Bencana kependudukan kini melanda negara-negara maju. Nasib negara-negara maju tersebut terancam. Pemerintahnya pusing karena penduduknya enggan menikah apalagi punya anak. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan populasi.
Salah satu negara maju yang pusing karena diambang bencana adalah Korea Selatan.
Perut Lee Jung-woo membuncit. Perempuan 36 tahun itu hamil. Diperkiraan, November nanti dia melahirkan. Itu akan menjadi menjadi anak pertama dan terakhirnya. Lee sama sekali tak ingin menambah anak. Tingginya biaya sekolah membuatnya merasa bahwa satu anak sudah cukup.
”Insentif dan subsidi yang diberikan pemerintah tidak terlalu membantu,” ujar perempuan yang tinggal di Seoul, Korsel, itu.
Di Korsel, pendidikan memang diutamakan. Banyak orang tua yang memanggil guru les untuk anaknya. Berdasar data pemerintah, 10 persen pengeluaran rumah tangga habis hanya untuk les privat. Belum biaya kebutuhan pendidikan lainnya.
Baek Da-som juga memiliki pemikiran serupa. Dia baru berhenti dari pekerjaannya demi merawat putrinya yang berusia setahun. Baek juga tak berencana menambah anak lagi. Baginya, membesarkan anak tanpa adanya dukungan yang memadai dari negara sangatlah sulit.
Pasangan suami istri yang sepemikiran dengan Baek dan Lee bukan satu dua orang, tetapi banyak. Imbasnya, angka kelahiran di Korsel terus menurun. Korea Joongang Daily mengungkapkan bahwa angka fertilitas di Korsel pada 2018 adalah 0,98. Angka fertilitas adalah rata-rata anak yang dimiliki oleh perempuan berusia 15-49 tahun. Itu angka fertilitas terendah sedunia. Sementara itu, angka harapan hidup dari tahun ke tahun terus naik. Di Korsel, lansia di atas 60 tahun yang masih aktif bekerja lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemuda usia 20-an tahun.
Pemerintah Korsel bahkan sudah menghabiskan duit miliaran dolar AS untuk mendanai tempat penitipan bayi dan anak-anak gratis. Dengan begitu, orang tua yang bekerja tak perlu waswas untuk punya anak.
Orang tua juga berhak untuk mengajukan cuti merawat anak selama setahun dan disubsidi. Pemkot Seoul bahkan memberikan insentif khusus sebesar KRW 100 ribu (Rp 1,2 juta) per satu kelahiran. Semua cara itu, tampaknya, tak mempan.
”Angka kelahiran terus turun karena berbagai alasan seperti menunda pernikahan, pendidikan tinggi, biaya perumahan, dan tingginya angka pemuda yang menganggur,” terang ekonom di Eugene Investment & Securities Lee Sang-jae.
Menunda pernikahan memang sedang ”tren” di Jepang dan Korsel. Tahun lalu mayoritas penduduk berusia 20-44 tahun di Korsel masih single. Sebanyak 51 persen pria dan 64 persen perempuan yang single mengatakan akan selamanya melajang. Alasannya macam-macam. Di antaranya, tak punya uang dan waktu untuk kencan.
Di beberapa kampus sampai ada mata kuliah untuk berlatih kencan. Mereka diajari bagaiÂmana cara merayu, keluar untuk kencan, berciuman, hingga berhubungan badan. Sebagian kecil berhasil. Yang lain tidak.
Dongkrak Bayi dengan Bonus
Sebagai negara tetangga, Jepang punya masalah yang sama. Dua negara serumpun itu juga punya kebijakan serupa, yaitu tak mau menerima imigran. Jepang mengampanyekan untuk mengurangi jam kerja hingga menambah insentif untuk cuti paternal.
Pemerintah Kota Nagi, Prefektur Okayama, menggunakan insentif untuk mendongkrak populasi. Sejak 2014, mereka memberikan uang tunai kepada pasangan yang punya anak. JPY 100 ribu (Rp 13,4 juta) untuk anak pertama, JPY 150 ribu (Rp 20,06 juta) untuk anak kedua, dan JPY 400 ribu (Rp 53,5 juta) untuk anak kelima.
Tak cukup sampai di situ, mereka juga memberikan vaksinasi gratis, subsidi pembelian rumah, dan pengurangan biaya sekolah, serta penitipan anak. Imbasnya, angka kelahiran di kota pertanian itu melonjak. Pada 2005, angkanya hanya 1,4. Tetapi, pada 2014 ke atas, mencapai 2,8. Nagi tak lagi menjadi kota sepi.
Tak semua sesukses Nagi tentu saja. Desa Nagoro menjadi contoh nyata bom waktu demografi di Jepang. Di desa tersebut tidak ada anak-anak. Sekolah terakhir yang masih beroperasi tutup pada 2012. Penduduk kota itu hanya 27 orang dan yang termuda berusia 55 tahun.
Penduduk yang masih muda pindah ke kota lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Di wilayah pedesaan, pekerjaan memang sulit didapatkan. Penduduk yang tersisa membuat boneka seukuran manusia dan meletakkannya di berbagai lokasi. Semua dilakukan agar desa tersebut terlihat ramai lagi.
”Saya rasa kota lain juga mengalami hal ini. Kami harus menghadapi populasi yang menurun maupun menua,” ujar Tsukimi Ayano, salah seorang penduduk di Nagi.
(Jawa Pos)
Keramaian di salah satu negara maju |
Salah satu negara maju yang pusing karena diambang bencana adalah Korea Selatan.
Perut Lee Jung-woo membuncit. Perempuan 36 tahun itu hamil. Diperkiraan, November nanti dia melahirkan. Itu akan menjadi menjadi anak pertama dan terakhirnya. Lee sama sekali tak ingin menambah anak. Tingginya biaya sekolah membuatnya merasa bahwa satu anak sudah cukup.
”Insentif dan subsidi yang diberikan pemerintah tidak terlalu membantu,” ujar perempuan yang tinggal di Seoul, Korsel, itu.
Di Korsel, pendidikan memang diutamakan. Banyak orang tua yang memanggil guru les untuk anaknya. Berdasar data pemerintah, 10 persen pengeluaran rumah tangga habis hanya untuk les privat. Belum biaya kebutuhan pendidikan lainnya.
Baek Da-som juga memiliki pemikiran serupa. Dia baru berhenti dari pekerjaannya demi merawat putrinya yang berusia setahun. Baek juga tak berencana menambah anak lagi. Baginya, membesarkan anak tanpa adanya dukungan yang memadai dari negara sangatlah sulit.
Pasangan suami istri yang sepemikiran dengan Baek dan Lee bukan satu dua orang, tetapi banyak. Imbasnya, angka kelahiran di Korsel terus menurun. Korea Joongang Daily mengungkapkan bahwa angka fertilitas di Korsel pada 2018 adalah 0,98. Angka fertilitas adalah rata-rata anak yang dimiliki oleh perempuan berusia 15-49 tahun. Itu angka fertilitas terendah sedunia. Sementara itu, angka harapan hidup dari tahun ke tahun terus naik. Di Korsel, lansia di atas 60 tahun yang masih aktif bekerja lebih tinggi jika dibandingkan dengan pemuda usia 20-an tahun.
Pemerintah Korsel bahkan sudah menghabiskan duit miliaran dolar AS untuk mendanai tempat penitipan bayi dan anak-anak gratis. Dengan begitu, orang tua yang bekerja tak perlu waswas untuk punya anak.
Orang tua juga berhak untuk mengajukan cuti merawat anak selama setahun dan disubsidi. Pemkot Seoul bahkan memberikan insentif khusus sebesar KRW 100 ribu (Rp 1,2 juta) per satu kelahiran. Semua cara itu, tampaknya, tak mempan.
”Angka kelahiran terus turun karena berbagai alasan seperti menunda pernikahan, pendidikan tinggi, biaya perumahan, dan tingginya angka pemuda yang menganggur,” terang ekonom di Eugene Investment & Securities Lee Sang-jae.
Menunda pernikahan memang sedang ”tren” di Jepang dan Korsel. Tahun lalu mayoritas penduduk berusia 20-44 tahun di Korsel masih single. Sebanyak 51 persen pria dan 64 persen perempuan yang single mengatakan akan selamanya melajang. Alasannya macam-macam. Di antaranya, tak punya uang dan waktu untuk kencan.
Di beberapa kampus sampai ada mata kuliah untuk berlatih kencan. Mereka diajari bagaiÂmana cara merayu, keluar untuk kencan, berciuman, hingga berhubungan badan. Sebagian kecil berhasil. Yang lain tidak.
Dongkrak Bayi dengan Bonus
Sebagai negara tetangga, Jepang punya masalah yang sama. Dua negara serumpun itu juga punya kebijakan serupa, yaitu tak mau menerima imigran. Jepang mengampanyekan untuk mengurangi jam kerja hingga menambah insentif untuk cuti paternal.
Pemerintah Kota Nagi, Prefektur Okayama, menggunakan insentif untuk mendongkrak populasi. Sejak 2014, mereka memberikan uang tunai kepada pasangan yang punya anak. JPY 100 ribu (Rp 13,4 juta) untuk anak pertama, JPY 150 ribu (Rp 20,06 juta) untuk anak kedua, dan JPY 400 ribu (Rp 53,5 juta) untuk anak kelima.
Tak cukup sampai di situ, mereka juga memberikan vaksinasi gratis, subsidi pembelian rumah, dan pengurangan biaya sekolah, serta penitipan anak. Imbasnya, angka kelahiran di kota pertanian itu melonjak. Pada 2005, angkanya hanya 1,4. Tetapi, pada 2014 ke atas, mencapai 2,8. Nagi tak lagi menjadi kota sepi.
Tak semua sesukses Nagi tentu saja. Desa Nagoro menjadi contoh nyata bom waktu demografi di Jepang. Di desa tersebut tidak ada anak-anak. Sekolah terakhir yang masih beroperasi tutup pada 2012. Penduduk kota itu hanya 27 orang dan yang termuda berusia 55 tahun.
Penduduk yang masih muda pindah ke kota lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Di wilayah pedesaan, pekerjaan memang sulit didapatkan. Penduduk yang tersisa membuat boneka seukuran manusia dan meletakkannya di berbagai lokasi. Semua dilakukan agar desa tersebut terlihat ramai lagi.
”Saya rasa kota lain juga mengalami hal ini. Kami harus menghadapi populasi yang menurun maupun menua,” ujar Tsukimi Ayano, salah seorang penduduk di Nagi.
(Jawa Pos)
tinggal perbanyak muslim, dijamin masalah ini beres, walau akan berganti dgn masalah lain.
ReplyDelete