Banyak pria muda Saudi yang mengenakan jubah putih khas berbondong-bondong mendatangi sebuah Jobs Fair yang diadakan di aula sebuah universitas di ibukota Riyadh pada bulan Februari 2016 ini. Mereka antri untuk mendaftarkan diri kepada perusahaan-perusahaan yang menawarkan lowongan pekerjaan.
Itu salah satu dari tiga job fair di yang diadakan di Riyadh dalam dua minggu di bulan Feruari 2016 ini. Job Fair ini menyedot perhatian banyak kalangan, khususnya para kaum pria muda Arab Saudi yang selalu memenuhi acara ini karena didorong oleh kekhawatiran mengenai masa depan minyak dimana di negara Kerajaan ini, minyak adalah sumber dari segalanya. Nah, "sumber" ini kini sedang terkapar karena harga minyak yang terus mengalami penurunan.
|
Kaum pria Arab Saudi sedang menikmati makan siang di sebuah restoran di Al Faisaliah Tower di Riyadh, salah satu penanda kemakmuran Arab Saudi |
Selama beberapa dekade, pihak kerajaan telah menggunakan kekayaan minyak untuk memanjakan rakyatnya seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis, subsidi energi dan lain-lain. Rakyat pun tidak diharuskan membayar pajak.
Namun penurunan harga minyak hingga di bawah US$ 30 per barel dari sebelumnya lebih dari $ 100 per barel pada Juni 2014 secara matematis menghantarkan Arab Saudi ke dalam kekhawatiran besar. Jatuhnya harga minyak ini jelas-jelas amat memukul anggaran pemerintah Kerajaan Arab Saudi, dan membuat tatanan sosial dan ekonomi negara menjadi rentan kolaps.
Dampak pelemahan harga minyak pun kini telah terasa. Banyak proyek-proyek pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang tertunda. Pengetatan anggaran pun dilakukan di berbagai badan-badan pemerintah dan pos-pos pengeluaran lainnya. Pihak pemerintah Kerajaan Arab Saudi kini sedang dilanda perdebatan panjang di kalangan para pejabat Kerajaan untuk mempertimbangkan hal-hal yang sebelumnya haram untuk dilakukan seperti menarik pajak dari rakyat dan bahkan menjual saham Saudi Aramco, perusahaan minyak raksasa milik pemerintah Arab Saudi yang dianggap sebagai perusahaan (energi) yang nilainya paling besar dan paling "seksi" di dunia.
Sebelumnya, pada Selasa, 16 Februari 2016 pihak Arab Saudi telah mengajukan sebuah proposal untuk disetujui bersama dengan Rusia, Qatar dan Venezuela untuk mempertahankan tingkat produksinya demi menstabilkan harga minyak dunia. Namun ekefektifannya diragukan khususnya apabila negara-negara lain, seperti Iran dan Irak, menolak untuk mengikutinya.
Terus terpuruknya harga minyak, ini memukul dunia bisnis di Kerajaan Arab Saudi. Sebanyak 70% pekerja di Arab Saudi adalah pegawai negeri dan militer, sedang sisa 30% merupakan pekerja swasta dimana sektor ini hampir 100% mempekerjakan warga negara asing. Bagi kaum muda Arab Saudi yang berusia dibawah 30 tahun, mau tak mau mereka harus bersaing keras untuk bisa bekerja di perusahaan swasta atau badan milik pemerintah. Mereka dihinggapi rasa khawatir mengenai kemungkinan mereka akan harus bekerja lebih keras dari orang tua mereka, menikmati kurangnya kenyamanan dalam bekerja dan menerima gaji serta tunjangan yang lebih sedikit.
"Untuk generasi tua, itu mudah," kata Abdulrahman Alkhelaifi, 20, pelayan sebuah gerai restoran cepat saji McDonald's. "Dahulu saat lulus dari universitas dan mereka bisa mendapatkan pekerjaan di badan-badan pemerintah. Sekarang Anda perlu gelar yang lebih tinggi (untuk bersaing mendapatkan kerja di sektor swasta.". Ia menambahkan, "Bagi generasi muda seperti kami, tuntutan hidup sudah pasti menjadi semakin berat", ujarnya sambil memeragakan gerakan memotong leher.
Sulit untuk tidak mengabaikan bahwa betapa pentingnya peran minyak dalam perkembangan ekonomi dan peradaban di Arab Saudi. Selama beberapa dekade, negara ini berkembang amat pesat dan makmur bagi sekitar 21 juta warganya. Kota-kota penuh dengan gedung pencakar langit, jalanan dipadati oleh banyak kendaraan roda empat yang mulus.
Kekayaan karena minyak juga memungkinkan keluarga penguasa Al Saud untuk mempertahankan cengkeramannya pada kekuasaan, memainkan pengaruh luar negeri melalui diplomasi buku cek (sumbangan atau hibah bagi negara lain) dan berinvestasi miliaran dolar dalam mempromosikan sebuah image Islam yang kaya dan jaya di seluruh dunia.
Hal itu dimungkinkan karena boom (melambungnya harga) minyak selama dekade terakhir. Hal ini amat berampak positif secara masif bagi kehidupan rakyat Arab Saudi yang ditandai dengan meroketnya tingkat pendapatan per kapita rakyatnya.
Namun, semua kejayaan ini dalam waktu singkat diperkirakan akan segera kolaps karena kondisi perekonomian Arab Saudi berupa pendapatan pemerintah Kerajaan Arab Saudi 90% berasal dari minyak sehingga fundamental ekonomi menjadi kurang terstruktur. Dan sekali lagi, seperti yang telah disebutkan diatas, 70% dari jumlah pekerja di merupakan pegawai pemerintah dan sisanya bekerja pada sektor swasta yang sebagian besarnya merupakan para pekerja asing pada perusahaan investasi asing di Arab Saudi. Parahnya lagi, kebanyakan sektor swasta ini masih sangat bergantung pada belanja pemerintah.
Apabila tidak ada terobosan dan kemajuan dalam bidang pendidikan di negara ini, maka gaung ancaman akan eksistensi kerajaan ini terdengar semakin keras sehingga mau tak mau, kehidupan masyarakat menjadi tertekan karena harus bekerja lebih dan sangat keras. Kebanyakan insinyur dan pekerja kesehatan di Arab Saudi adalah orang asing. Parahnya lagi, seperti hanya para PNS di Indonesia, para pegawai pemerintah di Arab Saudi kerap pulang kantor sebelum jam kerja mereka resmi usai.
Dengan nilai pendapatan dari minyak yang terus menukik dan jumlah kaum muda berusia produktif yang semakin bertambah dari hari ke hari, berpotensi menambah jumlah pengangguran secara masif karena pekerjaan-pekerjaan menjadi lebih sulit untuk didapatkan karena pemerintah memotong biaya ini itu dan mendorong perekonomian Arab Saudi untuk dikuasai oleh swasta, di mana keamanan kerja (pensiun) dan gaji yang diterima oleh pekerja swasta lokal lebih rendah dari rata-rata pendapatan pegawai negeri. Sudah pasti, tidak ada uang pensiun bagi para pekerja di sektor swasta.
"Ada masalah dengan keberlanjutan model ekonomi di Arab Saudi, dan penurunan harga minyak dapat dilihat sebagai peringatan untuk waspada dan bekerja keras," kata Fahad Alturki, kepala ekonom di Jadwa Investment di Riyadh.
Alturki menambahkan Arab Saudi masih memiliki ruang untuk bermanuver berkat cadangan devisa yang masih banyak, rendahnya tingkat utang terhadap obligasi masyarakat, dan banyak infrastruktur baru yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi. Namun, apabila semua perhitungan ini gagal, maka mau tak mau Arab Saudi harus berhutang kepada luar negeri dalam jumlah besar.
Tekanan ekonomi bagi Arab Saudi pun datang dari kekacauan politik di Timur Tengah dan dari perubahan generasi pada keluarga kerajaan.
Ujung tombak kebijakan ekonomi Pangeran Mohammed bin Salman, yang ayahnya, Raja Salman, yang oleh para anggota keluarga kerajaan lainnya dianggap semena-mena dalam membuat kebijakan mendorong timbulnya pertikaian yang jelas dan terselubung di antara para anggota keluarga kerajaan lainnya.
Pangeran Mohammed, yang juga menteri pertahanan dan merupakan pewaris kedua di garis takhta, telah memerintahkan untuk menyerang Yaman melalui aksi muliter dan berbicara tentang perubahan radikal terhadap perekonomian, seperti menaikkan harga BBM, mengenakan pajak atas tanah yang belum dikembangkan dan beberapa barang-barang konsumsi, dan privatisasi perusahaan yang dikelola negara.
Pada saat yang sama, Pemerintah Arab Saudi tidak terbiasa bertindak cepat dan berpikir berani untuk melakukan perubahan. Perubahan cenderung untuk diperkenalkan secara bertahap. Sifat budaya itulah yang menjadi hambatan dalam memenuni tantangan ekonomi, politik dan demografi.
Para ekonom mengatakan bahwa setidaknya setiap tahun negara mengalami pertambahan jumlah warga berusia produktif sebanyak lebih dari 250.000 per tahunnya. Nah, untuk menjadikan mereka ini efisien dalam demografi perekonomian masa kini merupakan sebuah tantangan besar.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah telah mendorong untuk menambah jumlah lapangan pekerjaan Saudi yang lebih besar, mewajibkan perusahaan asing untuk lebih banyak merekrut tenaga kerja lokal. Kebijakan ini amat dibenci oleh perusahaan asing, karena membuat pengeluaran mereka untuk membayar gaji menjadi membengkak terlebih lagi kontribusi mereka (para pekerja lokal) dianggap sedikit. Ini tidak mengherankan karena banyak bidang pekerjaan sektor swasta di Saudi dikuasai oleh orang asing. Dan para pekerja asing ini rata-rata mendapat gaji lebih rendah daripada standar gaji para pegawai pemerintah. Bahkan perusahaan yang telah mempekerjakan banyak orang Saudi sering harus bergantung pada subsidi pemerintah.
Situasi ini bisa dilihat dalam sebuah gerai restoran McDonald's yang mempunyai fasilitas drive thru di ibukota Saudi yang mempekerjakan para pekerja lokal. Sementara mereka melakukan pekerjaan yang sama dengan orang asing (karena bekerja di perusahaan swasta) mereka mendapatkan gaji lebih banyak. Gaji untuk awak asing mulai US$ 320 per bulan, sementara para pekerja lokal Saudi ini mendapatkan US$ 1460 dimana sebagian bagian dari gaji tersebut disubsidi oleh pemerintah.
Empat pekerja McD asal Saudi yang sedang berkumpul di ruang istirahat mengatakan mereka menyukai pekerjaan mereka tetapi khawatir bahwa mereka tidak akan berhasil seperti ayah mereka, yang semuanya bekerja untuk pemerintah. Mereka tahu pemerintah bahwa pemerintah akan mengurangi subsidi dalam jumlah besar, yang berarti generasi mereka akan harus bekerja lebih keras.
"Pemerintah baik, tapi generasi kita adalah manja," kata Ahmed Mohammed (21 tahun). "Semua orang ingin pekerjaan pemerintah.". Rekan-rekannya setuju. "Semua orang ingin duduk di rumah dan dibayar," kata Alkhelaifi.
Nah, lho!
(NY Times, Manila Bulletin)