Iklim politik di Indonesia sejak Pemilu pertama tahun 1955 hingga meletusnya peristiwa G30S sangat panas, bahkan panasnya persaingan antar partai politik pada pemerintahan Presiden Joko Widodo bisa dibilang masih belum seberapa dibandingkan dengan suhu politik saat itu.
Setiap partai politik saling curiga satu dengan lainnya, bahkan saat berkoalisi pun tetap saling curiga walau duduk semeja. Dan sudah barang tentu, partai-partai politik saat itu saling serang satu dengan lainnya untuk menancapkan
pengaruh.
|
Letjen Ahmad Yani (kiri) dan D.N. Aidit, perseteruan mereka berlangsung keras selama bertahun-tahun |
Saling serang dan sindir adalah hal yang biasa saat itu. Hal itu terekam dalam headline koran-koran yang terbit pada masa itu. Saling sindir ini bukan hanya terjadi antara sesama partai
politik, namun juga antara partai politik, khususnya Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan kekuatan lain, yaitu militer.
|
PKI pada masa itu mempunyai massa yang besar dari berbagai kalangan khususnya kaum buruh |
Konflik antara PKI yang pada masa itu sudah menjadi partai politik besar sekaligus yang paling cepat pertumbuhannya dari segi massa dan pengaruhnya sehingga membuat jeri pihak yang berseberangan, dengan militer, dalam hal ini Angkatan Darat (AD) merupakan hal yang paling umum. PKI kerap memuat sindiran pedas dan sinisnya secara halus dan terselubung namun sangat menyakitkan di koran Harian Rakyat. Koran Harian Rakyat merupakan koran dengan oplah terbesar saat itu. Dan koran ini merupakan koran yang menjadi corong PKI melalui Comittee Central-nya (CC), dengan Wakil Ketua PKI, Njoto sebagai pemimpin redaksinya. Njoto merupakan orang kepercayaan Bung Karno untuk mengetik naskah pidatonya.
|
Aidit (tengah) bersama dua wakilnya dalam CC PKI. Njoto, yang menjadi pemimpin redaksi koran Harian Rakyat berada di kiri Aidit dan berkacamata |
Dalam perseteruan yang makin meruncing antara PKI dan Angkatan Darat, Ketua CC PKI Dipa Nusantara Aidit mempunyai rival abadi yaitu Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani. Kedua rival ini saling berupaya menjegal. Aidit kesal kepada AD karena AD selalu berupaya menjegal langkah politik PKI untuk menancapkan komunisme di Indonesia. Salah satu yang paling membuat Aidit berang adalah ketika usul PKI membentuk Angkatan ke-5, yaitu buruh dan petani yang dipersenjatai, dengan dalih pertahanan dan Ganyang Malaysia ditolak oleh Presiden Soekarno atas pengaruh Yani. Angkatan Darat tak mau PKI punya kekuatan bersenjata yang sewaktu-waktu
bisa digerakkan demi kepentingan terselubung PKI.
|
Foto Letjen Ahmad Yani koleksi Museum Sasmita Loka Jenderal Ahmad Yani. Yani amat dibenci oleh PKI khususnya Aidit karena selalu berusaha menjagal manuver politik PKI |
Kalau Nekolim menyerang, semua rakyat Indonesia akan dipersenjatai.
Bukan hanya buruh dan tani," sindir Yani dengan halus namun menohok
Aidit. Perkataan Yani tersebut membuat Aidit, yang di luar negeri dihormati karena dalam usianya yang masih muda dalam waktu relatif singkat ia bisa mengubah PKI yang menjadi puing-puing setelah Tragedi Pemberontakan PKI Madiun pada 1948 oleh Muso, menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Rusia dan China.
Perseteruan antara Aidit dan Yani memang tidak akan pernah bisa didamaikan. Semakin hari perseteruan mereka makin meruncing saja. Saat rapat kabinet pun mereka saling menghindar. Konon, mereka hanya bertatap muka saat salah satu dari mereka berbicara. Itu pun dengan tatapan sinis.
Ketika Presiden Soekarno melantik sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 22 Juni 1962, Aidit menulis puisi yang ia buat khusus untuk menyindir Yani. Puisi tersebut berjudul "Raja Naik Mahkota" dan dimuat dalam koran Harian Rakyat.
Beginilah isi puisi "Raja Naik Mahkota" karya D.N. Aidit:
Udara hari ini cerah benar,
Pemuda nyanyi nasakom bersatu,
Gelak ketawa gadis Remaja,
Mendengar si lalim naik tahta,
Tapi konon mahkotanya kecil,
Ayo maju terus kawan,
Halau dia ke jaring dan jerat,
Hadapkan dia ke mahkamah rakyat
Lalu apa makna dari puisi tersebut?
