Kita mungkin susah mempercayai bahwa di negara kita yang bersemboyan "Bhinneka Tunggal Ika" (berbeda-beda tapi tetap satu jua) kita masih melihat terjadinya tragedi kemanusiaan. Belum lama ini hati kita tercabik-cabik mendengar kabar gadis kecil berusia belum genap 3 tahun, Intan Olivia Banjarnahor harus kehilangan nyawanya akibat (maaf) dijadikan "tumbal" oleh mereka yang menyebut dirinya berjihad dan mencari surga.
Intan menjadi korban pelemparan dan peledakan bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda yang dilakukan secara sengaja oleh Jo, yang ternyata merupakan anggota jaringan teroris Pepi Fernando dan sebelumnya pernah menjadi narapidana terorisme.
Tak lama setelah kejadian ini, juga terjadi pelemparan bom molotov di Vihara Budi Dharma, Singkawang, Kalimantan Barat. Kita semua merasakan kesedihan yang teramat mendalam. Berulang kali kita harus memeriksa diri kita sendiri, sedemikian kejinya kah kita? Sebegitu kejinya kah umat beragama?
KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam bukunya "Saleh Sosial Saleh Ritual" dengan sangat kontemplatif atau bahkan intuitif, menyindir dengan sangat halus namun menusuk mengenai perilaku beragama kita di Indonesia yang seringkali masih sangat kekanak-kanakkan-untuk menghindari kata "ingusan".
Dikatakan bahwa kita masih cenderung ndeso dan primitif dalam beragama. Cenderung tekstualis dan konservatif. Orang yang berbeda dengan kita berarti musuh yang harus kita perangi, yang harus dilawan, yang harus diberangus, yang harus dibinasakan, dan harus dimusnakkan kalau perlu sampai tak bersisa sama sekali.
Walau buku tersebut diterbitkan pada tahun 1990an, namun pada saat ini isi tulisan buku tersebut masih sangat relevan dengan keadaan pola keberagaman kita. Tulisan atau renungan Gus Mus-kah yang melampaui zaman hingga menembus ruang dan waktu, ataukah kita memang tidak pernah bisa beranjak untuk dewasa
Nampaknya, pilihan kedua adalah gambaran utuh pola keberagaman kita. Hingga saat ini kita masih juga belum bisa menjadi umat yang dewasa. Umat yang bisa menghargai perbedaan, umat yang menjadikan perbedaan sebagai sebagai bahan baku persatuan: unity in diversity. Umat yang pada tingkat adiluhung menjadikan perbedaan sebagai rahmat.
Untuk sebaris pertanyaan, "bukankah Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin?" Pada saat ini, realitasnya tidak bisa kita jawab secara tegas, padahal secara teoritis amat mudah menjawabnya. Kredo agama Islam memang rahmatan lil alamin. Namun, namun apabila kita pindahkan kredo tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka dengan jujur dan sangat berat hati kita mengatakan dan mengakui bahwa perilaku kita belum mencerminkan profil yang kehadirannya mengasihi sesama
Bagaikan sebuah surau yang roboh
Sastrawan AA Navis dalam novelnya "Robohnya Surau Kami" dengan cerdas menyindir bahwa kondisi (dalam menyikapi) keberagaman di kalangan masyarakat kita memang masih sangat primitif. Sama primitifnya dengan Haji Soleh, tokoh utama dalam cerita novel tersebut yang memiliki pemahaman bahwa yang penting dalam hidup manusia adalah kesalehan ritual, yaitu jenis kesalehan yang takarannya bersandar kepada seberapa taat hamba dalam menjalankan sholat 5 waktu, puasa, zakat, seberapa panjang zikir-zikir sesudah shalat, dan seberapa intens shalat-shalat sunat dia kerjakan.
Menurut pandangan Haji Soleh, kesalehan itu ditentukan oleh urusan legal-formal ritualistik. Orang dikatakan beragama dengan baik jika shalat, zikir, puasa atau ibadah hajinya berkali-kali. Sebuah cara pandang yang bersifat kuantitatif. Agama dihadirkan sebagai sebuah entitas yang kalkulatif dan hitung-hitungan. Pemahaman seperti ini tentu saja pemahaman yang hitam putih. Pendekatannya selalu transaksional. Kita menyetorkan apa kepada Tuhan, maka Tuhan akan membalas dengan setimpal. Itulah gambaran umumnya pendekatan ini.
