Sunday, September 15, 2019

Asal Usul Dana Partai Komunis Indonesia (PKI)

Setiap memasuki bulan September maka mau tak mau kita akan teringat Partai Komunis Indonesia (PKI) dan sejarah kelam tragedi 1965. Sejarah ini pun memang selalu menarik untuk digali oleh penyuka sejarah, termasuk saya.

Selama lebih dari 3 dekade kita dicekoki oleh pemahaman sejarah yang salah dan "disetir" oleh rezim Orde Baru (Orba) mengenai hal ini. Salah satu contoh yang paling kentara bisa dilihat dalam banyak adegan film "Pengkhianatan G30S/PKI" karya sutradara kondang Arifin C. Noer.

Surat Instruksi untuk iuran pembangunan gedung partai dan Kartu keuangan Partai Komunis Indonesia. (sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia)


Dipa Nusantara Aidit, ketua Comite Central (CC) PKI dalam film tersebut digambarkan sebagai perokok berat. Padahal aslinya, seperti yang diceritakan oleh Sobron Aidit dan Ilham Aidit, sosok DN Aidit bukanlah perokok. Bahkan beberapa saksi dan pelaku sejarah terkait G30S pun mengatakan bahwa demi terselenggaranya Kongres ke-6 PKI, Aidit mengajak kawan-kawannya di Dewan Harian Politbiro CC PKI agar berhenti merokok.

Ajakan itu pun ditaati. Anggota Dewan Harian memutuskan berhenti merokok, “sedangkan kepada semua pemimpin dan anggota PKI dianjurkan juga untuk menghentikan merokok atau sekurang-kurangnya mengurangi rokok, dan menyerahkan uang yang biasanya untuk membeli rokok buat dana kongres,” demikian isi Resolusi Dewan Harian Politbiro CC PKI tanggal 5 Januari 1959.

Aidit pun mengeluarkan resolusi partai yang menyerukan penghematan, baik di kantor-kantor partai maupun rumah-rumah anggota, terutama pimpinan partai. Selain itu, seruan kepada anggota untuk melakukan suatu pekerjaan atau menanam tanaman jangka pendek. Hasilnya diserahkan sebagian atau seluruhnya untuk dana kongres.

Gerakan urunan untuk menutup biaya kongres sudah dimulai beberapa bulan sebelumnya. Pada 4 Desember 1958, Panitia Kongres mengedarkan instruksi ke Comite Daerah Besar (CDB), Comite Pulau (CP), dan Fraksi Pusat. Setiap anggota dan calon anggota ditetapkan menyumbang Rp 3, yang bisa diangsur tiga kali. Sementara CDB dan CP diharapkan melakukan berbagai kegiatan penggalangan dana.

Upaya-upaya yang dilakukan itu pun menuai hasil baik. Bahkan laporan (keuangan) Kongres ke-6 menyebutkan, jumlah sumbangan melebihi pengeluaran kongres. Kemudian sisa dana yang ada diputuskan untuk digunakan untuk memperluas gedung Comite Central Partai (Kantor Pusat Partai) dan jika ada sisanya untuk pembangunan Gedung Kebudayaan di Jakarta (kedua proyek ini juga mengandalkan sumbangan anggota).

Sebagai bentuk terima kasih kepada rakyat, atas usul Aidit, Kongres ke-6 menyetujui dan mengeluarkan resolusi “Bentuk dan Kembangkan Regu-regu Kerjabakti”.

Seretnya iuran anggota
Kampanye penggalangan dana hanyalah salah satu cara menutupi pengeluaran partai, terutama yang insidental. Hal yang sama dilakukan selama kampanye pemilu 1955. Namun, yang namanya partai politik dimana pun juga sudah pasti kebutuhan finansial partai sangatlah besar seperti kerja-kerja rutin partai hingga membayar gaji pegawai partai, kursus politik bagi kader hingga penerbitan, biaya menggelar kongres hingga perayaan peringatan nasional atau internasional.

Pertanyaan yang mungkin akan muncul pertama kali di benak kita adalah "Dari mana pemasukan partai?"

Konstitusi PKI menyebutkan, partai dibiayai oleh uang pangkal dan iuran anggota, usaha-usaha produktif dan ekonomi lainnya yang dilakukan oleh partai, serta sokongan dari orang-orang dan golongan di luar partai.

Uang pangkal dan iuran anggota menjadi sumber utama partai. Nominal iuran tidak dipukul rata, tergantung penghasilan tiap anggota selama satu bulan. Berdasarkan Konstitusi PKI tahun 1954, misalnya, yang terendah Rp 0,50 untuk anggota berpenghasilan di bawah Rp 150, dan yang tertinggi, untuk anggota berpenghasilan Rp 651 ke atas, iurannya sebesar 1,5% dari penghasilan kotor dan dibulatkan ke atas dengan Rp 0,50. Sementara uang pangkal disesuaikan dengan nominal uang iuran yang dibayarkan.

Yang menangani uang pangkal dan iuran adalah CDB atau CP. Dari dana yang terkumpul, mereka mendapatkan 90 persen, sementara sisanya mengalir ke kas CC. CDB dan CP juga mengatur semua permasalahan keuangan, termasuk keperluan Comite di bawahnya.

