Wednesday, August 21, 2019

Kisah Para Jenderal Yang Dipenjara Oleh Soeharto Tanpa Alasan Yang Jelas

Pada hari Jumat 1 Oktober 1965 pagi selepas subuh, Mayor Jenderal Maraden Panggabean (Panglima Komando Antar Daerah Kalimantan), sedang menikmati kopi bersama Tjilik Riwut (Gubernur Kalimantan Tengah) di lantai atas Wisma Koanda Kalimantan, di Jalan Blora, Jakarta. Kemudian saat sedang asyik mengoberol, mereka melihat beberapa truk militer penuh tentara melintas dari arah Senayan menuju kawasan ring satu Medan Merdeka di Monas.

Pahlawan Revolusi
Tujuh Pahlawan Revolusi yang gugur pada 1 Oktober 1965

“Kok banyak sekali pasukan? Mau ke mana mereka sepagi ini?” Tanya Tjilik Riwut kepada Maraden. Namun karena memang tak tahu, Maraden hanya bisa membisu dengan sedikit bingung. Ia menduga hal itu adalah pengerahan pasukan terkait dengan (persiapan) peringatan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 5 Oktober 1965.

Maraden terbang dari Kalimantan ke Jakarta bersama istrinya untuk urusan perjalanan dinas.

Karena merasa tak curiga akan terjadi sesuatu, mereka segera berkemas dan bersiap pulang ke Kalimantan. Dengan menumpang dua mobil, mereka berjalan beriringan menuju Lapangan Udara Kemayoran. Maraden mengenakan seragam dinas TNI Angkatan Darat. Saat melintas di Jalan Medan Merdeka Barat, dia melihat banyak sekali prajurit Angkatan Darat mengenakan seragam tempur, dengan syal dan pita merah di lengan kiri.

Maraden meminta sopir melambatkan kendaran dan membuka jendela. Kepada prajurit-prajurit itu, Maraden mengucapkan berulang-ulang salam,”Selamat pagi!” Namun para prajurit disana tidak ada satupun yang menanggapi. Dalam ketersinggungannya dalam hati Maraden membatin, “Kenapa prajurit-prajurit ini kurang berdisiplin.”

Saat itu bahkan Maraden belum tahu ada kejadian besar di Jakarta pagi hari itu, tepatnya saat subuh dimana ada 6 pimpinan TNI Angkatan Darat dan seorang perwira muda diculik dan dibunuh. Peristiwa berdarah yang hingga kini masih belum sepernuhnya tersingkap ini kemudia menjadi awal masa kejatuhan pemerintahan Presiden Sukarno serta kejadian-kejadian yang kemudian memicu peristiwa "horror" lainnya seperti pembunuhan besar-besaran terhadap pengurus, anggota, dan siapapun yang dianggap menjadi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalang Gerakan 30 September (G30S) yang menculik dan membunuh para perwira TNI AD ini hingga kini belum sepenuhnya terang benderang. Apakah Letkol Untung Syamsuri, PKI, Presiden Sukarno, atau bahkan mungkin, Jenderal Soeharto? Dan apa pula tujuan G30S, apakah memang berniat kudeta atau ‘hanya’ menyingkirkan pimpinan Angkatan Darat?

Faktanya...

Pada bulan-bulan menjelang 1 Oktober 1965 itu, santer beredar isu-isu yang membuat panas pemerintah pusat. Gosip-gosip tersebut membuat relasi Presiden Sukarno dengan pucuk pimpinan TNI Angkatan Darat yang sudah renggang menjadi makin tegang dan renggang.

Sudah rahasia umum bahwa sejak lama Bung Karno merasa dongkol sekaligus gemas terhadap pucuk pimpinan Angkatan Darat seperti Jenderal Ahmad Yani dan anak buahnya yang di mata Bung Karno dianggap tidak sepenuh hati menyokong kebijakan ‘Ganyang Malaysia’. Terlebih lagi saat sang Bung Besar menunjuk Panglima AURI (TNI AU) Marsekal Madya Omar Dhani menjadi Panglima Komanda Mandala Siaga (Kolaga) yang membawahi seluruh pasukan dalam konfrontasi dengan Malaysia.

