Veronica Koman mencuat ke publik seiring serangkaian kerusuhan terjadi di tanah Papua, pada awal September 2019 lalu.
Kepolisian menetapkan Veronica yang dikenal sebagai pengacara publik yang sering mengurusi isu Papua dan pencari suaka itu sebagai tersangka atas tuduhan menyebarkan konten berita bohong atau hoaks dan provokatif terkait kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
Namun, setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 4 September 2019, Veronica memilih bungkam. Hingga akhirnya, pada Sabtu 14 September 2019 lalu, wanita yang saat ini tinggal di luar negeri itu akhirnya mau berbicara terkait tuduhan yang dialamatkan polisi terhadap dirinya.
Veronica memilih bungkam terkait kasusnya karena ia menilai bahwa penetapannya sebagai tersangka itu merupakan pengalihan isu. Ia tidak ingin ikut mengalihkan isu dari pokok masalah yang terjadi di Papua.
"Saya, Veronica Koman, dengan kesadaran penuh, selama ini memilih tidak menanggapi yang dituduhkan oleh polisi lewat media massa," ujar Veronica dalam keterangan tertulisnya. "Hal ini saya lakukan bukan berarti karena semua yang dituduhkan itu benar, namun karena saya tidak ingin berpartisipasi dalam upaya pengalihan isu dari masalah pokok yang sebenarnya sedang terjadi di Papua," lanjutnya.
Merasa dikriminalisasi
Menurut pihak kepolisian, terdapat beberapa unggahan Veronica yang bernada provokatif, salah satunya pada 18 Agustus 2019.
Ada juga unggahan Veronica yang kalimatnya berbunyi "Anutak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa".
Terkait kasusnya ini, Veronica menilai bahwa kepolisian telah menyalahgunakan wewenangnya dalam penanganan kasus yang menjerat dirinya. "Kepolisian telah menyalahgunakan wewenangnya dan sudah sangat berlebihan dalam upayanya mengkriminalisasi saya, baik dalam caranya maupun dalam melebih-lebihkan fakta yang ada," ujarnya.
Lebih lanjut, ia pun menegaskan bahwa dirinya menolak segala bentuk pembunuhan karakter yang ditujukan kepadanya. Dalam pandangannya, pemerintah tidak dapat menangani konflik berkepanjangan di Papua. Maka dari itu, pemerintah mencari kambing hitam, yaitu dirinya.
"Papua adalah salah satu wilayah yang paling ditutup di dunia ini. Dan kembali saya tegaskan, kriminalisasi terhadap saya adalah rangkaian dari upaya negara untuk terus membungkam informasi yang keluar dari Papua," ungkap Veronica.
Veronica mengatakan kriminalisasi tersebut bukan hanya menimpa dirinya, namun juga menimpa banyak orang Papua lainnya. Menurut Veronica, kriminalisasi tersebut seolah ingin mengaburkan aspirasi masyarakat Papua yang melakukan aksi.
Tuduhan Tak Lapor Pertanggungjawaban Beasiswa
Polda Jawa Timur mendapatkan informasi bahwa Veronica pernah mendapatkan beasiswa S2 dari pemerintah pada 2017 untuk studi pascasarajana (S2) bidang hukum. Namun, menurut Kapolda Jawa Timur Irjen (Pol) Luki Hermawan, Veronica tidak pernah membuat laporan pertanggungjawaban sebagaimana umumnya mahasiswa yang memperoleh beasiswa sejak tahun 2017.
Terkait hal tersebut, Veronica mengakui bahwa dirinya memang terlambat memberi laporan studi kepada institusi pemberi beasiswa. Namun, ia menegaskan bahwa persoalan itu telah selesai pada 3 Juni 2019. "Bahwa betul saya terlambat dalam memberikan laporan studi kepada institusi beasiswa, tetapi urusan itu telah selesai per 3 Juni 2019 ketika universitas tempat saya studi mengirimkan seluruh laporan studi saya kepada institusi beasiswa saya," ucapbnya.
Selain itu, Veronica juga mengaku dirinya memiliki hubungan yang dingin dengan institusi pemberi beasiswa. Alasannya, ia dilaporkan kepada pemberi beasiswa dengan tuduhan mendukung gerakan separatisme di sebuah acara.
Veronica menceritakan bahwa pihak yang melaporkannya adalah staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Australia. Kala itu, ia mengaku sedang menjadi pembicara mengenai pelanggaran HAM di Papua. Acara itu diselenggarakan Amnesty International Australia dan gereja setempat. Para staf tersebut merekam dan memotretnya. "Para staf KBRI tidak hanya datang ke acara tersebut untuk memotret dan merekam guna mengintimidasi pembicara, tapi saya juga dilaporkan ke institusi beasiswa atas tuduhan mendukung separatisme di acara tersebut," kata Veronica.
"Itu juga yang membuat hubungan saya dengan institusi beasiswa saya menjadi dingin dan saya tidak meminta lagi pembiayaan beberapa hal yang seharusnya masih menjadi tanggungan beasiswa," lanjut dia.
Tuduhan Transaksi Tidak Wajar
Polda Jawa Timur mengaku menemukan 8 rekening atas nama Veronica Koman. Awalnya penyidik menemukan 2 rekening dengan nama Veronica. Kemudian, ditemukan lagi 6 rekening atas nama Veronica.
Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan mengatakan dari 6 rekening yang baru ditemukan, polisi mendapatkan transaksi tak wajar. Namun, Luki tak menjelaskan detail transaksi yang dimaksud.
Tudingan itu pun dibantah oleh Veronica yang lantas mengaku bahwa jumlah saldo uang di rekening yang ia miliki dalam batas wajar. "Bahwa saldo rekening saya dalam batas nominal yang wajar sebagai pengacara yang juga kerap melakukan penelitian," ujar dia.
Tuduhan Cairkan Uang di Surabaya dan Papua
Dari penelusuran transaksi yang dinilai tidak masuk akal oleh pihak kepolisian, Kapolda Jatim menyebutkan bahwa uang tersebut berasal dari dalam negeri. Keterangan polisi juga menyebutkan bahwa Veronica diduga mencairkan uang tersebut di sejumlah tempat di dalam negeri, di antaranya di Surabaya dan Papua.
Menanggapi hal tersebut, Veronica menegaskan bahwa ia hanya pernah berkunjung ke Surabaya sebanyak satu kali di tahun 2018 Jika ia memang pernah menarik uang saat di Surabaya, Veronica yakin bahwa hal itu dalam nominal yang wajar. "Saya hanya pernah ke Surabaya sekali dalam seumur hidup saya, selama 4 hari, yaitu ketika pendampingan aksi 1 Desember 2018 bagi klien saya AMP (Aliansi Mahasiswa Papua)," ujar dia.
"Saya tidak ingat bila pernah menarik uang di Surabaya. Apabila saya sempat pun ketika itu, saya yakin maksimal hanya sejumlah batas sekali penarikan ATM untuk biaya makan dan transportasi sendiri," lanjut dia. Begitu pula dengan tuduhan menarik uang di Papua. Veronica pun yakin bahwa penarikan uang yang dilakukan di Papua dalam jumlah yang wajar untuk kehidupan sehari-hari.
Ia berpandangan bahwa pemeriksaan rekeningnya sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang polisi. Sebab, Veronica menilai, pemeriksaan rekening tidak terkait dengan kasus yang menimpanya. "Saya menganggap pemeriksaan rekening pribadi saya tidak ada sangkut pautnya dengan tuduhan pasal yang disangkakan ke saya, sehingga ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang kepolisian, apalagi kemudian menyampaikannya ke media massa dengan narasi yang teramat berlebihan," ujar Veronica.
