Siapa yang tidak mengenal Arab Saudi? Negara monarki di jazirah Arab di Timur Tengah ini sudah kadung dikenal turun-temurun sebagai negara yang super kaya raya karena minyaknya. Namun kini beredar kabar yang mengejutkan mengenai mereka.
Arab Saudi kini dilaporkan sedang mempersiapkan diri untuk menutupi defisit anggarannya yang mencapai US$ 87 miliar, sehingga untuk pertama kalinya Saudi sedang bersiap-siap untuk berhutang kepada luar negeri. Salah satu penyebab "badai" ini adalah jatuhnya harga minyak. Harga minyak "terkapar" dengan amat telak di pasar internasional. Padahal, Arab Saudi merupakan negara produsen minyak terbesar dalam OPEC.
Kerajaan Arab Saudi mengalami berbagai kesulitan besar dalam menyeimbangkan anggaran karena penurunan harga minyak, dimana pemasukan negara hanya mendapatkan 73% dari sumber daya minyaknya dengan kata lain menurun drastis. Pendapatan tersebut dinilai tidak cukup untuk membiayai negara.
Dalam kondisi semacam ini, Riyadh, yang membiayai pengeluaran melalui pinjaman dan hanya dapat menggunakan cadangan keuangan yang akumulatif, memutuskan untuk tidak hanya menurunkan secara drastis anggaran belanja umum, namun juga menyatakan kesediaan mereka untuk pertama kalinya dalam sejarah berhutang kepada pasar internasional. Para analis mengatakan bahwa jumlah utang Riyadh pada tahap pertama sudah mencapai US$ 5 miliar.
Menurut laporan IMF, kondisi ini bisa menyebabkan Arab Saudi mengalami kebangkrutan dalam waktu 4-5 tahun, diperkirakan tahun 2020.
Keadaan makin memburuk di internal Kerajaan Arab Saudi karena milyuner, termasuk keluarga kerajaan (para pangeran) kini beramai-ramai meninggalkan Saudi yang kini sedang dalam krisis nasional akibat dilanda kerusuhan setelah kerajaan kaya minyak itu, Arab Saudi, sekutu terdekat Amerika di kawasan Timur-Tengah, mendeklarasikan agresi ilegalnya ke negara tetangganya yang miskin, Yaman.
Setelah naik tahta, Raja Salman membuat kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri yang serampanagn, seperti memberikan kekuasaan yang berlebihan terhadap putranya yang ambisius, Muhammad bin Salman, wakil putra mahkota dan menteri pertahanan yang telah melakukan perombakan brutal di hampir semua posisi kunci pemerintah.
Menurut sumber-sumber lokal yang dipercaya, para anggota keluarga kerajaan yang tidak puas dengan tindakan Raja dan Putra Mahkota, yang keduanya dianggap totaliter, telah mencapai klimaksnya dan bagaikan bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Para pangeran mulai melarikan diri ke negara-negara barat yaitu Perancis dan Inggris. Dengan berbagai dalih, mereka meninggalkan kerajaan yang terperangkap dalam perang berdarah terhadap bangsa asing, situasi keamanan yang rapuh dan kondisi ekonomi yang berantakan total. Para pangeran ini dikabarkan mendesak upaya pemakzulan terhadap Raja Salman.
Dalam upaya pelariannya ini, para pangeran menarik sejumlah besar uang tunai simpanan mereka dari Bank. Para pejabat Kerajaan Arab Saudi, khususnya yang berwenang dalam keuangan dan moneter berusaha untuk menghambat arus modal besar-besaran yang terus keluar, dengan memberlakukan langkah-langkah pembatasan moneter tertentu. Langkah-langkah pembatasan itu antara lain adalah melarang pengiriman uang ke luar negeri jika bernilai lebih dari 500.000 dolar perbulan bagi setiap warga negaranya. Dan hanya bisa mungkin jika orang itu membeli properti di luar negeri dan setelah menyediakan dokumen-dokumen resmi terkait hal itu. Hal ini mengakibatkan adanya banyak kasus yang menunjukkan bahwa para pangeran Saudi yang putus asa kemudian memalsukan dokumen pembelian real estate untuk mentransfer aset mereka.
Dalam wawancara Press TV dengan penulis “Big Oil & Their Bankers in the Persian Gulf”, Dean Henderson, untuk membahas defisit anggaran Arab Saudi, Rabu 30 Desember 2015 lalu, dikatakan bahwa defisit anggaran yang terjadi bisa memicu potensi konflik dalam negara Kerajaan Arab Saudi.
Henderson mengatakan bahwa pada dasarnya ada dua faksi dalam tubuh negara Kerajaan Arab Saudi. Pertama adalah Saudi yang merupakan keluarga kerajaan dan dipimpin Raja Salman bin Abdul Aziz, yang menurutnya sangat tidak populer di kalangan keluarga al-Saud (keluarga monarki Arab Saudi), dan sisi lainnya adalah Saudi yang berarti rakyat Saudi itu sendiri.
Ia membenarkan bahwa para pejabat Saudi tidak akan membiarkan defisit anggaran yang terjadi memeras keluarga kerajaan, mereka akan tetap berusaha memperoleh keuntungan dari aset keuangan yang luas.
Menurutnya, penghematan besar-besaran nantinya akan diberlakukan para pejabat Saudi itu kepada rakyat mereka sendiri dengan memotong subsidi bahan bakar dan barang-barang lainnya guna menebus defisit anggaran. Hal ini dipredisiksi bisa menimbulkan kemarahan rakyat dan mendorong mereka untuk melawan pemerintah.
(Al Jazeera, Business Insider, Independent, Okezone)
Arab Saudi kini dilaporkan sedang mempersiapkan diri untuk menutupi defisit anggarannya yang mencapai US$ 87 miliar, sehingga untuk pertama kalinya Saudi sedang bersiap-siap untuk berhutang kepada luar negeri. Salah satu penyebab "badai" ini adalah jatuhnya harga minyak. Harga minyak "terkapar" dengan amat telak di pasar internasional. Padahal, Arab Saudi merupakan negara produsen minyak terbesar dalam OPEC.
Kerajaan Arab Saudi mengalami berbagai kesulitan besar dalam menyeimbangkan anggaran karena penurunan harga minyak, dimana pemasukan negara hanya mendapatkan 73% dari sumber daya minyaknya dengan kata lain menurun drastis. Pendapatan tersebut dinilai tidak cukup untuk membiayai negara.
Dalam kondisi semacam ini, Riyadh, yang membiayai pengeluaran melalui pinjaman dan hanya dapat menggunakan cadangan keuangan yang akumulatif, memutuskan untuk tidak hanya menurunkan secara drastis anggaran belanja umum, namun juga menyatakan kesediaan mereka untuk pertama kalinya dalam sejarah berhutang kepada pasar internasional. Para analis mengatakan bahwa jumlah utang Riyadh pada tahap pertama sudah mencapai US$ 5 miliar.
Menurut laporan IMF, kondisi ini bisa menyebabkan Arab Saudi mengalami kebangkrutan dalam waktu 4-5 tahun, diperkirakan tahun 2020.
Keadaan makin memburuk di internal Kerajaan Arab Saudi karena milyuner, termasuk keluarga kerajaan (para pangeran) kini beramai-ramai meninggalkan Saudi yang kini sedang dalam krisis nasional akibat dilanda kerusuhan setelah kerajaan kaya minyak itu, Arab Saudi, sekutu terdekat Amerika di kawasan Timur-Tengah, mendeklarasikan agresi ilegalnya ke negara tetangganya yang miskin, Yaman.
Setelah naik tahta, Raja Salman membuat kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri yang serampanagn, seperti memberikan kekuasaan yang berlebihan terhadap putranya yang ambisius, Muhammad bin Salman, wakil putra mahkota dan menteri pertahanan yang telah melakukan perombakan brutal di hampir semua posisi kunci pemerintah.
Menurut sumber-sumber lokal yang dipercaya, para anggota keluarga kerajaan yang tidak puas dengan tindakan Raja dan Putra Mahkota, yang keduanya dianggap totaliter, telah mencapai klimaksnya dan bagaikan bom waktu yang bisa meledak kapan saja.
Para pangeran mulai melarikan diri ke negara-negara barat yaitu Perancis dan Inggris. Dengan berbagai dalih, mereka meninggalkan kerajaan yang terperangkap dalam perang berdarah terhadap bangsa asing, situasi keamanan yang rapuh dan kondisi ekonomi yang berantakan total. Para pangeran ini dikabarkan mendesak upaya pemakzulan terhadap Raja Salman.
Dalam upaya pelariannya ini, para pangeran menarik sejumlah besar uang tunai simpanan mereka dari Bank. Para pejabat Kerajaan Arab Saudi, khususnya yang berwenang dalam keuangan dan moneter berusaha untuk menghambat arus modal besar-besaran yang terus keluar, dengan memberlakukan langkah-langkah pembatasan moneter tertentu. Langkah-langkah pembatasan itu antara lain adalah melarang pengiriman uang ke luar negeri jika bernilai lebih dari 500.000 dolar perbulan bagi setiap warga negaranya. Dan hanya bisa mungkin jika orang itu membeli properti di luar negeri dan setelah menyediakan dokumen-dokumen resmi terkait hal itu. Hal ini mengakibatkan adanya banyak kasus yang menunjukkan bahwa para pangeran Saudi yang putus asa kemudian memalsukan dokumen pembelian real estate untuk mentransfer aset mereka.