Pada alas yang paling mengkhawatirkan, pada suatu saat cara pandang beragama seperti ini akan melahirkan sebuah pemahaman yang keliru: ritus ibadah dijadikan sebagai ukuran atau output dalam menilai tingkat serta kualitas kesalehan seseorang.
Dalam pemikiran seperti ini, orang dikatakan saleh jika ia selalu berdiam dan sepanjang hari berada di masjid meskipun pada saat bersamaan di lingkungannya sedang ada kerja bakti sosial membersihkan selokan. Orang dikategorikan sebagai Muslim yang taat jika shalatnya tidak pernah bolong-bolong. Bahkan pada tingkat yang paling konyol, bawah sadar masyarakat kita pelan-pelan masuk ke dalam lubang pemahaman bahwa tanda purnanya kemusliman seseorang terletak pada seberapa hitam jidatnya. Ini merupakan persoalan yang rumit dalam hemat saya.
Pada titik ini saya ingin mengatakan bahwa akar radikalisme, eksklusivisme, menolak liyan, dan terorisme berpangkal dari pandangan beragama yang sebagaimana saya sebutkan di atas, yang tidak kunjung beranjak dari kesalehan ritual. Dari sinilah sesungguhnya di kemudian hari lahirlah pemahaman-pemahaman keliru lainnya: jihad, kafir, toghut, dan lain sebagainya. Dan itu semua bermula dari cita-cita paripurna:menjadi Muslim yang baik.
Redefinisi Kebaikan
Mengutip pandangan Taman Hassan (2008) dalam Al Quran setidaknya memuat 5 istilah yang dalam bahasa kita sama-sama diterjemahkan sebagai kebaikan. Istilah tersebut antara lain: al-khoir, al-ma'ruf, al-birr, al-ihsan dan as-sholeh. Kelima kata atau istilah tersebut semuanya diterjemahkan sebagai kebaikan dalam bahasa Indonesia. Padahal, pada tingkat aplikatif, masing-masing diantara satu sama lain memiliki nuansa dan dimensi yang berbeda.
Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (2011), al-khoir adalah kebaikan yang murni dari Allah. Al-ma'ruf: kebaikan dalam wilayah sosial. Al-birr: kebaikan pada diri seseorang untuk menjadi lebih baik. Al-ihsan: kebaikan yang sesungguhnya bukan kewajiban bagi kita, melainkan kita bersedia untuk melakukannya. As-sholeh: kebaikan yang diterapkan dalam semua aspek kehidupan, meliputi ranah sosial, politik, dan juga budaya.
Pada konteks kehidupan sosial beragama pada masyarakat majemuk seperti Indonesia saat ini yang kita butuhkan adalah transformasi dari kebaikan al-khoir, al-ma'ruf, al-birr menjadi kebaikan al-ihsan dan as-sholeh. Kebaikan yang bersifat Individual menjadi kebaikan yang sosial.
Sebuah contoh yang baik pernah diberikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika terjadi peristiwa fatkhu Makkah (penaklukan kota Makkah). Pasukan Muslim yang berhasil menaklukkan kaum kafir dan melucuti senjatanya justru oleh Nabi tidak disakiti melainkan Nabi membebaskan mereka. Dalam konteks ini, yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah kebaikan kategori al-ihsan. Kebaikan yang dilakukan, padahal tidak ada tuntutan dan kewajiban baginya untuk melakukan hal itu.
Di lain waktu, Rasullulah juga memberikan contoh bahwa umat Islam harus menghargai kemajemukan dan pluralitas sebagaimana yang dipraktikkan ketika mencetuskan piagam Madinah.
Menurut Robert N Bellah, Piagam Madinah adalah konsensus tertua, kontrak sosial paling purba yang sangat modern. Piagam kesepakatan ini tidak mungkin dihasilkan jika antara umat satu dan umat lain tidak sama-sama bersemangat untuk membangun kebaikan. Muslim yang baik adalah Muslim yang menjadikan segala ritus ibadahnya sebagai bahan bakar yang diwujudkan dalam bentuk kebaikan sosialnya.
Alakullihal, dan untuk Intan, tidurlah dengan tenang disana. Kami akan selalu bersamamu.
("Jadi Umat Beragama Yang Baik" oleh A Helmy Faishal Zaini-Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, halaman 6 Harian Kompas, Sabtu 19 November 2016)
Intan menjadi korban pelemparan dan peledakan bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda yang dilakukan secara sengaja oleh Jo, yang ternyata merupakan anggota jaringan teroris Pepi Fernando dan sebelumnya pernah menjadi narapidana terorisme.
Tak lama setelah kejadian ini, juga terjadi pelemparan bom molotov di Vihara Budi Dharma, Singkawang, Kalimantan Barat. Kita semua merasakan kesedihan yang teramat mendalam. Berulang kali kita harus memeriksa diri kita sendiri, sedemikian kejinya kah kita? Sebegitu kejinya kah umat beragama?
KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam bukunya "Saleh Sosial Saleh Ritual" dengan sangat kontemplatif atau bahkan intuitif, menyindir dengan sangat halus namun menusuk mengenai perilaku beragama kita di Indonesia yang seringkali masih sangat kekanak-kanakkan-untuk menghindari kata "ingusan".
Dikatakan bahwa kita masih cenderung ndeso dan primitif dalam beragama. Cenderung tekstualis dan konservatif. Orang yang berbeda dengan kita berarti musuh yang harus kita perangi, yang harus dilawan, yang harus diberangus, yang harus dibinasakan, dan harus dimusnakkan kalau perlu sampai tak bersisa sama sekali.
Walau buku tersebut diterbitkan pada tahun 1990an, namun pada saat ini isi tulisan buku tersebut masih sangat relevan dengan keadaan pola keberagaman kita. Tulisan atau renungan Gus Mus-kah yang melampaui zaman hingga menembus ruang dan waktu, ataukah kita memang tidak pernah bisa beranjak untuk dewasa
Nampaknya, pilihan kedua adalah gambaran utuh pola keberagaman kita. Hingga saat ini kita masih juga belum bisa menjadi umat yang dewasa. Umat yang bisa menghargai perbedaan, umat yang menjadikan perbedaan sebagai sebagai bahan baku persatuan: unity in diversity. Umat yang pada tingkat adiluhung menjadikan perbedaan sebagai rahmat.
Untuk sebaris pertanyaan, "bukankah Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin?" Pada saat ini, realitasnya tidak bisa kita jawab secara tegas, padahal secara teoritis amat mudah menjawabnya. Kredo agama Islam memang rahmatan lil alamin. Namun, namun apabila kita pindahkan kredo tersebut dalam kehidupan sehari-hari, maka dengan jujur dan sangat berat hati kita mengatakan dan mengakui bahwa perilaku kita belum mencerminkan profil yang kehadirannya mengasihi sesama
Bagaikan sebuah surau yang roboh
Sastrawan AA Navis dalam novelnya "Robohnya Surau Kami" dengan cerdas menyindir bahwa kondisi (dalam menyikapi) keberagaman di kalangan masyarakat kita memang masih sangat primitif. Sama primitifnya dengan Haji Soleh, tokoh utama dalam cerita novel tersebut yang memiliki pemahaman bahwa yang penting dalam hidup manusia adalah kesalehan ritual, yaitu jenis kesalehan yang takarannya bersandar kepada seberapa taat hamba dalam menjalankan sholat 5 waktu, puasa, zakat, seberapa panjang zikir-zikir sesudah shalat, dan seberapa intens shalat-shalat sunat dia kerjakan.
Menurut pandangan Haji Soleh, kesalehan itu ditentukan oleh urusan legal-formal ritualistik. Orang dikatakan beragama dengan baik jika shalat, zikir, puasa atau ibadah hajinya berkali-kali. Sebuah cara pandang yang bersifat kuantitatif. Agama dihadirkan sebagai sebuah entitas yang kalkulatif dan hitung-hitungan. Pemahaman seperti ini tentu saja pemahaman yang hitam putih. Pendekatannya selalu transaksional. Kita menyetorkan apa kepada Tuhan, maka Tuhan akan membalas dengan setimpal. Itulah gambaran umumnya pendekatan ini.
