Ini adalah kisah nyata yang saya alami kemarin, Senin 15 Januari 2016. Agak lucu, namun sangat membekas karena kesannya agak-agak gila. Sebuah kegilaan di sekitar perayaan Hari Kasih Sayang yang tidak pernah saya rayakan karena "Apa manfaatnya?".
Dan disinilah saya, di Jakarta yang panas dan selalu macet. Jangan heran kalau terjebak kemacetan di Jakarta Anda akan mendengar "simfoni" klakson yang "komposisi"-nya tidak nikmat untuk didengar plus sumpah serapah para pengendara (khususnya sepeda motor) yang tak nikmat seperti suara Ari Lasso atau suara si cantik Raisa dan Isyana Sarasvati.
Terjebak kemacetan adalah sesuatu yang amat sangat dihindari oleh warga Jakarta. Namun apa lacur, Jakarta hampir selalu macet parah sepanjang hari, khususnya pada jam-jam pulang kantor (jam berangkat ke kantor tidak separah itu macetnya).
Sudah banyak studi yang dilakukan oleh para ekonom mengenai dampak kemacetan. Hitungan-hitungan mereka, setiap hari fulus sejumlah total puluhan milyar terbuang percuma di jalan (coba hitung saja berapa liter bensin dan waktu yang terbuang percuma di jalan...ngeri kan?). Singkatnya kemacetan adalah momok, dan tidak ada hal yang menyenangkan apalagi produktif yang berhubungan dengan kemacetan, kecuali bagi para pengemis dan pengamen jalanan serta pedagang asongan karena dengan sering-sering macet mereka bisa mendapatkan pendapatan yang lumayan.
Bagi saya yang lahir dan besar di Jakarta, kemacetan adalah nasib yang harus diterima. Bagi saya, mengarungi kemacetan Jakarta terasa bukan masalah besar sepanjang busway masih beroperasi.
Hari itu, 15 Februari 2016 seperti biasa saya pulang kantor bareng teman menumpang busway koridor I ke arah Blok M. Saya lebih suka naik busway ketimbang ojek online saat pulang karena seringkali bisa bertemu teman lama dan sekalian cuci mata.
Sayangnya, sore hari itu suasana busway tidak seperti biasanya. Walaupun masih jam 3 sore (saya pulang lebih cepat karena saya kerap selesaikan urusan kantor lebih cepat atau habis bertemu klien kantor di luar lalu langsung pulang) penumpang busway kali ini cukup penuh. Dan itu pun masih terjebak macet.
Entah kemacetan kali ini "diharapkan" atau "tidak diharapkan". Para penumpang yang hendak memasuki atau turun dari busway pun membutuhkan usaha ekstra karena berebutan. Kursi-kursi dalam bus pun terisi penuh plus banyak penumpang yang berdiri sambil bergelantungan di dalam bus. Kondisi seperti ini amat mendukung timbulnya banyak pelecehan terhadap perempuan yang menumpang busway TransJakarta ini.
Setelah naik dari halte Thamrin dan tidak dapat kursi, tiba-tiba saya merasa beruntung karena ada penumpang yang turun di halte Tosari sehingga saya duduk di (bekas) kursinya. Segera saja saya dan teman saya bergegas mendudukinya. Sungguh benar-benar bukan sikap laki-laki gentlemen, yang seharusnya mendahulukan wanita, anak-anak dan lansia (maklum kaki pegal dan badan terasa penyok karena pekerjaan dan lama menunggu klien di Sari Pan Pacific).
Nah, karena merasa nikmat dan akhirnya bisa menyandarkan kepala, maka saya tidak pedulikan sekeliling dan mencoba memejamkan mata (AC nya mendukung untuk tidur..hehehhe).
Abrakadabra! Saat saya membuka mata, bus sudah sampai di kawasan Senayan (maklum agak lama saya memejamkan mata dan macet pula). Tahu-tahu di depan saya yang duduk sembari terkantuk-kantuk karena AC bus yang sejuk, ada wanita cantik berdiri sembari bergelantungan. Si mbak cantik ini nampaknya masalah buat saya.
