Pilkada DKI Jakarta 2017 yang sudah semakin dekat membuat
suhu politik di Ibukota semakin memanas oleh tingkah pola para calon gubernur
yang akan bertarung. Masyarakat pun semakin dibuat penasaran dan dan
harap-harap cemas serta penasaran.
Hal ini pun diamini oleh Jimly Asshiddiqie yang juga
merupakan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Menurut
Jimly, hal ini dikarenakan ada bakal
calon gubernur atau kepala daerah yang berbeda dibandingkan dengan bakal calon
di daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Jimly Asshiddiqie (foto: Kompas) |
"Ada calon yang tidak lazim. Tidak lazim dalam arti,
tidak ikut idealitas yang sifatnya konvensional. Sehingga, kita bisa melihat nanti,
apakah masyarakat Jakarta sudah sangat rasional untuk memilih atau masih
dipengaruhi sifat-sifat primordial," kata Jimly saat menyampaikan
sambutannya dalam acara launching pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI
Jakarta 2017 di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat pada Minggu 18 September 2016
kemarin.
Saat dimintai keterangan lebih lanjut, Jimly enggan
menjelaskan siapa calon yang tidak lazim itu. Namun, ia menyampaikan kata
sambutan pada acara ini, Jimly menyebut nama Gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok) yang akan maju sebagai calon petahana dalam Pilkada DKI
Jakarta 2017.
"Dari pengalaman pilkada di tempat-tempat lain,
biasanya kalau ada petahana, selalu ada masalah prioritas aparat, tetapi kok di
Jakarta ini ada Forum RT/RW yang anti-Ahok (sapaan Basuki)? Ini aneh
sekali," tutur Jimly.
Oleh karena itu Jimly menekankan bahwa hal ini merupakan sebuah
dinamika politik yang normal terjadi menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017, sebuah
daerah yang lebih majemuk dan heterogen dibandingkan dengan daerah-daerah lain
di Indonesia, dan merupakan contoh yang baik bagi demokrasi di Indonesia.
Dari hal tersebut, Jimly mengatakan bahwa hal ini berarti demokrasi
di Indonesia sudah berkembang jauh lebih baik daripada di negara lain, seperti
di Eropa atau Amerika.
"Seperti wali kota muslim di London, itu butuh waktu
lama. Di Amerika juga, kita tahu perspektif founding fathers di sana sangat
Kristen Protestan. Kecuali, setelah dua abad, baru ada presiden yang dari luar
perspektif itu, yakni John F Kennedy (Kennedy merupakan seorang Katolik-red),"
kata Jimly.
"Butuh dua abad untuk keluar dari kelompok mainstream
sehingga kita lihat bagaimana budaya politik di Indonesia makin lama makin
rasional," tambahnya.
Namun walaupun dikatakan begitu, fakta di lapangan
membuktikan bahwa masyarakat kita sebenarnya masih belum dewasa dalam berpikir
dan berdemokrasi yang ditandai makin maraknya ujaran-ujaran kebencian yang
banyak bertebaran di media sosial.
(dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment