Masalah sifat dasar dan mental manusia Indonesia memang tidak akan pernah habis untuk dibahas dan ditelaah terlebih lagi dengan semakin majunya zaman malahan mental dan moral bangsa kita tidak ikut maju, melainkan mengalami degradasi dan kemunduran.
Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi UI (sumber foto: radiobuana.com) |
Salah satu tulisan yang cukup menohok mengenai manusia Indonesia ini adalah tulisan Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia. Begini tulisan dan penelaahannya:
Beberapa waktu yang lalu, ketika melintasi jalan Kapten
Tendean, Jakarta, yang sedang direnovasi, saya terkejut ketika melihat salah
satu backhoe (alat berat penggali tanah) bermerek “Samsung” (Korea), karena
selama ini yang saya ketahui Samsung adalah produser HP, smart phone, gadget
dan barang-barang elektronik, yang sudah jauh menggusur posisi Sonny dan Nokia
(Jepang), tetapi bukan produsen alat-alat berat. Tetapi bukan itu saja, di
Indonesia para Korea ini sudah mulai menggusur Jepang di bidang kuliner (Resto
Korea versus Resto Jepang), budaya pop (K-pop, Gangnam style, Boys band,
Sinetron Korea dll), dan otomotif (“H” dari Hyundai versus “H” dari Honda).
Padahal Korea pernah “dijajah” Jepang (1876-1945) dan orang Korea punya dendam
kesumat kepada orang Jepang. Tetapi dendam itu tidak dibalaskan dengan perang
lagi atau agresi politik, melainkan dengan kerja keras yang menghasilkan
prestasi di bidang teknologi, ekonomi dan budaya. Dalam waktu 70 tahun kita
sama-sama melihat hasilnya.
Indonesia juga pernah dijajah Jepang, tidak lama, hanya 3,5 tahun,
tetapi rakyat sangat menderita selama masa penjajahan yang singkat itu.
Anehnya, walaupun akhirnya Jepang kalah Perang Dunia II dan Jepang diwajibkan
membayar pampasan perang kepada Indonesia, setelah 70 tahun Indonesia tidak
berhasil mengimbangi Jepang hampir di segala bidang. Malah di tahun 1974
terjadi peristiwa Malari (15 Januari), saat mahasiswa dan massa membakari
mobil-mobil bermerk Jepang. Orang Indonesia bukannya bekerja lebih giat untuk
menyaingi Jepang, tetapi menyalahkan dan menyerang si pesaing. Dalam psikologi
mentalitas seperti ini disebut “ekstra-punitif” (menghakimi pihak lain) yang
bersumber pada “pusat kendali eksternal” (external locus of control).
Menurut teori Pusat Kendali (locus of control: J.B. Rotter,
1954), ada dua macam tipe manusia, yaitu yang Pusat Kendalinya Internal dan
Eksternal. Orang dengan Pusat Kendali Internal (PKI) percaya bahwa dirinya
sendirilah yang menentukan apa yang akan terjadi dengan dirinya, bahkan
lingkungan di sekitarnya pun bisa dia kendalikan sesuai dengan kebutuhannya.
Sedangkan orang dengan Pusat Kendali Eksternal (PKE) jika terjadi sesuatu,
cenderung menyalahkan pihak lain, bukannya mengoreksi diri sendiri.
Sebagian besar orang Indonesia, menurut hemat saya, tergolong
PKE. Bukan hanya dalam kasus Malari, tetapi hampir pada setiap peristiwa
sehari-hari. Kalau dalam Pilkada ada calon Bupati/Walikota yang dinyatakan
gugur karena tidak memenuhi persyaratan maka kantor KPU-nya dibakar. Kalau
kebanjiran menyalahkan pemerintah, kalau kekeringan minta bantuan pemerintah.
Si pemerintah juga lebih senang menyalahkan alam yang tidak bersahabat. Bahkan
ketika perekonomian nasional mengalami perlambatan seperti sekarang ini, para
menteri di pemerintah pusat lebih senang menyalahkan faktor-faktor luar negeri
(menggiatnya perekonomian dan kenaikan suku bunga di AS dll), ketimbang
merekayasa perekonomian dalam negeri untuk mendongkrak laju perekonomian
nasional. Pengendara motor yang melawan arus, ketika ditangkap polisi, akan membantah,
“Loh, tiap hari saya liwat sini. Ada polisi, tetapi tidak pernah diapa-apakan.
Kok sekarang saya mau ditilang?”
Salah satu dampak dari sifat bangsa Indonesia yang KPE ini
adalah mencari jalan pintas. Tidak punya ijasah, ya beli ijasah Aspal saja. Mau
menang Pilkada, beli suara. Mau main di pengadilan beli hakimnya. Kalau tidak
bisa dibeli, liwat kekerasan. Termasuk Tuhan pun dijadikan faktor yang
dijadikan sarana untuk mencapai sesuatu. Ingin lulus Ujian Nasional, sholat
Istigozah rame-rame. Demo anti kenaikan harga BBM, teriak “Allahu Akbar”.
Tetapi karena Tuhan tidak bisa dibeli, maka yang menikmati (yang terima duit)
adalah para pemain di balik agama, termasuk para da’i komersial (yang sering
masuk TV dan honor tausyiahnya 10 kali lipat dari ceramah profesor), Biro
perjalanan haji dan Umroh, dan para pemain politik yang menggunakan agama
sebagai kendaraannya.
Akhir-akhir ini bahkan makin kuat kecenderungan untuk lebih
menuhankan agama ketimbang menuhankan Tuhan (Allah) itu sendiri. Agama sudah dianggap
jauh lebih penting dari pada negara, pemerintah, bendera dan lagu kebangsaan,
kewarganegaraan, dsb. Kalau Kartosuwiryo yang memproklamasikan NII (Negara
Islam Indonesia) di tahun 1949 (isterinya tidak berjilbab), masih
mencita-citakan sebuah negara yang bernama Indonesia, JI (Jamaah Islamiah) dan
ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) tidak lagi mempersoalkan wilayah, dia
maunya seluruh dunia adalah daulah Islamiah, yang dipimpin oleh seorang Amir
atau Khalifah saja. Berita mutakhir, ISIS telah mengeksekusi 19 perempuan yang
menolak bersetubuh dengan para pejuangnya, atas nama agama, atas nama daullah
Islamiah. Padahal Allah sendiri tidak pernah mengatakan begitu. Bukankah ini
menuhankan agama lebih dari pada menuhankan Allah itu sendiri? Apa namanya
kalau bukan musyrik?
Dampak yang serius dari mentalitas PKE adalah orang jadi
malas kerja. Orang PKE yang tidak berorientasi agama memilih hidup hedonis,
mumpung muda hura-hura, tua foya-foya, mati masuk alam baka (surga atau neraka?
Emang gue pikirin?). Mereka terlibat Narkoba, seks berisiko, kenakalan dan
kriminal untuk memenuhi kebutuhuan hedonisnya. Sementara PKE yang orientasinya
agama lebih rajin berdoa (rukun Islam tidak pernah terlambat, termasauk
berumuroh berkali-kali), tetapi tetap enggan bekerja serius. Bahkan mereka
pikir tidak apa-apa sedikit bermaksiat juga, karena mereka pasti sudah diberi
pahala dan ampun oleh Allah yang Maha Pengampun, karena ibadah mereka sudah
berpuasa yang pahalanya lebih dari seribu bulan dan sudah sholat Arbain di Medinah,
yang pahalanya entah berapa juta kali lipat dibandingkan shalat di masjid lain.
Itulah sebabnya Indonesia tidak pernah lepas dari korupsi dan maksiat, walaupun
mayoritas penduduknya adalah muslim terbanyak di dunia. Itulah sebabnya
Indonesia tidak pernah lepas dari STMJ (Sholat Terus, Maksiat Jalan).
Padahal Indonesia sedang dalam era Bonus Demografi
(2010-2045), yaitu saat penduduk usia produktif (15-64 tahun) berjumlah dua
kali lipat dari penduduk non-produktif. Para pakar menamakannya peluang emas untuk
menggenjot kemajuan di segala bidang, guna menyejahterakan dan memakmurkan
bangsa, khususnya karena negara-negara lain sudah meliwati masa ini
bertahun-tahun yang lalu (negara-negara maju seperti Kanada dan AS sudah
mengimport imigran untuk mengisi kekurangan tenaga kerja mereka) dan Indonesia
sendiri akan kehilangan peluang itu juga pasca 2045. Peluang emas inilah yang
ingin direbut oleh Presiden Jokowi dengan seruannya “Kerja, kerja, kerja!!!”.
Maka kabinetnya pun dinamakan Kabinet Kerja. Tetapi kalau bangsa Indonesia
lebih suka berhura-hura atau hanya berdoa saja, jangan-jangan setelah tahun
2045 terlewati (100 tahun setelah kemerdekaan), Indonesia bukannya menandingi Korea atau
Tiongkok (Cina) melainkan makin terpuruk. Naudhubillah min dzalik.
Sudah sepatutnya kita bercermin diri dan sadar, agar kita bisa bangkit dan tidak lagi bermental inferior.
(Manusia Indonesia, 15 Agustus 2015 oleh Sarlito W. Sarwono)
cendikiawan, alim ulama, tokoh masyarakat sudahkah merenungkan hal ini???, hal ini sesuai denga al Qur'an bahwa "Nabi diutus untuk memperbaiki akhlak manusia" maukah umat Islam melaksanan perintah ini??? jwabnya "sami'na wa ashoina, kmi dengar, tapi kami pikir pikir dulu, soalnya kami masih senang dengan hedonisme" tunggu azab ALLAH, masa depan bangsa ini akan menjadi bangsa sampah.. "tidak akan berubah nasib suatu bangsa, tanpa bangsa itu sendiri berusaha merubah nasibnya"
ReplyDeletenah, benar sekali itu bro. bangsa kita memang bebal. makanya ngga maju-maju
DeletePertanyaan nya: kapan bangsa ini bangun/tersadar dari mimpi panjangnya.
ReplyDeleteklo dihubungkan dengan maraknya demo, rupanya mereka masih tidur sambil jalan atau ibarat zombie
Delete