Meskipun cenderung menghindari konflik terbuka, Soeharto beberapa kali terlibat konflik, baik sejak masih jadi opsir maupun setelah jadi Presiden. Ada yang selesai dalam waktu sebentar, tapi tak sedikit yang berbuntut panjang.
Soeharto tak segan-segan menghabisi lawannya. Bukan hanya urusan profesi yang disikat “The Smiling General” bila mengalahkan lawannya, tapi juga wilayah pribadi mereka. Beberapa Jenderal merasakan betul hal itu ketika Soeharto berkuasa.
Berikut ini lima Jenderal yang pernah berkonflik dengan Soeharto dan berbuntut panjang ke belakang hingga kehidupan pribadi mereka dipersulit oleh sang penguasa Orde Baru.
1. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro
Konflik Pranoto dengan Soeharto bermula justru ketika keduanya sedang bersama di pucuk pimpinan Tentara Teritorium (TT) IV Diponegoro. Soeharto sebagai panglima divisi menyelewengkan jabatannya dengan melakukan kegiatan ilegal. Menurut Pranoto, sebagaimana dikutip Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto, “penyelewengan [Soeharto] berupa barter liar, monopoli cengkih dari asosiasi pabrik-pabrik rokok kretek Jawa Tengah (PPRK), lalu penjualan besi tua (scrab material) yang disponsori oleh orang-orang Tionghoa yang bernama Liem Sioe Liong, Oei Tek Young, dan Bob Hasan.”
Dalam melakukan kegiatan ilegal itu, Soeharto menggunakan fasilitas, seperti truk, milik TT IV. Mengetahui hal itu, selaku kepala staf Pranoto dan komandan CPM TT IV Letkol Soenaryo langsung menginvestigasinya. Hasil investigasi kemudian dilaporkan Pranoto ke KSAD Jenderal Nasution, yang hampir menghadiahi Soeharto dengan pemecatan.
Sementara Soeharto menjalani hukuman dengan tugas belajar di Bandung, Pranoto naik menggantikan dirinya sebagai panglima Diponegoro. Keduanya bertemu kembali di Jakarta setelah Soeharto menjabat panglima Kostrad dan Pranoto sebagai Asisten III (Personalia) Menpangad Ahmad Yani.
Konflik keduanya kembali terjadi menyusul hilangnya Menpangad A. Yani yang diculik G30S. Pranoto yang ditunjuk Presiden Sukarno menjadi pelaksana harian Angkatan Darat (AD), tak bisa menghadap presiden karena tak diizinkan Soeharto. Sebab, Soeharto telah mengambilalih pimpinan AD.
“Saya tidak dapat secara langsung menghadap Presiden/Pangti dengan tanpa seizin Mayjen Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu. Akan tetapi, Mayjen Soeharto selalu melarang saya untuk menghadap Presiden/Pangti,” ujar Pranoto dalam Memoar Mayor Jenderal Raden Pranoto Reksosamudro.
Soeharto kemudian “mematikan karier” Pranoto dengan menjadikannya perwira tinggi yang diperbantukan pada KSAD. Pada Februari 1966, Soeharto benar-benar mematikan Pranoto, karier maupun pribadi. Lewat Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.37/2/1966 tertanggal 16 Februari 1966, Soeharto menangkap Pranoto.
Soeharto menganggap Pranoto terlibat G30S. “Bukti yang menjadi dasar penahanan Pranoto adalah sepucuk surat dari Kolonel Latif yang berada dalam persembunyian setelah kegagalan Gestapu,” tulis Salim Said. Surat itu didapat Soeharto dari intel yang ditugaskan memburu Latif.
Surat itu berisi permintaan perlindungan kepada Pranoto selaku caretaker AD. Bagi Soeharto, hal itu menimbulkan kecurigaan bahwa Prantoto simpati kepada gerakan. Sebab, secara pribadi Latif jauh lebih dulu kenal dan dekat kepada Seoharto ketimbang Pranoto.
Akibat surat Latif yang tak pernah diterima dan diketahuinya itu, Pranoto harus mendekam di balik jeruji Rutan Blok P mulai Maret 1966. Hampir sebulan di Blok P, Pranoto kemudian menjadi tahanan rumah. Dia kembali masuk bui pada awal 1969 ketika Soeharto mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No. Print.212/TP/1/1969. Pranoto menghuni INREHAB Nirbaya bersama tapol-tapol kelas A lainnya.
