Tabir sejarah Peristiwa G30S yang masih belum sepenuhnya terungkap
memang selalu menarik untuk dilakukan penyelidikan secara mendalam,
khususnya apabila menggali dari kesaksian seorang mantan ketua Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwani), ormas binaan Partai Komunis Indonesia.
Seorang nenek tua bernama Putmainah (87 tahun) yang duduk di kursi roda dan tinggal di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur yang dulunya merupakan Ketua Gerwani Blitar mendadak tersentak ketika ditanyakan mengenai keterlibatan CIA dalam tragedi 30 September 1965.
Suaranya
mendadak meninggi, matanya pun melotot. "Apa? Amerika?". Wajahnya yang keriput mendadak menegangIa
seperti tersentak. Sorot mata warga Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat,
Kabupaten Blitar itu sontak menajam. Garis wajahnya mengeras.
Nenek tua ini nyaris lumpuh total semenjak terkena serangan stroke. Tangan kirinya tak bisa digerakkan. Dari jari hingga pangkal lengan layu tak bertenaga. Begitu juga dengan kondisi kaki kirinya yang lumpuh dan mati rasa.
Ia mengatakan dengan gamblang bahwa CIA dan Amerika jelas-jelas terlibat dalam peristiwa 30 September 1965.
Diketahui pula bahwa Amerika Amerika memberi info intelijen mengenai nama orang-orang komunis kepada TNI Angkatan Darat. Juga disebutkan pula bahwa ada kucuran dana Rp50 juta dari Duta Besar Amerika, Marshall Green, kepada gerakan Gestapu di Indonesia. Tidak heran dalam pidatonya, Presiden Soekarno melontarkan sindiran bahwa abad ke-20 adalah abad intervensi.
Putmainah yang walau sudah tua namun daya ingatnya masih tajam ini dengan tegas mengatakan bahwa Amerika menggunakan tangan militer Indonesia untuk menumpas PKI. Ia juga membeberkan bahwa sebelum para aktivis, simpatisan PKI dan organisasi sayapnya dibunuh, ditangkap, disiksa, dan dipenjara tanpa diadili, di masyarakat muncul bantuan kitab suci Al Quran.
Disinyalir kuat Al Quran tersebut berasal dari agen rahasia CIA. Kitab suci-kitab suci tersebut dibagikan secara gratis dan merata secara pondok-pondok pesantren, para kiai serta pemuka agama di desa-desa.
Putmainah mengatakan bahwa operasi untuk "mengambil hati" kelompok-kelompok yang anti PKI itu adalah tentara (militer). Dengan tegas Putmainah mengatakan. "Saya tahu, karena ayah saya seorang haji dan mendapatkan Al Quran bantuan Amerika itu,"
Ayah Putmainah, yaitu Haji Mansyur adalah pemuka yang disegani di desanya. Putmainah menuturkan bahwa ayahnya dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam (SI) Merah yang kemudian berganti nama Sarekat Rakyat.
Haji Mansyur merupakan putra sulung KH Abdurrahman yang juga keturunan langsung penyebar Islam Sunan Tembayat Jawa Tengah. KH Abdurrahman merupakan salah satu laskar prajurit Pangeran Diponegoro. Bersama sang Pangeran ini, KH Abdurrahman memerangi Belanda.
Putmainah menceritakan bahwa Haji Mansyur pernah ditahan oleh Belanda karena terlibat peristiwa pemberontakan PKI tahun 1926. Bukan cuma itu, Haji Mansyur juga terlibat aktif dalam pemberontakan PKI Madiun 1948 yang dipimpin Muso dan membuatnya ditangkap kemudian dijebloskan ke dalam penjara.
Putmainah mengaku bahwa dirinya mengenal ajaran dan azas-azas komunisme dari sang ayah. Dari sang ayah ia belajar bagaimana menggunakan azas-azas komunisme untuk membela rakyat tertindas dan berusaha adil sejak dalam pikiran. Ia mengenang ayahnya sebagai seseorang yang mampu menggelorakan massa dalam berpidato, sama seperti Bung Karno walaupun levelnya masih jauh dibawah Bung Karno.
Oleh karena itu, agar anaknya bisa memperdalam komunisme secara menyeluruh, Haji Mansyur menitipkan Putmainah kepada Umi Sarjono seorang tokoh Gerwani yang menjadi guru dan pelatih komunisnya pertama kali. Atas inisiatif Umi Sarjono, Putmainah ditempatkan di rumah Ny Wardoyo, kakak kandung Bung Karno yang berdomisili di Istana Gebang Kota Blitar.
Nah, pelajaran-pelajaran dan pelatihan komunisme itulah yang kemudian mengantarkan Putmainah menjadi tokoh Gerwani yang disegani sekaligus anggota DPRGR Kabupaten Blitar dari Fraksi PKI.
Kembali ke pokok masalah kesaksian Putmainah mengenai keterlibatan CIA dalam peristiwa G30S. Selain Al Qur'an, Amerika melalui CIA juga terlibat dalam pemberian bantuan dana pembangunan rumah ibadah seperti surau dan mushola. Banyak mushola diperbaiki dan dibangun secara serentak bersamaan dengan bantuan kitab suci. Praktek agitasi yang dilakukan Amerika kepada kelompok-kelompok agama berlanjut pada politik adu domba.
Kelompok agama, yakni NU dan Ansor dihasut dan dibenturkan dengan PKI dan organisasi sayapnya, seperti BTI, SOBSI, Lekra, Gerwani dan Pemuda Rakyat.
Organisasi buruh SOBSI (PKI) dihadapkan dengan Sarbumusi (NU). BTI dibenturkan dengan Pertanu, Lekra dengan Lesbumi, Gerwani dengan Fatayat dan Muslimat, IPPI dengan IPNU dan IPPNU, CGMI dengan PMII, serta Pemuda Rakyat dengan GP Ansor.
Setelah Partai Masyumi bubar dan PNI pecah, yang sanggup menandingi PKI sebagai pemenang pemilu keempat hanya NU. Praktis hanya tinggal NU sebagai partai terbesar ketiga pemenang pemilu (1955).
Putmainah mengatakan dengan getir, padahal hubungan PKI dengan NU, khususnya di Blitar tidak pernah terjadi gesekan dan polemik. Putmainah pun menceritakan bahwa selama menjabat anggota DPRGR Kabupaten Blitar, dia bersahabat cukup dekat dengan para wakil NU di parlemen tersebut.
Putmainah menyebut nama Kayubi sebagai salah satu orang NU yang menjadi kawannya selama bekerja di legislatif. Sayangnya, ia mengaku tidak ingat apakah Kayubi yang dimaksud adalah Zaenudin Kayubi, penggagas sekaligus pendiri Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU.
Sejarah mencatat bahwa Banser didirikan pertama kali di Blitar pada tanggal 14 April 1964. Putmainah mengenang, sebagai anggota parlemen ia sering turun ke bawah dengan berboncengan dengan Kayubi. Kayubi selalu memanggilnya dengan sebutan Mbak Yu (sapaan halus untuk kakak perempuan dalam masyarakat Jawa).
Namun situasi berubah total dan kacau setelah peristiwa 30 September 1965 di Jakarta. Orang orang PKI dan simpatisannya ditangkap, disiksa dan dibunuh tanpa ampun.
Putmainah menambahkan bahwa orang-orang yang mengeksekusi orang-orang PKI itu digerakkan oleh tentara. Putmainah juga menyaksikan bahwa orang-orang tersebut itu juga merampas, menjarah dan menguasai harta benda milik orang-orang yang dianggap PKI.
Banyak orang PKI yang memilih menyingkir meninggalkan rumah karena sadar akan nasibnya. Dengan mimik serius, Putmainah mengatakan bahwa saat itu situasi benar-benar tidak jelas, kacau dan mencekam. Sikap saling curiga mencurigai pun berkembang. Bahkan orang yang jelas-jelas bukan anggota atau simpatisan PKI pun bisa dibunuh oleh fitnah dengan latar belakang sengketa bisnis, rebutan perempuan (bahkan ada yang istri atau anak perempuannya diambil paksa), atau hal permusuhan dan dendam lama lainnya.
Nyawa pun sudah tidak ada harganya lagi. Informasi yang berkembang saat itu setiap orang yang membawa kepala orang PKI akan dibayar sebesar Rp 5.000, sebuah nilai yang cukup fantastis waktu itu. Maka tak heran kalau ia melihat banyak orang yang mengarak kepala orang yang dianggap sebagai orang komunis.
Terhadap orang-orang tersebut, Putmainah mengaku tidak menyimpan dendam karena ia menganggap bahwa mereka itu sebenarnya juga korban politik adu domba.
Putmainah juga memilih menyelamatkan diri dengan membawa serta anak-anaknya yang masih kecil. Sejumlah orang merusak tempat tinggalnya. Namun kemudian aa tertangkap dalam keadaan hamil tua di sebuah gua persembunyian wilayah Blitar selatan. Kemudian tanpa diadili ia dijebloskan ke dalam penjara wanita Plantungan, Semarang selama bertahun-tahun
Sedangkan suami Putmainah, Soebandi, yang merupakan Ketua Fraksi PKI di DPRD Kota Blitar sekaligus Ketua Front Nasional Blitar, tidak diketahui kabarnya. Soebandi juga merupakan tentara yang berdinas di Batalion 29 Blitar. Beberapa hari sebelum kejadian 30 September 1965, Soebandi berangkat ke Jakarta untuk memenuhi undangan persiapan Kongres PKI.
