Saturday, August 24, 2019

Kesaksian Para Saksi Hidup Korban Keganasan DI/TII di Bandung

Éméh masih ingat dengan baik peristiwa itu yang terjadi pada tahun 1958 ketika pasukan DI/TII menghabisi beberapa anggota TNI yang sedang berpatroli di Desa Cipedes. Ia menyebut TNI dengan kata “tentara”, sementara DI/TII dengan sebutan “gerombolan”.

Pada masa pemberontakan gerombolan itu, setiap sore ia dan semua warga kampung mengungsi ke balai desa. Malam adalah saat-saat tak aman dan membuat mereka ketakutan, sebab gerombolan selalu datang menyatroni kampung. Sebelum meninggalkan rumah, semua warga kampung menyediakan nasi dalam bakul untuk gerombolan. Mereka bukan mendukung "perjuangan" gerombolan tersebut, melainkan agar rumahnya tidak dirusak atau dibakar oleh gerombolan.

Sangu disimpen di dapur, panto dipolongokeun. Mun teu kitu, bumi tiasa direksak atanapi dirérab (Nasi disimpan di dapur, pintu dibuka. Kalau tidak begitu, rumah bisa dirusak atau dibakar),” tuturnya.

Biasanya Emeh meninggalkan rumah setelah ashar. Namun sayangnya hari itu ia sedikit terlambat dan baru pergi menjelang maghrib, saat hari mulai beranjak gelap. Baru beberapa langkah saja meninggalkan rumah, ia mendengar suara rentetan senjata. Sekonyong-konyog langsung tiarap.

Dari celah pepohonan, pandangannya mengarah ke jalan raya, ke sumber kegaduhan. Sekilas terlihat olehnya beberapa tentara menjelempah bersimbah darah. Éméh tak berani melihat lama. Pelan-pelan ia bangun dan segera pergi ke balai desa.

Di tempat kejadian itu, persis di pinggir jalan raya, sejak 1995 didirikan tugu setinggi kurang lebih dua meter oleh Yonif 304 Kodam Siliwangi, bertuliskan:

“Di sini gugurnya

Letda Karim

Serda Makmur

Praka Sa’ari

Praka Kardi

Praka Sidik

Akibat keganasan DI/TII

Thn. 1958”

Islam Radikal
Tugu peringatan untuk mengenang TNI yang gugur akibat keganasan DI/TII

Peristiwa tersebut terjadi di Kampung Jamban, Desa Cipedes, Kecamatan Paseh, Kabupaten Bandung, tak jauh dari rumah Éméh. Saat itu Desa Cipedes memang salah satu daerah rawan DI/TII. Warga yang hampir setiap hari harus menyediakan nasi untuk gerombolan, juga menjalankan rutinitas harian: sore mengungsi, pagi sebelum terang kembali ke rumah dan beraktivitas hingga Ashar.

Menurut Éméh, setiap hari warga mendapat beras di balai desa yang dibagikan oleh kulisi (pegawai desa yang bertugas menjaga keamanan lingkungan desa). Bukan untuk dirinya, melainkan untuk gerombolan DI/TII.

“Tong poho asakan éta beas, améh imah teu diduruk (Jangan lupa, masak berasnya, agar rumah [kalian] tidak dibakar),” kata kepala desa (kades) kepada warga saat itu, seperti disampaikan Éméh.

Situasi di balai desa cukup aman, sebab dijaga kulisi dan beberapa orang anggota Organisasi Keamaan Desa (OKD)—milisi setempat yang dilatih tentara dan bertugas menjaga keamanan. Émén, suami Éméh, adalah anggota OKD yang bertugas di Balai Desa.

Dalam Kartu Keluarga (KK), tertulis bahwa Émén lahir pada 1924, sementara istrinya tahun 1951. Namun, kata salah seorang anaknya, catatan itu keliru, sebab usia kedua orang tuanya tidak terlalu berjauhan.

Émén meninggal dua tahun lalu. Dalam beberapa lembar foto yang diperlihatkan anaknya, dalam usia tua ia nampak masih gagah berseragam militer dengan logo Kodam Siliwangi di lengan baju kirinya. Badannya tegap, meski raut mukanya telah dipenuhi keriput.

Nu di imah mah da sok mimilu Létnan Karim (yang di rumah suka ikut Letnan Karim),” kata Éméh.

“Yang di rumah” maksudnya adalah suaminya, Émén. Ia tak pernah memanggil nama atau panggilan lain yang biasa diucapkan seorang istri kepada suami. Hal itu, menurutnya, lantaran hubungan ia dan suaminya “teu hadé” alias tidak baik.

“Ulah dibéjakeun atuh Mak sual éta mah (Persoalan itu tidak usah disampaikan, Mak),” kata anaknya. Namun, Éméh terus saja membicarakan hubungan tersebut.

Ketika kami menemuinya, Éméh tengah berada di dapur dekat perapian. Oleh anaknya ia dibawa ke teras rumah tetangga yang tersedia sofa. Jalannya agak membungkuk, pendengarannya sudah tidak terlalu baik. Kami harus setengah berteriak setiap kali melontarkan pertanyaan.

Pertanyaan-pertanyaan setengah teriak itu pun mengganggu para tetangganya yang barangkali tengah tidur siang atau bisa membangunkan bayi. Dan benar saja, tak lama kemudian para tetangganya berdatangan, ikut mengerubungi kami.

Jika jeda dan pertanyaan saya tak terdengar, pandangan Éméh selalu menerawang. Karena pendengarannya sudah tidak terlalu prima, saya mesti mengulangi beberapa pertanyaan sampai dua atau tiga kali. Saat pertanyaan saya mendarat mulus di kupingnya, mata Éméh hidup kembali, dan ia mulai bercerita.

Saksi Hidup
Emeh, saksi hidup keganasan gerombolan DI/TII di Bandung

Ia menceritakan bahwa dirinya pernah sekali terlambat menanak nasi saat gerombolan keburu datang. Kepalanya dihajar popor senapan sebanyak 3 kali. Matanya berkunang-kunang dan ambruk. Setelah sadar, ia segera membereskan pekerjaannya di dapur. Beruntung, gerombolan agak sedikit bersabar, meski barang-barang di rumahnya habis dirusak dengan ditendangi dan dihajar popor senapan. Setelah masak, nasi segera ia suguhkan, dan gerombolan membawa nasi beserta bakulnya.

Isukna boboko geus aya deui di imah (Esoknya, bakul [yang dibawa gerombolan] telah ada lagi di rumah),” ujarnya.

Ia masih amat ingat dan tahu bahwa sejumlah ustadz dan kiai kampungnya yang ikut dalam gerakan pemberontakan gerombolan tersebut. Ia menyebutnya ada 4 orang, tapi hanya satu nama yang ia ingat, yaitu Mama Bustomi. “Mama” adalah salah satu panggilan orang Sunda kepada ulama.

Emeh lantas bercerita masa kecil saat ia belajar mengaji kepada Mama Bustomi. Namun di kemudian hari, ia kaget, saat DI/TII mengganas, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat guru mengajinya tersebut ikut bersama pasukan yang ia sebut “gerombolan”.

Duka di mana Mama anyeuna, pasti tos maot, ah atuda tos lami kajantenanna (Tidak tahu di mana Mama sekarang, pasti sudah meninggal, kan sudah lama kejadiannya),” ujarnya.

Kemudian, jauh setelah pemberontakan DI/TII berakhir karena berhasil ditumpas, anaknya berusaha mengajukan agar bapaknya, Émén, diangkat menjadi Legiun Veteran, agar mendapatkan tunjangan veteran. Namun sayangnya hingga hari ini ia, yang mengajukannya lewat calo, tak kunjung mendapatkan kabar gembira. Padahal ia sudah menyerahan dana sebesar lebih dari Rp 3 juta lebih kepada orang yang mengurus pengajuan tersebut.

Éméh yang sudah tua, rupanya tahu juga soal pengajuan ini. Pada akhir pembicaraan ia berkata, “Emak mah teu boga nanaon. Batur mah geus diarangkat. ‘Nu di imah’ mah teu diangkat nepi anyeuna (Emak tak punya apa-apa. Orang lain [yang ikut membantu tentara dalam penumpasan DI/TII] sudah pada diangkat [menjadi Legiun Veteran]. ‘Yang di rumah’ tak diangkat sampai sekarang),” ucapnya.

Emen dengan kawannya sesama anggota OKD di masa tua

Mencari Kisah di Ciwangi
Kemudian dari rumah Éméh di Desa Cipedes, kami menuju Koramil Paseh yang terletak di Desa Cipaku dengan harapan mereka mempunyai catatan tentang peristiwa penumpasan DI/TII di wilayahnya. Namun, seorang prajurit jaga yang rambutnya sudah agak memutih menyarankan kami agar menemui para orang tua yang merupakan saksi mata masih tersisa yang mengalami peristiwa tersebut.

Tak jauh dari Koramil Paseh memang terdapat tugu yang dibuat Kodam Siliwangi. Pada tugu tersebut terdapat ucapan terima kasih TNI kepada masyarakat atas peran aktifnya dalam menjaga keamanan.

Sebelumnya, kami bersama Komunitas Aleut (komunitas sejarah di Kota Bandung) pernah menyambangi tugu tersebut dan bertemu dengan Omay, seorang mantan dalang wayang golek dan wayang orang saat mengunjungi sebuah makam keramat di Kampung Ciwangi, Desa Cipaku. Waktu itu Omay sempat bercerita sekilas tentang penumpasan DI/TII di Kampung Ciwangi.

Namun, saat itu kami tak segera mencari dan menemuinya dengan pertimbangan bahwa orang tersebut tidak akan terlalu sulit dicari, karena saya pernah bertemu dengannya. Bahkan wajahnya pun saya masih ingat.

Lantas prajurit yang berjaga di Koramil Paseh tersebut memanggil seorang juru parkir untuk menunjukkan sejumlah rumah orang tua yang menjadi saksi mata zaman keganasan gerombolan DI/TII. Barangkali karena tengah sibuk, juru parkir itu hanya menunjukkan rumah-rumah tersebut berdasarkan beberapa tanda.

“Rumah Bu Hajjah Iwing dekat pemancar, tak jauh dari pabrik. Akang terus saja jalan ke atas, ke arah Ciwangi. Ia pernah mengalami [masa pemberontakan DI/TII],” ujarnya.

Setelah bertanya ke sejumlah orang, akhirnya kami menemukan rumah yang dimaksud. Suasana di halaman dan di dalam rumah tampak sepi. Berkali-kali kami permisi, tapi tak juga ada jawaban dari dalam. Seorang tetangganya memberi tahu, mungkin Hajjah Iwing sedang pergi ke majelis taklim mengikuti pengajian, dan pulangnya biasanya sore.

Akhirnya kami pergi ke sebuah warung yang di depannya terdapat beberapa tukang ojek yang mangkal, tak jauh dari Koramil Paseh. Seorang di antara mereka mengatakan, saya bisa menemui Haji Omon yang rumahnya dekat pangkalan keretek (dokar) di Kampung Pasir Kukun.

Gerombolan Menggorok Teman Kakaknya
Dari jalan raya, jalan menuju rumahnya semakin mengecil, hanya setapak, banyak kotoran kuda berceceran. Saat menemui kami, Haji Omon, yang kini tinggal di rumah anaknya, mengenakan kopiah putih, barangkali habis salat zuhur.

Pendengarannya sama dengan Éméh, tidak terlalu baik. Ia mengaku kelahiran 1941. Omon lahir di Kampung Sayang, Desa Cipaku, Kecamatan Paseh. Dari Koramil Paseh, letak kampungnya agak ke atas, yang jika terus disusuri ke atas akan bersambung dengan Kabupaten Garut.

Saat mula-mula pasukan DI/TII kerap menjarah perkampungan, usianya belum dewasa. Namun, ia ingat betul bahwa rumahnya pernah “dikunjungi” gerombolan sebanyak 4 kali.

Opat kali unggah ka imah. Biasa wé néangan kadaharan. Bapa jeung kolot mah ngan ukur bisa cicing (Empat kali [gerombolan] naik/masuk ke rumah. Seperti biasa [mereka] mencari makanan. Bapak dan orang tua hanya bisa diam),” ujarnya.

Ketika suasana semakin rawan, Omon dan orang tuanya lantas mengungsi ke Majalaya. Kakaknya adalah salah seorang anggota OKD (ia menyebutnya hansip) yang diincar gerombolan karena mempunyai nyali yang besar. Menurutnya, para anggota OKD termasuk kakaknya memang orang-orang pemberani yang selalu ikut dalam pertempuran melawan gerombolan.
 
Maka oleh sebab hal tersebut mereka menjadi incaran utama untuk dibunuh. Sayangnya, nasib apes menimpa Onda, salah seorang teman kakaknya sesama anggota OKD. Ia tertembak gerombolan, dan saat warga menemukan jenazahnya, luka besar menganga tampak pada bagian lehernya.

Dipeuncit gorombolan (Digorok gerombolan),” ujarnya.

Meski tak seberani kakaknya, Omon pernah ikut dalam Operasi Pagar Betis (Pasukan Gabungan ABRI Rakyat Berantas Tentara Islam) di kaki Gunung Rakutak, Kecamatan Pacet, saat kekuatan DI/TII semakin lemah. Setiap 20 meter, pos-pos penjagaan berupa pondok didirikan. Setiap pos diisi 5 orang yang bersenjatakan golok.

Loba pisan nu milu pager bitis, Rakutak nepi eundeur (Banyak sekali yang ikut [operasi] Pagar Betis, [Gunung] Rakutak sampai bergetar),” ungkapnya.

Warga secara bergantian menjaga pos. Omon kebagian tugas jaga 3 hari. Saat ikut berjaga, rutinitasnya hanya memasak, makan, dan tidur. Pasukan DI/TII yang pasokan logistiknya mulai terbatas dan kelaparan mulai tercerai berai, satu-persatu turun dari gunung lalu menyerahkan diri.

Berkali-kali ia mengatakan yang diakhiri tawa berderai-derai: saat berjaga, dirinya malah merasa enak makan dan enak tidur.

Namun, wajahnya juga memancarkan keprihatinan saat menceritakan pembakaran kampung-kampung yang dilakukan oleh gerombolan, seperti Kampung Cijengkol dan Kampung Pabeyan. Keduanya terletak di Kecamatan Paseh.

Pemberontakan DI/TII
Haji Omon, semasa kecil tinggal di Kampung Sayang, Desa Cipaku, Kec. Paseh. Pernah ikut operasi Pagar Betis di kaki Gunung Rakutak, Kab, Bandung


Markas Tentara dan Makam Keramat
Sebelum pamit, Omon menyarankan kami untuk menemui Dalang Omay karena katanya mereka seangkatan, sama-sama kelahiran 1941.

Kami pun menemui Omai di rumahnya. Kini seluruh rambutnya telah memutih. Namun bagusnya, pendengarannya masih sangat baik dan ia pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya dengan runtut dan lancar.

Omay, ia lahir di Ciwangi pada 1941 dan tak pernah pindah dari kampung halamannya. Rumah Omay tak jauh dari Koramil Paseh, tempat yang dulu menjadi markas salah satu kompi dalam usaha pemadaman pembrontakan DI/TII. Kompi tersebut dipimpin Letda Karim, tentara yang tewas disergap gerombolan di Desa Cipedes.

Omay menuturkan, berbeda dengan komandan-komandan kompi yang lain, yang membuat rakyat menjaga jarak karena merasa segan, Letda Karim adalah komandan kompi yang disegani sekaligus dekat dengan rakyat.

Ia tak merasa heran saat saya menceritakan apa yang disampaikan Éméh tentang suaminya yang suka ikut berpatroli dengan Letda Karim.

“Letnan Karim memang caket pisan sareng rahayat (Letnan Karim memang sangat dekat dengan rakyat),” ujarnya.

Peristiwa di Cipedes yang menewaskan Letda Karim beserta beberapa anggotanya, menurut Omay, adalah tonggak dalam hidupnya, sebab ia masih ditakdirkan hidup sampai sekarang.

Suatu hari ketika ia bersiap pergi ke Desa Sukamanah, Kecamatan Paseh untuk mendalang dalam pertunjukan wayang orang, Letda Karim mengajaknya berpatroli ke Cipedes. Ia sebetulnya merasa tak enak hati menolak ajakan tersebut, tapi jadwal mendalang jauh-jauh hari telah ditentukan. Akhirnya ia tak ikut berpatroli yang berujung maut bagi para tentara itu.

Kampung Ciwangi tempat ia tinggal, selain karena menjadi markas tentara, juga karena keberadaan makam keramat sehingga dari awal sampai akhir pemberontakan DI/TII tak pernah jatuh ke pihak gerombolan.

“Percanten teu percanten, tapi sigana makom éta gé nu janten sabab gorombolan teu tiasa ngarebut Ciwangi (Percaya gak percaya, tapi sepertinya makam [keramat] juga menjadi penyebab gerombolan tidak bisa merebut Ciwangi [dari tentara]),” ucapnya. 

