Friday, January 8, 2016

Merunut Akar Pemicu Rivalitas dan Perseteruan Arab Saudi-Iran Hingga Berabad-abad Silam

Situasi Timur Tengah kini tengah memanas menyusul perseteruan antara Arab Saudi dengan Iran sebagai buntut pemutusan hubungan diplomatik antara kedua negara tersebut yang dilakukan oleh Arab Saudi. Hal tersebut sebagai ekses kasus eksekusi mati ulama Syiah terpandang, Nimr al-Nimr yang mendapat resistensi keras dari Iran.

Rivalitas Arab Saudi-Iran
Konflik Arab Saudi dan Iran, murni konflik agama

Sebelumnya, Kerajaan Arab Saudi, negeri yang dikuasai wangsa Saud telah mengeksekusi mati 47 orang tahanan. Syeikh Nimr al-Nimr, seorang ulama besar yang berpandangan pikiran sebagai oposisi yang berasal dari Qatif, provinsi Timur Arab Saudi, termasuk yang dieksekusi tersebut. 

Menanggapi hal tersebut maka timbullah protes atas keputusan yang diambil oleh pemerintah Arab Saudi, khususnya di ibukota Iran, Teheran. Sayangnya, protes dan demonstrasi di tanah para majusi itu berujung destruktif. Para pengunjuk rasa menyerang Kedutaan Besar Arab Saudi di negara tersebut, serta membuang isinya ke jalanan dan membakarnya.

Kalau melihat ke belakang, sebenarnya kejadian ini bukanlah kali pertama Kedutaan Arab Saudi di Teheran diserang dan di rusak. Sebelumnya pada tahun 1988, massa di Teheran membakar Kedutaan Besar Arab Saudi, yang menewaskan seorang diplomat Arab Saudi. Akar penyulut insiden ini adalah bentrokan antara petugas keamanan Masjidil Haram di Mekkah dengan jemaah haji Syiah asal Iran pada 1987 yang menewaskan sekitar 275 warga negara Iran.

Tindakan Arab Saudi memutus hubungan dengan Iran langsung diikuti oleh Bahrain dan Sudan. Uni Emirat Arab menanggapinya dengan mengganti duta besarnya di Teheran dengan seorang diplomat (sebuah hal yang berarti menganggap Iran "tidak penting). 

Hal ikhwal insiden diplomatik ini bisa dimengerti karena Arab Saudi dan Iran merupakan rival yang saling memperebutkan pengaruh di kawasan Teluk, khususnya Timur Tengah dan dunia Islam. Perseteruan mereka juga menyangkut rivalitas dalam doktrin atau mazhab agama di lingkungan Islam: Arab Saudi sebagai representasu Sunni, sedangkan Iran sebagai representasi Syiah.

Konflik kedua negara tersebut juga merembet ke negara tetangganya yang saat ini sedang carut marut oleh konflik sektarian seperti Suriah dan Yaman. Kedua negara yang sedang menderita konflik ini mendapat pasokan energi bahan bakardari Arab Saudi dan Iran. 

Arab Saudi ditenggarai terlibat dalam upaya menggulingkan Presiden Bashar al-Assad yang mendapatkan dukungan Iran. Sementara di Yaman, militer Saudi memerangi para pemberontak Houthi yang mendapat dukungan Iran.

BBC menyebutkan bahwa masalah agama menjadi faktor utama penyebab permusuhan kedua negara ini. Parahnya lagi, sebuah hal yang tidak bisa disangkal adalah isu agama tersebut selalu dimanfaatkan untuk meraih keunggulan politik. 

Oleh karena itu, untuk bisa memahami akar dan asal-muasal rivalitas Arab dan Iran, kita harus kembali jauh ke sejarah masa lalu pada masa Nabi Muhammad SAW.

Umat Islam mempercayai bahwa Muhammad menerima wahyu dari Tuhan Allah untuk disampaikan kepada masyarakat Mekkah (pada saat itu) dan seluruh umat manusia. Singkat kata, ajaran Muhammad lantas menyebar ke jazirah Arab. Para pengikut Muhammad pun juga berhasil membangun imperium yang membentang dari Asia Tengah hingga Spanyol.

Setelah wafatnya Muhammad pada tahun 632 M, timbullah konflik mengenai siapa yang berhak untuk menjadi penerusnya. Kaum Sunni, yakni ahl as-sunnah wa l-jama'ah atau ahl as-sunnah, meyakini bahwa penerus yang layak adalah orang yang mempunyai kualifikasi yang paling baik.

Sedangkan golongan kaum Syiah, yakni Syiah Ali, yang secara harfiah berarti para pengikut Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, mempercayai bahwa sosok yang paling pantas untuk menjadi penerus Nabi Muhammad haruslah berasal dari keluarga Rasulullah SAW. Dan menurut anggapan orang-orang dalam kelompok ini, orang yang paling pantas tersebutb adalah Ali.

Ali kemudian tewas dibunuh pada tahun 661 M di tengah meluasnya perpecahan di kalangan Islam, yang memuncak di Karbala (Irak). Para penguasa Sunni membunuh cucu Nabi Muhammad yang bernama Husain, pada 680 M, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Perang Karbala. Tragedi ini tak pernah bisa dilupakan doleh para pengikut Ali.

Lalu, ada penyatuan Arab Saudi diprakarsai oleh Abdul Aziz bin Saud pada 1932 lewat pendirian sistem pemerintahan monarki absolut atau Kerajaan. Wahhabisme (gerakan yang bertujuan memurnikan Sunni dan kembali kepada Quran serta Hadits) sangat mempengaruhi raja Saudi serta para pewaris takhtanya.

Wahhabisme berangkat dari ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad ke-18. Ia sosok yang betul-betul anti-Syiah.

Revolusi Iran, dengan mazhab Syiahnya yang terjadi pada tahun 1979 menentang kekuasaan tersebut. Hal ini membuat golongan Sunni, khususnya Arab Saudi, mencemaskan pengaruh dan kekuatan Iran di kawasan sejak revolusi tersebut.

Pada periode 1980 - 1988 (Perang Iran-Irak), Arab Saudi dengan jelas memberikan dukungan keuangan dan politik besar-besaran kepada Pemimpin Irak (saat itu) Saddam Hussein meski sebenarnya mereka tidak menyukai Saddam. Yang menjadi penyebab dan dalih dukungan Arab Saudi terhadap Irak adalah ajaran Syiah dikhawatirkan akan menyebar ke seluruh kawasan Timur Tengah jika Iran menang perang.

Dalam beberapa dasawarsa belakangan, benturan dua negara memburuk. Teristimewa setelah Iran ikut campur dalam sejumlah urusan di dunia Arab, seperti masalah Irak, dan kini Yaman.

Ketakutan Arab Saudi bahwa kekuasaannya akan terenggut semakin membesar terutama setelah sejumlah aktivis Syiah di dalam negeri mendesak berlakunya kesetaraan antara para pemeluk Sunni dan Syiah. Pihak Kerajaan Arab Saudi berlaku represif terhadap semua penentangnya di dalam negeri, pun di negeri tetangga seperti Bahrain.

Apabila ingin melihat dari sisi sudut pandang emosional, pendapat seorang profesor Iran bernama Sadegh Zibakalam mengenai permusuhan Arab Saudi-Iran bisa menjadi salah satu pertimbangan. Menurut Sadek Zibakalam, kebencian Iran terhadap Saudi bertolak dari kalahnya Persia atas bala tentara Islam pada Pertempuran Qadisiyah pada tahun 636 M.


"(Kekalahan) itu layaknya bara dendam dalam timbunan abu yang menunggu waktu untuk kembali berkobar," ujarnya.
(BBC, Al Arabiya)

No comments:

Post a Comment