Dalam wawancara Press TV dengan penulis “Big Oil & Their Bankers in the Persian Gulf”, Dean Henderson, untuk membahas defisit anggaran Arab Saudi, Rabu 30 Desember 2015 lalu, dikatakan bahwa defisit anggaran yang terjadi bisa memicu potensi konflik dalam negara Kerajaan Arab Saudi.
Henderson mengatakan bahwa pada dasarnya ada dua faksi dalam tubuh negara Kerajaan Arab Saudi. Pertama adalah Saudi yang merupakan keluarga kerajaan dan dipimpin Raja Salman bin Abdul Aziz, yang menurutnya sangat tidak populer di kalangan keluarga al-Saud (keluarga monarki Arab Saudi), dan sisi lainnya adalah Saudi yang berarti rakyat Saudi itu sendiri.
Ia membenarkan bahwa para pejabat Saudi tidak akan membiarkan defisit anggaran yang terjadi memeras keluarga kerajaan, mereka akan tetap berusaha memperoleh keuntungan dari aset keuangan yang luas.
Menurutnya, penghematan besar-besaran nantinya akan diberlakukan para pejabat Saudi itu kepada rakyat mereka sendiri dengan memotong subsidi bahan bakar dan barang-barang lainnya guna menebus defisit anggaran. Hal ini dipredisiksi bisa menimbulkan kemarahan rakyat dan mendorong mereka untuk melawan pemerintah.
(Al Jazeera, Business Insider, Independent, Okezone)
Ada waktu untuk bersenang senang, ada waktu utk bersedih sedih. Ada waktu utk kaya dan ada waktu utk miskin. Ada waktu utk meenanam, dan ada waktu utk menuai...Allah itu Maha Adil utk semua. Bila saatnya tiba, hadapilah sendiri....
ReplyDeletesaya setuju, semua hal yang berbau keduniawian memang tidak pernah abadi
DeleteSiap2 perang akhir zaman. Tanda2nya sd semakin dekat
ReplyDeleteSiap2 perang akhir zaman. Tanda2nya sd semakin dekat
ReplyDeleteaduh, ngeri....masa sih kebangkrutan suatu negara bisa memicu perang?
DeleteAkh! masa... gak mungkiin..
ReplyDeletesegala sesuatu di dunia ini tidak ada yang abadi. harta adalah keduniawian.
DeleteTerlalu deh beritanya...gak separah itu kalee...
ReplyDeletecoba cek google ya
DeleteDasar media syiah atau ht nih... maen fitnah aja. Nyari brita tuh yg bner
ReplyDeleteDasar media syiah atau ht nih... maen fitnah aja. Nyari brita tuh yg bner
ReplyDeleteberitanya ini benar, sejak tahun lalu Arab Saudi memang merencanakan untuk hutang ke IMF krn sudah defisit besar2an.
Deleteini berita pendukungnya : http://www.thenational.ae/business/economy/lower-oil-prices-hit-uae-and-saudi-arabia-economies-latest-pmi-survey-shows
bang syarif jangan maen fitnah aja. saya bukan syiah lho. sesekali perdalam bahasa Inggris ya agar jangan jadi katak dalam tempurung. thanks
DeleteMasih ada devisa haji yang menopang perekonomian arab saudi
ReplyDeletehehe kalau saya boleh mau sih seharusnya naik haji itu gratis ya. pihak arab saudi harus sediakan makanan, minuman dan pondokan gratis bagi para jemaah dari seluruh dunia. bukankah (kalau mengutip kata orang madura): "tanah adalah milik Allah" hahaha
DeleteSerakah sih..
ReplyDeleteklo sudah bgini, kebagian dah semuanya..
Heheuheuheuuuuu..
tambah lagi dong bang artikel menarik, nyeleneh bin crazy lainnya.. yg penting ga beraroma SARA..
thanx a lot..
ini lagi nyari-nyari. lagian saya juga ngga asal nyari berita, apalagi bikin berita hoax. berita saya ngga ada yang hoax
DeleteSaudi negara arab rasa yahudi
ReplyDeleteSalafi Wahhabi di Indonesia udah mulai ketar ketir, gelontoran dana kampanye bid'ah masuk nerakanya, akan mulai berkurang.
ReplyDeleteAda dana tunai lebih dari 6 milyard Rupiah untuk dana talangan,yang dibawa jama'ah haji. Tapi apesnya ditahan pemerintah Wahhabi.