Pada 28 Oktober 2016 Amien Rais menulis di harian Republika dengan
judul "Bung Jokowi, Selesaikan Skandal Ahok". Menurutnya, ada dua
jenis penistaan. Menista yang berdimensi duniawi dan menista langit. Antara
lain Amien Rais menulis yang berikut:
"Ketika hukum dilaksanakan secara tebang-pilih atau
diskriminatif, rakyat marah, tetapi tetap tidak bergerak. Ketika korupsi
berskala raksasa jelas-jelas dilindungi, sejak dari skandal BLBI, Bank Century,
deforestasi (penghancuran hutan), sampai yang terbaru skandal Sumber Waras dan
reklamasi Teluk Jakarta, rakyat hanya berkeluh-kesah, geram, marah, nyaris
putus asa. Tetapi mereka tidak bergerak. Sabar dan tetap sabar."
Abdillah Toha |
"Bung Jokowi, kasus Ahok mengguncangkan Indonesia
karena Ahok sudah menyodok kesucian langit. Ahok sudah benar-benar
kelewatan."
Pada bagian awal tulisannya, Amien Rais mengatakan
"Saya, sebagai seorang Muslim, sangat-sangat tersinggung dan terhina
dengan ucapan Ahok bahwa ayat 51 Surah al-Maidah digunakan untuk membohongi
masyarakat." Kemudian AR mewanti-wanti Jokowi agar segera turun tangan,
atau menghadapi situasi yang bisa "menjadi bom waktu yang daya ledak
sosial-politiknya dapat mengguncangkan sendi-sendi stabilitas nasional dan
persatuan bangsa."
Perlu digarisbawahi disini bahwa tulisan ini tidak berniat membahas
apakah Ahok benar bermaksud menghina Islam dan Alquran atau tidak, karena ada
paling sedikit dua pendapat yang berbeda. Juga penulis tidak akan masuk ke
dalam kontroversi tafsir ayat Al-Maidah 51 karena ada berbagai pandangan dan
penafsiran yang berbeda. Ini juga bukan tulisan yang akan berargumentasi
tentang benar tidaknya sinyalemen Amien Rais tentang berbagai 'kegagalan'
pemerintahan Jokowi. Yang ingin dicermati di sini adalah mengenai pandangan Amien
Rais tentang penistaan agama secara umum, dalam hal ini agama Islam pada khususnya.
Sangat disayangkan tokoh sekaliber Amien Rais dengan
pendidikan tinggi dan pernah menduduki jabatan-jabatan sangat terhormat di
negeri ini mempunyai kesamaan dengan banyak Muslimin awam dalam cara memandang
yang (menurut saya) tidak tepat tentang esensi Islam.
Pertama, Amien Rais lebih marah dan lebih tidak sabar ketika
ada yang menghujat Tuhan daripada penyebab timbulnya ketidak-adilan di
masyarakat. Hal ini memang telah menjadi ciri dari berbagai ulama dan awam
pengikutnya yang menyebut diri sebagai pembela Islam. Kita nyaris tidak pernah
menyaksikan gerakan-gerakan pembela Islam yang membela kaum miskin, kaum buruh,
para penganggur, pendidikan yang mahal, atau menentang koruptor dan berbagai
ketimpangan lain, tapi gerakan-gerakan itu rajin berontak ketika hal-hal yang
diharamkan dalam Islam seperti minuman keras, pornografi, prostitusi, dan
sejenisnya muncul ke permukaan. Buat para "pembela" itu, biarkan
rakyat miskin dan menderita asalkan minuman keras dan sejenisnya dilarang di
negeri ini. Pandangan Amien Rais tak jauh berbeda. Sabarlah dan jangan cepat
marah terhadap adanya ketimpangan dan ketidakadilan, tapi segera bertindak bila
ada yang menghujat agamamu.
Kedua, Amien Rais rupanya ingin mewakili fungsi pengadilan
dunia dan akhirat. Bukankah ketika yang dinista langit seharusnya kita biarkan
langit yang menghukum? Apalagi bila penistaan itu bukan dalam bentuk perbuatan,
tetapi dalam kata-kata atau tulisan. Apakah si penista akan selamat di dunia
dan akhirat, biarkan langit yang memutuskan. Itu sudah bukan urusan kita lagi.
Tugas kita sebagai khalifah di bumi adalah untuk menciptakan kehidupan yang
sejahtera, damai, dan tenteram di bumi. Bukan untuk menghukum mereka yang tidak
beriman atau menista Allah.
