Beberapa Jenderal AD merupakan sosok womanizer (penakluk wanita), kawin berkali-kali atau mempunyai istri simpanan sehingga membuat hubungannya dengan sesama kolega di Angkatan menjadi tegang.
Soe Hok Gie, mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Indonesia yang legendaris itu, pernah menuliskan secara rinci mengenai kehidupan hedonisme para pejabat di tingkat elit zaman Orde Lama.
“Tiap minggu diadakan pesta-pesta yang dekaden di Istana dengan ngomong cabul dan perbuatan-perbuatan cabul,” coret Soe Hok Gie sekitar 1966 dalam buku harian yang dibukukan menjadi Catatan Seorang Demonstran (1983).
Letnan Jenderal Ahmad Yani, yang sejak 1962 menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat dan menjadi salah satu orang di Ring 1 Presiden Soekarno dengan jabatan Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad), di mata Soe Hok Gie sebenarnya bukan tipe orang yang mata keranjang. Dalam catatannya pada sekitar 1962, Hok Gie menuliskan bahwa Yani pernah membuat sebuah “peraturan yang melarang prajurit-prajurit Angkatan Darat (AD) mengambil istri kedua (berpoligami) tanpa izin komandan dan istri pertama”.
Tentu saja banyak orang di lingkaran Presiden Soekarno yang tidak senang dengan aturan yang dibuat Yani. Menurut penuturan Hok Gie, Yani kemudian dipancing lewat perempuan. Menurut Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2010), Yani punya kelemahan dalam urusan satu ini. Dan ternyata, Yani terpancing dan memakan "umpan".
Maka Yani pun mengesampingkan Yayu Rulia Sutowiryo, istrinya yang menemani perjuangan Yani sejak zaman perang revolusi kemerdekaan dulu. Apa sebab?
“Karena Yani mulai berpacaran dengan siswi SMA,” tulis Kecik. “Akhirnya ia memelihara istri muda,” kata Gie. Kemungkinan ia menikah di bawah tangan dengan gadis yang masih duduk di bangku SMA itu.
Namun Kecik maupun Gie tidak merinci identitas gadis SMA yang jadi istri muda Yani tersebut. Dan juga tak dijelaskan bagaimana prosesnya hingga kemudia sang pahlawan revolusi kawin dengan siswi SMA tersebut. Namun berdasarkan penelusuran, kemungkinan besar hal itu terjadi ketika Yani menjabat Menpangad. Posisi itu yang membuatnya dekat dengan kawan-kawan Presiden Soekarno yang tak jauh dari wanita-wanita cantik.
Pada 25 Januari 2010, Majalah Tempo dalam artikel "Akhir Perburuan Jenderal Licin" pernah membahas kelanjutannya. “Pada 1967, Herman [Sarens Sudiro] menikahi janda kedua Achmad Yani, Khadijah,” demikian terpapar dalam artikel tersebut. Maka, nama siswi SMA yang menjadi istri kedua Yani adalah Khadijah.
Kecik, dalam bukunya yang lain, Pemikiran Militer 4: Bangsa Indonesia Abad 21 (2009), “Jenderal Abdul Haris Nasution, yang anti-poligami, (mempunyai hubungan yang) tegang dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani dan (Presiden) Soekarno.” Yani dan Soekarno tentu saja satu kubu. Bukan lagi pendukung, tapi sudah menjadi pelaku. Dan ini tentu saja membuat Nasution yang anti main perempuan dan setia dengan istri yang selalu mendampinginya, Johana, sinis dan gondok.
“Nasution terang-terangan anti-poligami dan mempertunjukannya dengan tegas dalam tindakan terhadap seorang perwira menengahnya yang menjalankan poligami dengan menonaktifkan dari jabatannya. Perwira (yang diberhentikan Nasution) tersebut adalah Letnan Kolonel Dahyar dari jajaran Divisi Siliwangi,” tulis Kecik dalam Pemikiran Militer 2.
