Thursday, August 11, 2016

(Jangan Tersinggung) Ini 6 Sifat Dasar Manusia Indonesia Menurut Budayawan Mochtar Lubis

Sudah bukan rahasia lagi, Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia mempunyai hal-hal kompleks baik itu berupa hal positif maupun negatif. Alam yang amat kaya raya selalu “dimusuhi” oleh keragaman sifat bangsa sehingga bangsa Indonesia amat sulit untuk mencapai kemajuan sehingga sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Keragaman sifat manusia Indonesia yang menjadi “faktor penghambat” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini pernah disuarakan oleh budayawan terkenal Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan yang ia sampaikan di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977.

Manusia Indonesia oleh Mochtar Lubis
Mochtar Lubis dan buku tulisannya "Manusia Indonesia" yang "menelanjangi" sifat-sifat dasar manusia Indonesia tanpa kompromi sehingga sempat menuai kontroversi kala itu

Mochtar Lubis mengemukakan ada setidaknya 6 ciri manusia Indonesia yang mungkin apabila dibandingkan dengan kondisi bangsa kita saat ini akan sangat “menampar” kita semua.

Bahkan kala itu, Jakob Oetama, salah satu pendiri Harian Kompas mengatakan bahwa pidato kebudayaan “Manusia Indonesia” yang dikemukakan Mochtar Lubis ini seharusnya bisa menjadi permulaan kerangka yang berguna untuk membangun kembali manusia Indonesia.

Nah, berikut adalah 6 sifat manusia Indonesia yang dikemukakan oleh Mochtar Lubis kala itu:

1. Hipokritis dan munafik
Ciri sifat manusia yang satu ini sangat jelas terlihat di tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Kehidupan dan sistem feodal pada masa lalu yang menekan rakyat Indonesia menjadi sumber dari hiprokisi yang dahsyat, baik datang dari urusan keagamaan, sosial, hingga masalah korupsi.

Lalu agama datang untuk memperkaya kehidupan jiwa manusia Indonesia, namun sayangnya tak sepenuhnya mampu dirasakan karena disampaikan dengan kekerasan, paksaan, hingga persekutuan dengan kekuasaan lain. Banyak orang-orang yang menentang korupsi dengan membawa dalil-dalil agama, namun pada kenyataannya malahan ikut-ikutan korupsi.

Banyak yang mengatakan bahwa hukum yang diterapkan di Indonesia telah bersikap adil. Benarkah demikian?  Faktanya, maling sandal dan buah masuk penjara dengan hukuman sampai 2 tahunan, sedangkan para koruptor yang menilep uang rakyat dalam jumlah fantastis malahan hanya dihukum dengan vonis maling sandal serta bisa bebas keluar masuk penjara. Dan kalaupun dia dipenjara, malahan mendapatkan fasilitas ala hotel berbintang.

Masih belum percaya faktanya? Coba ingat kasus pencurian bambu yang dilakukan oleh sepasang kakek-nenek di Gorontalo yang memaksa mereka disidangkan di Pengadilan Negeri Limboto. Kontras dengan pelaku korupsi besar yang sering lolos dari sidang dan vonis yang setimpal.

2. Tidak pernah mau bertanggung jawab atas perbuatannya
Dalam penuturan Mochtar Lubis ini, frase "Bukan saya" adalah kata yang paling populer dilontarkan oleh lidah manusia Indonesia. Selalu dicari “kambing hitam” di Indonesia. Kesalahan yang dilakukan oleh atasan digeser ke bawahannya, dan terus “dioper” hingga jabatan paling bawah.

Sungguh miris, karena kini banyak kasus korupsi yang terjadi di Indonesia bukan hanya dilakukan oleh pimpinan, namun juga sudah merambah ke pekerja bawahan mereka bahkan hingga tingkat terbawah sekalipun. Mochtar Lubis mengatakan bahwa sari kasus tersebut, diduga ada sistem bagi hasil dari keuntungan yang didapat dari aksi korupsi mereka alias TST (tahu sama tahu).

Frase dan kalimat “beken”  lainnya yang ada di tengah masyarakat perkotaan seperti Jakarta, terutama kalangan menengah ke bawah adalah "Saya hanya melaksakan perintah dari atasan." Kalimat tersebut hingga kini masih sering terdengar bukan hanya dari aparat saja, melainkan juga dari masyarakat sipil biasa.

