Wednesday, October 12, 2016

Menelisik Gugatan Dirjen HAM Sebesar Rp 210 Juta Kepada Laundry Kiloan Karena Jas Dinasnya Mengerut, Etiskah?Dirjen

Masih ingat gugatan Dirjen HAM kepada penyedia jasa laundry hanya gara-gara karena jas yang dicuci menjadi mengerut sehingga tidak bisa digunakan untuk menghadiri sebuah acara penting yang mengharuskan sang Dirjen mengenakan jas tersebut?

Nah, setelah kasus ini menjadi ramai di media sosial karena sang penyedia jasa laundry “curhat” dan membuat sang Dirjen panen hujatan akhirnya membuat sang Dirjen bersangkutan angkat bicara untuk klarifikasi.

Dirjen HAM Mualimin Abdi menegaskan bahwa gugatannya yang ditujukan kepada pengelola laundry (kiloan) akibat jas dinasnya berkerut, dilakukan atas nama pribadi. Ia pun beralasan kalau gugatan itu sebagai pembelajaran penyelesaian konflik hukum.

Dirjen HAM Mualimid Abdi
Dirjen HAM Mualimin ketika memberikan konferensi pers (foto: Detikcom)

Menurut Mualimin, gugatan tersebut dia lakukan bukan untuk mencari sensasi atau hal lainnya. Ia beralasan bahwa dirinya hanya ingin memberikan contoh penyelesaian konflik dengan jalur hukum.

"Niat saya menggugat Mas Budi nggak ada niat apa-apa. Saya hanya memberi contoh agar siapa pun, masyarakat yang merasa dirugikan orang lain, kalau jalan lain ditempuh, ya melalui jalur hukum. Sebenarnya pingin itu," ujar Mualimin dalam konferensi pers di kantornya, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin 10 Oktober 2016.
Ia pun mengatakan pada media bahwa saat mediasi dirinya terbersit untuk menerima permintaan maaf sang pemilik laundry. Niat tersebut bahkan diperkuat dengan mencabut kembali gugatannya.
"Tapi di hati saya berniat lagi maka besok juga kalau mas Budi minta maaf dan kita saling memaafkan di waktu pengadilan, saling memaafkan saya bilang mas besok saya cabut gugatannya karena mas Budi sudah minta maaf dan akui kesalahannya," cetus Mualimin.

Mualimin menggugat Fresh Laundry ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) sebesar Rp 210 juta lewat gugatan perdata biasa. Rinciannya, Rp 10 juta untuk harga jas dan Rp 200 juta kerugian immateril.

Tapi benarkah langkah hukum yang dilayangkan Mualimin?

Usut punya usut, berdasarkan UU yang berlaku, seharusnya gugatan Mualimin dilayangkan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan ganti rugi tidak boleh melebihi harga barang.

Kalau tidak mau menggunakan jalur BPSK, maka bisa menggunakan jalur peradilan perdata sederhana di pengadilan yang diselesaikan dalam satu pekan. Hal itu diatur dalam Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2015 dengan ketentuan ganti rugi hanya seharga kerugian materil/jas Rp 10 juta, tanpa kerugian immateril.

Saat ditanya, apabila niatnya memang ingin memberikan pelajaran hukum kepada masyarakat, lantas mengapa tidak menggunakan sarana hukum perdata khusus yang ada dan malahan sang Dirjen mencantumkan kerugian immateril Rp 200 juta yang jauh melebihi nilai yang harus ditanggung oleh tergugat?

"Sudah selesai-sudah selesai," begitulah  jawab Mualimin buru-buru meninggalkan ruang jumpa pers.
(dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment