Akhir-akhir ini, Majelis Ulama Indonesia menjadi bahan pemberitaan karena "fatwa" mengenai Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal dengan nama sapaan beken Ahok.
Nah, belum tuntas isu tersebut, sebuah pemberitaan lama mengenai MUI kembali mencuat di media sosial yang bersinggungan dengan profesi advokat atau pengacara.
Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Ikhsan Abdullah menyatakan bahwa jasa hukum yang diberikan oleh
advokat atau konsultan hukum termasuk sebagai produk jasa yang wajib
bersertifikat halal.
Menurut Ikhsan, hal tersebut sejalan dengan UU Nomor 33
Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pernyataan Ikhsan memang belum bisa
dikatakan sebagai sikap MUI secara resmi, karena di internal MUI masih terdapat
silang pendapat.
Meskipun belum menjadi sikap resmi MUI, pernyataan Ikhsan
langsung panen kritik dari kalangan advokat.
Menurut Sekretaris Jenderal Perhimpunan
Advokat Indonesia (PERADI) kepengurusan Juniver Girsang, Hasanudin Nasution, sikap MUI ini dinilai sangat sembrono ketika menetapkan jasa hukum mesti
bersertifikat halal. Dirinya pun tidak habis pikir dan geleng-geleng kepala saat membayangkan ketika jasa
hukum yang diberikan advokat mesti diukur aspek halal atau tidak halalnya.
|
Pengambilan sumpah advokat (foto: hukumonline.com) |
“Menurut saya, MUI jangan sembrono juga menempatkan bahwa
bisa mengukur jasa hukum. Bagaimana mengukur jasa advokat ketika berperkara di
pengadilan lalu kemudian itu di-certified menjadi halal atau tidak halal? Kalau
tidak halal, itu pasti bermasalah. Tapi kalau disebut halal, bagaimana juga dia
mengukur halalnya?” katanya Rabu 30 Desember 2015..
Menurut Hasanudin, pnggunaan UU Jaminan Produk Halal sebagai dasar bagi pihak
MUI juga dinilai tidak tepat. Karena undang-undang
tersebut mengatur kewajiban suatu produk dan/atau jasa berupa makanan, minuman,
obat, serta kosmetik yang diwajibkan untuk bersertifikat halal. Selain itu,
produk dan jasa itu pun memiliki parameter serta alat ukur yang jelas dalam
mengukur aspek kehalalannya.
Sedangkan jasa hukum yang diberikan advokat tidak
semerta-merta bisa disamakan dengan produk dan jasa yang terkait barang untuk
dikonsumsi. Apalagi, jasa hukum yang diberikan tidaklah memiliki parameter
serta alat ukur yang sama ketika mengukur aspek halal atau tidaknya produk atau
jasa untuk barang konsumsi.
“Apa alat ukur yang digunakan? Nanti akan ada protes dari
advokat yang tidak diberikan sertifikat halal. Jadi jangan sembrono saya kira
MUI yang melihat jasa hukum dipersamakan dengan produk lain,” katanya.
Menurutnya, parameter serta alat ukur satu-satunya yang bisa
diukur dari jasa hukum yang diberikan seorang advokat hanyalah moralitas.
Lagipula, lanjut Hasanudin, baik atau buruknya moralitas yang terkandung dalam
jasa hukum yang diberikan juga tidak terlihat secara kasat mata.
“Komponen advokat yang bisa diukur hanyalah moral doang.
Jadi moral itu baik atau tidak, ngga kelihatan juga di produk yang diberikan.
Misalnya advokat kasih gugatan atau bantahan, bagaimana kita mengukurnya,”
katanya.
Ia menyayangkan sikap MUI yang seolah-olah ‘mengobok-obok’
profesi hukum yang menyebutkan kalau jasa hukum yang dilakukan advokat mesti
bersertifikat. Menurut Hasanudin, MUI masih punya segudang hal yang mesti
diteliti terkait dengan kehalalan suatu produk konsumsi yang beredar di
Indonesia.
“Saya menyayangkan sikap MUI yang menurut saya sangat tidak
cerdas. Dan ini bisa memicu konflik yang berkepanjangan dikalangan profesi
selain advokat,” tutupnya.
Turut mengkritik, Partner pada kantor SMART Legal Consulting
BP Lawyers Counselors at Law, Bimo Prasetio menjelaskan bahwa definisi ‘Produk’
dalam Pasal 1 angka 1 UU Jaminan Produk Halal tidak termasuk jasa hukum. Jika
tetap dipaksakan jasa hukum diwajibkan bersertifikat halal, dia khawatir dalam
pelaksanaannya akan ada kendala teknis, terutama dalam pemenuhan
persyaratannya.
“Belum lagi, adanya kewajiban pencantuman sertifikasi halal
pada produk. Apakah maksudnya seperti pencantuman label ISO di website, kartu
nama atau media yang dimiliki oleh suatu kantor hukum,” tambah Bimo.
Lagipula, lanjut Bimo, peraturan pelaksana dari amanat UU Jaminan
Produk Halal serta Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) juga belum
terbentuk. Atas hal itu, ia menilai pernyataan MUI itu sangat prematur. “Hingga
saat ini pun BPJPH belum ada. Dan PP terkait tipe produk halal belum
diterbitkan. Sehingga sangat prematur sekali kalau disampaikan adanya kewajiban
sertifikasi halal bagi advokat,” tukasnya.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI yang juga menjabat sebagai
Ketua Panja RUU Jaminan Produk Halal, Ledia Hanifa Amaliah mengatakan, kalau
undang-undang ini hanya difokuskan untuk produk yang dikonsumsi seperti
makanan, minuman, serta barang gunaan lainnya. “Tapi setahu saya, yang lebih
kita fokuskan itu terlebih dahulu adalah yang makanan, minuman, kosmetik, obat,
dan produk gunaan lainnya. Jadi fokus utamanya jadi kita di situ dulu,” katanya
melalui sambungan telpon.
Ia masih ingat, fokus pembahasan saat perancangan
undang-undang ini tidak sampai ke konteks jasa hukum atau jasa-jasa lainnya.
Meski begitu, soal jasa sempat dibahas juga. Namun, jasa yang dibahas dalam
Panja hanyalah jasa yang berkaitan dan berhubungan langsung dengan barang yang
dikonsumsi.
“Jadi kalau kemarin itu kita tidak sampai detail itu
konteksnya ke jasa hukum dan seterusnya ya. Sepanjang ingatan saya, kemarin itu
kita bahas diantaranya seperti restoran. Restoran itukan jasa, ketika restoran
mau dinyatakan restoran halal maka the whole component di situ harus halal,”
tutur Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Selain itu, ia juga mengatakan kalau sebetulnya dalam Pasal
4 UU Jaminan Produk Halal jelas dinyatakan kalau yang diwajibkan bersertifikat
halal adalah produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia. Atas
dasar itu, yang menjadi fokus sebetulnya bukan jasa melainkan produk.
“Di Pasal 4 disebutkan semua barang (produk) yang beredar di
Indonesia. Dan bukan jasa. Jadi fokusnya pada tahap ini kita mencoba untuk
barang-barang gunaan termasuk didahulukan karena terkait dengan konsumsi. Maka
yang didahulukan itunya (konsumsi yang berkaitan dengan ibadah yang diterima
atau tidak, red) dulu,” tandasnya
Bagaimana menurut Anda?
(hukumonline.com)