Omar Dhani sudah lama mencium gelagat sikap ogah-ogahan Angkatan Darat, baik dari kubu Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani maupun kelompok Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Angkatan Darat, seperti ditulis Harold Crouch dalam bukunya, The Army and Politics in Indonesia, sengaja memilih Brigadir Jenderal Kemal Idris sebagai Panglima Komando Tempur I, yang bermarkas di Medan. Pasukan Jenderal Kemal inilah yang mestinya dipersiapkan untuk menyerbu Semenanjung Malaysia. Padahal Jenderal Kemal sudah lama dikenal sebagai prajurit anti-Sukarno.

Jenderal Kemal, menurut Omar Dhani, berulang kali sengaja menunda mobilisasi pasukan dari Jawa ke Sumatera. Walhasil, hingga konfrontasi dengan Malaysia berakhir, pasukan Jenderal Kemal tak pernah dalam kondisi siap untuk menyeberang Selat Malaka dan menyerbu Malaysia. ‘Pembangkangan’ Angkatan Darat inilah yang membuat Bung Karno mencari pendukung lain. Berseberangan dengan Angkatan Darat, PKI dengan penuh semangat menyokong konfrontasi dengan Malaysia.

Jenderal Nasution mungkin tak suka dengan Jenderal Yani. “Nasution merasa ditusuk dari belakang oleh Yani karena dia menyetujui kebijakan Presiden Sukarno membatasi perannya sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata hanya sebatas urusan administratif,” Harold Crouch menulis. Namun, meski kurang akur untuk urusan lain, dalam soal membendung pengaruh PKI, Jenderal Yani dan Nasution satu kubu.

Dalam situasi saling sikut, saling curiga itulah, berembus isu adanya Dewan Jenderal yang beranggotakan para pimpinan Angkatan Darat dan berniat ingin merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno.

Berdasarkan pengakuan Sjam dalam sidang Mahmilub, ide mengembuskan kabar Dewan Jenderal berasal dari DN Aidit, Ketua Comite Central (Ketua Umum) PKI. Sedangkan Kamaruzzaman alias Sjam bin Ahmad Mubaidah merupakan sosok misterius yang mengepalai Biro Khusus PKI. Konon dia merupakan agen ganda. Dia dan jaringannya bertugas mengorganisasi simpatisan PKI di lingkungan tentara dan polisi dan bertanggung jawab langsung kepada Aidit.

Nah, isu keberadaan Dewan Jenderal ini terus-menerus ‘digoreng’ dengan gencar walaupun Jenderal Yani berkali-kali dengan keras membantah keberadaan Dewan Jenderal. Belakangan, salah satu jenderal yang dituding turut ‘menggoreng’ isu Dewan Jenderal adalah Brigadir Jenderal Sugeng Sutarto Kolopaking (Wakil Kepala Badan Pusat Intelijen atau BPI).

Isu mengenai Dewan Jenderal semakin panas setelah muncul apa yang dinamakan "Dokumen Gilchrist". Dokumen ini ditemukan di depan pintu rumah Subandrio, Kepala BPI. Dalam ‘surat’ kepada atasannya tersebut, Duta Besar Inggris Andrew Gilchrist menulis soal operasi bersama antara Inggris dan Amerika dengan ‘our local army friends’.

Pada sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) hari kedua, Brigadir Jenderal Mustafa Sjarief Soepardjo, Panglima Komando Tempur II Komando Mandala Siaga (Kolaga), mengatakan dia meninggalkan markasnya di Bengkayang, Kalimantan, dan terbang ke Jakarta pada 29 September 1965 setelah menerima radiogram dengan kode Anak Sakit.

