Dengan mengesampingkan segala macam stigma dan citra buruk
yang melekat selama era kekuasaan rezim Orde Baru, bisa dikatakan bahwa Partai
Komunis Indonesia (PKI) merupakan sebuah partai besar dan sukses dalam
konstelasi politik Indonesia sebelum diberangus sampai habis pada 1965.
Dipa Nusantara Aidit, Ketua Committe Central PKI |
PKI mulai menapak kejayaannya sejak Pemilu pertama yang
diadakan pada tahun 1955. Ketika itu PKI menempati urutan keempat dalam pemilu
dan sukses menempatkan 39 wakil di kursi DPR dan 80 wakil di Konstituante.
Pasti banyak yang bertanya-tanya mengapa banyak yang memilih partai
yang kerap dicap atheist dan anti Tuhan ini pada Pemilu 1955? Kunci pentingnya
adalah jualan isu ekonomi khususnya kemiskinan. Walau PKI sejak
pemberontakannya di Madiun pada tahun 1948 amat dibenci dalam perpolitikan di
Indonesia khususnya oleh para politikus, tapi harus diakui jurus jualan kemiskinannya
diamalkan dengan baik. Tak hanya kemiskinan di kota, tapi juga kemiskinan di
desa. Di kota ada buruh, di desa ada tani. Karena kemiskinan mereka, dua
golongan itu potensial jadi pemilih PKI dalam pemilu. Apalagi PKI sendiri punya
lambang palu dan arit, dimana palu merepresentasikan buruh sedangkan arit
mewakili petani.
Menurut Jafar Suryomenggolo dalam Politik Perburuhan Era
Demokrasi Liberal 1950an (2015), dengan mengutip Everett Hawkins di artikel
"Labour in Developing Economics" (1962), kaum buruh adalah golongan
miskin di Jakarta. Upah mereka sangat rendah. Sementara itu pada 1953 terjadi
kenaikan harga bahan pokok. Tak heran jika pada era 1950-an Tunjangan Hari Raya
(THR) sudah mulai diperjuangkan kaum buruh.
Hasim Adnan pernah membahas mengenai soal pedesaan dan jualan
isu kemiskinan dalam tulisannya, "Membungkam Deru Bising Drumband di Bumi
Parahiyangan" yang dimuat dalam buku Sisi Senyap Politik Bising (2007) menyatakan,
“....biasanya PKI hanya akan berkembang di kawasan pedesaan yang mengalami
kemiskinan endemik” (hlm. 44). Daerah miskin yang diincar PKI untuk dijadikan
lumbung suara misalnya Subang dan Indramayu.Tapi tentu saja PKI tak cuma
mengincar daerah miskin di Jawa Barat melainkan di seluruh Nusantara dengan
Jawa sebagai pusatnya. “Jawa adalah kunci”, demikian dogma politik mereka yang
selalu siap bermain keras dalam persaingan.
“Kaum tani Indonesia yang merupakan 70 % daripada penduduk
masih tetap berada dalam kedudukan budak, hidup melarat dan terbelakang di
bawah tindasan tuan tanah dan lintah darat,” kata Dipa Nusantara Aidit (Ketua Commitee
Central PKI) dalam pidatonya yang berjudul Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi
Indonesia. “Kewajiban kaum Komunis yang pertama-tama ialah menarik kaum tani ke
dalam front persatuan nasional,” tambah Aidit.
Secara gamblang Aidit menegaskan bahwa kaum komunis harus bisa
mengenyahkan segala hal yang membuat petani menderita. “Kewajiban yang terdekat
daripada kaum Komunis Indonesia ialah melenyapkan sisa-sisa feodalisme,
mengembangkan revolusi agraria antifeodal, menyita tanah tuan tanah dan
memberikan dengan cuma-cuma tanah tuan tanah kepada kaum tani, terutama kepada
kaum tani tak bertanah dan tani miskin, sebagai milik perseorangan mereka,” katanya
pula.
Dari penuturan tersebut sudah kelihatan jelas bahwa PKI
hendak melakukan bagi-bagi tanah kepada para petani di desa-desa. Yang harus diketahui
mengapa doktrin ini bisa sukses menggaet massa dalam jumlah masif adalah fakta
bahwa kebanyakan petani tidak mempunyai lahan (sawah).Kebanyakan petani yang
ada menjadi penggarap bagi lahan-lahan milik para petani kaya atau tuan tanah.
“Langkah pertama dalam pekerjaan di kalangan kaum tani ialah
membantu perjuangan mereka untuk kebutuhan sehari-hari, untuk mendapatkan
tuntutan bagian kaum tani,” seru Aidit. Seperti dicatat Satriono Priyo Utomo
dalam Aidit, Marxisme-Leninisme, dan Revolusi Indonesia (2016: 119), ada jargon
“Tanah untuk kaum tani” dari Barisan Tani Indonesia (BTI) dalam Kongres
Nasional V 1954. Semua tahu BTI terkait dengan PKI. Aidit tak lupa memberi
patokan. Menurutnya, selama belum banyak kaum tani (terutama yang miskin dan
tak bertanah) masuk ke partai dan jadi kader partai, maka itu artinya PKI belum
bekerja sungguh-sungguh.