(sumber: Kompas)
Veronica Koman |
Kepolisian menetapkan Veronica yang dikenal sebagai pengacara publik yang sering mengurusi isu Papua dan pencari suaka itu sebagai tersangka atas tuduhan menyebarkan konten berita bohong atau hoaks dan provokatif terkait kerusuhan di Papua dan Papua Barat.
Namun, setelah ditetapkan sebagai tersangka pada 4 September 2019, Veronica memilih bungkam. Hingga akhirnya, pada Sabtu 14 September 2019 lalu, wanita yang saat ini tinggal di luar negeri itu akhirnya mau berbicara terkait tuduhan yang dialamatkan polisi terhadap dirinya.
Veronica memilih bungkam terkait kasusnya karena ia menilai bahwa penetapannya sebagai tersangka itu merupakan pengalihan isu. Ia tidak ingin ikut mengalihkan isu dari pokok masalah yang terjadi di Papua.
"Saya, Veronica Koman, dengan kesadaran penuh, selama ini memilih tidak menanggapi yang dituduhkan oleh polisi lewat media massa," ujar Veronica dalam keterangan tertulisnya. "Hal ini saya lakukan bukan berarti karena semua yang dituduhkan itu benar, namun karena saya tidak ingin berpartisipasi dalam upaya pengalihan isu dari masalah pokok yang sebenarnya sedang terjadi di Papua," lanjutnya.
Merasa dikriminalisasi
Menurut pihak kepolisian, terdapat beberapa unggahan Veronica yang bernada provokatif, salah satunya pada 18 Agustus 2019.
Ada juga unggahan Veronica yang kalimatnya berbunyi "Anutak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa".
Terkait kasusnya ini, Veronica menilai bahwa kepolisian telah menyalahgunakan wewenangnya dalam penanganan kasus yang menjerat dirinya. "Kepolisian telah menyalahgunakan wewenangnya dan sudah sangat berlebihan dalam upayanya mengkriminalisasi saya, baik dalam caranya maupun dalam melebih-lebihkan fakta yang ada," ujarnya.
Lebih lanjut, ia pun menegaskan bahwa dirinya menolak segala bentuk pembunuhan karakter yang ditujukan kepadanya. Dalam pandangannya, pemerintah tidak dapat menangani konflik berkepanjangan di Papua. Maka dari itu, pemerintah mencari kambing hitam, yaitu dirinya.
"Papua adalah salah satu wilayah yang paling ditutup di dunia ini. Dan kembali saya tegaskan, kriminalisasi terhadap saya adalah rangkaian dari upaya negara untuk terus membungkam informasi yang keluar dari Papua," ungkap Veronica.
Veronica mengatakan kriminalisasi tersebut bukan hanya menimpa dirinya, namun juga menimpa banyak orang Papua lainnya. Menurut Veronica, kriminalisasi tersebut seolah ingin mengaburkan aspirasi masyarakat Papua yang melakukan aksi.
Tuduhan Tak Lapor Pertanggungjawaban Beasiswa
Polda Jawa Timur mendapatkan informasi bahwa Veronica pernah mendapatkan beasiswa S2 dari pemerintah pada 2017 untuk studi pascasarajana (S2) bidang hukum. Namun, menurut Kapolda Jawa Timur Irjen (Pol) Luki Hermawan, Veronica tidak pernah membuat laporan pertanggungjawaban sebagaimana umumnya mahasiswa yang memperoleh beasiswa sejak tahun 2017.
Terkait hal tersebut, Veronica mengakui bahwa dirinya memang terlambat memberi laporan studi kepada institusi pemberi beasiswa. Namun, ia menegaskan bahwa persoalan itu telah selesai pada 3 Juni 2019. "Bahwa betul saya terlambat dalam memberikan laporan studi kepada institusi beasiswa, tetapi urusan itu telah selesai per 3 Juni 2019 ketika universitas tempat saya studi mengirimkan seluruh laporan studi saya kepada institusi beasiswa saya," ucapbnya.