Sudah bukan rahasia lagi kalau Aidit dan PKI-nya tak menyukai gaya hidup Yani serta para Jenderal lainnya yang mereka anggap borjuis khususnya gaya hidup Yani. Di rumahnya, Yani mempunyai mini bar, sebuah hal yang dianggap mencerminkan budaya barat (Amerika) yang sangat dibenci oleh PKI, juga koleksi jam tangan mewah, hingga hobi golf Yani. Yani yang lulusan Akademi Militer Westpoint di Amerika Serikat, sebuah akademi militer bergengsi yang mencetak banyak jenderal terkemuka Amerika Serikat, dinilai oleh PKI sebagai agen neokolonial dan imperialisme (Nekolim) alias kaki tangan barat.
Setelah Operasi Trikora Pembebasan Irian Barat selesai pada tahun 1963, PKI melalui Aidit secara terang-terangan menuding Angkatan Darat memboroskan anggaran dan menyebabkan negara bangkrut. Kondisi perekonomian negara saat itu amat parah karena angka inflasi mencapai 600%.
Tudingan tersebut karuan saja membuat Yani murka dan membalas serangan Aidit. "Walaupun ada 10 Aidit pun tak akan bisa memperbaiki ekonomi kita," kata Yani saat itu.
Saat itulah beredar sebuah surat yang dinamakan Dokumen Gilchrist, Duta Besar Inggris untuk Indonesia. Isinya menyebut ada kerjasama antara militer AS dengan sejumlah jenderal Angkatan Darat yang menamakan dirinya Dewan Jenderal, yang dituding tak loyal kepada Presiden Soekarno. Dewan Jenderal tersebut diisukan siap mengkudeta Presiden Soekarno dan mendirikan pemerintahan baru. Nama Yani disebut terdapat di dalamnya. Terang saja Yani membantah keras isi dokumen tersebut.
Memasuki pertengahan tahun1965, situasi negara makin genting dan rawan. Yani tahu PKI akan segera bergerak, sayangnya dia terkesan meremehkan isu-isu dan informasi yang beredar. Parahnya lagi, intelijen Angkatan Darat ternyata gagal mendeteksi hal tersebut. Bahkan ketika mendapat laporan di rumahnya pada malam 30 September 1965, Yani masih tak bergeming dan baru berencana melaporkan kepada Presiden Soekarno di istana pada esok harinya, 1 Oktober 1965.
Ketidakwaspadaan tersebut harus dibayar dengan sangat mahal dan fatal. Yani tewas oleh berondongan peluru senapan Thomson pasukan penculiknya pada dinihari 1 Oktober 1965 di rumahnya di Jalan Lembang, Menteng. Para jenderal pimpinan Angkatan Darat lainnya juga dihabisi pada waktu bersamaan. Jenazah mereka dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di Desa Lubang Buaya.
Namun, bukannya meraih kemenangan dengan mentingkirkan para Jenderal yang selama ini menjadi seterunya, G30S pun gagal. Setelah mengetahui G30S gagal, Aidit melarikan diri ke Yogyakarta dan Jawa Tengah. Dalam pelariannya tersebut, Aidit tertangkap saat bersembunyi di sebuah ruang rahasia di dalam sebuah lemari di rumah persembunyian di Desa Sambeng, dekat Stasiun Kereta Api Solo Balapan.
|
Aidit (berbaju putih) saat tertangkap oleh pasukan pimpinan Kolonel Yasir Hadibroto. Tampak Yasir Hadibroto berpose di sebelah kanan Aidit (ketiga dari kiri) |
Lalu bagaimana nasib Aidit setelah ditangkap? Ia tak pernah dibawa ke pengadilan apalagi di penjara dalam waktu sangat lama. Nasibnya pun berakhir di ujung bedil dan ditanam ke dalam sumur tua, sama persis dengan rival bebuyutannya, Letnan Jenderal Ahmad Yani.
Riwayat Aidit tamat ditangan Pasukan Kostrad yang dipimpin oleh Kolonel Yasir Hadibroto. Yasir dan anak buahnya memberondong Aidit dengan senapan AK-47 sampai pelurunya habis satu magasin penuh di markas Batalion 444 TNI AD di Boyolali.
Setelah ditembak, jenazah Aidit kemudian dimasukkan dalam sumur tua yang kini sudah ditutup. Markas Batalion 444 tersebut kini menjadi mess Kodim Boyolali.
|
Tanah yang berada dibawah naungan ini dulunya merupakan sumur tua tempat Aidit dieksekusi kemudian dimasukkan ke dalam sumur tersebut dan ditimbun. Jenazah Aidit masih berada di dalamnya hingga kini |
Permusuhan Yani dan Aidit pun lantas berakhir dengan tidak ada yang menang. Keduanya merupakan korban revolusi yang tercatat sebagai sejarah.
(dari berbagai sumber)