Putmainah tidak pernah tahu pasti apakah suaminya turut terbunuh atau saat ini masih hidup. Ia mengenang bahwa suaminya adalah seorang pendiam, tidak bisa berpidato, namun merupakan seorang konseptor politik yang baik.
Putmainah mengaku beruntung karena hidup di era kekuasaan 7 Presiden Republik Indonesia dari era Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo. Ia masih berharap terciptanya tatanan masyarakat Indonesia yang adil makmur. Menurutnya, keadilan kesejahteraan belum ada serta yang patut digarisbawahi adalah belum ada penghargaan bagi sesama yang ditandai dengan seringnya muncul konflik horizontal sesama masyarakat.
"Masih banyak yang ingin makmur sendiri. Penghargaan sesama manusia juga belum ada. Semoga saya masih diberi kesempatan hidup untuk melihat semua itu datang", tutupnya.
Gerwani pun memang menarik untuk ditelaah. Konon, sebelum dan saat penculikan para jenderal Angkatan Darat, para wanita anggota Gerwani, sukarelawan Pemuda Rakyat dan para pelaku penculikan melakukan pesta (seks) gila-gilaan di Lubang Buaya yang kemudian hari dikenal sebagai "Pesta Harum Bunga". Namun dari berbagai kesaksian yang termuat dalam literatur, sebenarnya tidak ada kegiatan tersebut.
Mana yang benar, wallahualam. Semoga suatu saat, cepat atau lambat dengan rahmat dan lindungan Tuhan Yang Maha Esa, tabir mengenai Peristiwa G30S dapat segera terungkap. Dalam tulisan saya berikutnya, saya akan memuat kesaksian almarhum ayah saya yang menjadi saksi mata keganasan gerombolan PKI Muso yang memberontak di Madiun pada tahun 1948, dimana ayah saya beserta anggota keluarganya nyaris menjadi korban keganasan gerombolan keji tersebut.
(Tempo, Okezone, dan sumber-sumber pustaka lain)
Seorang nenek tua bernama Putmainah (87 tahun) yang duduk di kursi roda dan tinggal di Desa Pakisrejo, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur yang dulunya merupakan Ketua Gerwani Blitar mendadak tersentak ketika ditanyakan mengenai keterlibatan CIA dalam tragedi 30 September 1965.
Putmainah (berkursi roda), mantan Ketua Gerwani Blitar dan anggota DPRGR Blitar dari Fraksi PKI. Ia merupakan keturunan langsung seorang Kyai yang berperang bersama Pangeran Diponegoro |
Nenek tua ini nyaris lumpuh total semenjak terkena serangan stroke. Tangan kirinya tak bisa digerakkan. Dari jari hingga pangkal lengan layu tak bertenaga. Begitu juga dengan kondisi kaki kirinya yang lumpuh dan mati rasa.
Ia mengatakan dengan gamblang bahwa CIA dan Amerika jelas-jelas terlibat dalam peristiwa 30 September 1965.
Diketahui pula bahwa Amerika Amerika memberi info intelijen mengenai nama orang-orang komunis kepada TNI Angkatan Darat. Juga disebutkan pula bahwa ada kucuran dana Rp50 juta dari Duta Besar Amerika, Marshall Green, kepada gerakan Gestapu di Indonesia. Tidak heran dalam pidatonya, Presiden Soekarno melontarkan sindiran bahwa abad ke-20 adalah abad intervensi.
Putmainah yang walau sudah tua namun daya ingatnya masih tajam ini dengan tegas mengatakan bahwa Amerika menggunakan tangan militer Indonesia untuk menumpas PKI. Ia juga membeberkan bahwa sebelum para aktivis, simpatisan PKI dan organisasi sayapnya dibunuh, ditangkap, disiksa, dan dipenjara tanpa diadili, di masyarakat muncul bantuan kitab suci Al Quran.
Disinyalir kuat Al Quran tersebut berasal dari agen rahasia CIA. Kitab suci-kitab suci tersebut dibagikan secara gratis dan merata secara pondok-pondok pesantren, para kiai serta pemuka agama di desa-desa.
Putmainah mengatakan bahwa operasi untuk "mengambil hati" kelompok-kelompok yang anti PKI itu adalah tentara (militer). Dengan tegas Putmainah mengatakan. "Saya tahu, karena ayah saya seorang haji dan mendapatkan Al Quran bantuan Amerika itu,"
Ayah Putmainah, yaitu Haji Mansyur adalah pemuka yang disegani di desanya. Putmainah menuturkan bahwa ayahnya dikenal sebagai tokoh Sarekat Islam (SI) Merah yang kemudian berganti nama Sarekat Rakyat.
Haji Mansyur merupakan putra sulung KH Abdurrahman yang juga keturunan langsung penyebar Islam Sunan Tembayat Jawa Tengah. KH Abdurrahman merupakan salah satu laskar prajurit Pangeran Diponegoro. Bersama sang Pangeran ini, KH Abdurrahman memerangi Belanda.
Putmainah menceritakan bahwa Haji Mansyur pernah ditahan oleh Belanda karena terlibat peristiwa pemberontakan PKI tahun 1926. Bukan cuma itu, Haji Mansyur juga terlibat aktif dalam pemberontakan PKI Madiun 1948 yang dipimpin Muso dan membuatnya ditangkap kemudian dijebloskan ke dalam penjara.
Putmainah mengaku bahwa dirinya mengenal ajaran dan azas-azas komunisme dari sang ayah. Dari sang ayah ia belajar bagaimana menggunakan azas-azas komunisme untuk membela rakyat tertindas dan berusaha adil sejak dalam pikiran. Ia mengenang ayahnya sebagai seseorang yang mampu menggelorakan massa dalam berpidato, sama seperti Bung Karno walaupun levelnya masih jauh dibawah Bung Karno.
Oleh karena itu, agar anaknya bisa memperdalam komunisme secara menyeluruh, Haji Mansyur menitipkan Putmainah kepada Umi Sarjono seorang tokoh Gerwani yang menjadi guru dan pelatih komunisnya pertama kali. Atas inisiatif Umi Sarjono, Putmainah ditempatkan di rumah Ny Wardoyo, kakak kandung Bung Karno yang berdomisili di Istana Gebang Kota Blitar.
Nah, pelajaran-pelajaran dan pelatihan komunisme itulah yang kemudian mengantarkan Putmainah menjadi tokoh Gerwani yang disegani sekaligus anggota DPRGR Kabupaten Blitar dari Fraksi PKI.
Kembali ke pokok masalah kesaksian Putmainah mengenai keterlibatan CIA dalam peristiwa G30S. Selain Al Qur'an, Amerika melalui CIA juga terlibat dalam pemberian bantuan dana pembangunan rumah ibadah seperti surau dan mushola. Banyak mushola diperbaiki dan dibangun secara serentak bersamaan dengan bantuan kitab suci. Praktek agitasi yang dilakukan Amerika kepada kelompok-kelompok agama berlanjut pada politik adu domba.
Kelompok agama, yakni NU dan Ansor dihasut dan dibenturkan dengan PKI dan organisasi sayapnya, seperti BTI, SOBSI, Lekra, Gerwani dan Pemuda Rakyat.
Organisasi buruh SOBSI (PKI) dihadapkan dengan Sarbumusi (NU). BTI dibenturkan dengan Pertanu, Lekra dengan Lesbumi, Gerwani dengan Fatayat dan Muslimat, IPPI dengan IPNU dan IPPNU, CGMI dengan PMII, serta Pemuda Rakyat dengan GP Ansor.
Setelah Partai Masyumi bubar dan PNI pecah, yang sanggup menandingi PKI sebagai pemenang pemilu keempat hanya NU. Praktis hanya tinggal NU sebagai partai terbesar ketiga pemenang pemilu (1955).
Putmainah mengatakan dengan getir, padahal hubungan PKI dengan NU, khususnya di Blitar tidak pernah terjadi gesekan dan polemik. Putmainah pun menceritakan bahwa selama menjabat anggota DPRGR Kabupaten Blitar, dia bersahabat cukup dekat dengan para wakil NU di parlemen tersebut.
Putmainah menyebut nama Kayubi sebagai salah satu orang NU yang menjadi kawannya selama bekerja di legislatif. Sayangnya, ia mengaku tidak ingat apakah Kayubi yang dimaksud adalah Zaenudin Kayubi, penggagas sekaligus pendiri Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU.
Sejarah mencatat bahwa Banser didirikan pertama kali di Blitar pada tanggal 14 April 1964. Putmainah mengenang, sebagai anggota parlemen ia sering turun ke bawah dengan berboncengan dengan Kayubi. Kayubi selalu memanggilnya dengan sebutan Mbak Yu (sapaan halus untuk kakak perempuan dalam masyarakat Jawa).
Namun situasi berubah total dan kacau setelah peristiwa 30 September 1965 di Jakarta. Orang orang PKI dan simpatisannya ditangkap, disiksa dan dibunuh tanpa ampun.
Putmainah menambahkan bahwa orang-orang yang mengeksekusi orang-orang PKI itu digerakkan oleh tentara. Putmainah juga menyaksikan bahwa orang-orang tersebut itu juga merampas, menjarah dan menguasai harta benda milik orang-orang yang dianggap PKI.
Banyak orang PKI yang memilih menyingkir meninggalkan rumah karena sadar akan nasibnya. Dengan mimik serius, Putmainah mengatakan bahwa saat itu situasi benar-benar tidak jelas, kacau dan mencekam. Sikap saling curiga mencurigai pun berkembang. Bahkan orang yang jelas-jelas bukan anggota atau simpatisan PKI pun bisa dibunuh oleh fitnah dengan latar belakang sengketa bisnis, rebutan perempuan (bahkan ada yang istri atau anak perempuannya diambil paksa), atau hal permusuhan dan dendam lama lainnya.
Nyawa pun sudah tidak ada harganya lagi. Informasi yang berkembang saat itu setiap orang yang membawa kepala orang PKI akan dibayar sebesar Rp 5.000, sebuah nilai yang cukup fantastis waktu itu. Maka tak heran kalau ia melihat banyak orang yang mengarak kepala orang yang dianggap sebagai orang komunis.
Terhadap orang-orang tersebut, Putmainah mengaku tidak menyimpan dendam karena ia menganggap bahwa mereka itu sebenarnya juga korban politik adu domba.
Putmainah juga memilih menyelamatkan diri dengan membawa serta anak-anaknya yang masih kecil. Sejumlah orang merusak tempat tinggalnya. Namun kemudian aa tertangkap dalam keadaan hamil tua di sebuah gua persembunyian wilayah Blitar selatan. Kemudian tanpa diadili ia dijebloskan ke dalam penjara wanita Plantungan, Semarang selama bertahun-tahun
Sedangkan suami Putmainah, Soebandi, yang merupakan Ketua Fraksi PKI di DPRD Kota Blitar sekaligus Ketua Front Nasional Blitar, tidak diketahui kabarnya. Soebandi juga merupakan tentara yang berdinas di Batalion 29 Blitar. Beberapa hari sebelum kejadian 30 September 1965, Soebandi berangkat ke Jakarta untuk memenuhi undangan persiapan Kongres PKI.
Putmainah tidak pernah tahu pasti apakah suaminya turut terbunuh atau saat ini masih hidup. Ia mengenang bahwa suaminya adalah seorang pendiam, tidak bisa berpidato, namun merupakan seorang konseptor politik yang baik.
Putmainah mengaku beruntung karena hidup di era kekuasaan 7 Presiden Republik Indonesia dari era Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo. Ia masih berharap terciptanya tatanan masyarakat Indonesia yang adil makmur. Menurutnya, keadilan kesejahteraan belum ada serta yang patut digarisbawahi adalah belum ada penghargaan bagi sesama yang ditandai dengan seringnya muncul konflik horizontal sesama masyarakat.
"Masih banyak yang ingin makmur sendiri. Penghargaan sesama manusia juga belum ada. Semoga saya masih diberi kesempatan hidup untuk melihat semua itu datang", tutupnya.
Gerwani pun memang menarik untuk ditelaah. Konon, sebelum dan saat penculikan para jenderal Angkatan Darat, para wanita anggota Gerwani, sukarelawan Pemuda Rakyat dan para pelaku penculikan melakukan pesta (seks) gila-gilaan di Lubang Buaya yang kemudian hari dikenal sebagai "Pesta Harum Bunga". Namun dari berbagai kesaksian yang termuat dalam literatur, sebenarnya tidak ada kegiatan tersebut.
Salah satu sumber pustaka mengenai Gerwani terbitan Pustaka Kompas, yang cukup menarik untuk dibaca para pecinta sejarah. Bukan promosi lho. |
(Tempo, Okezone, dan sumber-sumber pustaka lain)
menurutku kekejaman PKI dan Orde Baru adalah Takdir Alloh.. Pengadilan paling adil dan final adalah Pengadilan Akherat. Disana akan ada mantan PKI yang disyurga ataupun mantan kader Orde Baru yg disyurga pula. Begitu pula sebaliknya banyak pula orang2 Orde baru yg dineraka ataupun mantan PKI di neraka.
ReplyDeletebuset, masa sih Allah kejam kayak begitu?
ReplyDelete