Mulai Januari 1975, Pranoto tak lagi mendapatkan hak-haknya seperti gaji schorsing atau penerimaan lain. Hingga dibebaskan pada 1981 berdasarkan SK Pangkopkamtib No. SKEP/04/KOPKAM/1/1981, Pranoto tak pernah menerima surat pemberhentian atau pemecatan resmi dari keanggotaan AD. Meski begitu, dia tak mendapatkan pensiun sampai akhir hanyatnya dan namanya tak pernah direhabilitasi -hanya Jenderal Nasution yang langsung menelepon Pranoto untuk meminta maaf karena selama ini salah menilai dirinya.
“Saya harus berani menelan pil sepahit ini dan harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup yang sudah menjadi suratan takdir,” ujarnya sebagaimana dikutip Manai Sophiaan dalam Kehormatan Bagi yang Berhak.
2. Jenderal TNI A.H Nasution
Selaku atasan Soeharto di Angkatan Darat, Nasution punya hubungan pasang-surut dengan juniornya itu. Konflik keduanya bermula ketika Nasution selaku KSAD mengetahui Soeharto (panglima TT VII Diponegoro) melakukan penyelundupan beberapa komoditas bersama pengusaha Liem Sioe Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong. Soeharto hampir dipecat Nasution sebelum ahkirnya ditolong Wa-KSAD Jenderal Gatot Soebroto.
Sikap anti-PKI membuat keduanya bersatu mulai paruh kedua Demokrasi Terpimpin. Nasution dan Soeharto bahu-membahu menumpas PKI usai Peristiwa G30S, menggulingkan Sukarno, dan mendudukkan Soeharto di kursi presiden.
Namun, duduknya Soeharto di kursi presiden justru membuat hubungannya dengan Nasution kembali memburuk. Soeharto membubarkan MPRS yang dipimpin Nasution pada 1972. Sewaktu Nasution membuat buku kesan-kesan selama di MPRS, Soeharto memerintahkan aparatnya untuk membakar buku-buku itu beserta gudangnya.
Gerak-gerik Nasution terus diawasi dan dibatasi aparat. Selain khotbah Jumat, Kopkamtib juga melarang Nasution pidato di kampus-kampus. “Menurut keterangan dari beberapa mahasiswa, mereka selalu dipersulit bilamana mengundang Pak Nas untuk berbicara,” tulis Bakri AG Tianlean dan Tatang Sumarsono dalam AH Nasution di Masa Orde Baru. Lebih jauh, Kopkamtib melarang media massa memuat tulisan-tulisan Pak Nas, sapaan Nasution.
Kesulitan Pak Nas bertambah setelah dia bergabung ke dalam kelompok Petisi 50, kelompok berisi politisi senior dan purnawirawan jenderal yang berupaya mengoreksi pemerintahan Orde Baru yang dianggap telah melenceng dengan tafsir sepihak atas Pancasila-nya. Kopkamtib langsung mencabut hak politik para anggota Petisi 50 dan mencekal (cegah dan tangkal) mereka.
Di rumah, Pak Nas bahkan harus membuat sumur akibat aliran air ledengnya diputus secara sepihak. Dia juga dilarang tampil di depan publik atau menghadiri acara-acara kenegaraan dan acara-acara yang dihadiri petinggi pemerintahan. “Saya dan istri tidak boleh diundang pada acara perkawinan anak-anak Bu Gatot Subroto, Bu Yani, Bu Suprapto, dan lain-lain,” kenang Nasution.
Saat melayat Adam Malik, Pak Nas langsung didorong anggota Paspampres ketika hendak menyolatkan jenazah dan diperintahkan keluar. Alasannya, saat itu Wapres Umar Wirahadikusuma, ajudan Nasution semasa revolusi, sudah akan masuk ke rumah duka.
Pak Nas pun menilai, tuduhan penguasa bahwa para penandatangan Petisi 50 berkomplot untuk merebut kekuasaan sama dengan tuduhan PKI terhadap dirinya dan pimpinan Angkatan Darat semasa Demokrasi Terpimpin.
3. Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso
Meski hubungan Hoegeng dan Seoharto awalnya baik, keduanya akhirnya berkonflik. Kejujuran dan ketegasan Hoegeng dalam memberantas korupsi, penyelundupan, dan beragam bentuk kejahatan lain mengusik Cendana.
Saat kasus Sum Kuning muncul akhir 1960-an, Hoegeng tergerak untuk mengusut tuntas. Hoegeng yakin hasil akhir persidangan kasus pemerkosaan pedagang telur bernama Sumarijem oleh beberapa anak pejabat itu penuh rekayasa. Alih-alih memberi keadilan terhadap korban, hakim justru menjadikan Sumarijem tersangka.
Hoegeng langsung membentuk sebuah tim. Namun, belum lagi tim itu mendapat banyak hasil, Soeharto keburu mengambilalih kasus itu. Ketika menerima Hoegeng, Soeharto mengatakan penanganan kasus Sum Kuning diambilalih Kopkamtib.
Soeharto benar-benar marah ketika Hoegeng membongkar penyelundupan mobil mewah yang dilakukan pengusaha Robby Tjahjadi. Penyelundupan itu, sepenelusuran Hoegeng, terjadi akibat adanya backing dari aparat.
“Yang mengejutkan Hoegeng adalah ketika dia mau menemui Soeharto di kediamannya untuk memberitahukan si penyelundup mobil akan ditahan, ternyata si penyelundup mobil tersebut sedang bertemu dan berbincang-bincang dengan Seoharto,” tulis Aris Santoso dkk. dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa.
Hoegeng yang sejak itu tak pernah percaya Soeharto lagi, dicopot dari jabatannya tak lama kemudian. Dengan tegas dia menolak tawaran basa-basi Soeharto berupa jabatan duta besar.
Keduanya kembali berkonflik ketika Hoegeng bergabung dengan Petisi 50. Kelompok itu aktif mengoreksi penyelewengan Orde Baru karena menafsirkan sepihak Pancasila untuk kepentingannya dan menuduh pihak dengan tafsir Pancasila beda sebagai anti Pancasila.
Hoegeng langsung kena cekal, kehilangan hak politik, dan dilarang tampil publik. Hal itu membuat banyak orang jadi takut mendekati Hoegeng. Suatu ketika, seorang pengusaha sampai membatalkan rencana pembelian lukisan karya Hoegeng karena di lukisan itu tertera inisial nama sang pelukis. Pengusaha itu sempat meminta Hoegeng menghapusnya tapi ditolak.
Acara Hoegeng dan band The Hawaian Seniors-nya di TVRI langsung distop Menpen Ali Murtopo dengan alasan tak sesuai budaya bangsa. Pangkopkamtib Laksamana Soedomo menghimbau masyakarat agar hati-hati terhadap lagu-lagu yang dibawakan Hoegeng.
Penghentian acara di TVRI itu bentuk penutupan akses ekonomi oleh penguasa. “Hoegeng bahkan tidak punya uang untuk sekedar memperbaiki giginya karena digencent sama Harto!” kata Ali Sadikin sebagaimana dikutip Made Supriatma dalam tulisannya di indoprogress.com, “Selamat Ulang Tahun, Jenderal Jagal Besar!”. Sejak 1987, Hoegeng juga tak diziinkan pemerintah menghadiri perayaan HUT Polri.
4. Letjen KKO (Purn.) Ali Sadikin
Konflik Ali dengan Soeharto baru dimulai justru ketika Ali sudah pensiun dari militer maupun pemerintahan. Konflik bermula dari upaya Ali dan beberapa pensiunan jenderal serta politisi senior menggagas pernyataan keprihatinan terhadap pidato Presiden Soeharto pada 1980. Pernyataan korektif kelompok yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50 itu membuat Soeharto marah.
Lewat Kopkamtib (Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) yang dipimpin Laksamana Sudomo, junior Ali di AL, Soeharto langsung bertindak. Awalnya, Soeharto sempat memerintahkan Sudomo untuk menangkap Ali. Sudomo menolak dan sebagai gantinya, dia mem-persona non grata-kan atau membunuh secara perdata Ali.
Sama seperti penandatangan Petisi 50 lainnya, Ali langsung kena cekal. Saat hendak mengantarkan istrinya berobat ke Belanda tahun 1986, dia dihalangi Imigrasi. Ali bahkan tak mendapat izin untuk menunaikan ibadah haji.
