Saturday, October 5, 2019

Analisis: Mengapa TEMPO Tidak Menyerang Buzzer Khilafah?

Walaupun Pemilihan Presiden dan Pemilu Parlemen sudah lama berlalu, namun isu buzzer politik masih saja belum reda. 

Walaupun buzzer politik itu ada di setiap kubu, namun yang diserang saat ini adalah buzzer yang dianggap dikoordinir oleh pemerintahan Jokowi. Buzzer yang sengaja kerap disinggung terlihat seperti ingin memberi label, bahwa buzzer itu adalah sesuatu yang haram.

Buzzer Jokowi


Mereka lupa, bahwa zaman ini, ada tim marketing digital. Tugasnya mempomosikan kebaikan produk atau jasa supaya banyak diketahui banyak orang. Dan itu wajar. Begitu juga dalam politik, buzzer itu bukanlah haram dengan catatan tidak menyebarkan hoax. Buzzer itu bisa difungsikan sama seperti iklan di TV, radio, Koran dan baliho, karena fungsinya ya sama terkait memberitakan sesuatu.

Majalah TEMPO mungkin merasa terganggu dengan hadirnya para buzzer media sosial atau kolom-kolom media digital. Mereka berpotensi kehilangan pamor, karena jika kita lihat dari sejarah, media itu memiliki peran penting dalam politik. Hal itu tentu saja terkait penyampaian informasi dan bahkan propaganda.

Buzzer yang mengkampanyekan hal baik, atau menginformasikan sesuatu, mengkritik sesuatu dengan data, seharusnya tetap dibiarkan, karena itu bagian dari komunikasi dan edukasi. Kecuali jika buzzer tersebut menyebar hoax, silahkan dilaporkan ke pihak berwajib supaya si buzzer dapat mengklarifikasi, atau jika mungkin diproses secara hukum.

Demokrasi itu sangat gaduh, karena semua orang mempunyai hak untuk bersuara. Dalam demokrasi, penyaluran aspirasi itu adalah hal yang harus dihormati. Dengan catatan, disampaikan dengan cara yang baik.

Akhir-akhir ini, entah mengapa media TEMPO kerap meggoreng isu buzzer. Tetapi entah mengapa yang dilekatkan terkait buzzer pasti Jokowi, padahal diluaran sana pun ada buzzer dari oposisi. Bahkan ada juga buzzer khilafah yang sudah jelas-jelas menyerang ideologi negara.

Katanya, media itu harus menyampaikan sebuah kejadian apa adanya, tanpa perlu diframing melalui judul yang menggiring pada sebuah opini. Kalau ingin menjadi sebuah media opini, maka jadilah media opini. Tetapi mengapa di TEMPO ada tulisan opini, tetapi tak ada nama penulisnya, dan yang tertera justru TEMPO pada akun penulisnya? 

Di Twitter pun, TEMPO share dari media dengan memberi caption serupa dengan judul opini tersebut. Mengapa TEMPO begitu getol menyerang Jokowi dengan bersembunyi dibalik serangannya pada buzzer? Itulah kesannya.

Seharusnya, TEMPO pun berkaca, dan memperbaiki mengapa dia mulai tergopoh-gopoh melawan para competitor media lain, termasuk kalah melawan buzzer yang lebih banyak followersnya. TEMPO harus bisa berdiri dan bersaing secara sehat di tengah perkembangan zaman, jangan ingin menaikan pamor dengan cara-cara yang lucu dan memperkeruh suasana berbangsa dan bernegara (panjat sosial atau pansos)

Kita semua yang paham akan dunia media, maka paham pula adanya peluang untuk menjadikan sebuah berita sebagai proyek. Di bayar untuk mempromosikan sebuah program, dibayar untuk meliput sebuah berita supaya pamornya naik pun kemungkinan ada. Kecuali memang berita-berita tersebut berpotensi membuat gempar dan laku di pasaran para pembaca.

Sebaiknya, kalau mau menyoroti kemungkinan adanya buzzer Jokowi yang terorganisir, TEMPO pun mestinya mengungkap dirinya sendiri sebagai buzzernya sapa? Karena apa yang dilakukannya pun berpotensi disebut buzzer.

Mungkin TEMPO lupa adanya SARACEN, hingga MCA yang sudah terbukti terorganisir menyebarkan hoax dan kebencian. TEMPO mungkin lupa, buzzer khilafah pun masih kerap eksis, tetapi mengapa TEMPO tak menyoroti hal tersebut? Bukankah hal itu lebih membahayakan bagi keutuhan bangsa?

Saya jadi ingat sebuah kata “Kalau kamu ingin menguasai negara atau bahkan dunia, memiliki pengaruh terhadap sebuah negara dan dunia, maka berkuasalah atas media, karena dengan media potensi untuk membuat sebuah kebohongan menjadi sebuah kebenaran bisa terjadi”. Itu dulu, ketika zaman tidak secanggih sekarang ini.

Dulu sekali, entah tahun berapa, ada sebuah isu yang marak di daerah. Ada kepala sekolah SD di sebuah daerah, meninggal karena serangan jantung. Kebetulan orang tersebut adalah Bapaknya seorang teman. 

Isu yang beredar, orang tersebut stress karena diancam oleh seorang wartawan terkait dana DAK. Kepala sekolah yang polos tersebut isunya dicari-cari kesalahannya, meskipun dia sejatidak tidak punya salah. Yang namanya orang desa ya stress juga lama-lama ditekan. Intinya sih, ada permintaan fee dari si wartawan tersebut. Itulah isu yang beredar saat itu.

Pada suatu masa, Saat ke Samsat untuk mengurus pajak kendaraan, disana ada orang yang marah-marah sambil bilang, “Saya ini wartawan, jangan macem-macem dengan saya!”. Orang tersebut berteriak-teriak seperti kesurupan dan mengancam. Usut punya usut, orang tersebut tidak mau diminta untuk mengantre..

Melihat kedua kejadian tersebut, kita mungkin jadi berfikir, apakah yang dilakukan oleh TEMPO sebagai upaya menekan pemerintah dengan menebarkan isu buzzer dengan tak henti? Kita tak boleh menuduh, tapi ini sekedar asumsi. Tidak lebih.

Semoga kita selalu bisa berprasangka baik.

No comments:

Post a Comment