Pada 22 Juli 2016 lalu terjadi aksi penembakan brutal oleh
pemuda keturunan Iran di Muenchen, Jerman. Setelah melakukan aksi brutalnya,
sang pelaku lantas menembak dirinya. Dalam peristiwa ini, ada 9 orang yang
menjadi korban tewas.
Apabila ditelusuri dari latar belakang SARA sang pelaku, dengan
segera kecurigaan diarahkan pada kelompok (teroris) Islam.
Akhir-akhir ini marak terjadi serangan teror di Jerman.
Bahkan pada Senin lalu ada serangan dengan pisau kapak oleh pemuda Afghanistan
yang melukai 5 orang penumpang kereta api di kota Wurzburg, Jerman.
Pertanyaannya: benarkah kasus-kasus ini adalah aksi brutal
kelompok Islam?
Bisa ya, bisa tidak. Tapi, apapun jawaban akhirnya, saat ini
yang jadi tertuduh adalah kelompok-kelompok Islam.
Bagi sebagian umat Islam, tuduhan serampangan semacam ini
dianggap sebagai bukti kebencian terhadap Islam. Mereka akan berargumen bahwa
seharusnya ada praduga tak bersalah sebelum tuduhan dilancarkan. Lebih jauh
lagi, bagi kelompok-kelompok ini, tuduhan ini adalah bukti betapa Barat
membenci Islam, mendiskriminasi Islam, memperlakukan Islam secara tidak adil,
menstereotipkan Islam, dan bahkan ingin menghancurkan Islam.
Sebagai umat Muslim, tentu saja siapapun tidak akan pernah suka
kalau Islam selalu dianggap sebagai sumber kebiadaban di dunia.
Namun, marilah kita juga bersikap adil. Kita juga tidak bisa
tidak mengesampingkan fakta bahwa memang ada kelompok-kelompok pembenci Islam
yang terus menyebarkan kebencian terhadap Islam, namun menganggap bahwa
tumbuhnya ketakutan terhadap Islam di Barat itu lahir sebagai bagian dari
konspirasi anti-Islam juga sangat berlebihan.
Salah satu sumber prasangka negatif terhadap Islam saat ini
adalah perilaku umat Islam sendiri. Dan kita, di Indonesia, turut menyumbang
bagi pembentukan citra tersebut.
Citra Islam di dunia non-Islam bisa dibilang buruk. Ada
anggapan bahwa umat Islam cenderung
menindas kalau menjadi mayoritas, dan cenderung beringas (termasuk menyebarkan
terror) ketika menjadi minoritas.
Melalui berbagai media, masyarakat dunia melihat bagaimana
di negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam, ada beragam penindasan
terhadap kaum minoritas dan terhadap kaum yang dianggap tidak sejalan dengan
arus utama Islam.
Contohnya bahkan tersebar luas. Yang terbaik tentu saja bagaimana yang terjadi di
Arab Saudi, pembangunan gereja dan perayaan hari besar keagamaan non-Islam
dipersulit atau bahkan dilarang sama sekali. Di Arab Saudi pula, kaum wanita dilarang aktif di ruang publik (tidak
boleh mengemudi, tidak boleh terlibat aktif dalam kehidupan politik, dan sebagainya).
Di negara seperti Pakistan dan Bangladesh, mereka yang berpindah agama bisa dibunuh
atau diusir, kaum Syiah ditindas kaum Sunni.
Di Malaysia, istilah ‘Allah’ tidak boleh digunakan oleh kalangan
non-muslim. Di Indonesia, di berbagai tempat,
juga berlangsung pelarangan pembangunan gereja, penyerangan terhadap
Syiah, penyerangan terhadap Ahmadiyah, penyerangan terhadap LGBT, pelarangan
mengucapkan Selamat Natal, dan sebagainya. Contohnya bisa terus diperpanjang
(sampai misalnya pewajiban jilbab bagi wanita), dan ini semua merupakan
rangkaian ilustrasi yang menumbuhkan kesan bahwa ketika umat Islam menempati
posisi mayoritas, umat Islam cenderung menindas kaum lemah.
Sebaliknya, ketika umat Islam menjadi minoritas, umat Islam
itu terkesan cenderung menyerang kaum mayoritas, memusuhi kaum mayoritas, atau
bahkan menumbuhkan terorisme.
Apa yang terjadi di Barat saat ini adalah contoh tentang
terbangunnya citra buruk itu. Kaum muslim adalah kaum imigran. Di mata
masyarakat Barat, Islam tumbuh di Barat karena kebaikan hati Barat. Di mata
Barat, mayoritas umat Islam adalah kaum
imigran yang pindah ke Barat karena kesulitan hidup di tempat asal
mereka atau karena berusaha mencari kehidupan yang lebih baik di dunia baru (ironisnya, dunia baru ini malahan sering dianggap sebagai kafir).
Sungguh celaka, kalangan imigran ini sekarang dianggap malah
membuat masalah. Kaum muslim di Barat ini hidup secara terisolasi dalam
kantong-kantong komunitas imigran yang cenderung eksklusif. Lebih parah lagi,
masyarakat muslim ini memiliki pemuka-pemuka Islam yang terus menerus
menyuarakan ayat-ayat Al Quran, hadits, dan sunnah yang dimanipulasi sedemikian
rupa sehingga menyuburkan kebencian dan perlawanan terhadap Barat.
Di berbagai kota-kota besar di Eropa, hadir gerakan-gerakan
masyarakat muslim yang secara kontinu dan terbuka menyuarakan semangat
anti-demokrasi, kebencian terhadap peradaban Barat dan seruan untuk menegakkan syariat. Ironisnya,
kampanye anti Barat ini bisa mereka lakukan karena kebebasan berbicara adalah
prinsip yang dihormati dalam sistem demokrasi Barat – yang mereka tentang itu.
Dari komunitas-komunitas minoritas semacam ini, lahir para
pelaku kekerasan yang dengan semangat jihad berusaha menteror masyarakat Barat.
Karena orang-orang ini tidak sanggup berhadapan dengan militer sesungguhnya,
mereka dengan pengecut menembaki, membunuhi, membom komunitas-komunitas sipil.
Bagi mereka, perilaku semacam ini adalah bagian dari perjuangan untuk
menegakkan kebanaran dan melawan kemunkaran.
Apalagi dalam era dunia yang terbuka saat ini, mereka dengan
mudah terhubung, belajar, bekerjasama dengan gerakan-gerakan bersenjata
internasional yang berada di wilayah-wilayah konflik dunia Islam. Banyak pelaku
teror adalah mereka yang sengaja belajar ke pusat-pusat terorisme, dan kemudian
kembali untuk menyebarkan teror lebih jauh.
Pada titik ini, kita harus menekankan satu hal: kita memang
jangan menganggap Islam identik dengan teorisme. Namun yang ingin disampaikan
disini adalah, kalau terbangun ketakutan, kecurigaan dan salah paham tentang
Islam di dunia, itu terjadi karena, antara lain, perilaku umat Islam sendiri.
Jangan pertama-tama salahkan orang lain.
Karena itu, kalau umat Islam ingin dirinya dan ajaran yang
diyakininya dihargai, umat Islam harus mengubah perilakunya.
Mari kita membicarakan soal Indonesia. Umat Islam Indonesia harus
secara kolektif menghentikan dan mengecam segenap bentuk penindasan terhadap
kaum minoritas atau pun terhadap kaum yang memiliki keyakinan berbeda dari arus
utama. Kalau kita masih terus membiarkan
pelarangan gereja, pelarangan Ahmadiyah, penyerangan terhadap Syiah,
penyerangan terhadap LGBT, dan semacamnya; kita pada dasarnya sedang mendukung
terbentuknya citra Islam sebagai agama yang menindas.
Di sisi lain, umat Islam di Indonesia harus secara tegas
mengecam dan tidak mendukung aksi teror yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
yang memanipulasi Islam di berbagai belahan dunia. Sungguh memprihatinkan,
membaca komentar-komentar sebagian umat Islam yang memberikan pembenaran
terhadap aksi teror di Nice, Istanbul, Orlando, Belgia, Norwegia, Saudi,
Bangladesh, Baghdad, dan seterusnya.
Lazimnya, argumen yang dilontarkan untuk membela aksi teror
itu adalah bahwa para teroris itu sebenarnya sekadar membalas kejahatan yang
dilakukan Barat, atau bahwa aksi teror itu merupakan rekayasa yang dirancang
Barat.
Kita tidak mengesampingkan fakta bahwa imperialisme Barat
memang pernah dan terus terjadi dan saya tidak membantah bahwa
kelompok-kelompok seperti ISIS bisa jadi pada awalnya dibina dan dikembangkan
oleh pemerintah-pemerintah Barat. Tapi itu semua bukan alasan untuk tidak
mengutuk aksi kekerasan yang secara jelas memang dilakukan dengan simbol-simbol
Islam.
Argumen yang hendak disampaikan disini dilandaskan pada satu asumsi:
terbangunnya citra buruk Islam sebenarnya turut dibentuk oleh perilaku umat
Islam sendiri. Karena itu kalau kita marah dengan imej buruk ini, jawabannya
adalah, umat Islam harus mengubah perilakunya.
Segenap argumen yang ditulis disini ini tidak relevan kalau
ada pihak yang menyatakan bahwa dunia memang membutuhkan citra Islam yang
keras, beringas dan menindas. Kalau itu harapannya, tentu saja tidak perlu umat
Islam mengubah perilakunya.
(Ade Armando/Madina Online)
No comments:
Post a Comment