Penguasa juga melarang Ali menghadiri acara-acara kenegaraan atau perayaan hari-hari nasional. Pemerintah bahkan meminta kedutaan asing di Jakarta untuk tak mengundang Ali dalam acara-acara mereka. Yang konyol, Ali tak diizinkan hadir dalam perayaan pembukaan Pekan Raya Jakarta (PRJ) meski acara tahunan ibukota itu buah gagasan Ali semasa menjabat sebagai Gubernur DKI.
Di ranah privat, Ali mendapat larangan menghadiri resepsi-resepsi yang dihadiri presiden. Akibatnya, kata Ali di dalam Pers Bertanya Bang Ali Menjawab, “Orang yang sudah mengundang saya memohon agar undangan yang sudah diberikan dianggap saja tidak ada dan karena itu, ia memohon maaf. Belakangan ada juga yang mengatakan tetap mengharapkan kehadiran saya, tetapi jamnya ditentukan.”
Persona non grata tak hanya menimpa Ali pribadi, tapi juga keluarganya. Boy Sadikin, putra sulung Ali, merasakan betul kesulitan yang ditimpakan pemerintah saat dia hendak meminjam dana dari bank untuk modal usaha. Pengajuannya berulangkali selalu menemui penolakan. Pemerintah sengaja menutup akses pinjaman bank, terutama bank negeri, kepada keluarga Ali. Hal itu diketahui setelah Ali menelepon direktur sebuah bank dan menanyakan alasan mengapa pengajuan kredit anaknya selalu gagal.
5. Letjen TNI H.R. Dharsono
Sebagai salahsatu panglima andalan Soeharto ketika berupaya menggulingkan Sukarno, Dharsono jelas memiliki hubungan manis dengan “the smiling general”. Soeharto mengangkat Dharsono menjadi panglima Siliwangi –menggantikan Ibrahim Adjie, seorang panglima dengan reputasi anti-korupsi dan pendukung Sukarno– sebagai hadiah dari jasa yang telah diberikannya.
Konflik Dharsono dengan Soeharto baru terjadi ketika Soeharto sudah 10 tahun menjabat presiden dan Dharsono menjabat sekretaris jenderal ASEAN. Ketika berpidato di depan Eksponen 66 di Bandung, Januari 1978, Dharsono melontarkan kritik terhadap pemerintah cum ABRI yang dinilainya makin melenceng.
Kritik Dharsono langsung menuai kemarahan penguasa. Kemarahan itu makin bertambah karena Dharsono enggan mengabulkan tuntutan permintaan maaf dari pemerintah. Akibatnya, Dharsono pun mesti kehilangan jabatan di Setjen ASEAN.
Namun alih-alih berubah jadi “jinak”, Dharsono justru makin membuat penguasa berang lantaran bergabung ke dalam Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD, yang mengambil sikap kritis terhadap penguasa. Setelah Fosko dibubarkan pemerintah, Dharsono mendekat kepada Petisi 50. Meski tak menjadi anggota, hal itu makin membuat penguasa benci. Terlebih, Dharsono makin dekat dengan kalangan Islam.
Setelah Dharsono dan 22 tokoh –mayoritas anggota Petisi 50– menandatangani pernyataan gugatan terhadap pembantaian kalangan Islam oleh ABRI dalam Peristiwa Tanjung Priok, pemerintah lewat plot janggalnya langsung menangkap dia pada 8 November 1984 dan memejahijaukannya. Dharsono dituduh terlibat dalam komplotan Islam garis keras yang meledakkan BCA di Jakarta Kota.
Meski kemudian mendapat pemotongaan 3 tahun masa tahanan, Dharsono yang tak pernah mau minta grasi kepada presiden harus mendekam 6 tahun di LP Cipinang. Begitu bebas pada tahun 1990, Dharsono mengalami pengucilan sebagaimana musuh-musuh Orde Baru lain.
Setelah meninggal dunia pada 5 Juni 1996 akibat tumor otak, pemerintah tak mengizinkan jenazah Dharsono dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung. “Soeharto punya kebencian dan ketakutan pribadi terhadap HR Dharsono yang merupakan seorang panglima, jenderal sungguhan dari Siliwangi, yang berani melawan Soeharto,” kata Adnan Buyung Nasution, pengacara yang membela Dharsono, dalam otobiografi berjudul Pergulatan Tanpa Henti: Menabur Benih Reformasi.
Soeharto |
Soeharto tak segan-segan menghabisi lawannya. Bukan hanya urusan profesi yang disikat “The Smiling General” bila mengalahkan lawannya, tapi juga wilayah pribadi mereka. Beberapa Jenderal merasakan betul hal itu ketika Soeharto berkuasa.
Berikut ini lima Jenderal yang pernah berkonflik dengan Soeharto dan berbuntut panjang ke belakang hingga kehidupan pribadi mereka dipersulit oleh sang penguasa Orde Baru.
1. Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro
Konflik Pranoto dengan Soeharto bermula justru ketika keduanya sedang bersama di pucuk pimpinan Tentara Teritorium (TT) IV Diponegoro. Soeharto sebagai panglima divisi menyelewengkan jabatannya dengan melakukan kegiatan ilegal. Menurut Pranoto, sebagaimana dikutip Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto, “penyelewengan [Soeharto] berupa barter liar, monopoli cengkih dari asosiasi pabrik-pabrik rokok kretek Jawa Tengah (PPRK), lalu penjualan besi tua (scrab material) yang disponsori oleh orang-orang Tionghoa yang bernama Liem Sioe Liong, Oei Tek Young, dan Bob Hasan.”
Dalam melakukan kegiatan ilegal itu, Soeharto menggunakan fasilitas, seperti truk, milik TT IV. Mengetahui hal itu, selaku kepala staf Pranoto dan komandan CPM TT IV Letkol Soenaryo langsung menginvestigasinya. Hasil investigasi kemudian dilaporkan Pranoto ke KSAD Jenderal Nasution, yang hampir menghadiahi Soeharto dengan pemecatan.
Sementara Soeharto menjalani hukuman dengan tugas belajar di Bandung, Pranoto naik menggantikan dirinya sebagai panglima Diponegoro. Keduanya bertemu kembali di Jakarta setelah Soeharto menjabat panglima Kostrad dan Pranoto sebagai Asisten III (Personalia) Menpangad Ahmad Yani.
Konflik keduanya kembali terjadi menyusul hilangnya Menpangad A. Yani yang diculik G30S. Pranoto yang ditunjuk Presiden Sukarno menjadi pelaksana harian Angkatan Darat (AD), tak bisa menghadap presiden karena tak diizinkan Soeharto. Sebab, Soeharto telah mengambilalih pimpinan AD.
“Saya tidak dapat secara langsung menghadap Presiden/Pangti dengan tanpa seizin Mayjen Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu. Akan tetapi, Mayjen Soeharto selalu melarang saya untuk menghadap Presiden/Pangti,” ujar Pranoto dalam Memoar Mayor Jenderal Raden Pranoto Reksosamudro.
Soeharto kemudian “mematikan karier” Pranoto dengan menjadikannya perwira tinggi yang diperbantukan pada KSAD. Pada Februari 1966, Soeharto benar-benar mematikan Pranoto, karier maupun pribadi. Lewat Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.37/2/1966 tertanggal 16 Februari 1966, Soeharto menangkap Pranoto.
Soeharto menganggap Pranoto terlibat G30S. “Bukti yang menjadi dasar penahanan Pranoto adalah sepucuk surat dari Kolonel Latif yang berada dalam persembunyian setelah kegagalan Gestapu,” tulis Salim Said. Surat itu didapat Soeharto dari intel yang ditugaskan memburu Latif.
Surat itu berisi permintaan perlindungan kepada Pranoto selaku caretaker AD. Bagi Soeharto, hal itu menimbulkan kecurigaan bahwa Prantoto simpati kepada gerakan. Sebab, secara pribadi Latif jauh lebih dulu kenal dan dekat kepada Seoharto ketimbang Pranoto.
Akibat surat Latif yang tak pernah diterima dan diketahuinya itu, Pranoto harus mendekam di balik jeruji Rutan Blok P mulai Maret 1966. Hampir sebulan di Blok P, Pranoto kemudian menjadi tahanan rumah. Dia kembali masuk bui pada awal 1969 ketika Soeharto mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No. Print.212/TP/1/1969. Pranoto menghuni INREHAB Nirbaya bersama tapol-tapol kelas A lainnya.
Mulai Januari 1975, Pranoto tak lagi mendapatkan hak-haknya seperti gaji schorsing atau penerimaan lain. Hingga dibebaskan pada 1981 berdasarkan SK Pangkopkamtib No. SKEP/04/KOPKAM/1/1981, Pranoto tak pernah menerima surat pemberhentian atau pemecatan resmi dari keanggotaan AD. Meski begitu, dia tak mendapatkan pensiun sampai akhir hanyatnya dan namanya tak pernah direhabilitasi -hanya Jenderal Nasution yang langsung menelepon Pranoto untuk meminta maaf karena selama ini salah menilai dirinya.
“Saya harus berani menelan pil sepahit ini dan harus pula berani membaca kenyataan dalam hidup yang sudah menjadi suratan takdir,” ujarnya sebagaimana dikutip Manai Sophiaan dalam Kehormatan Bagi yang Berhak.
2. Jenderal TNI A.H Nasution
Selaku atasan Soeharto di Angkatan Darat, Nasution punya hubungan pasang-surut dengan juniornya itu. Konflik keduanya bermula ketika Nasution selaku KSAD mengetahui Soeharto (panglima TT VII Diponegoro) melakukan penyelundupan beberapa komoditas bersama pengusaha Liem Sioe Liong, Bob Hasan, dan Tek Kiong. Soeharto hampir dipecat Nasution sebelum ahkirnya ditolong Wa-KSAD Jenderal Gatot Soebroto.
Sikap anti-PKI membuat keduanya bersatu mulai paruh kedua Demokrasi Terpimpin. Nasution dan Soeharto bahu-membahu menumpas PKI usai Peristiwa G30S, menggulingkan Sukarno, dan mendudukkan Soeharto di kursi presiden.
Namun, duduknya Soeharto di kursi presiden justru membuat hubungannya dengan Nasution kembali memburuk. Soeharto membubarkan MPRS yang dipimpin Nasution pada 1972. Sewaktu Nasution membuat buku kesan-kesan selama di MPRS, Soeharto memerintahkan aparatnya untuk membakar buku-buku itu beserta gudangnya.
Gerak-gerik Nasution terus diawasi dan dibatasi aparat. Selain khotbah Jumat, Kopkamtib juga melarang Nasution pidato di kampus-kampus. “Menurut keterangan dari beberapa mahasiswa, mereka selalu dipersulit bilamana mengundang Pak Nas untuk berbicara,” tulis Bakri AG Tianlean dan Tatang Sumarsono dalam AH Nasution di Masa Orde Baru. Lebih jauh, Kopkamtib melarang media massa memuat tulisan-tulisan Pak Nas, sapaan Nasution.
Kesulitan Pak Nas bertambah setelah dia bergabung ke dalam kelompok Petisi 50, kelompok berisi politisi senior dan purnawirawan jenderal yang berupaya mengoreksi pemerintahan Orde Baru yang dianggap telah melenceng dengan tafsir sepihak atas Pancasila-nya. Kopkamtib langsung mencabut hak politik para anggota Petisi 50 dan mencekal (cegah dan tangkal) mereka.
Di rumah, Pak Nas bahkan harus membuat sumur akibat aliran air ledengnya diputus secara sepihak. Dia juga dilarang tampil di depan publik atau menghadiri acara-acara kenegaraan dan acara-acara yang dihadiri petinggi pemerintahan. “Saya dan istri tidak boleh diundang pada acara perkawinan anak-anak Bu Gatot Subroto, Bu Yani, Bu Suprapto, dan lain-lain,” kenang Nasution.
Saat melayat Adam Malik, Pak Nas langsung didorong anggota Paspampres ketika hendak menyolatkan jenazah dan diperintahkan keluar. Alasannya, saat itu Wapres Umar Wirahadikusuma, ajudan Nasution semasa revolusi, sudah akan masuk ke rumah duka.
Pak Nas pun menilai, tuduhan penguasa bahwa para penandatangan Petisi 50 berkomplot untuk merebut kekuasaan sama dengan tuduhan PKI terhadap dirinya dan pimpinan Angkatan Darat semasa Demokrasi Terpimpin.
3. Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso
Meski hubungan Hoegeng dan Seoharto awalnya baik, keduanya akhirnya berkonflik. Kejujuran dan ketegasan Hoegeng dalam memberantas korupsi, penyelundupan, dan beragam bentuk kejahatan lain mengusik Cendana.
Saat kasus Sum Kuning muncul akhir 1960-an, Hoegeng tergerak untuk mengusut tuntas. Hoegeng yakin hasil akhir persidangan kasus pemerkosaan pedagang telur bernama Sumarijem oleh beberapa anak pejabat itu penuh rekayasa. Alih-alih memberi keadilan terhadap korban, hakim justru menjadikan Sumarijem tersangka.
Hoegeng langsung membentuk sebuah tim. Namun, belum lagi tim itu mendapat banyak hasil, Soeharto keburu mengambilalih kasus itu. Ketika menerima Hoegeng, Soeharto mengatakan penanganan kasus Sum Kuning diambilalih Kopkamtib.
Soeharto benar-benar marah ketika Hoegeng membongkar penyelundupan mobil mewah yang dilakukan pengusaha Robby Tjahjadi. Penyelundupan itu, sepenelusuran Hoegeng, terjadi akibat adanya backing dari aparat.
“Yang mengejutkan Hoegeng adalah ketika dia mau menemui Soeharto di kediamannya untuk memberitahukan si penyelundup mobil akan ditahan, ternyata si penyelundup mobil tersebut sedang bertemu dan berbincang-bincang dengan Seoharto,” tulis Aris Santoso dkk. dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa.
Hoegeng yang sejak itu tak pernah percaya Soeharto lagi, dicopot dari jabatannya tak lama kemudian. Dengan tegas dia menolak tawaran basa-basi Soeharto berupa jabatan duta besar.
Keduanya kembali berkonflik ketika Hoegeng bergabung dengan Petisi 50. Kelompok itu aktif mengoreksi penyelewengan Orde Baru karena menafsirkan sepihak Pancasila untuk kepentingannya dan menuduh pihak dengan tafsir Pancasila beda sebagai anti Pancasila.
Hoegeng langsung kena cekal, kehilangan hak politik, dan dilarang tampil publik. Hal itu membuat banyak orang jadi takut mendekati Hoegeng. Suatu ketika, seorang pengusaha sampai membatalkan rencana pembelian lukisan karya Hoegeng karena di lukisan itu tertera inisial nama sang pelukis. Pengusaha itu sempat meminta Hoegeng menghapusnya tapi ditolak.
Acara Hoegeng dan band The Hawaian Seniors-nya di TVRI langsung distop Menpen Ali Murtopo dengan alasan tak sesuai budaya bangsa. Pangkopkamtib Laksamana Soedomo menghimbau masyakarat agar hati-hati terhadap lagu-lagu yang dibawakan Hoegeng.
Penghentian acara di TVRI itu bentuk penutupan akses ekonomi oleh penguasa. “Hoegeng bahkan tidak punya uang untuk sekedar memperbaiki giginya karena digencent sama Harto!” kata Ali Sadikin sebagaimana dikutip Made Supriatma dalam tulisannya di indoprogress.com, “Selamat Ulang Tahun, Jenderal Jagal Besar!”. Sejak 1987, Hoegeng juga tak diziinkan pemerintah menghadiri perayaan HUT Polri.
4. Letjen KKO (Purn.) Ali Sadikin
Konflik Ali dengan Soeharto baru dimulai justru ketika Ali sudah pensiun dari militer maupun pemerintahan. Konflik bermula dari upaya Ali dan beberapa pensiunan jenderal serta politisi senior menggagas pernyataan keprihatinan terhadap pidato Presiden Soeharto pada 1980. Pernyataan korektif kelompok yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50 itu membuat Soeharto marah.
Lewat Kopkamtib (Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) yang dipimpin Laksamana Sudomo, junior Ali di AL, Soeharto langsung bertindak. Awalnya, Soeharto sempat memerintahkan Sudomo untuk menangkap Ali. Sudomo menolak dan sebagai gantinya, dia mem-persona non grata-kan atau membunuh secara perdata Ali.
Sama seperti penandatangan Petisi 50 lainnya, Ali langsung kena cekal. Saat hendak mengantarkan istrinya berobat ke Belanda tahun 1986, dia dihalangi Imigrasi. Ali bahkan tak mendapat izin untuk menunaikan ibadah haji.