Bagi Kecik, kelakuan Jenderal-jenderal playboy ini dia samakan dengan perilaku Presiden Soekarno yang doyan mempunyai istri lebih dari satu.
Pada Kamis malam 30 September 1965 yang menjadi malam naas sekaligus malam terakhir dalam hidup Yani, ia sedang tak bersama Yayu. Istrinya tersebut tak ada di rumah. Ada yang menyebut, Yayu ngambek kepada Yani gara-gara kedekatan suaminya dengan perempuan lain. Namun, menurut Julius Pour dalam "Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang" (2010), di malam naas itu Yayu sedang tirakatan di rumah dinas resmi Menpangad di Jalan Suropati, Menteng, Jakarta Pusat dengan "alasan" hari itu adalah hari ulang tahunnya.
Seperti halnya Yayu, setelah Yani gugur pada subuh 1 Oktober 1965, Khadijah pun menjadi janda. Amelia Yani, salah satu putri Ahmad Yani pernah berbicara mengenai isu kedekatan ayahnya dengan perempuan lain kepada Tempo 30 September 2002, “Saya rasa wajar saja kalau Bapak punya affair karena Bapak itu orangnya ganteng sekali.” ujar Amelia.
Tentu saja, Amelia tak berlebihan mengomentari pesona ayahnya. Salah satu daya tarik Yani di mata kaum wanita terletak pada penampilan fisiknya. Ia tak hanya punya badan yang tegap, namun juga memiliki wajah yang sangat menarik. Belum lagi kharisma dan wibawanya sebagai pemimpin Angkatan Darat yang tentu saja disegani para prajuritnya dan banyak orang lain.
Herman Sarens Sudiro yang belakangan diketahui menikahi Khadijah pun dikenal bukan merupakan orang sembarangan di kemiliteran. Sebagai tentara, Herman yang waktu itu masih aktif juga punya penampilan yang parlente. Pada 1967, pangkatnya sudah melampaui Letnan Kolonel. Sementara pangkat terakhir Herman adalah Brigadir Jenderal.
Ketika Khadijah menjadi istri muda Yani, Herman, yang pernah jadi Staf Umum di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) pada 1962 merupakan perwira bawahan Yani. Soal kawin, selain dengan Khadijah, Herman pernah kawin dengan Tinawati, Rieke, juga Theresa Bleszynski. Perempuan yang disebut terakhir adalah kakak tiri artis Tamara Bleszynski.
Tetapi tidak hanya Yani yang diketahui Kecik tersangkut affair dengan perempuan lain. Seorang kawan Yani sejak zaman sekolah di Jakarta, Taswin Almalik Natadiningrat (belakangan jadi Letnan Jenderal TNI), pun juga dikenal sebagai womanizer.
“Taswin mempunyai sexual orientation yang sama dengan Yani. Ia meninggalkan istri tuanya untuk kawin dengan perempuan China,” tulis Kecik di Pemikiran Militer 2.
Pada zaman Orde Baru, poligami pejabat merupakan masalah serius. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 melarang abdi negara berpoligami. Diperkirakan, adanya aturan ini merupakan berkat bisikan Ny. Tien Soeharto. Ibu Negara di masa kepresidenan Soeharto itu kepada Presiden Soeharto.
Abdul Gofur dalam buku "Ibu Tien Soeharto dalam Pandangan dan Kenangan Para Wanita" (1996), menyebut Ny. Tien Soeharto sebagai“inspirasi bagi undang-undang anti poligami.”
Tapi di masa Orde Baru itu, tetap saja ada desas-desus tentang kehidupan para perwira dan pejabat elit yang mengawini lebih dari satu wanita. Namun dalam kondisi yang penuh kekangan kepada pers, desas-desus itu tidak banyak mendapatkan tempat. Dan barulah setelah 1998 informasi tentang hal itu dengan leluasa menjadi obrolan di media dan milis-milis.
