Monday, August 22, 2016

Isi Surat "Romantis" Antara Lin Dan dan Lee Chong Wei Setelah Semifinal Olimpiade Rio 2016

Sudah bukan rahasia lagi bahwa persaingan bulutangkis dunia selama hampir satu dekade dikuasai oleh “The Big Four” yaitu Lin Dan (China), Taufik Hidayat (Indonesia), Peter Gade Christensen (Denmark), dan Lee Chong Wei (Malaysia).

Walau mereka merupakan rival yang sering bersaing sengit di banyak turnamen, namun mereka berempat merupakan sahabat sejati. Sebuah hal yang mengajarkan bahwa olahraga merupakan jembatan bagi persahabatan antar bangsa.

Lee Chong Wei vs Lin Dan di Olimpiade Rio
Lee Chong Wei (Malaysia, kiri) bertukar kaus dengan rival sekaligus sahabat kentalnya, Lin Dan (China, kanan) setelah pertandingan semifinal Olimpiade Rio 2016, 19 Agustus 2016 yang seru dan enak ditonton

Taufik dan Peter Gade kini sudah pensiun, sementara Lin Dan dan Lee Chong Wei masih bersaing walau kini mereka sudah menapaki senjakala kaier mereka. Persaingan terakhir Lin Dan dan Lee Chong Wei tersaji di babak semifinal Olimpiade Rio de Janeiro 2016 yang merupakan duel mereka yang ke-37 dimana kali ini Lee Chong Wei akhirnya bisa mengalahkan Lin Dan dengan skor 15-21, 21-11, 22-20 untuk mengamankan tiket final Bulutangkis Tunggal Putra Olimpiade Rio 2016 sehingga mengubah rekor head to head di antara mereka menjadi 25-12 masih untuk keunggulan Lin Dan.

Lin Dan kerap menjadi penghalang mimpi Lee Chong Wei dan rakyat Malaysia untuk meraih medali emas pertama di Olimpiade. Mimpi Lee dua kali berturut-turut pupus pada Olimpiade Beijing 2008 dan London 2012 di hadapan Lin Dan.

Perseteruan sengit pebulutangkis kebanggaan Malaysia dan China ini rupanya menyisakan “romantisme” bagi mereka. Mereka saling mengungkapkan rivalitas mereka melalui surat. Dalam salah satu petikan suratnya, Lin Dan menyebut dirinya dan Lee seperti Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.

Setelah laga semifinal yang mempesona pecinta bulutangkis di Brazil dan seluruh dunia, Lin Dan menuliskan  sebuah surat untuk Lee yang berisi pesan, kesan, sekaligus ungkapan dukungan untuk Lee sebelum menghadapi laga final.

Berikut ini sebagian kutipan isi surat Lin Dan:

"Momen saat kamu melempar raket sambil melompat tinggi dan tersenyum setelah mengalahkan saya, membuat saya sangat senang. Kita berdua sudah saling kenal selama 16 tahun. Saat itu, kita masih menjadi pionir, sedangkan Taufik Hidayat dan Peter Gade masih bersaing. Kita bukan siapa-siapa.

Kita berdua sudah pernah melalui banyak kekalahan dan kemenangan. Tetapi, saya sedikit beruntung karena sering menang dalam turnamen besar. Kamu merupakan pemain yang memiliki rasa tanggung jawab lebih besar daripada saya dan kita berdua berjuang dengan keringat serta semangat kita sendiri.

Kita seperti Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi di mana kehadiran satu sama lain mewakili persaingan yang abadi. Tanpa disadari, di sini kita bertemu pada Olimpiade Rio yang merupakan Olimpiade keempat kita.

Pada pertandingan ke-37, kita bertemu dan saya kalah dari kamu. Jujur saya tidak menyesal. Kamu rival terbesar saya dan saya rela dikalahkan kamu. Saat saya memeluk kamu, saya benar-benar merasa semua yang terjadi selama 16 tahun terakhir seperti mimpi.

Saya akan mengambil jersey ini dan menunjukkan kepada anak saya di masa depan bahwa ada seorang pria bernama Lee Chong Wei yang merupakan rival terbesar dan juga sahabat ayahnya. Saya tidak pernah menyesal mengenal kamu dan bermain melawan kamu. Terima kasih banyak!"

Seperti  persaingan mereka di atas lapangan, Lee ternyata tak mau kalah. Seusai menerima surat dari Lin Dan, Lee langsung menulis surat balasan yang isinya memuji sepak terjang rival abadinya ini.

"Ketika saya pertama kali bertemu kamu dan kita berfoto bersama pada 2000, saya ingat saat itu kamu selalu ingin terlihat keren dan baik. Kamu suka mengenakan mantel dan sepasang sepatu yang mengilap. Saat itu, kita berdua masih sangat muda dan saya tidak pernah berpikir cerita kita akan begitu lama dan menarik.

Ketika saya melihat kebanggaan di wajah kamu, saat itulah saya memutuskan untuk membuat kamu sebagai target saya dan saya ingin bertarung dengan kamu pada tahun-tahun mendatang.

Saya tahu kamu menjalani latihan yang sangat keras daripada saya. Kamu berlatih 10 jam sehari dan saya berlatih lebih dari 10 jam sehari supaya bisa mengalahkan kamu. Akhirnya, ada hari ketika saya melangkah ke pertandingan dengan tujuan ingin menjadi juara untuk membuktikan diri.

Sayangnya, dunia kejam. Pada Olimpiade Beijing 2008, kamu bermain dalam performa terbaik sehingga membunuh harapan saya pada saat-saat terakhir mimpi saya hampir menjadi nyata. Padahal, saat itu saya berada di peringkat pertama dunia. Selanjutnya, saya berusaha mengalahkan kamu, tetapi saya hanya memiliki medali perak.

Saya terlalu banyak memiliki medali perak, sementara kamu memiliki terlalu banyak emas. Saya ingin medali emas. Saya terus berlatih lebih keras dan lebih keras sampai saya tidak tahu berapa banyak pasang sepatu yang robek, berapa banyak raket rusak, dan saya bahkan tidak tahu perbedaan antara siang dan malam karena saya banyak menghabiskan waktu dengan berlatih di pelatnas.

Kemarin, saya akhirnya menang. Saya sangat kewalahan meskipun akhirnya bisa melakukannya pada kompetisi besar. Ini bukan berarti saya takut tidak bisa mendapatkan medali emas, tetapi karena saya begitu bersemangat untuk mengalahkan kamu.

Ketika saya bertukar jersey dengan kamu dan kita berpelukan, saya sadar tubuh kita banyak dibalut perban. Saat itu, saya sadar bahwa usia kita sudah menua. Rasanya ingin memutar waktu, tetapi saya tahu itu tidak mungkin. Namun, memori ini akan selalu terukir dalam hati saya."


Sungguh bahwa olahraga, khsusunya Olimpiade sejatinya memang mengajarkan persaudaraan, persahabatan, kejujuran, sportifitas dan bukannya persaingan. Walaupun menjadi rival di arena, sejatinya para atlet Olimpiade merupakan duta persahabatan antar bangsa. Sebuah hal yang niscaya di Indonesia, khususnya dalam dunia politik yang saling sikut dengan menghalalkan segala cara.

No comments:

Post a Comment