Penguasa juga melarang Ali menghadiri acara-acara kenegaraan atau perayaan hari-hari nasional. Pemerintah bahkan meminta kedutaan asing di Jakarta untuk tak mengundang Ali dalam acara-acara mereka. Yang konyol, Ali tak diizinkan hadir dalam perayaan pembukaan Pekan Raya Jakarta (PRJ) meski acara tahunan ibukota itu buah gagasan Ali semasa menjabat sebagai Gubernur DKI.
Di ranah privat, Ali mendapat larangan menghadiri resepsi-resepsi yang dihadiri presiden. Akibatnya, kata Ali di dalam Pers Bertanya Bang Ali Menjawab, “Orang yang sudah mengundang saya memohon agar undangan yang sudah diberikan dianggap saja tidak ada dan karena itu, ia memohon maaf. Belakangan ada juga yang mengatakan tetap mengharapkan kehadiran saya, tetapi jamnya ditentukan.”
Persona non grata tak hanya menimpa Ali pribadi, tapi juga keluarganya. Boy Sadikin, putra sulung Ali, merasakan betul kesulitan yang ditimpakan pemerintah saat dia hendak meminjam dana dari bank untuk modal usaha. Pengajuannya berulangkali selalu menemui penolakan. Pemerintah sengaja menutup akses pinjaman bank, terutama bank negeri, kepada keluarga Ali. Hal itu diketahui setelah Ali menelepon direktur sebuah bank dan menanyakan alasan mengapa pengajuan kredit anaknya selalu gagal.
5. Letjen TNI H.R. Dharsono
Sebagai salahsatu panglima andalan Soeharto ketika berupaya menggulingkan Sukarno, Dharsono jelas memiliki hubungan manis dengan “the smiling general”. Soeharto mengangkat Dharsono menjadi panglima Siliwangi –menggantikan Ibrahim Adjie, seorang panglima dengan reputasi anti-korupsi dan pendukung Sukarno– sebagai hadiah dari jasa yang telah diberikannya.
Konflik Dharsono dengan Soeharto baru terjadi ketika Soeharto sudah 10 tahun menjabat presiden dan Dharsono menjabat sekretaris jenderal ASEAN. Ketika berpidato di depan Eksponen 66 di Bandung, Januari 1978, Dharsono melontarkan kritik terhadap pemerintah cum ABRI yang dinilainya makin melenceng.
Kritik Dharsono langsung menuai kemarahan penguasa. Kemarahan itu makin bertambah karena Dharsono enggan mengabulkan tuntutan permintaan maaf dari pemerintah. Akibatnya, Dharsono pun mesti kehilangan jabatan di Setjen ASEAN.
Namun alih-alih berubah jadi “jinak”, Dharsono justru makin membuat penguasa berang lantaran bergabung ke dalam Forum Studi dan Komunikasi (Fosko) TNI AD, yang mengambil sikap kritis terhadap penguasa. Setelah Fosko dibubarkan pemerintah, Dharsono mendekat kepada Petisi 50. Meski tak menjadi anggota, hal itu makin membuat penguasa benci. Terlebih, Dharsono makin dekat dengan kalangan Islam.
Setelah Dharsono dan 22 tokoh –mayoritas anggota Petisi 50– menandatangani pernyataan gugatan terhadap pembantaian kalangan Islam oleh ABRI dalam Peristiwa Tanjung Priok, pemerintah lewat plot janggalnya langsung menangkap dia pada 8 November 1984 dan memejahijaukannya. Dharsono dituduh terlibat dalam komplotan Islam garis keras yang meledakkan BCA di Jakarta Kota.
Meski kemudian mendapat pemotongaan 3 tahun masa tahanan, Dharsono yang tak pernah mau minta grasi kepada presiden harus mendekam 6 tahun di LP Cipinang. Begitu bebas pada tahun 1990, Dharsono mengalami pengucilan sebagaimana musuh-musuh Orde Baru lain.
Setelah meninggal dunia pada 5 Juni 1996 akibat tumor otak, pemerintah tak mengizinkan jenazah Dharsono dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung. “Soeharto punya kebencian dan ketakutan pribadi terhadap HR Dharsono yang merupakan seorang panglima, jenderal sungguhan dari Siliwangi, yang berani melawan Soeharto,” kata Adnan Buyung Nasution, pengacara yang membela Dharsono, dalam otobiografi berjudul Pergulatan Tanpa Henti: Menabur Benih Reformasi.
No comments:
Post a Comment