Sepuluh tahun berselang yaitu tahun 1965 saat situasi politik
tanah air sedang panas-panasnya, PKI tetap konsisten dengan isu kemiskinan walaupun
tidak ada Pemilu di masa tersebut. PKI tetap getol mengulang dan
menggembar-gemborkan programnya yang dirumuskan pada 1955. “Semua tanah yang
dimiliki oleh tuan-tuan tanah asing maupun tuan-tuan tanah Indonesia harus
disita tanpa penggantian kerugian. Kepada kaum tani, pertama-tama kepada kaum
tani tak bertanah dan kaum tani miskin, diberikan dan dibagikan tanah dengan
cuma-cuma,” demikian salah satu program PKI pada 1965. Karuan saja yang
dicanangkan PKI ini adalah sebuah janji surga bagi masyarakat Indonesia yang
telah dimiskinkan oleh penjajahan selama 350 tahun.
Banyak kalangan yang tidak suka dan tidak setuju dengan ide
PKI yang tak pernah terwujud ini. Namun ide merangkul masyarakat miskin masih
diterapkan hingga kini. Begitu pula dengan isu anti asing yang tetap merupakan
isu sexy.
Kampanye Anti-Asing PKI, lewat mulut Aidit dalam pidato Jalan
ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia, menyebut: “Salah satu bentuk pertentangan
dan permusuhan antara negara-negara imperialis ialah perang imperialis yang
membawa kemiskinan, kesengsaraan, dan kematian berjuta-juta manusia.” Negara
imperalis era 1950-an yang dianggap mengganggu bagi PKI adalah Amerika Serikat.
Menurut PKI, seperti ditulis Aidit dalam Revolusi, Angkatan Bersenjata &
Partai Komunis (PKI dan AURI) II, modal asing (dari Amerika) yang masuk ke
Indonesia pada 1952 ditaksir mencapai 350 juta dolar.
PKI sendiri sangat alergi terhadap perusahaan-perusahaan AS yang
beroperasi di Indonesia seperti Shell, Stanvac dan Caltex sebab di mata PKI hal
tersebut merupakan bentuk neokolonialisme AS di bidang ekonomi.
Sentimen anti-asing dan menuduh asing sebagai penyebab masalah
ekonomi masih menjadi isu primordial yang laris hingga kini, bahkan menyebabkan
situasi keras. Namanya juga menjelang pemilu, tentu saja PKI juga “menyanyikan”
janji-janji manis kepada masyarakat. Mereka tahu bahwa ideologi bukanlah penjamin
kemenangan dalam pemilu. Maka melalu surat kabar yang dikelola di bawah
naungannya, Harian Rakjat (28 September 1955), sehari sebelum pemilu DPR pada
29 September 1955, PKI melempar banyak janji. Tak tanggung-tanggung, PKI memaparkan
19 janji sekaligus.
Sebanyak 19 janji tersebut tak hanya ditujukan kepada kaum
buruh dan tani, melainkan juga nelayan, pengusaha kecil, pedagang kecil, kaum wanita,
seniman, bahkan kelompok agama.
Kok kelompok agama? Janggal? Iya. Janggal apabila dikaitkan
dengan stigma yang disematkan oleh Orde Baru, dimana PKI dicap dengan citra anti-agama.
Simak saja janji nomor 10 di Harian Rakjat, “Bagi kaum agama, memilih PKI
berarti djaminan kebebasan beragama,”. Sebuah hal yang bahkan di zaman
reformasi sekarang ini merupakan sebuah angan-angan. Terlebih saat ini sedang
marak euforia agama di kalangan masyarakat mayoritas di Indonesia.
Namun, janji yang paling krusial tentu saja soal
kesejahteraan ekonomi yang termaktub dalam janji nomor 3: “Bagi kaum tani,
memilih PKI berarti turunnja sewa tanah tuan-tanah, perbaikan upah buruh-tani,
pentjegahan perampasan tanah kaum tani, hapusnja pologoro dan hapusnja rodi.”
Janji-janji PKI |
Sedangkan bagi nelayan, dalam janji No. 12 disebutkan,
“memilih PKI berarti perlindungan terhadap saingan modal monopoli.” Tak hanya
kepada kaum-kaum tersebut yang hingga kini masih sengsara hidupnya, para abdi
negara pun tak luput diberi janji yang tercantum pada janji nomor 4, “Bagi para
pradjurit, polisi dan pegawai negeri lainnja, memilih PKI berarti djaminan
hak-haknja dan perbaikan gadji,”
Janji-janji ala PKI macam ini masih diterapkan hingga
sekarang. Mana ada orang yang tak suka gajinya diperbaiki agar besar, apalagi
kalau ditambah tunjangan-tunjangan? Bukan tidak mungkin banyak PNS yang akan
memilih PKI (apabala partai ini tidak dilarang) jika macam ini janjinya.
Politik sampai kapan pun akan selalu dinamis dan menarik dicermati walau kadang bikin muak.
No comments:
Post a Comment