengatakan pada paparan perbandingan tersebut, terlihat utang Indonesia di antara negara-negara tersebut terhitung besar karena ekonomi Indonesia masuk dalam kelompok negara G-20 pada urutan ke-16. 

Pasalnya ekonomi yang besar, utang Pemerintah (tanpa BUMN dan swasta) relatif rendah, yakni 29,8 persen di Desember 2019. "Jika dibandingkan dengan 10 negara yang disebutkan dalam beberapa artikel pemberitaan media kemarin, sebagian besar utang Pemerintahnya diatas 50 persen, sementara posisi Indonesia jauh di bawahnya," jelas Rahayu. 

“Pemerintah terus berkoordinasi, dalam hal ini dengan Bank Indonesia untuk memantau perkembangan utang luar negeri dan mengoptimalkan perannya dalam mendukung pembiayaan pembangunan, dengan meminimalisasi risiko yang dapat memengaruhi stabilitas perekonomian,” tambahnya

Sumber: Kompas

Thursday, October 8, 2020

Ketika DI/TII Ikut Memburu PKI Setelah Peristiwa G30S

Aloysius Sugiyanto mengaku kenal baik dengan tokoh DI/TII, Danu Muhammad Hasan. Sebagai intel Opsus (Operasi Khusus), dia ditugaskan atasannya Ali Moertopo untuk membina beberapa eks tokoh DI/TII.

“Saya sering main ke rumah Danu di Situaksan, Bandung,” ujar Sugiyanto.

Massa Ormas Islam menuntut pembubaran PKI


Perkawanan itu pula yang membuat Danu loyal kepada orang-orang Opsus. Ketika Angkatan Darat menjalankan aksi pembersihan orang-orang PKI dan loyalis Sukarno, para eks aktivis DI/TII yang dikenal sangat antikomunis termasuk pihak yang dilibatkan.

“Danu saya tugaskan memata-matai gerak-gerik Soebandrio,” kenang Sugiyanto.

Soebandrio merupakan salah satu orang terdekat Presiden Sukarno. Selain menjabat kepala Badan Poesat Intelijen dan menteri hubungan ekonomi luar negeri, Soebandrio juga salah satu wakil perdana menteri. Mahkamah Luar Biasa memvonis Soebandrio hukuman seumur hidup karena dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965 (G30S).


Musuh Bersama

Setelah peristiwa G30S, kelompok-kelompok antikomunis melakukan konsolidasi kekuatan. Angkatan Darat bergerak cepat. Selain terlibat langsung menumpas orang-orang PKI, mereka pun bekerja sama dan memfasilitasi kekuatan-kekuatan anti-PKI, salah satunya DI/TII.

Dalam The Second Front: Inside Asia’s Most Dangerous Terrorist Network, Ken Conboy menyebut pendekatan terhadap eks anggota DI/TII langsung dilakukan oleh Boss Opsus yaitu Ali Moertopo.

Ali meyakinkan para mantan gerilyawan DI/TII untuk berdiri di kubunya dalam menghadapi PKI sebagai musuh bersama. Lewat beberapa orang kepercayaannya, di antaranya Aloysius Sugiyanto dan Pitut Soeharto, Ali menjanjikan fasilitas dan pengampunan jika eks pemberontak itu mau bekerja sama dengan tentara.

Gayung pun bersambut. Ajakan Opsus diamini para pemimpin DI/TII. Bahkan, menurut Conboy, mereka sangat antusias. Begitu sepakat mereka segera bergerak. “Danu dan kelompok kecil pendukungnya menjelajah Jakarta guna membongkar persembunyian para pejabat rezim Sukarno,” tulis Conboy.

Di Jawa Barat, penumpasan PKI juga mengikutsertakan eks DI/TII. Menurut peneliti sejarah DI/TII Solahudin, saat menjalankan penumpasan, mereka didukung penuh Kodam Siliwangi dan agen BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).

Namun, dalam buku NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia karya Solahudin, tokoh DI/TII Adah Djaelani menolak keras jika dimodali tentara. Menurut Adah, dalam kenyataannya orang-orang DI/TII membiayai sendiri operasi tersebut. Hal ini dibenarkan oleh Solahudin.

“Saat menghabisi orang-orang PKI, eks anggota DI/TII hanya mendapatkan bantuan pinjaman senjata,” ungkapnya kepada Historia.