(dari berbagai sumber)
Soe Hok Gie, mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Indonesia yang legendaris itu, pernah menuliskan secara rinci mengenai kehidupan hedonisme para pejabat di tingkat elit zaman Orde Lama.
“Tiap minggu diadakan pesta-pesta yang dekaden di Istana dengan ngomong cabul dan perbuatan-perbuatan cabul,” coret Soe Hok Gie sekitar 1966 dalam buku harian yang dibukukan menjadi Catatan Seorang Demonstran (1983).
Letnan Jenderal Ahmad Yani, yang sejak 1962 menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat dan menjadi salah satu orang di Ring 1 Presiden Soekarno dengan jabatan Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad), di mata Soe Hok Gie sebenarnya bukan tipe orang yang mata keranjang. Dalam catatannya pada sekitar 1962, Hok Gie menuliskan bahwa Yani pernah membuat sebuah “peraturan yang melarang prajurit-prajurit Angkatan Darat (AD) mengambil istri kedua (berpoligami) tanpa izin komandan dan istri pertama”.
Tentu saja banyak orang di lingkaran Presiden Soekarno yang tidak senang dengan aturan yang dibuat Yani. Menurut penuturan Hok Gie, Yani kemudian dipancing lewat perempuan. Menurut Hario Kecik dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia (2010), Yani punya kelemahan dalam urusan satu ini. Dan ternyata, Yani terpancing dan memakan "umpan".
Maka Yani pun mengesampingkan Yayu Rulia Sutowiryo, istrinya yang menemani perjuangan Yani sejak zaman perang revolusi kemerdekaan dulu. Apa sebab?
“Karena Yani mulai berpacaran dengan siswi SMA,” tulis Kecik. “Akhirnya ia memelihara istri muda,” kata Gie. Kemungkinan ia menikah di bawah tangan dengan gadis yang masih duduk di bangku SMA itu.
Namun Kecik maupun Gie tidak merinci identitas gadis SMA yang jadi istri muda Yani tersebut. Dan juga tak dijelaskan bagaimana prosesnya hingga kemudia sang pahlawan revolusi kawin dengan siswi SMA tersebut. Namun berdasarkan penelusuran, kemungkinan besar hal itu terjadi ketika Yani menjabat Menpangad. Posisi itu yang membuatnya dekat dengan kawan-kawan Presiden Soekarno yang tak jauh dari wanita-wanita cantik.
Pada 25 Januari 2010, Majalah Tempo dalam artikel "Akhir Perburuan Jenderal Licin" pernah membahas kelanjutannya. “Pada 1967, Herman [Sarens Sudiro] menikahi janda kedua Achmad Yani, Khadijah,” demikian terpapar dalam artikel tersebut. Maka, nama siswi SMA yang menjadi istri kedua Yani adalah Khadijah.
Kecik, dalam bukunya yang lain, Pemikiran Militer 4: Bangsa Indonesia Abad 21 (2009), “Jenderal Abdul Haris Nasution, yang anti-poligami, (mempunyai hubungan yang) tegang dengan Letnan Jenderal Ahmad Yani dan (Presiden) Soekarno.” Yani dan Soekarno tentu saja satu kubu. Bukan lagi pendukung, tapi sudah menjadi pelaku. Dan ini tentu saja membuat Nasution yang anti main perempuan dan setia dengan istri yang selalu mendampinginya, Johana, sinis dan gondok.
“Nasution terang-terangan anti-poligami dan mempertunjukannya dengan tegas dalam tindakan terhadap seorang perwira menengahnya yang menjalankan poligami dengan menonaktifkan dari jabatannya. Perwira (yang diberhentikan Nasution) tersebut adalah Letnan Kolonel Dahyar dari jajaran Divisi Siliwangi,” tulis Kecik dalam Pemikiran Militer 2.
Bagi Kecik, kelakuan Jenderal-jenderal playboy ini dia samakan dengan perilaku Presiden Soekarno yang doyan mempunyai istri lebih dari satu.
Pada Kamis malam 30 September 1965 yang menjadi malam naas sekaligus malam terakhir dalam hidup Yani, ia sedang tak bersama Yayu. Istrinya tersebut tak ada di rumah. Ada yang menyebut, Yayu ngambek kepada Yani gara-gara kedekatan suaminya dengan perempuan lain. Namun, menurut Julius Pour dalam "Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang" (2010), di malam naas itu Yayu sedang tirakatan di rumah dinas resmi Menpangad di Jalan Suropati, Menteng, Jakarta Pusat dengan "alasan" hari itu adalah hari ulang tahunnya.
Seperti halnya Yayu, setelah Yani gugur pada subuh 1 Oktober 1965, Khadijah pun menjadi janda. Amelia Yani, salah satu putri Ahmad Yani pernah berbicara mengenai isu kedekatan ayahnya dengan perempuan lain kepada Tempo 30 September 2002, “Saya rasa wajar saja kalau Bapak punya affair karena Bapak itu orangnya ganteng sekali.” ujar Amelia.
Tentu saja, Amelia tak berlebihan mengomentari pesona ayahnya. Salah satu daya tarik Yani di mata kaum wanita terletak pada penampilan fisiknya. Ia tak hanya punya badan yang tegap, namun juga memiliki wajah yang sangat menarik. Belum lagi kharisma dan wibawanya sebagai pemimpin Angkatan Darat yang tentu saja disegani para prajuritnya dan banyak orang lain.
Herman Sarens Sudiro yang belakangan diketahui menikahi Khadijah pun dikenal bukan merupakan orang sembarangan di kemiliteran. Sebagai tentara, Herman yang waktu itu masih aktif juga punya penampilan yang parlente. Pada 1967, pangkatnya sudah melampaui Letnan Kolonel. Sementara pangkat terakhir Herman adalah Brigadir Jenderal.
Ketika Khadijah menjadi istri muda Yani, Herman, yang pernah jadi Staf Umum di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) pada 1962 merupakan perwira bawahan Yani. Soal kawin, selain dengan Khadijah, Herman pernah kawin dengan Tinawati, Rieke, juga Theresa Bleszynski. Perempuan yang disebut terakhir adalah kakak tiri artis Tamara Bleszynski.
Tetapi tidak hanya Yani yang diketahui Kecik tersangkut affair dengan perempuan lain. Seorang kawan Yani sejak zaman sekolah di Jakarta, Taswin Almalik Natadiningrat (belakangan jadi Letnan Jenderal TNI), pun juga dikenal sebagai womanizer.
“Taswin mempunyai sexual orientation yang sama dengan Yani. Ia meninggalkan istri tuanya untuk kawin dengan perempuan China,” tulis Kecik di Pemikiran Militer 2.
Pada zaman Orde Baru, poligami pejabat merupakan masalah serius. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 melarang abdi negara berpoligami. Diperkirakan, adanya aturan ini merupakan berkat bisikan Ny. Tien Soeharto. Ibu Negara di masa kepresidenan Soeharto itu kepada Presiden Soeharto.
Abdul Gofur dalam buku "Ibu Tien Soeharto dalam Pandangan dan Kenangan Para Wanita" (1996), menyebut Ny. Tien Soeharto sebagai“inspirasi bagi undang-undang anti poligami.”
Tapi di masa Orde Baru itu, tetap saja ada desas-desus tentang kehidupan para perwira dan pejabat elit yang mengawini lebih dari satu wanita. Namun dalam kondisi yang penuh kekangan kepada pers, desas-desus itu tidak banyak mendapatkan tempat. Dan barulah setelah 1998 informasi tentang hal itu dengan leluasa menjadi obrolan di media dan milis-milis.
(dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment