Tuesday, October 8, 2019

Ekses Blunder Pemerintah Memulangkan WNI Pejuang ISIS Terhadap Perekonomian

Beberapa hari yang lalu Menteri Pertahanan mempersilakan bagi siapa saja yang memperjuangkan khilafah untuk pergi ke luar negeri. Hal tersebut menmbulkan pandangan skeptis, baik terhadap pemerintah maupun terhadap para pejuang khilafah.

Kelompok militan Radikal ISIS

Kenapa? Bagi pejuang khilafah, kita secara jujur akan merasa ragu kalau mereka mau keluar dari negara ini ke negara khilafah, minimal ke negara Islam. Sebab fakta menunjukkan bahwa para imigran dari Timur Tengah atau negara Islam lainnya malah memilih pergi dan mengungsi negara-negara Eropa sebagai tempat pelarian.

Tidak usah jauh-jauh, orang-orang yang membela khilafah suruh ke Aceh saja kita yakin mereka tidak akan mau. Karena sesungguhnya negara khilafah itu hanya utopia, hanya khayalan, alih-alih menjadi tempat sempurna dan penuh kebahagian, sudah banyak negara-negara yang memperjuangkan khilafah malah mengalami konflik tidak berkesudahan.

Untuk menjalankan syariat Islam dengan tenang, nyaman dan aman, maka pancasila adalah sistem yang mendekati sempurna bagi kita semua, hanya tinggal menghargai keyakinan lain, tidak memaksakan aturan dan kehendak kepada penganut kepercayaan lain. Kenapa susah sekali? malah lebih senang memperjuangkan sesuatu yang tidak nyata, utopia dan hanya menimbulkan konflik tidak berkesudahan?

Rasa skeptis kita akhirnya terjawab dan mendapat konfirmasi setelah 120 WNI mantan pejuang ISIS akan dipulangkan oleh pemerintahan Indonesia. Satu sisi menyuruh keluar yang memperjuangkan khilafah, namun di sisi lain malah memulangkan kembali orang-orang yang jelas-jelas sudah keluar dan menjadi pengkhianat negara karena memperjuangkan khilafah. Diusir untuk dikembalikan, sungguh ironi di atas ironi.

Mungkin banyak yang merasa kecewa dengan PBNU selaku organisasi Islam yang katanya berada dalam garis terdepan untuk melawan radikalisme tapi dalam kasus ini malah terkesan abu-abu, tidak pernah tegas menyatakan dimana posisi mereka sebenarnya.

Menurut berita, PBNU mendukung kepulangan WNI mantan ISIS karena alasan kemanusiaan, maka jika suatu saat mereka malah menjadi pelaku teror di Indonesia, artinya PBNU secara tidak langsung sudah mendukung tindakan teror terjadi di Indonesia.

Di lain sisi, komentar ketua umum PBNU Said Aqil seolah menegaskan bahwa sebenarnya mereka juga ragu jika kepulangan WNI eks ISIS ini akan berdampak baik kepada Indonesia.

"Kalau warga negara harus betul-betul diambil sumpahnya setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila, jangan seenaknya pergi sendiri pulang dijemput," ujarnya.

Penulis menjadi semakin bingung karena sebelumnya PBNU juga meminta agar pemerintah membuat undang-undang untuk melarang penyebaran Ideologi Khilaf. Satu sisi menolak, tapi ketika dihadapkan dengan kasus nyata, tiba-tiba PBNU menjadi bingung dan terkesan abu-abu. Ditambah sejauh ini mereka kaum radikal bisa dengan bebas ceramah dimana-mana, melakukan provokasi, menyebarkan kebencian. Adakah PBNU berusaha mencegah dan melawan semua itu? Melihat keadaan yang ada, tampaknya PBNU masih setengah hati dalam pencegahan terhadap radikalisme.

Satu-satunya harapan dan pikiran positif penulis dari kepulangan WNI mantan ISIS ini adalah, agar proses deradikalisasi terhadap mereka berhasil dan membuat mereka menjadi warga negara yang memiliki kecintaan terhadap pancasila, namun entah lah? penulis juga merasa tidak yakin ini akan berhasil, apalagi menurut peneliti dan pengamat terorisme Universitas Indonesia, hanya 30% penganut radikalisme berubah melalui proses deradikalisasi.

Secara logika orang goblok saja artinya hanya 30% peluang agar WNI eks ISIS kembali ke jalan yang benar, berarti peluang mereka untuk menjadi orang baik lebih kecil dari peluang mereka untuk menjadi warga negara yang mendukung khilafah. Misal dari 120 orang yang bertobat 30 persen, artinya cuma 36 orang yang tobat. Masih ada 84 orang atau hampir 2.5 kali lipat yang masih radikal dan berpotensi menjadi pelaku teror di Indonesia. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana jika yang 84 orang malah menular-kan pemahaman mereka kepada warga negara Indonesia yang lainnya?

Jadi mau dibolak balik bagaimanapun, kepulangan mereka hanya akan membuat kaum radikal tumbuh subur di Indonesia. Apalagi penulis meyakini kalau untuk membuat seorang menjadi radikal itu lebih mudah daripada sebaliknya.

Contoh nyata pelaku terorisme yang gagal dalam proses deradikalisasi adalah Terduga pelaku bom di Pasuruan, Jawa Timur, Abdullah. Beliau pernah tercatat pernah menjalani hukuman penjara atas kasus terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, pada 2010 silam. Lima tahun kemudian dia bebas dan hidup berpindah-pindah.

Jadi jujur saja kami kecewa dengan pemerintahan Indonesia kali ini yang melakukan blunder, penulis berharap ada pembaca yang mencerahkan penulis jika WNI eks ISIS ini akan menjadi warga negara Indonesia yang mencintai pancasila dan bukan menambah jumlah kaum radikal di negara kita. Silakan sampaikan di kolom komentar.

Kesimpulan :

Bagaimanapun ditengah banyaknya investor yang menarik dananya dari Indonesia dan tidak adanya investor yang tertarik berinvestasi di Indonesia seperti dikeluhkan Jokowi beberapa hari lalu, langkah negara kita memulangkan WNI eks ISIS hanya akan membuat investor berfikir dua kali untuk menyimpan dananya di Indonesia, syukur-syukur mereka tidak siap-siap untuk pergi ditengah ketidakpastian kondisi politik tanah air.

Tampaknya ini seperti keluh kesah penulis daripada sebuah opini, ya mau bagaimana lagi semua tinggal cerita hati yang luka. Begitulah kura-kura.

Sumber :

https://news.detik.com/berita/d-4731492/menhan-yang-perjuangkan-khilafah-silakan-keluar-dari-indonesia

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190710182004-20-410985/peneliti-cuma-30-persen-teroris-insaf-karena-deradikalisasi

https://www.medcom.id/nasional/peristiwa/Rb1V192k-terduga-pelaku-bom-pasuruan-residivis-deradikalisasi-gagal

https://nasional.okezone.com/read/2019/07/21/337/2081572/120-wni-eks-isis-akan-dipulangkan-ke-indonesia-ketum-pbnu-hati-hati

Dulu ICW Cerewet Soal Dana Operasional Gubernur, Kok di Zaman Anies Baswedan Diam Saja?

Posisi Gubernur DKI merupakan posisi jabatan yang "sexy". Pamornya mungkin bahkan melebihi posisi menteri kabinet. Terlebih lagi setelah Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama yang menerapkan standar tinggi dalam jabatan tersebut.

Maka, mau tak mau, apabila membicarakan Gubernur DKI Jakarta saat ini, maka kita juga harus membandingkannya dengan gubernur sebelumnya. Kalau tidak demikian, maka kita tidak akan tahu era sekarang lebih maju atau tidak dari era sebelumnya.

Wan Abud
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan

Salah satu contoh konkret adalah dana operasional Gubernur. Dana operasional yang diterima Gubernur DKI Jakarta tidaklah sedikit. Sekedar untuk diketahui bahwa dana operasional yang diterima oleh Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta adalah sebesar 0,13% dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sedangkan PAD DKI Jakarta di atas Rp 500 miliar.

Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2019 Pemprov DKI Jakarta, PAD DKI Jakarta ditarget sebesar Rp 51 triliun. Jika target PAD DKI Jakarta tersebut tercapai maka Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta akan memperoleh dana operasional hampir mencapai Rp 5 miliar sebulan.

Dana operasional tersebut akan dibagi dengan perbandingan 60:40, 60 persen untuk gubernur dan 40 persen untuk wakil gubernur. Dengan demikian Anies sebagai Gubernur DKI Jakarta akan mendapatkan dana operasional setiap adalah sebesar Rp 3,15 miliar dan wakil gubernur akan mendapatkan Rp 2,21 miliar. Berhubung selama ini wakil gubernurnya belum ada, maka kemungkinan besar Anies akan menerima keseluruhan dana operasional yang mencapai Rp 5 miliar lebih itu tiap bulan.

Seperti yang saya katakan di atas, membicarakan gubernur sekarang ini tidak akan bisa lepas dari gubernur era sebelumnya. Jika di masa Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, Ahok akan melaporkan penggunaan dana operasionalnya yang diterimanya setiap bulan di situs ahok.org. Bahkan jika dana operasional tersebut tidak habis dipakai pada bulan itu, maka sisanya akan dikembalikan ke kas DKI Jakarta.

Ketika Anies menggantikan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kita tidak lagi mendapatkan update dari penggunaan dana operasional Gubernur DKI Jakarta ini. Kita tidak tahu apa saja yang diperuntukkan oleh Anies dalam menggunakan dana operasionalnya setiap bulan. Karena tidak ada transparansi penggunaan dana operasional dari Anies Baswedan.

Indonesian Corruption Watch atau yang lebih dikenal dengan nama ICW itu pernah mewanti-wanti kepada plt Gubernur DKI Jakarta Soni Sumarsono ketika menggantikan Ahok & Djarot cuti kampanye beberapa waktu lalu.

ICW menegaskan bahwa publik harus tahu penggunaan dana operasional Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta saat itu. Menurut Koordinator Divisi Investigasi ICS Febri Hendri saat itu menilai bahwa dana operasional kepala daerah rawan dikorupsi, karenanya warga perlu tahu berapa dan digunakan untuk apa dana operasional tersebut.

"Tentu, publik terutama warga Jakarta perlu tahu berapa dan digunakan untuk apa dana operasional tersebut," ucap Febri saat dihubungi wartawan, Jumat (16/12/2016).

Menurut Febri bahwa publik patut tahu tentang penggunaan dana operasional gubernur dan wakil gubernur. Karena hal tersebut didasari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Jika beberapa tahun lalu ICW begitu cerewet terhadap dana operasional Plt Gubernur DKI Jakarta, Soni Sumarno yang katanya harus transparan dalam penggunaannya. Tetapi sekarang kenapa ICW tidak membuka suara terkait penggunaan dana operasional Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta?

Kalau memang menginginkan keterbukaan informasi publik, maka seharusnya ICW turut bersuara terkait penggunaan dana operasional Gubernur DKI Jakarta saat ini, karena sampai sekarang publik belum tahu digunakan untuk apa saja dana operasional Gubernur DKI Jakarta yang mencapai lebih dari Rp 5 miliar per bulan itu.

Dan saat ini, tersiar kabar bahwa ada sebagian warga Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat masih BAB sembarangan. Karena mereka masih belum mempunyai septic tank. Untuk mengatasi masalah ini Pemprov menghimbau warga yang tidak mempunyai septic tank tersebut untuk sementara menumpang BAB di rumah tetangga karena Pemprov DKI belum mempunyai dana untuk membangun septic tank warga.

Ini sungguh mengherankan. Jika untuk rumah dinas Gubernur DKI saja Pemprov dapat menganggarkan dana untuk renovasinya. Tetapi kenapa untuk membangun kakus warga Pemprov tidak mempunyai dana?

Bahkan politisi PDIP Ima Mahdiah pun menyarankan Anies untuk menggunakan dana operasional Gubernur DKI untuk membangun kakus warga DKI yang sampai masih membuang BAB sembarangan itu.

Jadi, yang menjadi permasalahan adalah jika dulu ICW begitu cerewet terhadap pemakaian dana operasional plt Gubernur DKI Jakarta, kenapa sekarang ICW terkesan diam atas penggunaan dana operasional Anies Baswedan yang kita tidak tahu digunakan untuk apa itu.

Monday, October 7, 2019

Fitnahan Veronica Koman Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia

Veronica Koman membuat kehebohan di Indonesia setelah tampil dalam sebuah tayangan di Telivisi Australia pada Kamis 3 Oktober 2019 lalu.

Dalam siaran televisi tersebut, Veronica Koman menyampaikan bahwa keluarganya yang saat ini masih tinggal di Bilangan Jakarta, mengalami intimidasi.

Veronica Koman
Veronica Koman

"Keluarga saya diintimidasi, orang tua saya dua kali menangis meminta saya berhenti, tapi saya saya sampaikan ke mereka untuk bersabar karena masalah ini jauh lebih besar dari kita," ujarnya di ABC TV.

Menanggapi hal tersebut, Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Frans Barung Mangera meminta Veronica Koman agar membuktikan adanya dugaan intimidasi terhadap keluarganya yang tinggal di Jakarta.

"Silakan dibuktikan," katanya di Balai Wartawan Gedung Humas Mapolda Jatim, Sabtu 5 Oktober 2019.

Bahkan, ungkap Barung, pihak kepolisian RI bakal menjamin keamanan dan keselamatan keluarga Veronica Koman selama kasus yang menjerat Veronica Koman sebagai tersangka bergulir.

"Polisi akan menjaga keamanan keluarga yang bersangkutan 1 x 24 jam," pungkasnya.

Sekadar diketahui, Veronica Koman telah ditetapkan oleh Polda Jatim sebagai orang yang namanya masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Hal itu didasari oleh Surat DPO yang dikeluarkan oleh Ditreskrimsus Polda Jatim bernomor: DPO/37/IX/RES.2.5./2019/DITRESKRIMSUS

Veronica Koman ditetapkan sebagai tersangka atas tweet provokatif mengenai isu Papua.

Veronica Koman bakal dijerat pasal berlapis dari UU No 19/2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), KUHP, UU No 1/1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana dan UU No 40/2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Ini Penampakan Kontrak Beasiswa Pemerintah RI Yang Dilanggar Oleh Veronica Koman

Bagi wanita seperti Veronica Koman Liu yang kini menjadi pengacara KNPB organisasi yang ingin memerdekakan Papua, pepatah “right or wrong is my country” rupanya tidak berlaku.

Dia juga seperti menafikan dirinya bukan penerima bea siswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dari Pemerintah Indonesia sehingga dengan seenaknya melanggar kontrak seperti dia bukan warga negara Indonesia (WNI).

Veronica Koman
Veronica Koman

Hal tersebut diingatkan pelaksana tugas juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Teuku Faizasyah. Apalagi dia menjelek-jelekkan Indonesia di media Australia untuk kepentingan kasus hukumnya pribadi, bagi Faizasyah sangat tidak etis.

Terlebih sebagai penerima bea siswa LPDP, Veronica memiliki kewajiban kontrak yang sudah ditandatanganinya.

“Apa yang dilakukan yang bersangkutan hingga saat ini di luar negeri, nyata-nyata merupakan pelanggaran atas isi dari perjanjian yang ditandatanganinya tersebut dengan Pemerintah Indonesia,” kata Faizasyah pada Sabtu 5 Oktober 2019.

Apa yang dilakukan Veronica itu setidaknya diatur dalam bab VI Kewajiban dan Larangan bagi para penerima beasiswa LPDP.

Veronica Koman
Kontrak Beasiswa yang dilanggar dan diingkari oleh Veronica Koman

Pada poin 1 bab tersebut menyatakan para penerima calon penerima, penerima dan alumnis penerima beasiswa LPDP wajib “setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah.”

Selain itu, poin 2 mewajibkan mereka “menjaga nama baik Indonesia dan LPDP, baik dalam perkataan maupun tindakan.” Lalu, poin 5 harus “menjalin komunikasi dan koordinasi dengan LPDP.”

Veronica mengabaikannya. Bahkan untuk urusan administrasi yang mengharuskannya menjalin komunikasi dan koordinasi dengan LPDP, tidak dia lakukan.

Hal itu pernah diungkapkan Kepala Kepolisian (Kapolda) Jawa Timur (Jatim) Irjen Pol Luki Hermawan. Setelah mendapat beasiswa S 2 ilmu hukum pada 2017, Veronica Koman  tidak pernah memperbaharui laporannya hingga muncul menjadi ‘musuh’ bangsa dan negara sekarang.

Saturday, October 5, 2019

Analisis: Mengapa TEMPO Tidak Menyerang Buzzer Khilafah?

Walaupun Pemilihan Presiden dan Pemilu Parlemen sudah lama berlalu, namun isu buzzer politik masih saja belum reda. 

Walaupun buzzer politik itu ada di setiap kubu, namun yang diserang saat ini adalah buzzer yang dianggap dikoordinir oleh pemerintahan Jokowi. Buzzer yang sengaja kerap disinggung terlihat seperti ingin memberi label, bahwa buzzer itu adalah sesuatu yang haram.

Buzzer Jokowi


Mereka lupa, bahwa zaman ini, ada tim marketing digital. Tugasnya mempomosikan kebaikan produk atau jasa supaya banyak diketahui banyak orang. Dan itu wajar. Begitu juga dalam politik, buzzer itu bukanlah haram dengan catatan tidak menyebarkan hoax. Buzzer itu bisa difungsikan sama seperti iklan di TV, radio, Koran dan baliho, karena fungsinya ya sama terkait memberitakan sesuatu.

Majalah TEMPO mungkin merasa terganggu dengan hadirnya para buzzer media sosial atau kolom-kolom media digital. Mereka berpotensi kehilangan pamor, karena jika kita lihat dari sejarah, media itu memiliki peran penting dalam politik. Hal itu tentu saja terkait penyampaian informasi dan bahkan propaganda.

Buzzer yang mengkampanyekan hal baik, atau menginformasikan sesuatu, mengkritik sesuatu dengan data, seharusnya tetap dibiarkan, karena itu bagian dari komunikasi dan edukasi. Kecuali jika buzzer tersebut menyebar hoax, silahkan dilaporkan ke pihak berwajib supaya si buzzer dapat mengklarifikasi, atau jika mungkin diproses secara hukum.

Demokrasi itu sangat gaduh, karena semua orang mempunyai hak untuk bersuara. Dalam demokrasi, penyaluran aspirasi itu adalah hal yang harus dihormati. Dengan catatan, disampaikan dengan cara yang baik.

Akhir-akhir ini, entah mengapa media TEMPO kerap meggoreng isu buzzer. Tetapi entah mengapa yang dilekatkan terkait buzzer pasti Jokowi, padahal diluaran sana pun ada buzzer dari oposisi. Bahkan ada juga buzzer khilafah yang sudah jelas-jelas menyerang ideologi negara.

Katanya, media itu harus menyampaikan sebuah kejadian apa adanya, tanpa perlu diframing melalui judul yang menggiring pada sebuah opini. Kalau ingin menjadi sebuah media opini, maka jadilah media opini. Tetapi mengapa di TEMPO ada tulisan opini, tetapi tak ada nama penulisnya, dan yang tertera justru TEMPO pada akun penulisnya? 

Di Twitter pun, TEMPO share dari media dengan memberi caption serupa dengan judul opini tersebut. Mengapa TEMPO begitu getol menyerang Jokowi dengan bersembunyi dibalik serangannya pada buzzer? Itulah kesannya.

Seharusnya, TEMPO pun berkaca, dan memperbaiki mengapa dia mulai tergopoh-gopoh melawan para competitor media lain, termasuk kalah melawan buzzer yang lebih banyak followersnya. TEMPO harus bisa berdiri dan bersaing secara sehat di tengah perkembangan zaman, jangan ingin menaikan pamor dengan cara-cara yang lucu dan memperkeruh suasana berbangsa dan bernegara (panjat sosial atau pansos)

Kita semua yang paham akan dunia media, maka paham pula adanya peluang untuk menjadikan sebuah berita sebagai proyek. Di bayar untuk mempromosikan sebuah program, dibayar untuk meliput sebuah berita supaya pamornya naik pun kemungkinan ada. Kecuali memang berita-berita tersebut berpotensi membuat gempar dan laku di pasaran para pembaca.

Sebaiknya, kalau mau menyoroti kemungkinan adanya buzzer Jokowi yang terorganisir, TEMPO pun mestinya mengungkap dirinya sendiri sebagai buzzernya sapa? Karena apa yang dilakukannya pun berpotensi disebut buzzer.

Mungkin TEMPO lupa adanya SARACEN, hingga MCA yang sudah terbukti terorganisir menyebarkan hoax dan kebencian. TEMPO mungkin lupa, buzzer khilafah pun masih kerap eksis, tetapi mengapa TEMPO tak menyoroti hal tersebut? Bukankah hal itu lebih membahayakan bagi keutuhan bangsa?

Saya jadi ingat sebuah kata “Kalau kamu ingin menguasai negara atau bahkan dunia, memiliki pengaruh terhadap sebuah negara dan dunia, maka berkuasalah atas media, karena dengan media potensi untuk membuat sebuah kebohongan menjadi sebuah kebenaran bisa terjadi”. Itu dulu, ketika zaman tidak secanggih sekarang ini.

Dulu sekali, entah tahun berapa, ada sebuah isu yang marak di daerah. Ada kepala sekolah SD di sebuah daerah, meninggal karena serangan jantung. Kebetulan orang tersebut adalah Bapaknya seorang teman. 

Isu yang beredar, orang tersebut stress karena diancam oleh seorang wartawan terkait dana DAK. Kepala sekolah yang polos tersebut isunya dicari-cari kesalahannya, meskipun dia sejatidak tidak punya salah. Yang namanya orang desa ya stress juga lama-lama ditekan. Intinya sih, ada permintaan fee dari si wartawan tersebut. Itulah isu yang beredar saat itu.

Pada suatu masa, Saat ke Samsat untuk mengurus pajak kendaraan, disana ada orang yang marah-marah sambil bilang, “Saya ini wartawan, jangan macem-macem dengan saya!”. Orang tersebut berteriak-teriak seperti kesurupan dan mengancam. Usut punya usut, orang tersebut tidak mau diminta untuk mengantre..