Omay pun menyaksikan 2 peristiwa berdarah yang menimpa gerombolan yang berhasil ditangkap tentara. Pertama, saat sekitar 5-6 gerombolan ditangkap dan tangannya diborgol. Oleh tentara, mereka dibawa ke permakaman tak jauh dari rumahnya. Lubang kuburan telah tersedia. Di tepi kubur, para gerombolan itu dihabisi dan langsung masuk ke lubang kuburan.

Sementara peristiwa lainnya lebih mengerikan. Dua gedung sekolah dasar di Cipaku saat itu dijadikan tempat untuk mengurung 21 orang gerombolan yang tertangkap. Sekali waktu, saat kompi dipecah ke dalam sejumlah regu untuk berpatroli, kekuatan tentara yang berada di markas tidak terlalu besar.

Jumlah tentara yang tidak besar itu dikejutkan oleh teriakan-teriakan dari kejauhan, tanda gerombolan hendak menyerbu markas. Tentara berpikir, jika gerombolan berhasil menembus markas dan meloloskan para tahanan, maka kekuatan mereka akan berlipat. Untuk menghindari kemungkinan tersebut, sebelum menghadapi gerombolan yang akan datang menyerbu, tentara terlebih dulu menghabisi para tahanan. Gedung sekolah pun dibanjiri darah. Dalam gelimang darah, seorang tahanan pura-pura mati.

“Abdi sareng nu sanésna sasarengan ngangkutan mayit ka kuburan (Saya dan warga lainnya bahu-membahu membawa mayat-mayat tahanan ke kuburan),” ujar Omay.

Saat dibawa ke kuburan itulah seorang tahanan yang pura-pura mati berusaha meloloskan diri, tapi kepalanya segera dihajar batu oleh seorang warga yang bernama Sadma, yang terkenal bernyali besar hingga tewas.

Karena terburu-buru, kuburan massal untuk para tahanan yang tewas itu digali tak terlalu dalam. Berhari-hari kemudian, bau busuk menguar. Dipimpin seorang kiai, warga akhirnya membuat lubang baru yang dalam untuk memindahkan mayat-mayat tersebut.

Sebagai seorang dalang yang beraktivitas pada saat pemberontakan DI/TII berkecamuk, Omay tentu saja pernah berada pada posisi tak menguntungkan. Ia pernah mendalang di sebuah kampung yang ternyata telah dikuasai gerombolan. Pimpinan kompi markas tentara di Kecamatan Ibun menganggapnya sebagai bagian dari gerombolan.

Dalang Omay, tinggal di Kampung Ciwangi, Desa Cipaku, Kec. Paseh. Rumahnya dekat markas kompi tentara dalam rangka penumpasan pemberontakan DI/TII

Untungnya, saat ia menghadap pimpinan kompi tersebut, Omay didampingi Mayor Halim dari Kompi Kecamatan Paseh. Mayor Halim bersaksi bahwa Omay bukan bagian dari gerombolan sehingga ia akhirnya selamat.

Walau kampungnya dijadikan markas tentara, suasana selalu genting dan rawam. Warga harus menjaga tindak tanduk dan tutur kata, sebab gerombolan kerap kali menyamar menjadi pedagang, atau bahkan warga kampung sendiri bagian dari gerombolan. Saat itu tidak jelas siapa kawan dan siapa lawan. Beberapa pemuda kampung yang pada siang hari beraktivitas seperti biasa, pada malam hari kerap menghilang. Kemungkinan pergi ke pergunungan bergabung dengan gerombolan.

Menurut Omay, sekali waktu Kepala Desa Sindangsari datang ke kampungnya untuk suatu keperluan. Kepala Desa tersebut sempat belanja ke warung ibunya dan dengan penuh kesal berkata bahwa gerombolan harus ditumpas.

“Énjingna, anjeunna ngantunkeun. Bumina di diserang gorombolan (Esoknya, ia—Kepala Desa Sindangsari—meninggal. Rumahnya diserang gerombolan),” terangnya.

Setelah pemberontakan DI/TII berakhir, seorang kawannya yang bernama Démé, yang penah menjadi “camat gerombolan”, pimpinan yang disegani di kalangan pasukan DI/TII, menyerahkan diri ke Koramil Paseh. Ia diampuni dan kembali ke masyarakat seperti sedia kala.

Démé telah wafat 3 tahun lalu. Saat ia masih hidup, Omay suka menggodanya dengan memanggilnya “camat”.

“Ah, ulah ngageroan camat, éta mah jaman baheula, nu enggeus mah enggeus wé (Ah, jangan memanggil camat, itu zaman dulu, yang lalu biarlah berlalu),” jawab Démé seperti diceritakan Omay.

Kabupaten Bandung sebagai Pangkalan Darul Islam
Dalam sejumlah buku yang membahas ataupun hanya menyinggung soal pemberontakan DI/TII di Kabupaten Bandung, cerita-cerita lisan seperti yang Éméh, Omon, dan Omay kisahkan sangat sedikit ditulis. Rata-rata hanya mencatatnya secara garis besar.

Dalam Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim (2011) yang disusun Tempo, terdapat sebuah catatan mengenai pertempuran di Desa Cipaku, Kecamatan Paseh—Tempo menulisnya Kecamatan Ciparay, padahal di Kecamatan Ciparay tidak terdapat desa yang bernama Cipaku—yang membuat pasukan Kartosoewirjo semakin terjepit.

“Mental pasukan makin jatuh ketika, dalam pertempuran di Desa Cipaku, Ciparay, sekitar 5 kilometer dari Cicalengka, sebulan sebelum penangkapan itu, kaki sang imam (Kartosoewirjo) kena tembak,” tulis Tempo. 

Puncak kekuatan DI/TII di Jawa Barat menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (1995), berdasarkan catatan Kodam Siliwangi, dulu namanya Divisi Siliwangi, terjadi pada 1957, saat mereka terdiri dari 13.129 personel dengan perlengkapan 3.000 senjata api, termasuk senapan mesin, bren, granat dan mortir.

Dari jumlah tersebut, kekuatan paling besar berada di Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis. Namun, di kabupaten lain di Jawa Barat bukan berarti tak kuat.

Van Dijk menambahkan, di Kabupaten Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor pun terdapat pangkalan-pangkalan DI/TII yang cukup kuat, sehingga membuat daerah-daerah tersebut tidak aman.

“Di sebelah timur Bandung, Darul Islam menimbulkan banyak kesulitan sekitar Cicalengka dan Ciparay. Pada Februari 1956 saja pasukan Darul Islam di daerah ini—yang ditaksir berjumlah kira-kira 600 orang—melakukan 17 serangan, dengan membakar 200 rumah,” tulisnya.

Ini Alasan Mengapa PKI Mengharamkan Praktik Perploncoan atau OSPEK

Perploncoan atau yang kini dikenal dengan sebutan OSPEK sejatinya sudah dikenal di Bumi Pertiwi Indonesia sejak lama dan sudah menjadi budaya sejak zaman kolonial. Dalam novelnya "Siti Nurbaya" (1920), Marah Rusli menuliskan bahwa salah satu karakter dalam novel tersebut yaitu Syamsul Bahri diplonco sebagai calon mahasiswa sekolah dokter Jawa (STOVIA) di kota Batavia pada awal abad lalu.

OSPEK
Mahasiswa baru di sebuah kampus kala menjalani OSPEK

Mohammad Roem, yang pernah menjadi mahasiswa STOVIA dan kemudian menjadi ahli hukum yang mewakili Indonesia di perundingan Roem-Royen (1949), secara lebih rinci menuliskan kisah perpeloncoan di STOVIA di Bunga rampai dari sejarah - Volume 3 (1983, hlm. 81). Dalam tulisannya tersebut, Roem menyebut bahwa STOVIA memberlakukan masa perploncoan selama 3 bulan. Dibadingkan dengan masa perploncoan mahasiswa zaman sekarang yang rata-rata paling lama seminggu, perloncoan di STOVIA jelas bukan masa yang sebentar. Terlebih lagi perploncoan di STOVIA berlangung keras.

Kata-kata keras bahkan umpatan kasar biasa keluar dalam perploncoan selama 3 bulan itu. Roem tergolong pelajar keras kepala. Para siswa plonco di STOVIA tidak digunduli. Setelah STOVIA ditiadakan dan Geneeskundige Hoogeschool (sekolah tinggi kedokteran) berdiri, praktik perploncoan masih ada. Tentu saja di sekolah tinggi lain pun mengikuti. Kata sebagian orang, plonco bagus untuk membina mental dan persahabatan.

Istilah penguasa kolonial Belanda untuk plonco adalah ontgroening atau groentjes. Pada zaman pendudukan Jepang yang tak menyukai budaya Belanda, namanya diubah menjadi プロンコ (puronko).

Rahardjo Darmanto Djojodibroto dalam Tradisi kehidupan akademik mengartikan plonco sebagai "kepala gundul" (2004, hlm. 61). Militer Jepang berkepala gundul dan sangat terobsesi mengguduli kepala laki-laki lain. Memang, standar kepala laki-laki ala fasis Jepang adalah botak, seperti halnya kepala Perdana Menteri Hideki Tojo. Hanya Kaisar keturunan Dewa Matahari saja yang boleh terlihat ada rambut, itu pun pendek. Cukup masuk akal jika diperkirakan istilah plonco yang menggunduli kepala mulai dipakai sejak zaman Jepang.

Setelah beberapa Universitas dan sekolah-sekolah tinggi makin banyak dibuka di Indonesia pada tahun 1950an, praktek perploncoan tetap lestari. Digunduli atau tidak, mahasiswa baru tetap saja dibentak, dimaki dan diperintah oleh mahasiswa senior.

Plonco
Timeline sejarah plonco

Kata plonco, sendiri tak hanya mengacu kepada kepala botak saja. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikannya sebagai “calon mahasiswa yang sedang mengikuti acara kegiatan pengenalan kampus” Kata plonco sempat digunakan untuk menyebut kondisi orang baru yang belum berpengalaman. Kini, kata plonco lebih sering dipakai untuk menggambarkan proses di mana orang baru menyesuaikan diri dengan menuruti perintah orang lama. Orang yang diplonco tentu dianggap pemula.

CGMI Tolak Plonco
Pada era Presiden Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin-nya, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) menolak plonco. CGMI merupakan organisasi mahasiswa yang merupakan underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).

Menurut rumor seperti yang diceritakan oleh mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro, dalam Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 (1998, hlm. 279), Kolonel Marsudi adalah tokoh di belakang layar pendirian CGMI. Marsudi sendiri adalah perwira intel daripada Soeharto waktu Serangan Umum 1 Maret 1949. Marsudi juga disebut-sebut sebagai salah satu perwira Operasi Khusus (Opsus) daripada Ali Moertopo.

CGMI cukup bertaring sebelum Presiden Sukarno tumbang. Di mata lawan-lawan politik PKI, CGMI sepaket dengan PKI. Dalam kenangan Guru Besar Sejarah UNY Husein Heikal, anak-anak CGMI tak senecis anak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tapi, meski terlihat lusuh, buku yang dibaca anak-anak CGMI lebih tebal dan mereka rata-rata unggul dalam debat karena memiliki wawasan dan pergaulan luas. Husein Heikal sendiri merupakan mantan anggota HMI pada 1965.

Karena penolakannya menolak perploncoan, maka CGMI pernah dianggap sebagai pahlawan bagi mahasiswa yang tidak suka atau merasa menderita karena perploncoan. Tak hanya CGMI, PKI juga menolak perploncoan.

Alasan CGMI dan PKI menolak plonco menurut Rahardjo Darmanto Djojobroto, adalah karena praktik tersebut adalah "tradisi kolonial” (2004, hlm. 66). Tak keliru memang, karena sejarah plonco di sekolah memang dikembangkan sejak zaman Belanda, makin berkembang di zaman Jepang, dan terus terpelihara setelah Indonesia merdeka.

Masih menurut Rahardjo, perploncoan dilarang, akan tetapi kemudian ada yang disebut Masa Kebaktian Taruna (1963). Lalu, setelah CGMI dihabisi Orde Baru ada yang Masa Prabakti Mahasiswa yang alias Mapram (1968), Pekan Orientasi Studi (1991), dan sekarang istilah perploncoan paling populer adalah: Orientasi Studi Pengenalan Kampus yang disingkat OSPEK.

Namun, apapun namanya dan berapapun durasinya, plonco selalu punya kedok program masa orientasi di kampus atau sekolah. Selalu ada ketakutan dari siswa baru yang tidak ingin ikut. Misalnya takut kehidupannya setelah masa OSPEK dipersulit. Di kampus yang mahasiswanya sedikit, anak baru bahkan ketakutan sulit mendapat pekerjaan.

Kisah plonco Indonesia abad ini tak lagi datang di bekas sekolah tinggi yang didirikan di zaman kolonial. Meski mirip MOSVIA dan OSVIA zaman kolonial, yang sama-sama mendidik pegawai negeri untuk departemen dalam negeri, insan Sekolah Tinggi Pemerintah Dalam Negeri (STPDN) tentu tak mau disamakan. STPDN mulai eksis sejak 18 Agustus 1990, waktu Menteri Dalam Negeri dijabat Jenderal Rudini yang lulusan akademi militer Breda di Belanda.

Siapapun tahu bahwa mahasiswa STPDN bergaya ala tentara. Jelas benar mereka meniru Akabri. Perploncoan di dalam kampus STPDN luar biasa brutal. Hukuman bagi siswa baru bukan cuma push up, tapi juga pukulan dan bahkan tendangan. Pada 2000, Erry Rahman jadi korban kekejaman senior dalam masa OSPEK. Lantas pada 2002, Wahyu Hidayat menyusul. Perploncoan sadis itu tak pelak membuat STPDN jadi bahan media cetak dan televisi nasional.

Lalu, demi citra, STPDN pun berganti menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Namun pada 2003, seorang praja baru bernama Cliff Muntu menjadi korban kesekian yang kehilangan nyawa.

Rinra Sujiwa Syahrul Putra
Alm. Rinra Sujiwa Syahrul Putra (putra Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo yang kehilangan nyawa karena diplonco oleh seniornya di IPDN

Lama tak makan korban, 7 tahun kemudian, giliran Rinra Sujiwa Syahrul Putra yang merupakan . putra dari Gubernur Sulawesi Selatan (saat itu) Syahrul Yasin Limpo menjadi korban yang tewas. Parahnya, Rinra bukan merupakan korban terakhir. Masih ada Jonoly Untayanadi yang jadi korban pada 2017.

Bagaimana menurut Anda, setujukah dengan perploncoan?

Wednesday, August 21, 2019

Ini Alasan dan Dalil Mengapa Islam Melarang Menghina Tuhan Agama Lain

Belakangan ini sedang marak diskusi dan debat yang tidak berkesudahan di dunia maya ketika Ustadz Abdul Somad dianggap menghina akidah umat agama lain dalam sebuah kajian yang rekamannya viral.

Ustadz Abdul Somad
Ustadz Abdul Somad

Di dunia ini ada banyak agama yang dianut manusia. Selain Islam juga terdapat agama-agama lain seperti Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Buddha, Konghucu, Sikh dan sebagainya. Setiap agama memiliki kepercayaan dan akidahnya masing-masing.

Namun hal ini sering kali menjadi sebuah perdebatan diantara umat manusia. Tidak sedikit pula pemeluk suatu agama yang menghina Tuhan dari agama lain. Sehingga hal ini kerap menimbulkan permusuhan diantara umat beragama.

Dalam ajaran Islam, menghina Tuhan agama lain bahkan merupakan suatu hal yang sangat dilarang. Karena dapat menimbulkan kerusakan yang besar. Bukan hanya bagi dirinya sendiri namun juga terhadap kemuliaan Allah SWT.

Sejatinya Islam mengatur segala sendi kehidupan, termasuk larangan mencaci maki, mengolok-olok, menghina atau menjelekkan sesembahan penganut agama lain. Karena begitu pentingnya, Allah SWT pun mengatur hal ini. Sebagaimana firman-Nya bahwa,

“ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs al-An’am : 108)

Berawal dari tindakan kaum Muslim yang mencaci maki sesembahan orang kafir Quraisy. Lalu mereka pun berkata kepada Allah SWT, " Ya Rasulullah, hentikan makianmu tehadap seserahan kami atau kami akan mencaci maki Rabb-mu."

Maka Nabi Muhammad SAW pun melarang umatnya untuk menghina sesembahan orang-orang kafir. Sehingga Allah SWT pun akhirnya melarang kaum Muslimin untuk menghina sesembahan orang-orang tersebut. Oleh karena itu diturunkalah surat Al-An'am ayat 108 tersebut.

Pada masa itu kaum Muslim mencaci berhala-berhala orang kafir, sehingga mereka pun membalas dengan menghina Allah SWT secara berlebihan tanpa sedikit bekal pengetahuan di dalam diri mereka.

Saat menafsirkan surah al-An'am ayat 108 ini, Imam Ibnu Katsir pun menjelaskan dalam Tafsir Al-Qur'an al-'Ahzim, bahwa Allah SWT melarang Nabi Muhammad SAW dan orang-orang yang beriman untuk mencaci maki sesembahan-sesembahan kaum musyrik, sekalipun cacian itu mengandung kemaslahatan.

Pasalnya caci maki terhadap sesembahan orang kafir dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari kemaslahatan itu sendiri. Sebab hinaan dan cacian sebagian umat Muslim terhadap sesembahan orang-orang kafir dapat menjadi pemicu bagi orang kafir untuk menghina Allah SWT. Padahal Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Suci dan Maha Mulia. (Tafsiir Ibnu Katsiir Juz 7, Hal. 268, tahqiq :Syaikh Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh)

Pada dasarnya menghina dan mencaci maki merupakan salah satu sifat manusia yang mengikuti hawa nafsu. Sikap ini adalah salah satu sifat tercela di mata Allah SWT dan harus dihindari oleh seorang Muslim.

Oleh karena itu Islam melarang umatnya untuk menghina sesembahan agama lain. Islam juga melarang untuk memaksa orang lain memeluk agama Islam. Sebab kewajiban manusia sebagai seorang hamba adalah menyampaikan atau mengajak manusia lainnya ke jalan yang benar, tanpa paksaan melainkan dengan kerelaan. Karena paksaan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan menghilangkan sifat ikhlas.

Namun, mereka yang beragama selain Islam tetap berhak untuk mendapatkan sentuhan dakwah. Kita harus mengingatkan bahwa ujung dari penyembahan kepada selain Allah SWT adalah neraka yang sangat berat dan mengerikan siksanya. Sebagaimana firman Allah SWT,

"Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)" (QS. Ali-Imran:64)

Akan tetapi apabila mereka tidak mengikuti, maka itu adalah urusan mereka. Sebab kita hanya berhak untuk mengingatkan tanpa harus memaksa kehendak.
Sebagaimana dinyatakan bahwa "untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS. Al Kaafiruun: 6)

Demikianlah ulasan mengapa Islam melarang umatnya menghina Tuhan agama lain. Selain untuk menjaga kemuliaan Allah SWT, pelarangan ini juga dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kerusakan yang besar antar umat beragama.

Dengan demikian dapat tercipta kedamaian diantara sesama manusia. Bukankah Islam adalah agama yang damai Rahmatan Lil Alamin? Namun apabila kita tidak pernah menghina, namun justru dihina maka biarkan Allah SWT yang akan membalas perbuatan tersebut. 

Kisah Para Jenderal Yang Dipenjara Oleh Soeharto Tanpa Alasan Yang Jelas

Pada hari Jumat 1 Oktober 1965 pagi selepas subuh, Mayor Jenderal Maraden Panggabean (Panglima Komando Antar Daerah Kalimantan), sedang menikmati kopi bersama Tjilik Riwut (Gubernur Kalimantan Tengah) di lantai atas Wisma Koanda Kalimantan, di Jalan Blora, Jakarta. Kemudian saat sedang asyik mengoberol, mereka melihat beberapa truk militer penuh tentara melintas dari arah Senayan menuju kawasan ring satu Medan Merdeka di Monas.

Pahlawan Revolusi
Tujuh Pahlawan Revolusi yang gugur pada 1 Oktober 1965

“Kok banyak sekali pasukan? Mau ke mana mereka sepagi ini?” Tanya Tjilik Riwut kepada Maraden. Namun karena memang tak tahu, Maraden hanya bisa membisu dengan sedikit bingung. Ia menduga hal itu adalah pengerahan pasukan terkait dengan (persiapan) peringatan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 5 Oktober 1965.

Maraden terbang dari Kalimantan ke Jakarta bersama istrinya untuk urusan perjalanan dinas.

Karena merasa tak curiga akan terjadi sesuatu, mereka segera berkemas dan bersiap pulang ke Kalimantan. Dengan menumpang dua mobil, mereka berjalan beriringan menuju Lapangan Udara Kemayoran. Maraden mengenakan seragam dinas TNI Angkatan Darat. Saat melintas di Jalan Medan Merdeka Barat, dia melihat banyak sekali prajurit Angkatan Darat mengenakan seragam tempur, dengan syal dan pita merah di lengan kiri.

Maraden meminta sopir melambatkan kendaran dan membuka jendela. Kepada prajurit-prajurit itu, Maraden mengucapkan berulang-ulang salam,”Selamat pagi!” Namun para prajurit disana tidak ada satupun yang menanggapi. Dalam ketersinggungannya dalam hati Maraden membatin, “Kenapa prajurit-prajurit ini kurang berdisiplin.”

Saat itu bahkan Maraden belum tahu ada kejadian besar di Jakarta pagi hari itu, tepatnya saat subuh dimana ada 6 pimpinan TNI Angkatan Darat dan seorang perwira muda diculik dan dibunuh. Peristiwa berdarah yang hingga kini masih belum sepernuhnya tersingkap ini kemudia menjadi awal masa kejatuhan pemerintahan Presiden Sukarno serta kejadian-kejadian yang kemudian memicu peristiwa "horror" lainnya seperti pembunuhan besar-besaran terhadap pengurus, anggota, dan siapapun yang dianggap menjadi simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalang Gerakan 30 September (G30S) yang menculik dan membunuh para perwira TNI AD ini hingga kini belum sepenuhnya terang benderang. Apakah Letkol Untung Syamsuri, PKI, Presiden Sukarno, atau bahkan mungkin, Jenderal Soeharto? Dan apa pula tujuan G30S, apakah memang berniat kudeta atau ‘hanya’ menyingkirkan pimpinan Angkatan Darat?

Faktanya...

Pada bulan-bulan menjelang 1 Oktober 1965 itu, santer beredar isu-isu yang membuat panas pemerintah pusat. Gosip-gosip tersebut membuat relasi Presiden Sukarno dengan pucuk pimpinan TNI Angkatan Darat yang sudah renggang menjadi makin tegang dan renggang.

Sudah rahasia umum bahwa sejak lama Bung Karno merasa dongkol sekaligus gemas terhadap pucuk pimpinan Angkatan Darat seperti Jenderal Ahmad Yani dan anak buahnya yang di mata Bung Karno dianggap tidak sepenuh hati menyokong kebijakan ‘Ganyang Malaysia’. Terlebih lagi saat sang Bung Besar menunjuk Panglima AURI (TNI AU) Marsekal Madya Omar Dhani menjadi Panglima Komanda Mandala Siaga (Kolaga) yang membawahi seluruh pasukan dalam konfrontasi dengan Malaysia.

Omar Dhani sudah lama mencium gelagat sikap ogah-ogahan Angkatan Darat, baik dari kubu Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani maupun kelompok Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Angkatan Darat, seperti ditulis Harold Crouch dalam bukunya, The Army and Politics in Indonesia, sengaja memilih Brigadir Jenderal Kemal Idris sebagai Panglima Komando Tempur I, yang bermarkas di Medan. Pasukan Jenderal Kemal inilah yang mestinya dipersiapkan untuk menyerbu Semenanjung Malaysia. Padahal Jenderal Kemal sudah lama dikenal sebagai prajurit anti-Sukarno.

Jenderal Kemal, menurut Omar Dhani, berulang kali sengaja menunda mobilisasi pasukan dari Jawa ke Sumatera. Walhasil, hingga konfrontasi dengan Malaysia berakhir, pasukan Jenderal Kemal tak pernah dalam kondisi siap untuk menyeberang Selat Malaka dan menyerbu Malaysia. ‘Pembangkangan’ Angkatan Darat inilah yang membuat Bung Karno mencari pendukung lain. Berseberangan dengan Angkatan Darat, PKI dengan penuh semangat menyokong konfrontasi dengan Malaysia.

Jenderal Nasution mungkin tak suka dengan Jenderal Yani. “Nasution merasa ditusuk dari belakang oleh Yani karena dia menyetujui kebijakan Presiden Sukarno membatasi perannya sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata hanya sebatas urusan administratif,” Harold Crouch menulis. Namun, meski kurang akur untuk urusan lain, dalam soal membendung pengaruh PKI, Jenderal Yani dan Nasution satu kubu.

Dalam situasi saling sikut, saling curiga itulah, berembus isu adanya Dewan Jenderal yang beranggotakan para pimpinan Angkatan Darat dan berniat ingin merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno.

Berdasarkan pengakuan Sjam dalam sidang Mahmilub, ide mengembuskan kabar Dewan Jenderal berasal dari DN Aidit, Ketua Comite Central (Ketua Umum) PKI. Sedangkan Kamaruzzaman alias Sjam bin Ahmad Mubaidah merupakan sosok misterius yang mengepalai Biro Khusus PKI. Konon dia merupakan agen ganda. Dia dan jaringannya bertugas mengorganisasi simpatisan PKI di lingkungan tentara dan polisi dan bertanggung jawab langsung kepada Aidit.

Nah, isu keberadaan Dewan Jenderal ini terus-menerus ‘digoreng’ dengan gencar walaupun Jenderal Yani berkali-kali dengan keras membantah keberadaan Dewan Jenderal. Belakangan, salah satu jenderal yang dituding turut ‘menggoreng’ isu Dewan Jenderal adalah Brigadir Jenderal Sugeng Sutarto Kolopaking (Wakil Kepala Badan Pusat Intelijen atau BPI).

Isu mengenai Dewan Jenderal semakin panas setelah muncul apa yang dinamakan "Dokumen Gilchrist". Dokumen ini ditemukan di depan pintu rumah Subandrio, Kepala BPI. Dalam ‘surat’ kepada atasannya tersebut, Duta Besar Inggris Andrew Gilchrist menulis soal operasi bersama antara Inggris dan Amerika dengan ‘our local army friends’.

Pada sidang Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) hari kedua, Brigadir Jenderal Mustafa Sjarief Soepardjo, Panglima Komando Tempur II Komando Mandala Siaga (Kolaga), mengatakan dia meninggalkan markasnya di Bengkayang, Kalimantan, dan terbang ke Jakarta pada 29 September 1965 setelah menerima radiogram dengan kode Anak Sakit.

Di Jakarta, Soepardjo sempat bertemu dengan Marsekal Omar Dhani, atasannya di Kolaga. Soepardjo sebenarnya sudah berniat pulang kembali ke Kalimantan keesokan harinya. Tapi Omar memintanya menunda kepulangan. Menurut Omar, Dewan Jenderal akan segera melancarkan kudeta. “Kalau begitu, kita dului saja,” kata Jenderal Soepardjo. Mendengar kata-kata Soepardjo, Marsekal Omar hanya mengatakan, ”Apa pun yang terjadi… pokoknya selamatkan Presiden.”

Setelah bertemu dengan Omar Dhani, Jenderal Soepardjo segera ke rumah Sjam Kamaruzzaman untuk mencari kabar. Dari Mayor (Inf) Walujo, dia mendengar informasi bahwa Dewan Jenderal telah menghimpun pasukan yang bersiaga di Senayan untuk merebut kekuasaan. Sjam menuturkan kepada Soepardjo bahwa ada pasukan lain yang sudah siap menandingi tentara Dewan Jenderal itu.

Dalam kesaksiannya di Mahmilub, Jenderal Soepardjo mengaku bahwa dirinya pertama kali mendengar kabar soal Dewan Jenderal dari Kolonel Abdul Latief (Komandan Brigade Infanteri I Jaya Sakti) pada bulan Maret 1965. Dari Sjam, yang sudah dikenalnya sejak awal 1950-an di Bogor, Soepardjo juga mendengar hal yang sama.

Pada hari-hari menjelang berakhirnya bulan September 1965, ada pasukan besar yang didatangkan ke Jakarta untuk persiapan Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober. Tiga kesatuan tempur itu adalah Batalion 454/Raiders dari Kodam Diponegoro, Batalion 530 dari Kodam Brawijaya, dan Batalion 328 Kodam Siliwangi. Mereka datang atas perintah Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto.

Ada banyak cerita yang bertentangan soal kejadian-kejadian pada bulan September 1965, detik-detik akhir menjelang Gerakan 30 September (G30S), operasi penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 pagi. Misalnya soal kesaksian Letnan Kolonel Bambang Widjanarko, ajudan Bung Karno.

Menurut Bambang, Presiden Sukarno tahu dan mungkin terlibat dalam G30S. Dia mengaku melihat Letkol Untung Syamsuri menitipkan ‘surat penting’ untuk Presiden Sukarno lewat Ajun Inspektur Polisi Sogol Djauhari soal kesiapan pasukan untuk operasi penindakan para jenderal pada 30 September malam, hanya beberapa jam sebelum penculikan. Klaim Bambang dibantah Kolonel Maulwi Saelan, Wakil Komandan Cakrabirawa.

“Saya terus mendampingi Bung Karno dan tidak pernah meninggalkannya walaupun sebentar. Saya tidak melihat kedatangan pelayan Sogol yang menitipkan sepucuk surat yang katanya dari Untung untuk diserahkan kepada Bung Karno,” kata Saelan, dikutip dari bukunya, Penjaga Terakhir Soekarno. Menurut Saelan, sungguh janggal menitipkan surat sepenting itu kepada seorang pelayan seperti Sogol.

Ada pula pengakuan Kolonel Latief, yang menemui Jenderal Soeharto soal G30S pada 30 September 1965 malam. Menurut Latief, dia melaporkan kepada Soeharto, yang sudah lama dia kenal sejak sang jenderal masih menjadi komandannya di Kodam Diponegoro, ada gerakan yang akan menangkap sejumlah jenderal. Soeharto, kepada Latief, mengaku sudah tahu kabar tersebut.

Namun bertahun-tahun kemudian, dalam wawancara dengan majalah dari Jerman, Der Spiegel, pada 19 Juni 1970, Soeharto membantah pernyataan Latief. Ia memang mengakui bertemu dengan Latief pada malam itu. Tapi Latief, kata Jenderal Soeharto, tak memberikan informasi apa pun. “Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena kami berada di tempat umum, dia mengurungkan niatnya,” kata Soeharto. Entah bagaimana Soeharto bisa menyimpulkan seperti itu. Yang pasti, setelah G30S dilibas pasukan Soeharto dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) hanya dalam waktu setengah hari, tanpa perlawanan berarti, Latief tak dihukum mati seperti Untung dan Jenderal Soepardjo.

Menurut John Roosa, sejarawan Universitas British Columbia, Kanada, dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, ada banyak hal janggal, bahkan kurang masuk akal, di sekitar G30S. Jika memang Untung dan orang-orangnya berniat merebut kekuasaan, bagaimana mungkin dilakukan dengan pasukan yang sedemikian kecil, dengan perencanaan yang begitu kacau, tanpa disokong persenjataan berat atau kendaraan lapis baja, mengabaikan fakta begitu besarnya kekuataan Angkatan Darat di Jakarta dan sekitarnya, dan tak melakukan upaya-upaya lain untuk merebut kekuasaan setelah membunuh dan menculik para jenderal.

Brigjen. MS Soepardjo
Brigjen M.S Soepardjo, Panglima Komando Tempur II Komando Mandala Siaga ini merupakan satu-satunya jenderal dalam Gerakan 30 September. Dia dihukum mati pada 18 Maret 1967 di Cimahi, Jawa Barat.

Senin pagi 16 Februari 1981, adalah ‘hari besar’ bagi Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra. Setelah 15 tahun dijebloskan ke penjara tanpa pernah diadili, pada pagi itu dia bebas. Pranoto keluar dari penjara bersama dua jenderal sesama tahanan politik: Mayor Jenderal Soehario Padmodiwirio, mantan Pangdam Mulawarman dan Mayor Jenderal Rukman, mantan Kepala Staf Kodam Siliwangi.

Mereka bisa bebas setelah mendapatkan surat keputusan pembebasan dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo. “Sampai sekarang kami bertiga tetap tidak dapat mengerti dan memahami apa yang dijadikan argumentasi atau motivasi penahanan kami,” Pranoto menulis dalam catatannya. Setelah upacara singkat di Markas Kodam Jaya, sesuai niatnya, dia pulang berjalan kaki ditemani putranya, Handrio Utomo, ke rumahnya di kampung Kramat Jati, Jakarta Timur.

Setelah peristiwa 1 Oktober 1965, ada sejumlah jenderal jatuh, tamat kariernya, bahkan dihukum mati atau harus mendekam di penjara bertahun-tahun, seperti Deputi Operasi I TNI Angkatan Darat Mayor Jenderal Moersjid, Asisten III Panglima TNI Angkatan Darat Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra, Brigadir Jenderal Mustafa Sjarief Soepardjo, Panglima Komando Tempur II Komando Mandala Siaga, Brigadir Jenderal Ulung Sitepu, Gubernur Sumatera Utara, Brigadir Jenderal Sugeng Sutarto, Wakil Kepala Badan Pusat Intelijen, Mayor Jenderal Rukman dari Kodam Siliwangi, Mayor Jenderal Soehario Padmodiwirio, mantan Panglima Kodam Mulawarman, dan beberapa petinggi TNI Angkatan Udara.

Tapi ada pula jenderal yang kariernya makin mengkilap, Maraden Panggabean salah satunya. Setelah Mayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani, Maraden ditunjuk menjadi wakilnya. Karier Maraden terus menanjak hingga menjadi Panglima TNI pada 1973.

Tak ada firasat apa pun di benak Mayor Jenderal Soehario Padmodiwirio yang lebih dikenal dengan nama Hario Kecik, saat dia memasuki pesawat Aeroflot dan bersiap terbang ke Moskow, Uni Soviet, pada akhir Januari 1965. Dia menikmati betul penerbangan itu. Apalagi semua hidangan yang ditawarkan pramugari sepanjang penerbangan cocok dengan seleranya, mulai kaviar sampai ikan sturgeon asap dari Laut Hitam. Setelah perut kenyang, beberapa teguk Vodka Stolitsnaya membuat dirinya terlelap hingga mendarat di Moskow.

Tugas belajar ke Moskow ini bukan penugasan pertama bagi Hario. Mayor Jenderal Soehario pernah dikirim belajar ke Soviet, juga ke Amerika Serikat. Sebelum dikirim ke Soviet oleh Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani, Hario pernah menjabat Panglima Kodam Mulawarman di Kalimantan. Jenderal Yani menjanjikan dia akan mendapatkan kenaikan pangkat setelah pulang dari Soviet. Hario tak tahu penerbangan kali itu akan mengubah jalan hidupnya dan keluarganya untuk selamanya.

Baru delapan bulan menempuh pendidikan di General Staff Academy Suworov, Hario mendengar kabar ada geger di Jakarta pada 30 September 1965. Sejumlah pimpinan Angkatan Darat, termasuk Jenderal Yani, tewas dibunuh. Badai politik di Jakarta, memporakporandakan nasib banyak warga Indonesia yang sedang belajar di Uni Soviet, termasuk Mayor Jenderal Hario dan keluarganya.

Satrio Bimo, putra kedua Hario mengatakan "Papi merasa, setelah peristiwa 1965, tidak ada yang menghubunginya. Ibaratnya, seperti layangan putus,". Bahkan, ketika pendidikan militernya selesai pada 1967, tak ada perintah untuk kembali ke Indonesia.

Tak boleh kembali ke Tanah Air membuat status kewarganegaraan Hario dan keluarganya tak jelas. "Kami stateless, tak punya negara, tapi kami tidak meminta status warga negara ke negara lain," ujar Satrio. Mereka akhirnya berada dalam perlindungan Komite Internasional Palang Merah. Untuk menghidupi keluarga, Hario menjadi peneliti di USSR Academy of Science.

Pada pertengahan 1970-an, Menteri Luar Negeri Adam Malik berkunjung ke Moskow. Agenda utamanya adalah menegosiasikan pembayaran utang Indonesia dengan pemerintah Soviet. Lewat Atase Militer Kolonel Soehardjo, Adam Malik meminta Hario datang ke Kedutaan. Keduanya memang sudah kenal lama, sejak Hario masih mahasiswa kedokteran di Jakarta. Saat itu Hario mengenal Adam Malik sebagai aktivis Murba.

Sambutan Adam Malik masih ramah seperti dulu. Dia membuka pembicaraan. “Hario, Pak Harto memberi izin kepada saya untuk menemui kamu. Saya bilang bagaimana kalau saya mengajak kamu pulang. Beliau berkata kamu tak tersangkut masalah politik. Bagaimana pendapatmu?”

Hario mengatakan saat itu dia hanya memikirkan masa depan pendidikan anak-anaknya. “Mengapa tak menyekolahkan mereka ke Eropa?” Menteri Adam bertanya. Hario langsung menjawab tanpa basa-basi. “Bung tentu tahu saya tak punya kemampuan dana menyekolahkan mereka ke Eropa. Tapi kalau Bung bisa menjamin mereka sekolah di mana saja di Eropa atau Amerika, saya akan pulang bersama Bung.“ Adam Malik hanya tertawa. Sikapnya tetap santai, padahal orang-orang di sekelilingnya mulai gelisah.

Hario Kecik
Mayor Jenderal Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik

Akhirnya, pada Juni 1977, setelah lebih dari 12 tahun tinggal di Moskow, Hario dan keluarganya pulang ke Indonesia. Begitu di keluar dari pintu pesawat, ternyata sudah menunggu Ali Murtopo, salah satu orang kepercayaan Presiden Soeharto. Hario langsung dikirim ke Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta.

Tak jelas benar apa kesalahan Hario. "Dianggap anggota Partai Komunis Indonesia sih tidak. Cuma rumornya Papi dianggap dekat dengan Bung Karno," ujar putranya, Satrio. Di RTM Budi Utomo, dia bertemu dengan teman-teman senasib, sesama tahanan politik, seperti mantan Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Soebandrio dan mantan Panglima Angkatan Udara Marsekal Omar Dhani.

Tuesday, August 20, 2019

Breaking News: Zakir Naik Now Banned From Giving Public Speeches Anywhere in Malaysia

Malaysian Authorities have now barred fugitive preacher Dr Zakir Naik from delivering public talks in all states in Malaysia.

This, said the police, was done in the interest of national security.

Malay Mail had previously received a tip-off on the existence of a circular detailing the order, to all police contingents nationwide.

Zakir Naik (photo: Al Jazeera)

Royal Malaysia Police Head of Corporate Communications Datuk Asmawati Ahmad confirmed the order when contacted by the Malay Mail.

"Yes. Such an order has been given to all police contingents, and this was done in the interest of national security and to preserve racial harmony,” she told Malay Mail last night.

The Star had on Sunday reported Melaka as joining six other states in barring Dr. Zakir from publicly speaking. The six are Johor, Selangor, Penang, Kedah, Perlis and Sarawak.

The Star reported that Kedah, Penang and Johor became the latest states to announce their objections to Dr. Zakir’s religious talks due to his combative style of propagating Islam.

Johor Religious Islamic Department (JAIJ) director Datuk Md Rofiki A. Shamsudin reportedly said the body never gave the Indian approval to hold talks in the state.

“Any religious preacher must get the necessary approval from JAIJ before they are allowed to conduct religious talks. This is to ensure these preachers do not say anything against our creed or aqidah,” he was quoted saying.

Next to bar him was Penang, with Deputy Chief Minister I Datuk Ahmad Zakiyuddin Abdul Rahman saying the state would not welcome Dr. Zakir to its shores to speak at any public event, a decision made six months ago.

Ahmad was reported to have told the evangelist that the content of his speeches or views “would not be suitable for” the highly multiracial state.

“When Zakir visited us, we discussed several things, including his wish to have talks here in Penang.

“But we immediately told him that we felt whatever he wanted to talk about would not be suitable," he said.

On Sunday, Prime Minister Tun Dr Mahathir Mohamad said that Dr Zakir had overstepped the line when he told ethnic Chinese to “go back” and questioned the loyalty of Malaysian-Indians in two separate instances, calling the Mumbai-born preacher’s words incendiary.

The Langkawi MP also said Dr Zakir had transgressed his privilege as a foreigner with PR status by issuing political statements, and that he backs police investigation against the Indian fugitive.

Dr Zakir provoked the full wrath of a government that was otherwise seen as sympathetic towards the popular evangelist when he was said to have questioned the loyalty of Malaysian-Indians at a talk delivered in Kelantan weeks ago.

Shortly after, the defiant preacher issued a statement aimed at the Malaysian-Chinese, saying they should “go back” first since they too are seen as “immigrants”.

Dr Zakir said the assertion was made in response to the community’s demand that he be deported back to India, where the preacher is facing charges for alleged money laundering and terrorism link.

He is now facing police investigation under Section 504 of the Penal Code for intentional insult with intent to provoke a breach of the peace after 115 public complaints were filed against him.

source: MalayMailIndia Today

Muhammadiyah Bandingkan Ceramah Abdul Somad dengan Ceramah KH Azhar di Akademi Katolik

Video ceramah Ustadz Abdul Somad (UAS) yang membawa-bawa salib, jin kafir dan patung di Pekanbaru, Riau yang viral akhirnya berbuntut pada pelaporan ke Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri. Somad dituding telah menistakan agama.

Ustadz Abdul Somad menista agama
Ustadz Abdul Somad

Terkait hal tersebut, UAS kemudian memberikan klarifikasi tentang ceramahnya itu. Ia hanya menjawab pertanyaan dari jemaah tentang patung dan kedudukan Nabi Isa, saat ceramah di masjid secara tertutup.

UAS mengaku ceramah itu disampaikan tiga tahun lalu di kajian subuh di Masjid An-Nur, Pekanbaru.

Menyikapi polemik ini, Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, KH Fathurrahman Kamal, menjelaskan konten ceramah yang disampaikan UAS tersebut. Dalam menjelaskan konten ceramah UAS, Kiai Fathurrahman membandingkannya dengan ceramah KH Ahmad Azhar Basyir di Akademi Katolik Yogyakarta.

Berikut penjelasan lengkap KH Fathurrahman dalam keterangan tertulisnya:
Pada 1969, tokoh Muhammadiyah KH Ahmad Azhar Basyir, MA (yang kemudian menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah 1990-1995) menyampaikan kuliah tentang Muhammadiyah di Akademi Kateketik Katolik Yogyakarta. Secara tulus Kiai Azhar Basyir menyampaikan ucapan terima kasih, bahkan merasa mendapat kehormatan dengan undangan dari Institusi Katolik tersebut. Ketika itu, Kiai Azhar Basyir menyampaikan ceramah dengan judul: “Mengapa Muhammadiyah berjuang menegakkan tauhid jang murni?”

Kata Sang Kiai, “Karena Muhammadiyah yakin benar-benar, dan ini adalah keyakinan seluruh umat Islam, bahwa tauhid jang murni adalah ajaran Allah sendiri. Segala ajaran jang bertendensi menanamkan kepercayaan “Tuhan berbilang” bertentangan dengan ajaran Allah. Dan oleh karena keyakinan “Tuhan berbilang” itu menyinggung Keesaan Tuhan jang mutlak, maka keyakinan “Tuhan berbilang” itu benar-benar dimurkai Allah. Tauhid murni mengajarkan Keesaan Tuhan secara mutlak. Kepercayaan bahwa sesuatu atau seseorang selain Allah mempunyai sifat ke-Tuhanan, disebut “syirik”. Syirik adalah perbuatan dosa terbesar yang tidak diampuni Allah.”

Apakah lantas Kiai Azhar Basyir dianggap menista ajaran Katolik? Tentu tidak, sebab pidato tersebut tidak dapat dipisahkan dari konteks; baik konteks peristiwa atau lingkungan di mana beliau diminta untuk memberi kuliah tentang Muhammadiyah, konteks internal pembicara yang tak dapat dipisahkan dari suasana batin maupun keyakinan agamanya (tauhid murni). Sebab beliau tak hendak tampil dengan wajah ganda. Beliau menerangkan tauhid yang autentik, dan tak bermaksud menista keyakinan saudara-saudara kita yang beragama Katolik.

Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah Islam amar makruf nahi munkar sejak berdiri tahun 1912. Bahkan salah satu faktor penting pendorong lahirnya Muhammadiyah adalah melawan penetrasi misi zending Kristiani dengan mendirikan amal usaha sekolah, rumah sakit dan panti asuhan untuk menolong kaum dhuafa yang menjadi target sasaran pemurtadan (Membendung Arus: Alwi Shihab, 2016). Sehingga banyak lahir dai/ulama/pakar kristologi di lingkungan Muhammadiyah seperti  KH Bahaudin Mudhari dan KH Abdullah Wasian. Dakwah tabligh memurnikan tauhid ini telah dikenal luas baik di internal umat Islam maupun eksternal antar umat beragama di Indonesia. Tidak pernah terbayang dan terjadi dakwah ala Muhammadiyah tersebut dianggap sebagai penistaan terhadap agama di luar Islam.

Muhammadiyah itu mencerahkan, tapi juga meneguhkan. Ciri khas berislam ala Muhammadiyah adalah ideologi Tajdid. Tajdid itu keserasian antara tsawabit (purifikasi) dan mutghayyirat (dinamisasi). Akidah itu masuk pada domain tsawabit (purifikasi), peneguhan yang secara internal umat dan warga harus diproteksi, tentu dengan adab dan etika pada umumnya. 

Kita pun sangat memahami sikap teologis umat non-Islam terhadap persoalan teologis internal umat Islam. Peneguhan-peneguhan yang dilakukan di internal umat tidak dapat dimaknai sebagai penistaan ajaran agama lain, sebagaimana para pastur/pendeta meneguhkan iman jamaatnya dengan tidak membenarkan, atau mungkin memperolok-olok, teologi agama selain agama mereka sendiri. Maka di ranah inilah berlaku tasamuh (toleransi), saling memahami dan empati. Tak perlu baper. Demikian pula halnya konten ceramah Ustaz Abdul Somad, jangan dimaknai berlebihan karena itu dilakukan dalam ranah terbatas internal umat, bukan disampaikan secara terbuka di tempat publik. Lihatlah peristiwa KH Ahmad Azhar Basyir, baik muslim dan Katolik harus sama-sama dewasa. 


Hanya dengan kedewasaan dan kearifan umat beragama, kita dapat terus merajut dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Para warganet dari kalangan agama apapun hendaknya bijak mencerna, menyaring dan berhati-hati menyatakan sesuatu ke ranah publik yang tidak seharusnya dan tidak pada tempatnya untuk dibawa ke ranah hukum. Jika tidak, maka ini hanya akan menyiram api ke atas rumput kering yang mudah terbakar. Kami meminta dengan tegas agar pemerintah dan aparat hukum dapat menyelesaikan masalah ini dengan tepat dan bijak agar potensi konflik umat beragama dapat diredam. Semoga Allah SWT memberkati kita semua.

Sumber: disini

Monday, August 19, 2019

Sebelum Traveling, Ingatlah Aturan-aturan Toilet Umum di Beberapa Negara

Urusan toilet sering dianggap sepele, namun saat travelling sebenarnya urusan "beres-beres" ini tidak bisa dianggap sepele. Beberapa negara punya aturan dalam menggunakan toilet sendiri. Tidak cuma aturan, bahkan ada alat yang tampak tak biasa jika dibanding dengan Indonesia.

Toilet Umum di London
Toilet Umum di London, Inggris

Nah, sebelum berwisata ada baiknya mengetahui aturan ke toilet umum di beberapa negara ini, agar urusan buang hajat tetap lancar di negara tersebut:

1. Toilet umum berbayar dan gratis 
Bukan cuma di Indonesia saja, toilet umum berbayar tetapi juga terdapat di London, Paris, dan Amsterdam. Oleh karena kurs Euro dan Poundsterling yang tinggi, biaya buang air terasa amat mahal dan mengejutkan bagi banyak traveller asal Indonesia. Biasanya biaya menggunakan toilet umum di negara-negara ini berkisar setangah sampai satu dollar AS atau setara Rp 7.000-Rp 14.000. Jadi, siapkan uang kecil sesuai kurs jika pergi berwisata ke negara-negra tersebut.

2. Siap siap WC jongkok beda fitur 
Rata-rata negara di Asia seperti Singapura, Thailand, Taiwan, dan bahkan Jepang memiliki kakus jongkok di toilet umum. Hal ini tentu tidak asing bagi turis asal Indonesia. Namun fitur kakus jongkok di negara-negara Asia memiliki perbedaan. Misalnya ada tombol bilas, tuas bilas, pembilas dengan cara menginjakkan kaki, pembilas otomatis setelah buka pintu toilet, atau disiram dengan gayung.

3. Boleh membuang tisu ke kakus 
Di Indonesia sangat dilarang membuang tisu atau benda apapun ke dalam kakus. Uniknya di beberapa negara justru harus membuang tisu ke kakus. Negara tersebut adalah Amerika Serikat dan Australia. Negara ini memiliki sistem yang dapat mengurai tisu yang dibuang ke kakus. Untuk membedakan negara yang boleh membuang tisu ke toilet cara paling mudah adalah lihat apakah di dalam toilet tersedia tempat sampah atau tidak. Jika tidak berarti tisu dibuang ke kakus.

4. Tidak menyediakan bidet 
Orang Indonesia terbiasa membilas dengan bidet atau selang air setelah buang hajat. Namun di beberapa negara bidet adalah hal yang asing. Contohnya Amerika Serikat dan Australia. Hanya tersedia tisu di toilet negara ini. Banyak turis dari Asia yang sengaja membawa botol berisi air atau tisu basah saat ke toilet di negara ini.

Namun apabila Anda travelling ke China, siap-siaplah untuk terkejut karena toilet umum disana rata-rata amat jorok. Tidak ada air dan berbau "aduhai"

5. Ketahui bahasa lokal toilet 
Saat berwisata penting untuk mengetahui bahasa lokal toilet. Sebab tidak semua negara tahu apa arti toilet. Misalnya di Inggris toilet lebih dikenal dengan nama loo, di Australia toilet disebut dunny, dan di Jepang toilet disebut benjo.