Benar kita punya pasal 156A KUHP tentang penodaan agama
tetapi menurut banyak ahli, undang-undang itu adalah sebuah kecelakaan hukum
yang berisi pasal karet yang bisa disalahgunakan oleh berbagai pihak untuk
kepentingan kelompoknya. Sama seperti di Eropa dulu ketika diberlakukan hukuman
berat terhadap apa yang disebut sebagai “blasphemy” penistaan agama) yang
kemudian dalam sejarah kita tahu telah memicu gerakan reformasi agama Kristen
besar-besaran.
Ketiga, Amien Rais, seperti banyak Muslimin lainnya, telah
cenderung mempersonifikasikan (memanusiakan) Tuhan seakan Tuhan punya
sifat-sifat makhluk-Nya yang mudah tersinggung, marah jika dinista, dan tidak
sabaran. Seakan-akan Tuhan dirugikan dengan adanya orang yang menista
kemuliaanNya. Tuhan yang maha kaya tidak sedikitpun butuh pujian, sembahan,
atau bahkan ibadah apapun dari manusia. Kewajiban shalat, umpamanya, dalam
Islam bukan untuk kepentingan Tuhan, tapi untuk kemaslahatan manusia sendiri.
Begitu pula Tuhan, sedikitpun tidak akan berkurang
kemuliaan-Nya dan tidak akan merasa dirugikan bila ada makhluk-Nya yang
mencerca atau menghina-Nya. Kalau sudah begitu, kenapa kita harus menempatkan
diri kita sebagai pengganti Tuhan dan marah-marah serta bernafsu menghukum
penista, seakan kita diberi wewenang untuk mewakili Tuhan. Begitu pula
junjungan Nabi kita Muhammad SAW dengan akhlaknya yang agung, tidak pernah
membalas hinaan bahkan lemparan batu hingga berdarah-darah terhadapnya, akan
tetapi justru berdoa memohon Allah mengampuni pelakunya karena mereka dianggap
termasuk golongan orang yang tidak tahu hakekat kebenaran.
Keempat, salah satu masalah besar agamawan termasuk sebagian
Muslimin adalah menjadikan agama sebagai bagian dari identitas diri, lebih dari
sekadar sarana untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Ketika orang lain
yang tidak paham kemudian mencela atau mencerca agamanya, maka dia akan merasa
dirinya atau kelompoknya telah dihina.
Itulah yang terjadi dalam kasus-kasus pembunuhan para
penista agama Islam di Negeri Belanda, Perancis, Swedia dan lain-lain yang
kemudian mencederai citra Islam dan menganggap Islam sebagai agama yang penuh
kekerasan. Begitu pula fatwa mati Imam Khomeini terhadap penulis Inggris Salman
Rushdi yang dibela oleh pendukungnya sebagai pelaksanaan hukum terhadap seorang
Muslim yang murtad dan menista agama, telah ditolak oleh berbagai pihak karena
telah merusak citra Islam. Ucapan Allahu Akbar yang sangat agung telah menjadi
teriakan yang mengerikan bagi banyak pihak karena kebiasaan teroris
meneriakannya sebelum menggorok leher orang tak bersalah atau melakukan bom
bunuh diri, atau dalam khoibah-khotbah yang penuh kebencian.
Kelima, andai kata benar di negeri ini atau di tempat lain
banyak pembenci Islam, bagaimana mungkin dakwah kita akan berhasil bila kita
membalas kebencian itu juga dengan kebencian dan kemarahan. Islam adalah agama
akhlak dan damai. Penggunaan kekerasan dalam Islam hanya dibolehkan sebagai
upaya defensif terakhir ketika musuh
menyerang lebih dulu dan ketika semua jalan untuk berdamai telah buntu. Islam
adalah agama pemaaf seperti dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika menaklukkan
kafir Quraish di Makkah dan memberi maaf kepada semua bekas musuh-musuhnya.
Saya tidak bisa berharap banyak kepada berbagai ustad dan
ulama karbitan yang banyak beredar di negeri kita. Namun, bila orang sangat
terhormat setingkat pak Amien Rais, seorang Muslim yang taat dan terpelajar,
gagal menyampaikan pesan-pesan Islam yang universal dan benar, maka siapa lagi
yang dapat kita harapkan untuk membimbing umat Islam yang mayoritas di negeri
tercinta ini. Mudah-mudahan Allah memberi hidayah dan membukakan jalan terbaik
bagi kita semua. Amin.
("Menista Langit" Tulisan Abdillah Toha, pemerhati Sospolek di Republika Online 1 November 2016)
Tulisan Abdilah Toha ini menjadi viral di internet.
No comments:
Post a Comment