Melihat kedua kejadian tersebut, kita mungkin jadi berfikir, apakah yang dilakukan oleh TEMPO sebagai upaya menekan pemerintah dengan menebarkan isu buzzer dengan tak henti? Kita tak boleh menuduh, tapi ini sekedar asumsi. Tidak lebih.

Semoga kita selalu bisa berprasangka baik.

Friday, October 4, 2019

Hasil Wawancara Eksklusif Veronica Koman dengan Media Australia: Benar-benar Kuman Bagi Papua

ABC.net.au, portal berita Australia pada akhirnya mengundang Veronica Koman untuk melakukan wawancara khusus terkait Papua yang sedang dilanda provokasi dan hoax-hoax.

Veronica Koman saat diwawancarai oleh televisi Australia

Artikel ini merupakan sebuah opini mengenai Veronica yang dianggap kuman bagi Indonesia, Veronica Koman, tersangka provokasi.

Opini ini juga akan digunakan untuk membantah tudingan Tempo yang mengatakan buzzer-buzzer Jokowi lebih suka menggoreng-goreng isu khilafah ketimbang isu kerusuhan Papua. Mari kita simak bagaimana Veronica Koman ini harus ditangkap segera, sebelum membuat kerusakan yang jauh lebih parah.

Veronica dalam wawancara eksklusifnya mengatakan bahwa dia tidak akan berhenti untuk terus menyuarakan pelanggaran HAM dan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Papua.

Sudah jelas bagi kita bahwa semakin Veronica menyuarakan pelanggaran HAM, semakin tidak kondusif keadaan Papua. Sekarang ini kita tahu bagaimana sulitnya pemerintah membereskan kerusakan di Papua akibat hoax-hoax yang ada.

Ini ada satu orang provokator yang ada di Australia, kabur dan bersembunyi. Ia mendapatkan perlindungan dari negara yang juga pernah berpolemik dengan Indonesia.

Makin lama makin kelihatan bahwa Veronica Koman ini semakin lama semakin mirip dengan Rizieq Shihab. Sama-sama ada di luar negeri, dan terus melakukan provokasi.

Veronica Koman bahkan berani mengatakan bahwa periode ini adalah periode yang paling suram di dalam sejarah Papua 20 tahun terakhir. Katanya ada tindakan keras yang belum pernah terjadi sebelumnya di sana.

"Sebab saya kira saat ini kita menyaksikan periode paling suram di Papua dalam 20 tahun terakhir. Kini ada tindakan keras yang belum pernah terjadi sebelumnya di sana", demikian ucapannya.

Kalimat ini benar-benar memiliki kemiripan dengan apa yang ia bicarakan ketika ia ada di atas mobil komando sewaktu ingin cari perhatian dalam membebaskan Ahok.

Kalimatnya kira-kira seperti ini. Ia mengatakan kira-kira bahwa era Jokowi jauh lebih parah penegakan hukumnya ketimbang era SBY. Dari sini kita pun sudah tahu bahwa cara yang sama dilakukan oleh Veronica dalam membahas isu mengenai Papua.

Skala Papua jauh lebih besar ketimbang skala Ahok saat itu. Tapi strategi yang dilakukan oleh Veronica Koman ini, sama. Ia menggunakan “metode debat superlatif”.

Artinya menganggap lawan politiknya atau lawan debatnya dalam posisi terendah. Maka muncullah istilah “Ini adalah era paling parah, jauh lebih dari sebelumnya”.

Superlatif adalah keadaan di mana orang diposisikan dalam kondisi “paling”. Entah paling tinggi atau paling rendah. Artinya begini. Jika ia menganggap era Jokowi adalah era yang paling rendah, maka ia menganggap dirinya yang paling tinggi.

Dalam teori logical fallacy, kita melihat ada celah-celahnya. Celah dari Veronica Koman adalah, dia secara tidak langsung menjadi seperti yang ia kritisi. Saat ini, ketika ia mengkritisi pemerintahan Jokowi sebagai era yang paling buruk dalam pandangannya terhadap Papua, dia jatuh ke lubang yang lain.

Dalam kesalahan logika yang ada, dia tidak sadar sedang menggunakan kacamata kuda. Dia tidak melihat bahwa pembangunan infrastruktur Jokowi ini merupakan sebuah bentuk perhatian Jokowi kepada Papua.

Selain itu, beberapa tokoh penting di Papua, pun diangkat menjadi orang-orang yang bekerja di istana. Perhatian pembangunan kepada Papua, adalah sebuah perhatian yang tidak pernah ada di era sebelumnya.

Veronica Koman, kuman bagi Indonesia ini seringkali menggunakan cara-cara ini, untuk membetulkan posisinya. Dia aman. Dia akan aman karena dia dilindungi oleh orang-orang yang ada di Australia. Mengapa? Karena Australia adalah negara yang hubungannya tidak terlalu erat dengan Indonesia.

Tapi Jokowi tidak mau melihat itu. Jokowi ingin merangkul negara-negara lain. Karena Jokowi sadar, bahwa dunia ini adalah satu. Dia ingin merangkul dan bersahabat dengan Australia. Salah satu indikatornya dan kode-kode langkah kuda Jokowi sebenarnya sudah terbaca.

Jokowi tidak ingin bermasalah dengan negara lain. Pada saat tanggal 2 Oktober 2019, ia memposting di Instagramnya mengenai hari batik.

Ia memposting hari batik, bersama mantan Perdana Menteri Australia, Mr. Malcolm Turnbull. Artinya begini. Jokowi tahu bahwa relasi Indonesia dan Australia agak merenggang, apalagi dalam kasus keamanan Veronica Koman.

Melihat Jokowi, saya melihat ada harapan untuk Papua. Jokowi dan Papua adalah satu. Nama istrinya adalah Iriana. Iriana yang diambil dari nama Irian. Dan di tanah Papua, Jokowi mendapatkan suara 90 persen. Apa maknanya? Jokowi dicintai oleh rakyat Papua.

Hanya saja, para kaum separatis saja yang ingin menyerahkan Papua ke tangan negara yang tidak bisa mengelolanya. Sejarah membuktikan satu hal. Bahwa di dalam lepasnya sebuah lokasi dari Indonesia, negara itu pasti mengalami kesulitan. Tidak percaya? Lihat saja Timor Timur.

Kita berharap Veronica bisa segera ditangkap. Karena ini urusan kedaulatan negara Indonesia. Bahkan di sidang PBB, Benny Wenda pun sudah diusir. Artinya, dunia tidak ingin Papua lepas dari Indonesia. Kalau pun ada negara lain, mungkin itu Australia saja. Kenapa? Karena di sana ada gunung emas, yang konon katanya tidak bisa habis-habis.

Selamatkan Indonesia, tangkap Veronica, Kuman Indonesia.

https://www.abc.net.au/indonesian/2019-10-04/saya-tak-akan-berhenti:-veronica-koman-buka-suara-di-australia/11573894

Thursday, October 3, 2019

Ini Alasan Megawati Tidak Menyalami Surya Paloh dan AHY di Gedung DPR?

Adegan ketika Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tidak menyalami Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh di Gedung MPR/DPR menjadi perbincangan ramai.

Kenapa ya kok Megawati sampai tidak menyalami Surya Paloh? Atau kenapa Surya Paloh tidak menyalami Megawati? Apakah kedua orang ini lagi ngambek tentang masalah jatah? Dan itu AHY kasihan yang sudah siap-siap menyalami Megawati malah seperti dicuekin, apakah benar Megawati tidak melihat AHY sehingga berlalu begitu saja?



Tayangan yang lagi viral itu akhirnya jadi pembahasan juga. Sepertinya dengan kecanggihan teknologi ini, banyak moment yang mungkin tidak disadari oleh para tokoh-tokoh elit politik akhirnya terekam kamera juga. Contohnya anggota dewan yang beristri 3 kedapatan tidur pada saat pembacaan doa di ruang sidang. Dan dia pun mengklarifikasi dengan bebarapa alasan.

Berikut ini adalah cuplikan video adegan yang viral tersebut:



Maka, sejatinya sih, sebagai anggota dewan dan sebagai manusia yang terhormat harus malu ketika kedapatan tidur, apapun itu, alasan tidak akan bisa dipercaya, yang publik lihat adalah aksi tidur. Dan ini memberikan persepsi bahwa potensi tidur ke depannya masih bisa terjadi. Dan kalau kedapatan kamera, tinggal memberikan alasan lagi bahwa ada acara ngeronda semalam bersama ketiga istri, lagi seru-serunya gitu nyobain teknik yang baru. Jadi selalu saja buat alasan.

Kembali ke persoalan Bu Megawati dan Pak Surya Paloh yang tidak salaman dan viral. Megawati yang tidak menyalami AHY karena tidak melihatnya, maka bisa saja juga tidak melihat Surya Paloh. Maka dengan ini, bisa saja Surya Paloh yang enggan bersalaman.