Masalahnya pakaiannya adalah kemeja putih yang cukup ketat, agak menerawang dan jelas-jelas memperlihatkan (maaf..sekali maaf) bra nya yang bermotif kulit macan tutul. Benar-benar sudah gila ini perempuan. Cara berbusananya benar-benar menabrak aturan (sudah seperti kritikus mode saja saya ini yahehehe).
Waduh, dengan memandangnya saja saya sudah seperti pelaku pelecehan yang menurut saya bisa ketahuan dari cara pandangannya dan kata orang bisa ketahuan dari wajahnya. Karena tidak ingin wajah saya dicap sebagai pelaku pelecehan (karena saya memang tidak berniat melecehkan para wanita yang ada di dunia ini), walau sebenarnya saya ingin memandang si Mbak cantik ini (namanya juga laki-laki normal), maka saya hanya bisa (pura-pura) menundukkan kepala saja sampai Blok M. Dan ini benar-benar membuat leher saya pegal setengah mati.
Sesampainya di Blok M dan menuruni tangga masuk Blok M Mall, teman saya yang saat di bus bergelantungan di samping Mbak cantik tersebut, bertanya : "Loe, lihat kagak tadi, bro?". Saya hanya mengangguk untuk menjawabnya, dan kami langsung tertawa-tawa sambil menyumpah "Gila...benar-benar gila". Jarang-jarang sekali saya yang merupakan lelaki baik-baik (ini benar, lho) melihat "pemandangan menakutkan bin menakjubkan" seperti itu.
Sekarang setiap saya melihat jemuran pakaian dalam si Ida, tetangga di depan rumah yang cantik dan akrab dengan saya, rasanya seperti topan Katrina sedang mengacak-acak ketrentraman dalam kepala saya hingga porak-poranda dibuatnya.
Membuat pikiran saya buntu, mati kutu, dan kering ide sekering Gurun Sahara di Afrika sana. Atau membuat saya terkadang cekikikan sendiri seperti penghuni rumah sakit jiwa Grogol. Sungguh absurd. Sebuah pengalaman yang (sejujurnya) 70% dinanti untuk terulang kembali, dan sisa 30% nya membuat saya tidak ingin lagi bertemu dengan pemandangan dari "planet asing" tersebut.
Saatnya saya kembali bekerja, karena jam makan siang sudah hampir selesai.
Dan disinilah saya, di Jakarta yang panas dan selalu macet. Jangan heran kalau terjebak kemacetan di Jakarta Anda akan mendengar "simfoni" klakson yang "komposisi"-nya tidak nikmat untuk didengar plus sumpah serapah para pengendara (khususnya sepeda motor) yang tak nikmat seperti suara Ari Lasso atau suara si cantik Raisa dan Isyana Sarasvati.
Ilustrasi baju kemeja menerawang dokter Asri, dokter sempat beken beberapa waktu lalu |
Terjebak kemacetan adalah sesuatu yang amat sangat dihindari oleh warga Jakarta. Namun apa lacur, Jakarta hampir selalu macet parah sepanjang hari, khususnya pada jam-jam pulang kantor (jam berangkat ke kantor tidak separah itu macetnya).
Sudah banyak studi yang dilakukan oleh para ekonom mengenai dampak kemacetan. Hitungan-hitungan mereka, setiap hari fulus sejumlah total puluhan milyar terbuang percuma di jalan (coba hitung saja berapa liter bensin dan waktu yang terbuang percuma di jalan...ngeri kan?). Singkatnya kemacetan adalah momok, dan tidak ada hal yang menyenangkan apalagi produktif yang berhubungan dengan kemacetan, kecuali bagi para pengemis dan pengamen jalanan serta pedagang asongan karena dengan sering-sering macet mereka bisa mendapatkan pendapatan yang lumayan.
Bagi saya yang lahir dan besar di Jakarta, kemacetan adalah nasib yang harus diterima. Bagi saya, mengarungi kemacetan Jakarta terasa bukan masalah besar sepanjang busway masih beroperasi.
Hari itu, 15 Februari 2016 seperti biasa saya pulang kantor bareng teman menumpang busway koridor I ke arah Blok M. Saya lebih suka naik busway ketimbang ojek online saat pulang karena seringkali bisa bertemu teman lama dan sekalian cuci mata.
Sayangnya, sore hari itu suasana busway tidak seperti biasanya. Walaupun masih jam 3 sore (saya pulang lebih cepat karena saya kerap selesaikan urusan kantor lebih cepat atau habis bertemu klien kantor di luar lalu langsung pulang) penumpang busway kali ini cukup penuh. Dan itu pun masih terjebak macet.
Entah kemacetan kali ini "diharapkan" atau "tidak diharapkan". Para penumpang yang hendak memasuki atau turun dari busway pun membutuhkan usaha ekstra karena berebutan. Kursi-kursi dalam bus pun terisi penuh plus banyak penumpang yang berdiri sambil bergelantungan di dalam bus. Kondisi seperti ini amat mendukung timbulnya banyak pelecehan terhadap perempuan yang menumpang busway TransJakarta ini.
Setelah naik dari halte Thamrin dan tidak dapat kursi, tiba-tiba saya merasa beruntung karena ada penumpang yang turun di halte Tosari sehingga saya duduk di (bekas) kursinya. Segera saja saya dan teman saya bergegas mendudukinya. Sungguh benar-benar bukan sikap laki-laki gentlemen, yang seharusnya mendahulukan wanita, anak-anak dan lansia (maklum kaki pegal dan badan terasa penyok karena pekerjaan dan lama menunggu klien di Sari Pan Pacific).
Nah, karena merasa nikmat dan akhirnya bisa menyandarkan kepala, maka saya tidak pedulikan sekeliling dan mencoba memejamkan mata (AC nya mendukung untuk tidur..hehehhe).
Abrakadabra! Saat saya membuka mata, bus sudah sampai di kawasan Senayan (maklum agak lama saya memejamkan mata dan macet pula). Tahu-tahu di depan saya yang duduk sembari terkantuk-kantuk karena AC bus yang sejuk, ada wanita cantik berdiri sembari bergelantungan. Si mbak cantik ini nampaknya masalah buat saya.
Masalahnya pakaiannya adalah kemeja putih yang cukup ketat, agak menerawang dan jelas-jelas memperlihatkan (maaf..sekali maaf) bra nya yang bermotif kulit macan tutul. Benar-benar sudah gila ini perempuan. Cara berbusananya benar-benar menabrak aturan (sudah seperti kritikus mode saja saya ini yahehehe).
Waduh, dengan memandangnya saja saya sudah seperti pelaku pelecehan yang menurut saya bisa ketahuan dari cara pandangannya dan kata orang bisa ketahuan dari wajahnya. Karena tidak ingin wajah saya dicap sebagai pelaku pelecehan (karena saya memang tidak berniat melecehkan para wanita yang ada di dunia ini), walau sebenarnya saya ingin memandang si Mbak cantik ini (namanya juga laki-laki normal), maka saya hanya bisa (pura-pura) menundukkan kepala saja sampai Blok M. Dan ini benar-benar membuat leher saya pegal setengah mati.
Sesampainya di Blok M dan menuruni tangga masuk Blok M Mall, teman saya yang saat di bus bergelantungan di samping Mbak cantik tersebut, bertanya : "Loe, lihat kagak tadi, bro?". Saya hanya mengangguk untuk menjawabnya, dan kami langsung tertawa-tawa sambil menyumpah "Gila...benar-benar gila". Jarang-jarang sekali saya yang merupakan lelaki baik-baik (ini benar, lho) melihat "pemandangan menakutkan bin menakjubkan" seperti itu.
Sekarang setiap saya melihat jemuran pakaian dalam si Ida, tetangga di depan rumah yang cantik dan akrab dengan saya, rasanya seperti topan Katrina sedang mengacak-acak ketrentraman dalam kepala saya hingga porak-poranda dibuatnya.
Membuat pikiran saya buntu, mati kutu, dan kering ide sekering Gurun Sahara di Afrika sana. Atau membuat saya terkadang cekikikan sendiri seperti penghuni rumah sakit jiwa Grogol. Sungguh absurd. Sebuah pengalaman yang (sejujurnya) 70% dinanti untuk terulang kembali, dan sisa 30% nya membuat saya tidak ingin lagi bertemu dengan pemandangan dari "planet asing" tersebut.
Saatnya saya kembali bekerja, karena jam makan siang sudah hampir selesai.
No comments:
Post a Comment