Friday, July 5, 2019

Teknik Politik ala PKI Yang Masih Dipakai Hingga Kini


Dengan mengesampingkan segala macam stigma dan citra buruk yang melekat selama era kekuasaan rezim Orde Baru, bisa dikatakan bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan sebuah partai besar dan sukses dalam konstelasi politik Indonesia sebelum diberangus sampai habis pada 1965.

DN Aidit
Dipa Nusantara Aidit, Ketua Committe Central PKI

PKI mulai menapak kejayaannya sejak Pemilu pertama yang diadakan pada tahun 1955. Ketika itu PKI menempati urutan keempat dalam pemilu dan sukses menempatkan 39 wakil di kursi DPR dan 80 wakil di Konstituante.

Pasti banyak yang bertanya-tanya mengapa banyak yang memilih partai yang kerap dicap atheist dan anti Tuhan ini pada Pemilu 1955? Kunci pentingnya adalah jualan isu ekonomi khususnya kemiskinan. Walau PKI sejak pemberontakannya di Madiun pada tahun 1948 amat dibenci dalam perpolitikan di Indonesia khususnya oleh para politikus, tapi harus diakui jurus jualan kemiskinannya diamalkan dengan baik. Tak hanya kemiskinan di kota, tapi juga kemiskinan di desa. Di kota ada buruh, di desa ada tani. Karena kemiskinan mereka, dua golongan itu potensial jadi pemilih PKI dalam pemilu. Apalagi PKI sendiri punya lambang palu dan arit, dimana palu merepresentasikan buruh sedangkan arit mewakili petani.

Menurut Jafar Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015), dengan mengutip Everett Hawkins di artikel "Labour in Developing Economics" (1962), kaum buruh adalah golongan miskin di Jakarta. Upah mereka sangat rendah. Sementara itu pada 1953 terjadi kenaikan harga bahan pokok. Tak heran jika pada era 1950-an Tunjangan Hari Raya (THR) sudah mulai diperjuangkan kaum buruh.
Hasim Adnan pernah membahas mengenai soal pedesaan dan jualan isu kemiskinan dalam tulisannya, "Membungkam Deru Bising Drumband di Bumi Parahiyangan" yang dimuat dalam buku Sisi Senyap Politik Bising (2007) menyatakan, “....biasanya PKI hanya akan berkembang di kawasan pedesaan yang mengalami kemiskinan endemik” (hlm. 44). Daerah miskin yang diincar PKI untuk dijadikan lumbung suara misalnya Subang dan Indramayu.Tapi tentu saja PKI tak cuma mengincar daerah miskin di Jawa Barat melainkan di seluruh Nusantara dengan Jawa sebagai pusatnya. “Jawa adalah kunci”, demikian dogma politik mereka yang selalu siap bermain keras dalam persaingan.

“Kaum tani Indonesia yang merupakan 70 % daripada penduduk masih tetap berada dalam kedudukan budak, hidup melarat dan terbelakang di bawah tindasan tuan tanah dan lintah darat,” kata Dipa Nusantara Aidit (Ketua Commitee Central PKI) dalam pidatonya yang berjudul Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia. “Kewajiban kaum Komunis yang pertama-tama ialah menarik kaum tani ke dalam front persatuan nasional,” tambah Aidit.
Secara gamblang Aidit menegaskan bahwa kaum komunis harus bisa mengenyahkan segala hal yang membuat petani menderita. “Kewajiban yang terdekat daripada kaum Komunis Indonesia ialah melenyapkan sisa-sisa feodalisme, mengembangkan revolusi agraria antifeodal, menyita tanah tuan tanah dan memberikan dengan cuma-cuma tanah tuan tanah kepada kaum tani, terutama kepada kaum tani tak bertanah dan tani miskin, sebagai milik perseorangan mereka,” katanya pula.

Dari penuturan tersebut sudah kelihatan jelas bahwa PKI hendak melakukan bagi-bagi tanah kepada para petani di desa-desa. Yang harus diketahui mengapa doktrin ini bisa sukses menggaet massa dalam jumlah masif adalah fakta bahwa kebanyakan petani tidak mempunyai lahan (sawah).Kebanyakan petani yang ada menjadi penggarap bagi lahan-lahan milik para petani kaya atau tuan tanah.

“Langkah pertama dalam pekerjaan di kalangan kaum tani ialah membantu perjuangan mereka untuk kebutuhan sehari-hari, untuk mendapatkan tuntutan bagian kaum tani,” seru Aidit. Seperti dicatat Satriono Priyo Utomo dalam Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia (2016: 119), ada jargon “Tanah untuk kaum tani” dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dalam Kongres Nasional V 1954. Semua tahu BTI terkait dengan PKI. Aidit tak lupa memberi patokan. Menurutnya, selama belum banyak kaum tani (terutama yang miskin dan tak bertanah) masuk ke partai dan jadi kader partai, maka itu artinya PKI belum bekerja sungguh-sungguh.

Sepuluh tahun berselang yaitu tahun 1965 saat situasi politik tanah air sedang panas-panasnya, PKI tetap konsisten dengan isu kemiskinan walaupun tidak ada Pemilu di masa tersebut. PKI tetap getol mengulang dan menggembar-gemborkan programnya yang dirumuskan pada 1955. “Semua tanah yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah asing maupun tuan-tuan tanah Indonesia harus disita tanpa penggantian kerugian. Kepada kaum tani, pertama-tama kepada kaum tani tak bertanah dan kaum tani miskin, diberikan dan dibagikan tanah dengan cuma-cuma,” demikian salah satu program PKI pada 1965. Karuan saja yang dicanangkan PKI ini adalah sebuah janji surga bagi masyarakat Indonesia yang telah dimiskinkan oleh penjajahan selama 350 tahun.

Banyak kalangan yang tidak suka dan tidak setuju dengan ide PKI yang tak pernah terwujud ini. Namun ide merangkul masyarakat miskin masih diterapkan hingga kini. Begitu pula dengan isu anti asing yang tetap merupakan isu sexy.

Kampanye Anti-Asing PKI, lewat mulut Aidit dalam pidato Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia, menyebut: “Salah satu bentuk pertentangan dan permusuhan antara negara-negara imperialis ialah perang imperialis yang membawa kemiskinan, kesengsaraan, dan kematian berjuta-juta manusia.” Negara imperalis era 1950-an yang dianggap mengganggu bagi PKI adalah Amerika Serikat. Menurut PKI, seperti ditulis Aidit dalam Revolusi, Angkatan Bersenjata & Partai Komunis (PKI dan AURI) II, modal asing (dari Amerika) yang masuk ke Indonesia pada 1952 ditaksir mencapai 350 juta dolar.

PKI sendiri sangat alergi terhadap perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di Indonesia seperti Shell, Stanvac dan Caltex sebab di mata PKI hal tersebut merupakan bentuk neokolonialisme AS di bidang ekonomi.

Sentimen anti-asing dan menuduh asing sebagai penyebab masalah ekonomi masih menjadi isu primordial yang laris hingga kini, bahkan menyebabkan situasi keras. Namanya juga menjelang pemilu, tentu saja PKI juga “menyanyikan” janji-janji manis kepada masyarakat. Mereka tahu bahwa ideologi bukanlah penjamin kemenangan dalam pemilu. Maka melalu surat kabar yang dikelola di bawah naungannya, Harian Rakjat (28 September 1955), sehari sebelum pemilu DPR pada 29 September 1955, PKI melempar banyak janji. Tak tanggung-tanggung, PKI memaparkan 19 janji sekaligus.

Sebanyak 19 janji tersebut tak hanya ditujukan kepada kaum buruh dan tani, melainkan juga nelayan, pengusaha kecil, pedagang kecil, kaum wanita, seniman, bahkan kelompok agama.

Kok kelompok agama? Janggal? Iya. Janggal apabila dikaitkan dengan stigma yang disematkan oleh Orde Baru, dimana PKI dicap dengan citra anti-agama. Simak saja janji nomor 10 di Harian Rakjat, “Bagi kaum agama, memilih PKI berarti djaminan kebebasan beragama,”. Sebuah hal yang bahkan di zaman reformasi sekarang ini merupakan sebuah angan-angan. Terlebih saat ini sedang marak euforia agama di kalangan masyarakat mayoritas di Indonesia.
Namun, janji yang paling krusial tentu saja soal kesejahteraan ekonomi yang termaktub dalam janji nomor 3: “Bagi kaum tani, memilih PKI berarti turunnja sewa tanah tuan-tanah, perbaikan upah buruh-tani, pentjegahan perampasan tanah kaum tani, hapusnja pologoro dan hapusnja rodi.”

Janji-janji PKI

Sedangkan bagi nelayan, dalam janji No. 12 disebutkan, “memilih PKI berarti perlindungan terhadap saingan modal monopoli.” Tak hanya kepada kaum-kaum tersebut yang hingga kini masih sengsara hidupnya, para abdi negara pun tak luput diberi janji yang tercantum pada janji nomor 4, “Bagi para pradjurit, polisi dan pegawai negeri lainnja, memilih PKI berarti djaminan hak-haknja dan perbaikan gadji,”

Janji-janji ala PKI macam ini masih diterapkan hingga sekarang. Mana ada orang yang tak suka gajinya diperbaiki agar besar, apalagi kalau ditambah tunjangan-tunjangan? Bukan tidak mungkin banyak PNS yang akan memilih PKI (apabala partai ini tidak dilarang) jika macam ini janjinya. 

Politik sampai kapan pun akan selalu dinamis dan menarik dicermati walau kadang bikin muak.

No comments:

Post a Comment