Ataukah, dari kejauhan ketika Megawati berjalan, dia sudah melihat Surya Paloh, berangkali Megawati malas saja melihat Surya Paloh sehingga AHY kena imbasnya karena Megawati keburu buang muka. Namun sebenarnya sih, sebagai politisi handal dan sejati serta patriot, tidak mudah baper dan tidak mudah menyulut permusuhan. Politisi yang patriot selalu mengedepankan kepentingan negara dan rakyat.

Namun teori ini tidaklah mudah. Sebagian besar politik yang kita saksikan selama ini adalah melibatkan perhitungan ekonomis. Istilah kerennya “Dapat apa” terhadap kinerja berpolitik ini. Kalau berkoalisi apa yang bisa didapatkan? Janji apa yang bisa diwujudkan? Untung ngak bagi partai dan keberlangsungan partai? Dan sekelumit ambisi yang tak pernah redup jadi perhatian. Meskipun saat berkoalisi, jargon-jargon perjuangan begitu memukau.

Publik sebelumnya menyaksikan aura ketegangan Megawati dan Surya Paloh. Ketika Megawati ketemu Prabowo, Surya Paloh pun membuat kejutan bertemu dengan Anies Baswedan. Nah, dari sini bisa dihubungkan kejadian kenapa Megawati tidak bersalaman dengan Surya Paloh, atau sebaliknya Surya Paloh yang enggan bersalaman dengan Megawati. Dan saya berharap AHY tidak baper, dan tidak melapor ke Pepo.

Menurut dari amatan saya sih, sebagian besar politisi merasa bisa memberikan perbaikan atau kebaikan pada negara ini terhadap wewenang yang dikuasainya. Misalnya, yang punya partai, merasa partainya ini bisa menjadi wadah bagi kemajuan negeri. Karena itulah logo dan simbol serta slogan-slogan partai bagus-bagus semua. Tidak ada yang menulis terang-terangan hal-hal yang negatif. Misalnya “Partai kedondong membuat anda kecut-kecut dan mencret-mencret serta hidup melarat”



Saya kira semua partai menawarkan janji-janji surga. Pekaes saja menjanjikan Keadilan dan kesejahteraan, namanya saja sudah terlihat. Tapi kenyataannya gimana? Justru beberapa kadernya telah menjadi koruptor. Dan pergerakannya selama ini membuat sebagian besar rakyat sangat risih. Pasalnya waktu pilpres dulu, paling getol simpatisan dan kadernya menyebarkan hoax. Dan pengkaderan serta doktrin yang berjalan telah membuat negara repot. Sangat merepotkan.

Bagaimana dengan partai lain? Yahh...begitulah mekanisme yang ada. Simbol dan bahasa politik ternyata tidak bisa dimaknai dengan begitu polos. Misalnya kalau partai pekaes berjanji bahwa akan mensejahterakan ummat, ketahuilah, bisa saja yang sejahtera adalah elit partai saja.

Seperti joke yang telah menyebar bahwa anggota dewan itu telah banyak mewakili rakyat. Kalau rakyat mau rumah mewah, oknum DPR sudah mewakilinya dengan memiliki rumah mewah dari hasil korupsi. Mau mobil mewah dan baru, juga demikian. Oknum anggota dewan tidak akan pernah mau mewakili hidup rakyat yang sengsara. Mereka tidak akan pernah mau hidup sengsara. Soalnya modal untuk jadi anggota dewan itu banyak juga. Tidak cukup menjadi makhluk yang paling sexy. Dan tidak perlu paham seluk beluk Undang-undang dan Hukum. Pokoknya terpilih dapat gaji dan bisa nanti plesiran hore-hore. Bukan rahasia lagi. Itulah separuh nyawa. Duh, kasihan rakyat

Dan sepanjang pergolakan politik di negeri ini, para politisi ini tidak akan pernah satu sama lain bisa benar-benar akur beneran. Kan ada yang bilang politik itu tidak ada lawan dan tidak ada kawan abadi. Bisa saja nanti Surya Paloh dan Megawati kembali bersalaman dan tertawa-tawa saat pencapresan anaknya masing-masing. Bisa saja kan?

Namun apapun gejolak antara Megawati dan Surya Paloh, yang pastinya partai yang paling membenci Jokowi sejak tahun 2014 harus selalu diwaspadai. Golongan pembenci Jokowi melihat perpolitikan dengan sangat kaku dan sangar. Jangan sampai perseteruan elit politik ini justru melupakan bahaya laten dari para politisi Kadrun yang sudah sangat masif pergerakannya dan akan mengancam NKRI.