Ganjaran Orde Baru

Operasi bersama yang dilakukan tentara dengan eks anggota DI/TII berlangsung sukses. Rezim Orde Baru menepati janjinya untuk memberikan ganjaran yang setimpal. Selain pembebasan dari dosa-dosa pemberontakan 1949-1962, Orde Baru lewat tangan tentara juga memberikan kemudahan usaha kepada para eks anggota DI/TII.

Ateng Djaelani, salah satu dedengkot DI/TII yang ikut dalam penumpasan orang-orang PKI, diangkat sebagai ketua Gapermigas (Gabungan Perusahaan Minyak dan Gas) Kotamadya Bandung. Sementara Danu Muhammad Hasan direkrut Ali Moertopo untuk bekerja di BAKIN dengan imbalan yang memadai: rumah dinas, mobil dinas dan gaji bulanan.

Menurut Solahudin, situasi mapan itu menjadikan eks anggota DI/TII sejenak melupakan cita-cita mereka untuk mendirikan Negara Islam. “Saat itu kami tak berpikir sama sekali untuk menghidupkan kembali gerakan DI/TII,” ujar Adah Djaelani seperti dikutip dalam buku karya Solahudin.


NU membentuk KPK untuk melawan DI/TII

Tidak hanya memberikan fasilitas secara perorangan, pada 21 April 1971 pemerintah Orde Baru juga (lewat BAKIN) memfasilitasi pertemuan reuni akbar eks anggota DI/TII di Situaksan, Bandung. Sekira 3.000 eks anggota DI/TII hadir dalam pertemuan itu. Para pejabat BAKIN mengajak mereka bergabung dengan Golkar.

“Merespons ajakan itu, para tokoh DI/TII terbelah menjadi dua: ada yang oke saja dan ada yang menolak mentah-mentah,” ujar Solahudin.

Sejarah kemudian membuktikan, sebagian anggota DI/TII kembali membangun mimpi tentang negara Islam di Indonesia. Para “pejuang Tuhan” itu kemudian ada yang kembali mengangkat senjata untuk mewujudkannya dengan memodifikasi gerakan mereka menjadi transnasional.

Sumber: Historia

Thursday, October 1, 2020

Detik-detik Terakhir Pemimpin DI/TII, Kartosoewirjo

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dieksekusi mati dan dimakamkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, bukan di Pulau Onrust seperti yang diyakini banyak oleh masyarakat. Dia diperlakukan secara Islami.

Pada 4 Juni 1962, satu kompi batalyon Kujang II Siliwangi menyergap dan menangkap sang Imam Negara Islam Indonesia (NII), SM Kartosoewirjo, dan pengikutnya di daerah Gunung Sangkar dan Gunung Geber di Jawa Barat.

Tentara membawa Kartosoewirjo (berbaju putih dengan mata ditutup kain) menuju Pulau Ubi untuk dieksekusi mati

Setelah sekian waktu kucing-kucingan dengan Tentara Nasional Indonesia selama masa pengejaran, termasuk bersembunyi dan bertahan di dalam hutan, membuat tubuhnya jadi renta dan tak terawat, ia pun akhirnya tertangkap. 

Saat tertangkap, dia diserang berbagai penyakit. Badannya kurus. Rambut dan kumisnya memutih. Dia terlihat lebih tua dibanding usianya saat itu: 57 tahun.

Usai ditangkap, Kartosoewirjo menjalani persidangan selama 14-16 Agustus 1962. Dia dikenai tiga tuduhan: memimpin dan mengatur penyerangan, hendak merobohkan pemerintahan RI yang sah, dan membunuh presiden. “Tuntutan kedua dan ketiga ditolak oleh Kartosoewirjo,” kata Sardjono Kartosoewirjo, putra bungsu Sang Imam.

Pengadilan Mahkamah Militer menyatakan Kartosoewirjo bersalah dan menjatuhkan vonis hukuman mati. Upaya terakhir dengan meminta grasi gagal; Presiden Sukarno menolak grasinya. Dia pun harus menjalankan takdirnya.

Pada 12 September 1962, sebelum eksekusi, Kartosoewirjo mendapat kesempatan berkumpul bersama keluarga, satu dari empat keinginan terakhirnya. Hadir dalam pertemuan tersebut sang istri, Dewi Siti Kalsum, putri tokoh Persatuan Serikat Islam Indonesia (PSII) cabang Malangbong, Ardiwisastra, yang telah memberikannya 12 anak –hanya tujuh yang hidup hingga tahun 1962. Hadir pula kelima anaknya: Tahmid Basuki Rahmat, Dodo Mohammad Darda, Kartika, Komalasari, dan Danti.

Momen-momen terakhir Kartosoewirjo terekam dalam buku Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Imam DI/TII yang disusun politisi Fadli Zon. Buku ini dluncurkan di Gedung Cipta III, Taman Ismail Marzuki bertepatan dengan 50 tahun eksekusi Kartosoewirjo, September 2012. Selain pameran, ada diskusi dengan pembicara Sardjono Kartosoewirjo, sejarawan Muhammad Iskandar, dan Fadli Zon.

“Saya membelinya sekitar dua tahun lalu. Saya dapatkan dari seorang kolektor, orang Indonesia juga. Saya pikir akan lebih baik jika foto-foto tersebut tidak lari ke luar negeri, maka saya membelinya,” kata Fadli Zon tanpa mau menyebut nama si kolektor.

Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo lahir di Cepu pada 1902 dari keluarga seorang mantri candu. Dia mengenyam pendidikan sekolah ala Barat. Bahkan sempat berkuliah di Nederlands Indische Artsen School (Sekolah Dokter Hindia Belanda) di Surabaya, meski hanya selama empat tahun. Dianggap terlibat gerakan politik, karena bergabung dengan Jong Java, dia dikeluarkan. Pamannya, Mas Marco Kartodikromo, adalah orang yang mengenalkannya pada gerakan nasionalis dan Marxisme.

Tak lagi kuliah, dia jadi editor di koran Fadjar Asia. Di Surabaya, Kartosoewirjo berguru kepada “Raja Jawa tak bermahkota” HOS Tjokroaminoto dan bahkan menjadi sekretaris pribadinya. Dia juga menjalin pertemanan dengan murid Tjokroaminoto lainnya, Sukarno –yang kelak bersimpangan jalan dengannya. Ketika bergabung dalam komisioner Persatuan Serikat Islam Indonesia (PSII) Jawa Barat, dia menjalin hubungan dengan Ajengan Yusuf Taujiri, mentor dan guru spiritualnya.

Pemikiran Kartosoewirjo semakin radikal setelah dia mengetengahkan konsep hijrah pada kongres PSII tahun 1936. Kartosoewirjo dan pendukungnya kemudian membuat faksi baru yang disebut Komite Pembela Kebenaran dan mendirikan Suffah Institut- sebuah lembaga pendidikan kader dengan meniru pola pesantren, khususnya pesantren yang ada di Malangbong, Garut- di Malangbong, kampung mertuanya. Namun ide ini tak mendapat restu dari ajengan Yusuf. Suffah Institut pun tak berlanjut; beberapa dari mereka kembali ke desa masing-masing.

Saat Jepang masuk ke Indonesia, Kartosoewirjo bergabung dengan Madjlis Islam 'Alaa Indonesia (MIAI) dan di Jawa Hokokai. Bahkan dia aktif membina gerilyawan-gerilyawan di sekitar Banten dan memimpin sebuah laskar Hisbullah yang berbasis di Malangbong, “Laskar-laskar binaan Kartosoewirjo ini tidak pernah dirangkul pemerintah saat itu,” kata Fadli Zon.

Pada 1949, Indonesia mengalami suatu perubahan politik. Saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, Kartosoewirjo yang kecewa dengan hasil keputusan Renville mendirikan sebuah negara Islam pada 7 Agustus 1949 di desa Cisampak, kecamatan Cilugalar, kabupaten Tasikmalaya. Upaya ini dinilai pemerintah sebagai pemberontakan, dan segera mengambil langkah strategis guna menumpasnya.

Mendeklasarikan berdirinya sebuah negara Islam, sebetulnya sudah menderu dalam jiwa Kartosoewirjo sejak mendengar Jepang kalah atas sekutu, 6 Agustus 1945. Deklarasi direncanakan pada 14 Agustus 1945. Saat itu Kartosoewirjo yang sudah pindah ke Jakarta meminta Kiai Yusuf untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII), namun ditolak Kiai Yusuf. Tahun 1946, Kartosoewirjo yang aktif sebagai Wakil Masyumi daerah Priangan tetap konsisten sikap politiknya dengan sikap nonkooperatif pada kaum penjajah. Ia menolak perjanjian Linggarjati dan Renville. Ia dan laskar Hizbullah yang dibentuknya menolak meninggalkan Jawa Barat untuk hijrah ke Yogyakarta. Lalu bersama laskar Hizbullah dari Cirebon, Cicalengka, dan Blubur-Garut yang berada di bawah pimpinan Zainal Abidin, ia membentuk TII (Tentara Islam Indonesia).

Saat Republik Indonesia Serikat bubar pada 17 Agustus 1950, Kartosoewirjo yang setahun sebelumnya telah mendeklarasikan NII yakin itu sebagai bentuk kegagalan sistem pemerintahan yang sekuler yang bernama Republik Indonesia. Melalui suratnya kepada Presiden RI Sukarno, ia mengajak untuk menjadikan Islam sebagai landasan negara, tapi tidak ditanggapi. Pada 1950-1952 pihak DI/TII kemudian banyak melakukan inistiatif serangan pada pemerintah RI. Kota-kota atau pos polisi diserang tidak hanya malam, tapi juga siang hari. Butuh waktu sebelum akhirnya gerakan DI/TII ini dapat dilumpuhkan oleh TNI, dan Kartosoewirjo berhasil dibekuk.

Kartosoewirjo mengenakan kemeja lengan panjang dan sarung kotak-kotak. Sebatang rokok tak pernah lepas dari himpitan jemarinya. Di pertemuan itu, dia dan keluarga bersantap siang. Bila sang istri dan anak-anaknya melahap menu daging rendang khas masakan Padang yang disajikan, Kartosoewirjo enggan memakannya.

Usai santap siang, mereka bersenda-gurau. Anak-anak Kartosoewirjo terlihat begitu tabah ketika oditur militer meminta ayah mereka memberi pesan terakhir. Kartosoewirjo berpikir sejenak dan lalu berbicara kepada keluarga.

“Saya tidak ikut, waktu itu usia saya baru lima tahun. Tapi tak ada pesan penting yang disampaikan bapak waktu itu, karena pertemuan itu kan juga dijaga sama tentara,” kata Sardjono.

Lalu keluarga itu berkumpul untuk pengambilan gambar. Kartosoewirjo duduk sebanjar dengan istri, lalu tiga putrinya, Kartika, Komalasari, dan Danti. Di belakangnya berdiri dua putra mereka, Tahmid Basuki Rahmat dan Dodo Mohammad Darda. Begitu kaku. Darda dan Komalasari membuang tatapan mereka dari lensa kamera, sedang Dewi Siti Kalsum tampak terpejam, mungkin karena pengaruh lampu blitz.

Usai pertemuan, Kartosoewirjo melakukan salat taubat. Setelah itu seorang tentara, mungkin seorang imam dari seksi kerohanian TNI, memberikan wejangan. Kartosoewirjo menyimaknya dengan memejamkan mata.

Seorang petugas datang, memborgol tangannya, dan membawanya ke sebuah ruang tunggu. Jam tangan Rolex-nya dilepas, dan sejumlah barang lain diserahkan ke keluarga.Di ruang tunggu yang lebih mirip gudang itu, Kartosoewirjo masih sempat menikmati sebatang rokok, sebelum mobil tahanan membawanya menuju kapal PGM.

Di atas kapal PGM, Kartosoewirjo berbaring di ranjang. Kepalanya diganjal bantal. Seorang petugas dengan baret duduk di sisi ranjangnya. Di ujung ranjang ada dua petugas bersenjata. Kartosoewirjo menatap langit-langit. Dia mengatupkan dua tangannya yang terborgol dan menaruhnya di atas perut.

Tak lama, dia dibawa petugas untuk pindah ke kapal LCM (Landing Craft Mechanized), kapal yang membawa dirinya ke Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, tempat dia diekseksusi dan dimakamkan. “Melalui rangkaian foto ini setidaknya bisa diketahui kalau Kartosoewirjo dimakamkan di Pulau Ubi bukan di Onrust seperti yang diyakini selama ini,” kata Fadli Zon.

Selain itu, foto ini menepis kabar tak sedap yang menyebutkan kalau Kartosoewirjo diperlakukan secara tak Islami ketika dieksekusi mati. “Ternyata dia diperlakukan secara Islami, disalatkan. Dengan foto ini, kontroversi dan imajinasi yang mengawang-awang tersingkap,” kata Mohammad Iskandar.

Kisah Kedekatan Mayjen Ibrahim Adjie dengan Para Prajuritnya

Nama Mayor Jenderal Ibrahim Adjie ikut mencuat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ia yang merupakan Pangdam Siliwangi (1960-1966) dan loyalis Bung Karno marah besar saat tidak mengetahui keberadaan Bung Karno saat peristiwa berdarah ini karena ia merasa bertanggung jawab harus ikut melindungi Sang Pemimpin Besar.

Di kalangan prajurit-prajurit Siliwangi, nama Mayor Jenderal TNI Ibrahim Adjie adalah legenda. Selain sosoknya yang kharismatik, ia juga dikenal sebagai seorang Jenderal yang egaliter dan dekat dengan para anak buahnya. Begitu dekatnya, hingga Adjie tak segan-segan turun langsung ke lapangan bahkan ke palagan sekalipun.

“Waktu Operasi Pagar Betis pada awal 1960-an, ayah saya tak jarang menyertai langsung para prajurit yang tengah menghadapi gerilyawan Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo di hutan-hutan Jawa Barat,” ujar Kiki Adjie.


Mayjen Ibrahim Adjie (kanan) bersama Menpangad Letjen Ahmad Yani yang gugur pada 1 Oktiber 1965

Menurut salah satu putra dari Ibrahim Adjie tersebut, kendati seorang panglima, Ibrahim tak pernah berlaku sok berwibawa. Alih-alih jaim, ia justru sangat berbaur dan berusaha “tak berjarak” dengan para prajuritnya. Adjie sadar, para prajurit adalah garda terdepan saat menghadapi musuh-musuh negara. Karena itu apresiasi dan penghargaan seorang komandan mutlak harus dijalankan kepada mereka.

Ada sebuah kisah yang mencerminkan kedekatan Adjie dengan para anak buahnya. Ceritanya, pada 1961, Adjie mengundang semua atase militer asing di Jakarta untuk melihat Jawa Barat. Kegiatan itu dilakukan sebagai upaya pembuktian kepada perwakilan negara-negara di dunia bahwa wilayah Jawa Barat sudah aman dari gangguan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Rute perjalanan rombongan panglima dan para atase militer asing itu dimulai dari Bandung lalu sampai ke Pangandaran. Karena jalan yang masih jelek berbatu, hampir sebagian besar anggota rombongan menjadi kelelahan. Karena itu, sampai di Kalipucang, Ibrahim memerintahkan rombongan untuk beristirahat sejenak. Nasi berbungkus daun pisang lantas dibagikan kepada pengawal dan anggota rombongan termasuk panglima Divisi Siliwangi yang juga mendapat sebungkus.

Acara makan dilakukan secara bersama-sama. Tak ada batas antara perwira, bintara dan tamtama, semuanya menyatu. Saat acara makan baru dimulai, Ibrahim menengok bungkus nasi salah seorang prajurit pengawal yang sedang asyik menyantap jatah nasi bungkusnya.

Geuningan sangu maneh mah euweuh dagingan (Kok nasi bungkus milik kamu tidak ada dagingnya?)," kata panglima.

Menyaksikan hal tersebut, Adjie kemudian menyodorkan jatah nasi bungkusnya kepada prajurit itu: “Ini saja makan sama kamu,” katanya.

Ditawari secara tiba-tiba oleh panglimanya, prajurit itu sigap berdiri menerima nasi bungkus sambil berseru: “Siappp!” lalu ia terbatuk-batuk dan mulutnya menghamburkan nasi yang sedang dikunyah.

Euh, maneh mah (Halah, kamu ini),” kata Adjie sambil menyodorkan air minum.

Lantas Ajudan Panglima yang bernama Kapten Ramdhani dengan setengah memaki berkata kepada prajurit itu: “Maneh mah, ari samutut tong ngajawab! (Kamu ini, kalau mulut lagi penuh makanan ya jangan jawab!). Semua anggota rombongan kontan tertawa menyaksikan kejadian itu.