Sudah bukan rahasia lagi bahwa persaingan bulutangkis dunia
selama hampir satu dekade dikuasai oleh “The Big Four” yaitu Lin Dan (China),
Taufik Hidayat (Indonesia), Peter Gade Christensen (Denmark), dan Lee Chong Wei
(Malaysia).
Walau mereka merupakan rival yang sering bersaing sengit di
banyak turnamen, namun mereka berempat merupakan sahabat sejati. Sebuah hal
yang mengajarkan bahwa olahraga merupakan jembatan bagi persahabatan
antar bangsa.
Taufik dan Peter Gade kini sudah pensiun, sementara Lin Dan
dan Lee Chong Wei masih bersaing walau kini mereka sudah menapaki senjakala
kaier mereka. Persaingan terakhir Lin Dan dan Lee Chong Wei tersaji di babak
semifinal Olimpiade Rio de Janeiro 2016 yang merupakan duel mereka yang ke-37 dimana
kali ini Lee Chong Wei akhirnya bisa mengalahkan Lin Dan dengan skor 15-21,
21-11, 22-20 untuk mengamankan tiket final Bulutangkis Tunggal Putra Olimpiade
Rio 2016 sehingga mengubah rekor head to head di antara mereka menjadi 25-12
masih untuk keunggulan Lin Dan.
Lin Dan kerap menjadi penghalang mimpi Lee Chong Wei dan
rakyat Malaysia untuk meraih medali emas pertama di Olimpiade. Mimpi Lee dua
kali berturut-turut pupus pada Olimpiade Beijing 2008 dan London 2012 di
hadapan Lin Dan.
Perseteruan sengit pebulutangkis kebanggaan Malaysia dan
China ini rupanya menyisakan “romantisme” bagi mereka. Mereka saling mengungkapkan
rivalitas mereka melalui surat. Dalam salah satu petikan suratnya, Lin Dan
menyebut dirinya dan Lee seperti Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.
Setelah laga semifinal yang mempesona pecinta bulutangkis di
Brazil dan seluruh dunia, Lin Dan menuliskan sebuah surat untuk Lee yang berisi pesan,
kesan, sekaligus ungkapan dukungan untuk Lee sebelum menghadapi laga final.
Berikut ini sebagian kutipan isi surat Lin Dan:
"Momen saat kamu
melempar raket sambil melompat tinggi dan tersenyum setelah mengalahkan saya,
membuat saya sangat senang. Kita berdua sudah saling kenal selama 16 tahun.
Saat itu, kita masih menjadi pionir, sedangkan Taufik Hidayat dan Peter Gade
masih bersaing. Kita bukan siapa-siapa.
Kita berdua sudah
pernah melalui banyak kekalahan dan kemenangan. Tetapi, saya sedikit beruntung
karena sering menang dalam turnamen besar. Kamu merupakan pemain yang memiliki
rasa tanggung jawab lebih besar daripada saya dan kita berdua berjuang dengan
keringat serta semangat kita sendiri.
Kita seperti Cristiano
Ronaldo dan Lionel Messi di mana kehadiran satu sama lain mewakili persaingan
yang abadi. Tanpa disadari, di sini kita bertemu pada Olimpiade Rio yang
merupakan Olimpiade keempat kita.
Pada pertandingan
ke-37, kita bertemu dan saya kalah dari kamu. Jujur saya tidak menyesal. Kamu
rival terbesar saya dan saya rela dikalahkan kamu. Saat saya memeluk kamu, saya
benar-benar merasa semua yang terjadi selama 16 tahun terakhir seperti mimpi.
Saya akan mengambil
jersey ini dan menunjukkan kepada anak saya di masa depan bahwa ada seorang
pria bernama Lee Chong Wei yang merupakan rival terbesar dan juga sahabat
ayahnya. Saya tidak pernah menyesal mengenal kamu dan bermain melawan kamu.
Terima kasih banyak!"
Seperti persaingan mereka
di atas lapangan, Lee ternyata tak mau kalah. Seusai menerima surat dari Lin
Dan, Lee langsung menulis surat balasan yang isinya memuji sepak terjang rival
abadinya ini.
"Ketika saya
pertama kali bertemu kamu dan kita berfoto bersama pada 2000, saya ingat saat
itu kamu selalu ingin terlihat keren dan baik. Kamu suka mengenakan mantel dan
sepasang sepatu yang mengilap. Saat itu, kita berdua masih sangat muda dan saya
tidak pernah berpikir cerita kita akan begitu lama dan menarik.
Ketika saya melihat
kebanggaan di wajah kamu, saat itulah saya memutuskan untuk membuat kamu
sebagai target saya dan saya ingin bertarung dengan kamu pada tahun-tahun mendatang.
Saya tahu kamu
menjalani latihan yang sangat keras daripada saya. Kamu berlatih 10 jam sehari
dan saya berlatih lebih dari 10 jam sehari supaya bisa mengalahkan kamu.
Akhirnya, ada hari ketika saya melangkah ke pertandingan dengan tujuan ingin
menjadi juara untuk membuktikan diri.
Sayangnya, dunia
kejam. Pada Olimpiade Beijing 2008, kamu bermain dalam performa terbaik
sehingga membunuh harapan saya pada saat-saat terakhir mimpi saya hampir
menjadi nyata. Padahal, saat itu saya berada di peringkat pertama dunia.
Selanjutnya, saya berusaha mengalahkan kamu, tetapi saya hanya memiliki medali
perak.
Saya terlalu banyak
memiliki medali perak, sementara kamu memiliki terlalu banyak emas. Saya ingin
medali emas. Saya terus berlatih lebih keras dan lebih keras sampai saya tidak
tahu berapa banyak pasang sepatu yang robek, berapa banyak raket rusak, dan
saya bahkan tidak tahu perbedaan antara siang dan malam karena saya banyak
menghabiskan waktu dengan berlatih di pelatnas.
Kemarin, saya akhirnya
menang. Saya sangat kewalahan meskipun akhirnya bisa melakukannya pada
kompetisi besar. Ini bukan berarti saya takut tidak bisa mendapatkan medali
emas, tetapi karena saya begitu bersemangat untuk mengalahkan kamu.
Ketika saya bertukar
jersey dengan kamu dan kita berpelukan, saya sadar tubuh kita banyak dibalut
perban. Saat itu, saya sadar bahwa usia kita sudah menua. Rasanya ingin memutar
waktu, tetapi saya tahu itu tidak mungkin. Namun, memori ini akan selalu
terukir dalam hati saya."
Sungguh bahwa olahraga, khsusunya
Olimpiade sejatinya memang mengajarkan persaudaraan, persahabatan, kejujuran,
sportifitas dan bukannya persaingan. Walaupun menjadi rival di arena, sejatinya
para atlet Olimpiade merupakan duta persahabatan antar bangsa. Sebuah hal yang
niscaya di Indonesia, khususnya dalam dunia politik yang saling sikut dengan
menghalalkan segala cara.
No comments:
Post a Comment