Selain itu, Veronica juga mengaku dirinya memiliki hubungan yang dingin dengan institusi pemberi beasiswa. Alasannya, ia dilaporkan kepada pemberi beasiswa dengan tuduhan mendukung gerakan separatisme di sebuah acara.
Veronica menceritakan bahwa pihak yang melaporkannya adalah staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Australia. Kala itu, ia mengaku sedang menjadi pembicara mengenai pelanggaran HAM di Papua. Acara itu diselenggarakan Amnesty International Australia dan gereja setempat. Para staf tersebut merekam dan memotretnya. "Para staf KBRI tidak hanya datang ke acara tersebut untuk memotret dan merekam guna mengintimidasi pembicara, tapi saya juga dilaporkan ke institusi beasiswa atas tuduhan mendukung separatisme di acara tersebut," kata Veronica.
"Itu juga yang membuat hubungan saya dengan institusi beasiswa saya menjadi dingin dan saya tidak meminta lagi pembiayaan beberapa hal yang seharusnya masih menjadi tanggungan beasiswa," lanjut dia.
Tuduhan Transaksi Tidak Wajar
Polda Jawa Timur mengaku menemukan 8 rekening atas nama Veronica Koman. Awalnya penyidik menemukan 2 rekening dengan nama Veronica. Kemudian, ditemukan lagi 6 rekening atas nama Veronica.
Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan mengatakan dari 6 rekening yang baru ditemukan, polisi mendapatkan transaksi tak wajar. Namun, Luki tak menjelaskan detail transaksi yang dimaksud.
Tudingan itu pun dibantah oleh Veronica yang lantas mengaku bahwa jumlah saldo uang di rekening yang ia miliki dalam batas wajar. "Bahwa saldo rekening saya dalam batas nominal yang wajar sebagai pengacara yang juga kerap melakukan penelitian," ujar dia.
Tuduhan Cairkan Uang di Surabaya dan Papua
Dari penelusuran transaksi yang dinilai tidak masuk akal oleh pihak kepolisian, Kapolda Jatim menyebutkan bahwa uang tersebut berasal dari dalam negeri. Keterangan polisi juga menyebutkan bahwa Veronica diduga mencairkan uang tersebut di sejumlah tempat di dalam negeri, di antaranya di Surabaya dan Papua.
Menanggapi hal tersebut, Veronica menegaskan bahwa ia hanya pernah berkunjung ke Surabaya sebanyak satu kali di tahun 2018 Jika ia memang pernah menarik uang saat di Surabaya, Veronica yakin bahwa hal itu dalam nominal yang wajar. "Saya hanya pernah ke Surabaya sekali dalam seumur hidup saya, selama 4 hari, yaitu ketika pendampingan aksi 1 Desember 2018 bagi klien saya AMP (Aliansi Mahasiswa Papua)," ujar dia.
"Saya tidak ingat bila pernah menarik uang di Surabaya. Apabila saya sempat pun ketika itu, saya yakin maksimal hanya sejumlah batas sekali penarikan ATM untuk biaya makan dan transportasi sendiri," lanjut dia. Begitu pula dengan tuduhan menarik uang di Papua. Veronica pun yakin bahwa penarikan uang yang dilakukan di Papua dalam jumlah yang wajar untuk kehidupan sehari-hari.
Ia berpandangan bahwa pemeriksaan rekeningnya sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang polisi. Sebab, Veronica menilai, pemeriksaan rekening tidak terkait dengan kasus yang menimpanya. "Saya menganggap pemeriksaan rekening pribadi saya tidak ada sangkut pautnya dengan tuduhan pasal yang disangkakan ke saya, sehingga ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang kepolisian, apalagi kemudian menyampaikannya ke media massa dengan narasi yang teramat berlebihan," ujar Veronica.
(sumber: Kompas)
No comments:
Post a Comment