Kendati wajib, iuran tak mengalir lancar. Misalnya dialami Comite Djakarta Raya (CDR) PKI pada 1954. Dalam dokumen KOTI No 261, CDR mengemukakan, “penyetoran belum dilakukan oleh seluruh Subsecom-Subsecom di semua seksi dan belum merata meliputi seluruh anggota dan calon-calon anggota....”

Seretnya iuran anggota pun masih terjadi bahkan setelah PKI menjadi partai 5 besar pada Pemilu 1955 yaitu pada tahun 1956 sehingga menjadi salah satu bahasan dalam Rapat Pleno II CDR. Kesimpulannya, ini bukan hanya masalah teknis tapi juga ideologis: egosentris, otonomisme, subjektivisme, dan meninggalkan cara kerja kolektif. Diputuskan CDR akan melakukan kampanye atau penjelasan kepada semua tingkat organisasi partai di bawahnya.

CDB lainnya mengalami hal serupa, yang berimbas pada kerja-kerja partai. Upaya CC mengubah aturan agar Comite Subseksi (CSS) langsung menyetorkan 10 persen dari iuran anggota ke CC juga tak membuahkan hasil. Tak semua CSS memenuhi instruksi tersebut.

Namun masalah keuangan juga dialami comite di bawahnya. Pada 23 Mei 1964, misalnya, CS Matraman mengeluarkan surat permohonan bantuan dana untuk menjamin kelangsungan hidup empat pegawai partai; dua orang sebagai fungsionaris dan dua lagi tenaga sekretariat. Sumbangan bisa berupa uang maupun bantuan lainnya.

Sumbangan dari luar
Kendati kecil, partai juga mendapatkan pemasukan dari gaji anggota yang mendapat kedudukan dari partai. Sebagaimana diatur dalam Konstitusi PKI, seluruh gaji pejabat tersebut harus diserahan kepada partai. Sebagai gantinya, dia mendapat honorarium menurut peraturan yang ditentukan partai. Namun jumlahnya tidaklah seberapa.

Kebanyakan anggota serta konstituen PKI berasal dari kalangan masyarakat bawah. Praktis, jika hanya mengandalkan kader, maka sudah pasti PKI tak akan mungkin bisa membiayai seluruh kebutuhan partai.

Sumber lain pemasukan partai, seperti yang disebutkan dalam Konstitusi PKI adalah sokongan/sumbangan dari orang-orang dan golongan di luar partai yang tidak mengikat. Namun sulit menelusuri siapa saja dan berapa jumlah sokongan/sumbangan yang masuk. Inilah yang kemudian memunculkan spekulasi-spekulasi.

Donald Hindley dalam tulisannya "The Communst Party of Indonesia" menyebutkan bahwa bantuan keuangan dari non anggota cukup besar. Walau tidak ada bukti yang kuat, donatur PKI kemungkinan besar berasal dari Uni Soviet, China, dan negara-negara Blok Timur lainnya. Bentuknya bisa berupa literatur, majalah, atau risalah-risalah yang dijual di toko-toko buku milik partai atau bantuan akomodasi delegasi PKI yang berkunjung ke negara-negara tersebut. “Namun, sumber utama bantuan keuangan nonpartai berasal dari 3 juta orang Tionghoa (kebanyakan warga negara Indonesia) yang tinggal di Indonesia,” tulis Hindley.

Hindley menyebut para pengusaha Tionghoa melakukannya dengan sukarela. Namun sebagian besar melakukannya karena terpaksa. Mengutip tulisan George McTurnan Kahin berjudul “Indonesia”, dimuat dalam Major Governments of Asia, “tidak diragukan lagi mereka biasanya melakuangkannya karena persuasi atau tekanan dari Kedutaan China atau tekanan dari kaum komunis yang mengontrol serikat buruh dan mengancam akan melakukan tindakan balasan jika tak patuh.”

Sebagai catatan, kaum peranakan Tionghoa rata-rata mempunyai kedudukan ekonomi kuat karena berstatus pedagang, juragan atau bos yang mempunyai banyak kaeryawan atau buruh. Sehingga mereka pun mau tak mau akan "tersandera" atau maju kena mundur kena.

Pada penyelenggaraan Pemilu pertama pada tahun 1955, misalnya, PKI tercatat mengeluarkan dana yang sangat besar untuk kegiatan kampanyenya. Menurut Herbert Feith dalam "Pemilihan Umum 1955 di Indonesia", suka atau tidak suka banyak orang menduga bahwa PKI memperoleh dana dari pengusaha Tionghoa serta negara-negara komunis dan kantor perwakilan dagang mereka di Jakarta. Dalam bukunya yang lain, "The Wilopo Cabinet, 1952-1953", Feith juga menyinggung bantuan Kedutaan China dalam bentuk uang maupun literatur-literatur.

David Mozingo dalam "Chinese Policy Toward Indonesia, 1949-1967" menyebut banyak orang percaya bahwa Bank of China meminjamkan uang kepada para pengusaha Tionghoa di Indonesia dengan syarat bahwa mereka memberikan kontribusi kepada PKI.

Nah karena konstituen PKI, sekali lagi, sebagian besar adalah golongan masyarakat bawah, maka syang dikemukakan oleh para penulis tersebut adalah sungguh masuk akal.
(dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment