Selebaran gelap yang kertasnya sudah menguning itu seolah berbicara banyak.
Di bawah judul "Manifesto Mahasiswa ITB atas Kekuasaan Soeharto" disebutkan beberapa kisah yang menyebabkan para mahasiswa Bandung menolak pencalonan kembali Jenderal TNI (Purn.) Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1978-1983.
Salah satu yang menarik adalah tentang kejadian di tahun 1950, ketika Kolonel Alex Evert Kawilarang (Panglima Operasi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat untuk Indonesia Timur) menampar Letnan Kolonel Soeharto (Komandan Brigade Garuda Mataram yang tengah ditugaskan di Sulawesi Selatan). Pasalnya, sesepuh Divisi Siliwangi itu tak suka melihat kelakuan pasukan Soeharto yang alih-alih bertempur dengan prajurit eks KNIL pimpinan Andi Azis yang memberontak, malah merampok harta orang-orang Bugis.
Anehnya, kejadian penting itu tidak dibahas secuilpun di buku otobiografi masing-masing dua pelakunya yang terlibat. Dalam buku Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH), Kawilarang justru menulis secara positif tentang peran militer Soeharto saat bertugas di Sulawesi Selatan. Begitu juga dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (disusun oleh G. Dwipayana dan Ramadhan KH), mantan penguasa Orde Baru itu sama sekali tidak menuliskan soal perseteruannya dengan Kawilarang. Apakah mereka menghindari cerita-cerita pengalaman yang hanya akan mengundang konflik? Bisa jadi.
Saya sendiri pernah mempunyai kesempatan bertemu dengan Kawilarang pada 1999. Usai mengikuti peluncuran buku Indonesia Memasuki Milenium III: Gagasan dan Pemikiran Edi Sudradjat di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, saya pernah "mencegatnya" dan menanyakan soal itu kepadanya. Ditanya demikian, alih-alih menjawab, Kawilarang hanya tertawa saja.
"Kamu dapat berita itu dari mana?" tanyanya. Tanpa menunggu jawaban dari saya, dia lantas ngeloyor pergi.
Beberapa waktu lalu, soal kasus penamparan itu saya sempat konfirmasi kepada Aloysius Sugianto, eks ajudan Letnan Kolonel Slamet Rijadi. Pada Agustus 1950, Aloysius dan Slamet Rijadi sempat bertemu dengan Kawilarang dan Soeharto, saat pasukan Slamet yang ditugaskan menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) singgah terlebih dahulu di Pelabuhan Makassar.
Waktu itu, Aloysius sempat menyaksikan para prajurit Brigade Garuda Mataram sedang siap-siap pulang ke Jawa lewat Pelabuhan Makassar. Mereka membawa begitu banyak barang yang diduga hasil rampasan perang.
"Yang saya tahu, soal barang-barang itu, Kolonel Kawilarang sempat merasa tidak suka dan menegur keras Pak Harto," ujar eks anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang juga pernah menjadi ajudan Kawilarang.
Kepada jurnalis asal Australia David Jenkins, Kawilarang mengakui pernah menegur Soeharto namun tidak sampai melakukan penamparan. Namun seorang saksi anonim yang juga dikutip Jenkins dalam bukunya Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983 (dialihbahasakan menjadi Soeharto & Barisan Jenderal Orba, Rezim Militer Indonesia 1975-1983) menyebut bahwa sejatinya penamparan itu memang terjadi dan malah disaksikan secara langsung oleh M. Jusuf, seorang perwira Bugis yang kelak membawa Supersemar dan kemudian menjadi Panglima ABRI di awal-awal Orde Baru berkuasa.
"Kolonel Alex Kawilarang menampar Letnan Kolonel Soeharto karena kesalahan besar yang dibuat oleh pasukan yang dipimpin Soeharto," tulis Jenkins.
Pernyataan Aloysius dan tulisan Jenkins berkelindan dengan pengakuan Kawilarang tentang masalah itu dalam majalah Tempo edisi 10 Mei 1999. Kepada Kelik M. Nugroho, Kawilarang menyangkal cerita soal penamparan itu yang katanya baru muncul pada tahun 1970-an.
"Wah, itu tidak benar. Saya tidak tahu mereka memutarbalikan cerita itu," ujar Kawilarang.
Yang benar, ujar Kawilarang, penamparan itu justru dilakukan oleh Soeharto. Korbannya adalah Letnan Parman, salah seorang anak buah Kawilarang. Lantas bagaimana itu bisa terjadi?
Ceritanya, saat itu ada tujuh mobil yang belum dibayar tapi tetap mau dibawa ke Jawa oleh pasukannya Soeharto. Dalam pandangan Kawilarang itu sama sekali tidak benar. Supaya mobil-mobil itu menjadi “sah”, Kawilarang lantas memerintahkan seorang bawahannya untuk membayar semua mobil itu dari kas keuangan Tentara Teritorium setempat (TT VII). Perintah itu diminta oleh Kawilarang untuk diteruskan kepada Letnan Parman (Komandan Pelabuhan Makassar).
Belum perintah Kawilarang itu sampai kepada Letnan Parman, mobil-mobil itu sudah mulai dimasukan ke dalam kapal oleh anak buah Soeharto. Parman yang merasa pengangkutan itu tidak benar lalu mencegahnya. Ternyata itu membuat tersinggung Soeharto, hingga dia mendatangi Parman dan menamparnya.
Isu penamparan Soeharto itu juga sempat didengar oleh Letnan Jenderal (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat periode 1973-1974. Kepada Martin Sitompul dari Historia, Sayidiman menyatakan kejadian itu merupakan sebuah kemustahilan dan orang-orang yang menuliskannya hanya bermaksud mencari sensasi.
Menurut eks perwira Divisi Siliwangi yang mengenal baik Soeharto dan Kawilarang tersebut, di lingkungan Siliwangi sejak dipimpin A.H. Nasution hingga Ibrahim Adjie, tidak ada ceritanya panglima menampar anak buah. Terlebih orang yang ditampar itu memiliki jabatan yang tidak rendah: komandan brigade.
Kepada Sayidiman, Kawilarang malah pernah memuji kepemimpinan Soeharto selama bertugas di Sulawesi Selatan. Jadi jika dia menampar Soeharto, itu bukan gaya seorang Kawilarang.
"Sebagai eks mayor KNIL dan anak seorang dokter yang sejak kecil hidup dalam alam etika Barat, Kawilarang pastinya paham bahwa bersikap agresif secara fisik bukanlah cara yang benar dan bertentangan dengan sopan santun," ujar Sayidiman.
Hubungan Kawilarang dengan Soeharto sendiri di masa tua relatif baik. Mereka kerap berkomunikasi dan saling berkabar. Ada sebuah cerita yang disampaikan oleh Letnan Jenderal (Purn.) T.B. Silalahi, eks petinggi ABRI di era Orde Baru.
Suatu hari Kawilarang menemui Presiden Soeharto. Dia "mengadu" bahwa Panglima ABRI Jenderal TNI Edi Sudradjat yang didapuknya untuk menjadi Ketua Persatuan Olahraga Penunggang Kuda Seluruh Indonesia (POPKSI) ternyata menolak jabatan tersebut. Padahal sebelumnya Soeharto sudah merestui pendapukan itu.
Soeharto juga sempat terkejut ketika mendengar Kawilarang jatuh sakit dan dirawat di Bandung pada awal 1990-an. Kabar itu didengar Soeharto dari Yogie S. Memet (Gubernur Jawa Barat) yang tak lain adalah eks ajudan Kawilarang. Yogie juga menyatakan kepada Soeharto bahwa sebagai pejuang Perang Kemerdekaan Indonesia, Kawilarang belum mendapatkan Bintang Gerilya. Maka jadilah penganugerahan Bintang Gerilya dilakukan di rumah sakit.
"Kalau tidak sakit, mungkin saya tidak akan mendapatkan itu (Bintang Gerilya)," ujar Kawilarang sambil terbahak.
Sumber: Historia
Di bawah judul "Manifesto Mahasiswa ITB atas Kekuasaan Soeharto" disebutkan beberapa kisah yang menyebabkan para mahasiswa Bandung menolak pencalonan kembali Jenderal TNI (Purn.) Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1978-1983.
Letnan Kolonel Soeharto dan Kolonel A.E. Kawilarang saat bertugas di Sulawesi Selatan (Dok. Keluarga A.E. Kawilarang) |
Salah satu yang menarik adalah tentang kejadian di tahun 1950, ketika Kolonel Alex Evert Kawilarang (Panglima Operasi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat untuk Indonesia Timur) menampar Letnan Kolonel Soeharto (Komandan Brigade Garuda Mataram yang tengah ditugaskan di Sulawesi Selatan). Pasalnya, sesepuh Divisi Siliwangi itu tak suka melihat kelakuan pasukan Soeharto yang alih-alih bertempur dengan prajurit eks KNIL pimpinan Andi Azis yang memberontak, malah merampok harta orang-orang Bugis.
Anehnya, kejadian penting itu tidak dibahas secuilpun di buku otobiografi masing-masing dua pelakunya yang terlibat. Dalam buku Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH), Kawilarang justru menulis secara positif tentang peran militer Soeharto saat bertugas di Sulawesi Selatan. Begitu juga dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (disusun oleh G. Dwipayana dan Ramadhan KH), mantan penguasa Orde Baru itu sama sekali tidak menuliskan soal perseteruannya dengan Kawilarang. Apakah mereka menghindari cerita-cerita pengalaman yang hanya akan mengundang konflik? Bisa jadi.
Saya sendiri pernah mempunyai kesempatan bertemu dengan Kawilarang pada 1999. Usai mengikuti peluncuran buku Indonesia Memasuki Milenium III: Gagasan dan Pemikiran Edi Sudradjat di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta Pusat, saya pernah "mencegatnya" dan menanyakan soal itu kepadanya. Ditanya demikian, alih-alih menjawab, Kawilarang hanya tertawa saja.
"Kamu dapat berita itu dari mana?" tanyanya. Tanpa menunggu jawaban dari saya, dia lantas ngeloyor pergi.
Beberapa waktu lalu, soal kasus penamparan itu saya sempat konfirmasi kepada Aloysius Sugianto, eks ajudan Letnan Kolonel Slamet Rijadi. Pada Agustus 1950, Aloysius dan Slamet Rijadi sempat bertemu dengan Kawilarang dan Soeharto, saat pasukan Slamet yang ditugaskan menumpas pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) singgah terlebih dahulu di Pelabuhan Makassar.
Waktu itu, Aloysius sempat menyaksikan para prajurit Brigade Garuda Mataram sedang siap-siap pulang ke Jawa lewat Pelabuhan Makassar. Mereka membawa begitu banyak barang yang diduga hasil rampasan perang.
"Yang saya tahu, soal barang-barang itu, Kolonel Kawilarang sempat merasa tidak suka dan menegur keras Pak Harto," ujar eks anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang juga pernah menjadi ajudan Kawilarang.
Kepada jurnalis asal Australia David Jenkins, Kawilarang mengakui pernah menegur Soeharto namun tidak sampai melakukan penamparan. Namun seorang saksi anonim yang juga dikutip Jenkins dalam bukunya Suharto and His Generals: Indonesian Military Politics, 1975-1983 (dialihbahasakan menjadi Soeharto & Barisan Jenderal Orba, Rezim Militer Indonesia 1975-1983) menyebut bahwa sejatinya penamparan itu memang terjadi dan malah disaksikan secara langsung oleh M. Jusuf, seorang perwira Bugis yang kelak membawa Supersemar dan kemudian menjadi Panglima ABRI di awal-awal Orde Baru berkuasa.
"Kolonel Alex Kawilarang menampar Letnan Kolonel Soeharto karena kesalahan besar yang dibuat oleh pasukan yang dipimpin Soeharto," tulis Jenkins.
Pernyataan Aloysius dan tulisan Jenkins berkelindan dengan pengakuan Kawilarang tentang masalah itu dalam majalah Tempo edisi 10 Mei 1999. Kepada Kelik M. Nugroho, Kawilarang menyangkal cerita soal penamparan itu yang katanya baru muncul pada tahun 1970-an.
"Wah, itu tidak benar. Saya tidak tahu mereka memutarbalikan cerita itu," ujar Kawilarang.
Yang benar, ujar Kawilarang, penamparan itu justru dilakukan oleh Soeharto. Korbannya adalah Letnan Parman, salah seorang anak buah Kawilarang. Lantas bagaimana itu bisa terjadi?
Ceritanya, saat itu ada tujuh mobil yang belum dibayar tapi tetap mau dibawa ke Jawa oleh pasukannya Soeharto. Dalam pandangan Kawilarang itu sama sekali tidak benar. Supaya mobil-mobil itu menjadi “sah”, Kawilarang lantas memerintahkan seorang bawahannya untuk membayar semua mobil itu dari kas keuangan Tentara Teritorium setempat (TT VII). Perintah itu diminta oleh Kawilarang untuk diteruskan kepada Letnan Parman (Komandan Pelabuhan Makassar).
Belum perintah Kawilarang itu sampai kepada Letnan Parman, mobil-mobil itu sudah mulai dimasukan ke dalam kapal oleh anak buah Soeharto. Parman yang merasa pengangkutan itu tidak benar lalu mencegahnya. Ternyata itu membuat tersinggung Soeharto, hingga dia mendatangi Parman dan menamparnya.
Isu penamparan Soeharto itu juga sempat didengar oleh Letnan Jenderal (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat periode 1973-1974. Kepada Martin Sitompul dari Historia, Sayidiman menyatakan kejadian itu merupakan sebuah kemustahilan dan orang-orang yang menuliskannya hanya bermaksud mencari sensasi.
Menurut eks perwira Divisi Siliwangi yang mengenal baik Soeharto dan Kawilarang tersebut, di lingkungan Siliwangi sejak dipimpin A.H. Nasution hingga Ibrahim Adjie, tidak ada ceritanya panglima menampar anak buah. Terlebih orang yang ditampar itu memiliki jabatan yang tidak rendah: komandan brigade.
Kepada Sayidiman, Kawilarang malah pernah memuji kepemimpinan Soeharto selama bertugas di Sulawesi Selatan. Jadi jika dia menampar Soeharto, itu bukan gaya seorang Kawilarang.
"Sebagai eks mayor KNIL dan anak seorang dokter yang sejak kecil hidup dalam alam etika Barat, Kawilarang pastinya paham bahwa bersikap agresif secara fisik bukanlah cara yang benar dan bertentangan dengan sopan santun," ujar Sayidiman.
Hubungan Kawilarang dengan Soeharto sendiri di masa tua relatif baik. Mereka kerap berkomunikasi dan saling berkabar. Ada sebuah cerita yang disampaikan oleh Letnan Jenderal (Purn.) T.B. Silalahi, eks petinggi ABRI di era Orde Baru.
Suatu hari Kawilarang menemui Presiden Soeharto. Dia "mengadu" bahwa Panglima ABRI Jenderal TNI Edi Sudradjat yang didapuknya untuk menjadi Ketua Persatuan Olahraga Penunggang Kuda Seluruh Indonesia (POPKSI) ternyata menolak jabatan tersebut. Padahal sebelumnya Soeharto sudah merestui pendapukan itu.
Soeharto juga sempat terkejut ketika mendengar Kawilarang jatuh sakit dan dirawat di Bandung pada awal 1990-an. Kabar itu didengar Soeharto dari Yogie S. Memet (Gubernur Jawa Barat) yang tak lain adalah eks ajudan Kawilarang. Yogie juga menyatakan kepada Soeharto bahwa sebagai pejuang Perang Kemerdekaan Indonesia, Kawilarang belum mendapatkan Bintang Gerilya. Maka jadilah penganugerahan Bintang Gerilya dilakukan di rumah sakit.
"Kalau tidak sakit, mungkin saya tidak akan mendapatkan itu (Bintang Gerilya)," ujar Kawilarang sambil terbahak.
Sumber: Historia
No comments:
Post a Comment