Pada alas yang paling mengkhawatirkan, pada suatu saat cara pandang beragama seperti ini akan melahirkan sebuah pemahaman yang keliru: ritus ibadah dijadikan sebagai ukuran atau output dalam menilai tingkat serta kualitas kesalehan seseorang.
Dalam pemikiran seperti ini, orang dikatakan saleh jika ia selalu berdiam dan sepanjang hari berada di masjid meskipun pada saat bersamaan di lingkungannya sedang ada kerja bakti sosial membersihkan selokan. Orang dikategorikan sebagai Muslim yang taat jika shalatnya tidak pernah bolong-bolong. Bahkan pada tingkat yang paling konyol, bawah sadar masyarakat kita pelan-pelan masuk ke dalam lubang pemahaman bahwa tanda purnanya kemusliman seseorang terletak pada seberapa hitam jidatnya. Ini merupakan persoalan yang rumit dalam hemat saya.
Pada titik ini saya ingin mengatakan bahwa akar radikalisme, eksklusivisme, menolak liyan, dan terorisme berpangkal dari pandangan beragama yang sebagaimana saya sebutkan di atas, yang tidak kunjung beranjak dari kesalehan ritual. Dari sinilah sesungguhnya di kemudian hari lahirlah pemahaman-pemahaman keliru lainnya: jihad, kafir, toghut, dan lain sebagainya. Dan itu semua bermula dari cita-cita paripurna:menjadi Muslim yang baik.
Redefinisi Kebaikan
Mengutip pandangan Taman Hassan (2008) dalam Al Quran setidaknya memuat 5 istilah yang dalam bahasa kita sama-sama diterjemahkan sebagai kebaikan. Istilah tersebut antara lain: al-khoir, al-ma'ruf, al-birr, al-ihsan dan as-sholeh. Kelima kata atau istilah tersebut semuanya diterjemahkan sebagai kebaikan dalam bahasa Indonesia. Padahal, pada tingkat aplikatif, masing-masing diantara satu sama lain memiliki nuansa dan dimensi yang berbeda.
Meminjam istilah Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun (2011), al-khoir adalah kebaikan yang murni dari Allah. Al-ma'ruf: kebaikan dalam wilayah sosial. Al-birr: kebaikan pada diri seseorang untuk menjadi lebih baik. Al-ihsan: kebaikan yang sesungguhnya bukan kewajiban bagi kita, melainkan kita bersedia untuk melakukannya. As-sholeh: kebaikan yang diterapkan dalam semua aspek kehidupan, meliputi ranah sosial, politik, dan juga budaya.
Pada konteks kehidupan sosial beragama pada masyarakat majemuk seperti Indonesia saat ini yang kita butuhkan adalah transformasi dari kebaikan al-khoir, al-ma'ruf, al-birr menjadi kebaikan al-ihsan dan as-sholeh. Kebaikan yang bersifat Individual menjadi kebaikan yang sosial.
Sebuah contoh yang baik pernah diberikan oleh Nabi Muhammad SAW ketika terjadi peristiwa fatkhu Makkah (penaklukan kota Makkah). Pasukan Muslim yang berhasil menaklukkan kaum kafir dan melucuti senjatanya justru oleh Nabi tidak disakiti melainkan Nabi membebaskan mereka. Dalam konteks ini, yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah kebaikan kategori al-ihsan. Kebaikan yang dilakukan, padahal tidak ada tuntutan dan kewajiban baginya untuk melakukan hal itu.
Di lain waktu, Rasullulah juga memberikan contoh bahwa umat Islam harus menghargai kemajemukan dan pluralitas sebagaimana yang dipraktikkan ketika mencetuskan piagam Madinah.
Ilustrasi kerukunan hidup antar umat beragama |
Alakullihal, dan untuk Intan, tidurlah dengan tenang disana. Kami akan selalu bersamamu.
("Jadi Umat Beragama Yang Baik" oleh A Helmy Faishal Zaini-Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, halaman 6 Harian Kompas, Sabtu 19 November 2016)
No comments:
Post a Comment