Monday, December 6, 2021

Malaysia dan Indonesia di Mata Masyarakat Arab Timur Tengah

Penulis: 
Sumanto Al Qurtuby 
(Pendiri Nusantara Institute, Senior Fellow Middle East Institute, Pengajar di King Fahd University of Petroleum and Minerals)

Setelah sekian lama menekuni karier akademik di sebuah "negara Arab" di Timur Tengah dan riset mengenai seluk beluk masyarakat dan kebudayaan di kawasan ini, saya memperhatikan pandangan mereka terhadap Malaysia jauh lebih baik daripada Indonesia. Di mata masyarakat Arab Timur Tengah, citra Malaysia jauh lebih baik daripada Indonesia meskipun kaum Muslim di Indonesia yang mengelu-elukan Arab Timur Tengah.




Status Indonesia yang menyandang predikat negara mayoritas berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan penyumbang terbanyak jemaah haji tak mampu "mendongkrak" citra negara kepulauan ini. Dengan kata lain, "identitas ke-Islaman" tak cukup mengubah citra Indonesia di mata masyarakat Arab Timur Tengah atau mengubah persepsi masyarakat Timur Tengah atas Indonesia.

Sejumlah indikator
Ada beberapa indikator kenapa Malaysia dianggap lebih bank. Pertama, banyak masyarakat Arab yang belajar di berbagai perguruan tinggi di Malaysia, baik program S-1, S-2, maupun S-3. Hasil survei R Hirschmann (2020) menunjukkan ada puluhan ribu mahasiswa dari Timur Tengah yang belajar di perguruan tinggi Malaysia. Mahasiswa Indonesia pun juga banyak yang belajar di Malaysia.

Sebagian besar mahasiswa berasal dari Arab Saudi, Mesir, atau Irak. Sementara nyaris susah mencari (meskipun barangkali ada) dari mereka yang belalar di kampus-kampus Indonesia. Masyarakat Arab ke Indonesia pada umumnya bukan untuk belajar, melainkan untuk liburan atau rekreasi, selain berbisnis kecil-kecilan. Lokasi yang populer bagi mereka adalah B2: Bali dan Bogor, yang mereka kenal dengan nama "Puncak".

Saya beberapa kali menulis surat rekomendasi untuk kolega atau mantan murid yang ingin melanjutkan program doktoral di Malaysia untuk bidang studi ilmu sosial dan lainnya. Di Asia Tenggara, di mata masyarakat Arab Timur Tengah, reputasi pendidikan tinggi Malaysia hanya kalah oleh Singapura yang sudah lama membangun basis akademik yang baik dan berkualitas. 

Indikator kedua, Malaysia (selain Singapura) juga salah satu negara destinasi utama King Abdullah Scholarship Program (KASP) untuk kawasan Asia Tenggara. Lagi-lagi, Indonesia tak masuk "negara tujuan beasiswa". KASP adalah program beasiswa besar-besaran dari Pemerintah Arab Saudi sejak 2010 untuk putera-puteri Saudi yang ingin studi di luar negeri di bidang non Islamic studies, khususnyateknik, bisnis, dan lainnya.

Program KASP telah memberangkatkan ratusan ribu mahasiswa ke sejumlah negara yang dianggap maju di bidang pendidikan. Berdasarkan studi Sidiqa AllahMurod dan Sahel Zreik (2020) mayoritas mereka dikirim ke kampus-kampus di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Perancis dan Australia. Untuk Asia, China (termasuk Hong Kong dan Taiwan), Jepang, dan Korea Selatan menjadi negara-negara tujuan utama selain Singapura dan Malaysia.

Negara-negara lain di Timur Tengah (Uni Emirat Arab, Mesir, Maroko, Jordania dan Libya) yang memiliki program beasiswa seperti KASP juga menjadikan atau memasukkan Malaysia (bukan Indonesia) sebagai salah satu "destinasi pendidikan/beasiswa"

Diakuinya kualitas pendidikan tinggi di Malaysia, antara lain bisa dilihat dari animo masyarakat Arab yang cukup tinggi untuk melanjutkan studi di "negeri Iran" itu, selain penyerapan pangsa pasar (pekerjaan) bagi masyarakat Arab alumni perguruan tinggi Malaysia.

Ketiga, berbagai Universitas di Timur Tengah bisa menerima pengajar (warga Arab atau bukan) alumni program doktoral perguruan tinggi di Malaysia. Sementara, sependek yang saya ketahui, tidak ada alumni program doktoral perguruan tinggi di Indonesia yang diterima di kampus-kampus di Timur Tengah. Kalaupun ada dosen warga Indonesia yang mengajar di perguruan tinggi Timur Tengah (termasuk saya), mereka alumni program doktoral di Amerika Utara (AS dan Kanada), Eropa Barat (Inggris, Jerman dan Perancis, Skandinavia (Denmark, Norwegia dan Finlandia) atau Australia.

Para pelamar yang gelar doktornya diperoleh di kampus-kampus China, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura juga dipertimbangkan serta diperhitungkan. Hampir setiap tahun saya terlibat di tim perekrutan penerimaan tenaga pengajar baru yang melamar di kampus tempat saya bekerja Saat ini. Jadi cukup memahami dinamika internal di dalamnya.

Keempat, sikap masyarakat Arab secara umum (public attitudes) terhadap warga Malaysia dan Indonesia juga berbeda. Misalnya, jika mereka melihat ada "muka Melayu" yang jadi tenaga pengajar di perguruan tinggi, mereka biasanya pada mulanya akan menganggapnya atau mengira "orang Malaysia".

Mungkin mereka menganggap "kelas" orang Indonesia bukan sebagai dosen, melainkan pekerja sektor ekonomi informal alias "pekerja kasar" seperti sopir, kuli bangunan, dan semacamnya bagi laki-laki atau "pembantu rumah tangga" bagi Perempuan. Apa yang menyebabkan persepsi masyarakat Arab Timur Tengah terhadap Malaysia dan Indonesia bereda?

Faktor Mendasar
Saya Melihat ada beberapa faktor yang mendasari perbedaan ini. Pertama, Malaysia dipandang sukses membangun sektor pendidikan tinggi berkualitas tetapi dengan biaya relatif terjangkau. Bagi masyarakat Arab Timur Tengah khususnya mereka yang tidak diterima atau enggan belajar di kampus-kampus barat karena alasan keagamaan atau kebudayaan tertentu selain mahal (high cost) tentunya, atau bagi mereka yang tidak mau studi di kampus-kampus negara berkembang (dan miskin) karena alasan ijazahnya tidak laku di pasar, pendidikan tinggi di Malaysia bisa menjadi alternatif yang menjanjikan.

Harus diakui, ketimbang Indonesia, sejumlah perguruan tinggi di Malaysia (debut saja Universiti Malaya, Universiti Kebangsaan Malaysia, dan Universiti Putra Malaysia) dipandang sukses membangun reputasi akademik yang wermutu di tingkat global-internasional. Dibandingkan Indonesia, Malaysia sudah lama menerapkan model bela jar-mengajar dengan Bahasa Inggris yang turut mempengaruhi dan mendongkrak citra dan reputasi pendidikan tinggi di tingkat global.

Kedua, Malaysia dipandang sebagai "negara Muslim" yang maju di bidang perekonomian, sementara Indonesia masih dianggap "negara belum maju" meski berbagai perubahan dan terobosan pembangunan sudah dilakukan. Tentu saja masyarakat Arab Timur Tengah sulit untuk mengirim mahasiswa ke negara-negara yang mereka anggap belum maju tingkat perekonomiannya.

Ketiga, Malaysia bukan negara "pengekspor tenaga kerja kasar" ke Timur Tengah dan kawasan lainnya karena itu sansat hajar jika citra, reputasi, dan kredibilitas mereka "lebih berwibawa" ketimbang Indonesia. Sementara predikat Indonesia masih kust sebagai negara pemasok tenaga kerja kasar ke negara-negara Arab Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, atau Kuwait, selain Hong Kong, Taiwan, Singapura dan Malaysia. 

Karena sudah berlangsung puluhan tahun (sejak awal 1980-an) sulit sekali untuk menghapus citra Indonesia di mata masyarakat Timur Tengah sebagai "negara pengekspor kuli dan babu". Karena faktor ini pula, sulit mengangkat reputasi masyarakat Indonesia di mata publik masyarakat Arab Timur Tengah.

Upaya serius
Untuk itu, saya melihat ke depan perlu dilakukan berbagai upaya serius dan kerja keras Pemerintah Indonesia agar "martabat" mereka lebih berwibawa dan dihargai di kalangan masyarakat Timur Tengah dan global-internasional. Peningkatan sektor ekonomi dan teknologi menjadi sangat penting untuk dilakukan. Negara-negara yang tingkat perekonomian dan teknologinya maju cenderung lebih berwibawa dan dihargai.

Penggarapan sektor pendidikan tinggi yang "berkualitas internasional" juga tak kalah penning untuk dikerjakan secara serius. Saya melihat pemerintah sudah bekerja keras membangun sektor ekonomi, teknologi, dan pendidikan ini meski hasilnya belum bisa diapresiasi  luas oleh masyarakat internasional.

Terakhir, hentikan secara bertahan program "mengekspor" tenaga kerja kasar ke luar negeri, termasuk ke Timur Tengah, dan diganti dengan (kalau perlu) "tenaga profesional". Tentu saja ini tidak mudah direalisasikan dalam maktu dekat dan merupakan pekerjaan rumah sangat sulit dan berat, apalagi kondisi ekonomi Indonesia belum beranjak maju dan lapangan kerja masih terbatas sehingga angka pengangguran tinggi. Meski demikian, jangan pernah lelah dan berputus asa berusaha menjadi yang terbaik dań terdepan. Tak ada yang tak mungkin di muka bumi ini.

Tulisan ini juga dimuat di Harian Kompas edisi Sabtu 13 November 2021.

No comments:

Post a Comment