Di Jakarta, Soepardjo sempat bertemu dengan Marsekal Omar Dhani, atasannya di Kolaga. Soepardjo sebenarnya sudah berniat pulang kembali ke Kalimantan keesokan harinya. Tapi Omar memintanya menunda kepulangan. Menurut Omar, Dewan Jenderal akan segera melancarkan kudeta. “Kalau begitu, kita dului saja,” kata Jenderal Soepardjo. Mendengar kata-kata Soepardjo, Marsekal Omar hanya mengatakan, ”Apa pun yang terjadi… pokoknya selamatkan Presiden.”

Setelah bertemu dengan Omar Dhani, Jenderal Soepardjo segera ke rumah Sjam Kamaruzzaman untuk mencari kabar. Dari Mayor (Inf) Walujo, dia mendengar informasi bahwa Dewan Jenderal telah menghimpun pasukan yang bersiaga di Senayan untuk merebut kekuasaan. Sjam menuturkan kepada Soepardjo bahwa ada pasukan lain yang sudah siap menandingi tentara Dewan Jenderal itu.

Dalam kesaksiannya di Mahmilub, Jenderal Soepardjo mengaku bahwa dirinya pertama kali mendengar kabar soal Dewan Jenderal dari Kolonel Abdul Latief (Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti) pada bulan Maret 1965. Dari Sjam, yang sudah dikenalnya sejak awal 1950-an di Bogor, Soepardjo juga mendengar hal yang sama.

Pada hari-hari menjelang berakhirnya bulan September 1965, ada pasukan besar yang didatangkan ke Jakarta untuk persiapan Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Tiga kesatuan tempur itu adalah Batalion 454/Raiders dari Kodam Diponegoro, Batalion 530 dari Kodam Brawijaya, dan Batalion 328 Kodam Siliwangi. Mereka datang atas perintah Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto.

Ada banyak cerita yang bertentangan soal kejadian-kejadian pada bulan September 1965, detik-detik akhir menjelang Gerakan 30 September (G30S), operasi penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 pagi. Misalnya soal kesaksian Letnan Kolonel Bambang Widjanarko, ajudan Bung Karno.

Menurut Bambang, Presiden Sukarno tahu dan mungkin terlibat dalam G30S. Dia mengaku melihat Letkol Untung Syamsuri menitipkan ‘surat penting’ untuk Presiden Sukarno lewat Ajun Inspektur Polisi Sogol Djauhari soal kesiapan pasukan untuk operasi penindakan para jenderal pada 30 September malam, hanya beberapa jam sebelum penculikan. Klaim Bambang dibantah Kolonel Maulwi Saelan, Wakil Komandan Cakrabirawa.

“Saya terus mendampingi Bung Karno dan tidak pernah meninggalkannya walaupun sebentar. Saya tidak melihat kedatangan pelayan Sogol yang menitipkan sepucuk surat yang katanya dari Untung untuk diserahkan kepada Bung Karno,” kata Saelan, dikutip dari bukunya, Penjaga Terakhir Soekarno. Menurut Saelan, sungguh janggal menitipkan surat sepenting itu kepada seorang pelayan seperti Sogol.

Ada pula pengakuan Kolonel Latief, yang menemui Jenderal Soeharto soal G30S pada 30 September 1965 malam. Menurut Latief, dia melaporkan kepada Soeharto, yang sudah lama dia kenal sejak sang jenderal masih menjadi komandannya di Kodam Diponegoro, ada gerakan yang akan menangkap sejumlah jenderal. Soeharto, kepada Latief, mengaku sudah tahu kabar tersebut.

Namun bertahun-tahun kemudian, dalam wawancara dengan majalah dari Jerman, Der Spiegel, pada 19 Juni 1970, Soeharto membantah pernyataan Latief. Ia memang mengakui bertemu dengan Latief pada malam itu. Tapi Latief, kata Jenderal Soeharto, tak memberikan informasi apa pun. “Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena kami berada di tempat umum, dia mengurungkan niatnya,” kata Soeharto. Entah bagaimana Soeharto bisa menyimpulkan seperti itu. Yang pasti, setelah G30S dilibas pasukan Soeharto dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) hanya dalam waktu setengah hari, tanpa perlawanan berarti, Latief tak dihukum mati seperti Untung dan Jenderal Soepardjo.

Menurut John Roosa, sejarawan Universitas British Columbia, Kanada, dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, ada banyak hal janggal, bahkan kurang masuk akal, di sekitar G30S. Jika memang Untung dan orang-orangnya berniat merebut kekuasaan, bagaimana mungkin dilakukan dengan pasukan yang sedemikian kecil, dengan perencanaan yang begitu kacau, tanpa disokong persenjataan berat atau kendaraan lapis baja, mengabaikan fakta begitu besarnya kekuataan Angkatan Darat di Jakarta dan sekitarnya, dan tak melakukan upaya-upaya lain untuk merebut kekuasaan setelah membunuh dan menculik para jenderal.

Brigjen. MS Soepardjo
Brigjen M.S Soepardjo, Panglima Komando Tempur II Komando Mandala Siaga ini merupakan satu-satunya jenderal dalam Gerakan 30 September. Dia dihukum mati pada 18 Maret 1967 di Cimahi, Jawa Barat.

Senin pagi 16 Februari 1981, adalah ‘hari besar’ bagi Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra. Setelah 15 tahun dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili, pada pagi itu dia bebas. Pranoto keluar dari penjara bersama dua jenderal sesama tahanan politik: Mayor Jenderal Soehario Padmodiwirio, mantan Pangdam Mulawarman dan Mayor Jenderal Rukman, mantan Kepala Staf Kodam Siliwangi.

Mereka bisa bebas setelah mendapatkan surat keputusan pembebasan dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo. “Sampai sekarang kami bertiga tetap tidak dapat mengerti dan memahami apa yang dijadikan argumentasi atau motivasi penahanan kami,” Pranoto menulis dalam catatannya. Setelah upacara singkat di Markas Kodam Jaya, sesuai niatnya, dia pulang berjalan kaki ditemani putranya, Handrio Utomo, ke rumahnya di kampung Kramat Jati, Jakarta Timur.

Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, ada sejumlah jenderal jatuh, tamat kariernya, bahkan dihukum mati atau harus mendekam di penjara bertahun-tahun, seperti Deputi Operasi I TNI Angkatan Darat Mayor Jenderal Moersjid, Asisten III Panglima TNI Angkatan Darat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra, Brigadir Jenderal Mustafa Sjarief Soepardjo, Panglima Komando Tempur II Komando Mandala Siaga, Brigadir Jenderal Ulung Sitepu, Gubernur Sumatera Utara, Brigadir Jenderal Sugeng Sutarto, Wakil Kepala Badan Pusat Intelijen, Mayor Jenderal Rukman dari Kodam Siliwangi, Mayor Jenderal Soehario Padmodiwirio, mantan Panglima Kodam Mulawarman, dan beberapa petinggi TNI Angkatan Udara.

Tapi ada pula jenderal yang kariernya makin mengkilap, Maraden Panggabean salah satunya. Setelah Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani, Maraden ditunjuk menjadi wakilnya. Karier Maraden terus menanjak hingga menjadi Panglima TNI pada 1973.

Tak ada firasat apa pun di benak Mayor Jenderal Soehario Padmodiwirio yang lebih dikenal dengan nama Hario Kecik, saat dia memasuki pesawat Aeroflot dan bersiap terbang ke Moskow, Uni Soviet, pada akhir Januari 1965. Dia menikmati betul penerbangan itu. Apalagi semua hidangan yang ditawarkan pramugari sepanjang penerbangan cocok dengan seleranya, mulai kaviar sampai ikan sturgeon asap dari Laut Hitam. Setelah perut kenyang, beberapa teguk Vodka Stolitsnaya membuat dirinya terlelap hingga mendarat di Moskow.

Tugas belajar ke Moskow ini bukan penugasan pertama bagi Hario. Mayor Jenderal Soehario pernah dikirim belajar ke Soviet, juga ke Amerika Serikat. Sebelum dikirim ke Soviet oleh Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, Hario pernah menjabat Panglima Kodam Mulawarman di Kalimantan. Jenderal Yani menjanjikan dia akan mendapatkan kenaikan pangkat setelah pulang dari Soviet. Hario tak tahu penerbangan kali itu akan mengubah jalan hidupnya dan keluarganya untuk selamanya.

Baru delapan bulan menempuh pendidikan di General Staff Academy Suworov, Hario mendengar kabar ada geger di Jakarta pada 30 September 1965. Sejumlah pimpinan Angkatan Darat, termasuk Jenderal Yani, tewas dibunuh. Badai politik di Jakarta, memporakporandakan nasib banyak warga Indonesia yang sedang belajar di Uni Soviet, termasuk Mayor Jenderal Hario dan keluarganya.

Satrio Bimo, putra kedua Hario mengatakan "Papi merasa, setelah peristiwa 1965, tidak ada yang menghubunginya. Ibaratnya, seperti layangan putus,". Bahkan, ketika pendidikan militernya selesai pada 1967, tak ada perintah untuk kembali ke Indonesia.

Tak boleh kembali ke Tanah Air membuat status kewarganegaraan Hario dan keluarganya tak jelas. "Kami stateless, tak punya negara, tapi kami tidak meminta status warga negara ke negara lain," ujar Satrio. Mereka akhirnya berada dalam perlindungan Komite Internasional Palang Merah. Untuk menghidupi keluarga, Hario menjadi peneliti di USSR Academy of Science.

Pada pertengahan 1970-an, Menteri Luar Negeri Adam Malik berkunjung ke Moskow. Agenda utamanya adalah menegosiasikan pembayaran utang Indonesia dengan pemerintah Soviet. Lewat Atase Militer Kolonel Soehardjo, Adam Malik meminta Hario datang ke Kedutaan. Keduanya memang sudah kenal lama, sejak Hario masih mahasiswa kedokteran di Jakarta. Saat itu Hario mengenal Adam Malik sebagai aktivis Murba.

Sambutan Adam Malik masih ramah seperti dulu. Dia membuka pembicaraan. “Hario, Pak Harto memberi izin kepada saya untuk menemui kamu. Saya bilang bagaimana kalau saya mengajak kamu pulang. Beliau berkata kamu tak tersangkut masalah politik. Bagaimana pendapatmu?”

Hario mengatakan saat itu dia hanya memikirkan masa depan pendidikan anak-anaknya. “Mengapa tak menyekolahkan mereka ke Eropa?” Menteri Adam bertanya. Hario langsung menjawab tanpa basa-basi. “Bung tentu tahu saya tak punya kemampuan dana menyekolahkan mereka ke Eropa. Tapi kalau Bung bisa menjamin mereka sekolah di mana saja di Eropa atau Amerika, saya akan pulang bersama Bung.“ Adam Malik hanya tertawa. Sikapnya tetap santai, padahal orang-orang di sekelilingnya mulai gelisah.

Hario Kecik
Mayor Jenderal Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik

Akhirnya, pada Juni 1977, setelah lebih dari 12 tahun tinggal di Moskow, Hario dan keluarganya pulang ke Indonesia. Begitu di keluar dari pintu pesawat, ternyata sudah menunggu Ali Murtopo, salah satu orang kepercayaan Presiden Soeharto. Hario langsung dikirim ke Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta.

Tak jelas benar apa kesalahan Hario. "Dianggap anggota Partai Komunis Indonesia sih tidak. Cuma rumornya Papi dianggap dekat dengan Bung Karno," ujar putranya, Satrio. Di RTM Budi Utomo, dia bertemu dengan teman-teman senasib, sesama tahanan politik, seperti mantan Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Soebandrio dan mantan Panglima Angkatan Udara Marsekal Omar Dhani.

No comments:

Post a Comment