3. Berjiwa feodal
Bung Karno, salah satu founding father Bangsa Indonesia adalah sosok yang amat membenci penjajahan dan feodalisme. Perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh generasi-generasi muda bangsa Indonesia di masa lampau adalah untuk membebaskan manusianya dari feodalisme. Namun pada kenyataannya, bentuk-bentuk feodalisme baru terus bermunculan hingga kini.

Sikap-sikap feodalisme dapat kita lihat dari bagaimana pemerintah kita dalam urusan jabatan, banyak yang masih mengutamakan hubungan atau kedekatan ketimbang kecakapan, pengalaman, maupun pengetahuannya. Jiwa feodal ini tumbuh subur tak hanya di kalangan atas, namun juga bawah.

Masalah feodalisme ini tidak lepas dalam kenyataan hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia kini. Politik 'bagi kursi' atau bagi-bagi jabatan yang terjadi dalam kancah politik Indonesia adalah salah satunya.

4. Mempercayai takhayul
Hal ini merupakan kebudayaan dan tradisi yang masih dianut oleh bangsa Indonesia hingga kini. Bangsa kita masih percaya benda-benda disembah untuk memperoleh berkah. Tak jarang nyawa pun dipertaruhkan sebagai bagian dari persembahan.

Sampai saat ini pun, kita masih melihat secara nyata bagaimana banyak program televisi yang menayangkan hal-hal berbau magis dan gaib. Nyatanya, hal tersebut masih saja menghibur manusia Indonesia saat ini.

Tak hanya tayangan berbau takhayul, pengobatan yang mengandalkan dukun dan sihir pun masih terus dilakukan oleh masyarakat daerah di Indonesia. Kepercayaan itu terus dilakukan meski tak ada penelitian yang mampu membuktikan keabsahannya.

Pendidikan menjadi salah satu benteng yang kuat untuk menghalau pemikirian-pemikiran tersebut. Dengan pengetahuan yang memadai, hal tersebut akan mampu lebih dikaji ulang agar mampu diterima secara logika.

5. Artistik (berjiwa seni)
Kepercayaan yang menjadi bagian dari budaya manusia Indonesia rupanya membawa mereka tumbuh menjadi manusia yang dekat dengan alam. Hasilnya, manusia Indonesia memiliki daya artistik yang cukup tinggi.

Banyak hasil kerajinan masyarakat Indonesia yang diakui dunia seperti batik, tenun, seni pahat kayu dan batu, hingga ukirannya. Semua adalah hasil karya cipta, rasa dan karsa yang tumbuh subur di tengah masyarakat Indonesia.

Ciri ini merupakan salah satu yang paling menarik dan mempunyai pesona tersendiri. Ciri ini bisa menjadi modal dan tumpuan bagi bangsa Indonesia di masa depan.

6. Mempunyai watak serta karakter yang lemah
Manusia Indonesia memiliki watak yang lemah dan karakter yang kurang kuat. Dalam sejarah Indonesia, Presiden Soekarno adalah sosok yang mampu memberikan contoh dari ciri ini.

Terkait masalah inflasi yang pernah menyerang Indonesia, Soekarno pernah mengatakan bahwa inflasi itu baik demi 'revolusi Indonesia'. Dampaknya, seperti yang banyak diketahui, inflasi di Indonesia mencapai 650 persen dalam setahun setelah ia lengser dari kursi presiden.

Kegoyahan watak merupakan akibat dari ciri masyarakat dan manusia feodal juga. Hal tersebut hingga kini masih terus ditemukan dalam manusia Indonesia untuk menyenangkan atasan atau menyelamatkan diri sendiri.

Mochtar Lubis adalah seorang wartawan dan penulis terkemuka di Indonesia. Ia pernah menjadi bagian dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan juga anggota International Press Institue. Ia juga merupakan salah seorang pendiri kantor berita Antara.

Ia dilahirkan di Padang 7 Maret 1922 dan wafat di Jakarta pada 2 Juli 2004.

(Manusia Indonesia oleh Mochtar Lubis, 1990)

No comments:

Post a Comment