Pemberontakan PKI Madiun 1948 atau yang dikenal dengan nama lain "Madiun Affair" yang dipimpin oleh Musso yang memproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia hanya berlangsung sebentar saja karena langsung ditumpas oleh TNI.
Pemberontakan mereka hanya bisa bertahan selama 12 hari saja sejak 18 September sampai 30 September 1948. Orang-orang komunis dari Partai Komunis Indonesia/Front Demokrasi Rakyat (FDR) bisa ditumpas oleh pasukan gabungan TNI dari Divisi III Siliwangi, Divisi II pimpinan Kolonel Gatot Soebroto, Divisi I pimpinan Kolonel Soengkono serta pasukan polisi Mobil Brigade (kini Brigade Mobil atau Brimob).
Pemberontakan mereka yang dipimpin Musso dan Amir Sjarifoeddin berhasil menguasai Kota Madiun dan sekitarnya selama 12 hari. Para Pasukan Merah (sebutan lain para PKI ini) pun melakukan pemaksaan, teror dan pembunuhan massal terhadap warga Madiun dan sekitarnya yang tidak mau mengikut mereka. "Pilih Musso atau Soekarno!", begitulah ancaman mereka. Siapapun yang tidak memilih Musso, atau minimal menggelengkan kepala sambil berkata "tidak tahu", atau malah bungkam, maka nyawanya berakhir di ujung bedil para pemberontak ini.
Bagaimana cerita pasukan gabungan yang setia pada Republik ini sampai berhasil kembali menguasai Madiun dan menangkap para gembong pemberontakan beserta para pengikutnya ini?
Setelah pasukan Republik berhasil menguasai Madiun, Musso ternyata hampir berhasil kabur melarikan diri. Caranya untuk lolos sungguh nekat dan sekaligus cerdik. Pada 31 Oktober 1948 Musso terlihat di Desa Balong. Saat itu ia menyamar menjadi rakyat biasa.
Para tentara yang berjaga di desa tersebut sempat curiga dan memberhentikan seseorang yang belakangan diketahui adalah Musso, sang gembong pemberontak agar menunjukkan surat-surat keterangan. Saat barang bawaannya diperiksa, Musso merampas pistol seorang tentara dan menembak tentara yang memeriksa. Lalu ia kabur dengan naik dokar milik warga setempat yang ia jarah.
Tentara pun lantas mengejar Musso. Belum cukup sampai disitu, dalam pelariannya Musso malahan berbuat lebih nekat lagi. Ia menodong seorang prajurit anggota pasukan TNI dan merampas mobilnya. Sialnya, mobil tersebut tak bisa distarter dan prajurit yang sebelumnya ditodong, balik menodong Musso.
Namun Musso malahan menghardik sang prajurit dan membuatnya semaput. “Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani minta saya menyerah? Lebih baik saya mati dari pada menyerah. Walaupun bagaimana, saya tetap merah putih,”. Alhasil, Musso pun bisa kembali lolos. Ia melarikan diri ke Desa Semanding, Kecamatan Sumoroto di Ponorogo, Jawa Timur. Di desa ini, Musso bersembunyi di sebuah kamar mandi/WC umum yang berdinding bilik bambu. Ia terkepung di tempat sempit tersebut.
Tanpa ampun, pasukan TNI langsung saja memberondong WC umum tersebut dengan gencar. Peluru tentara membuat Musso ambruk namun masih juga belum tewas. Tentara lalu membawa tubuh Musso yang kekar dan berat itu dengan menggotongnya menggunakan tangga bambu.
Lalu apa yang terjadi dengan tubuh Musso tersebut, karena sampai detik ini kita tak pernah mengetahui kabarnya? Inilah yang sebenarnya terjadi.
Saat para tentara menggotong tubuh Musso, tangga yang digunakan untuk menggotongnya mendadak patah. Akhirnya tubuh Musso yang masih bernyawa pun diseret saja dari tempat tersebut ke Alun-alun Kabupaten Ponorogo dengan menggunakan karung goni.
Di alun-alun, Musso yang ternyata sudah tewas jenazahnya difoto sebagai bukti kalau jenazah tersebut benar-benar adalah Musso. Jenazah tersebut pun dipertontonkan kepada orang banyak yang berkumpul disitu.
Apakah setelah itu jenazahnya dimakamkan? Tidak! Setelah dipertontonkan ke masyarakat, jenazah Musso tidak dikuburkan, tetapi langsung dibakar di alun-alun tersebut. Abu jenazahnya ditinggalkan dan dibiarkan berserakan begitu saja di alun-alun.
Mengapa tentara tidak memakamkan jenazah Musso? Ternyata tentara mempunyai pertimbangan kebijaksanaan khusus, yaitu demi alasan keamanan.
Apabila jenazah Musso dimakamkan dan lokasi makamnya diketahui, maka bisa jadi simbol untuk dipuja-puja pendukungnya kelak. Jenazah Musso harus dibakar karena pada saat itu diyakini banyak gembong dan anggota-anggota serta simpatisan PKI (yang masih hidup) punya ilmu kanuragan (ilmu kebal) dan salah satu cara untuk memusnahkan mereka adalah dengan cara dibakar.
Lalu bagaimana nasib Amir Sjariffoedin yang juga berhasil ditangkap oleh pasukan TNI?
Kolonel Gatot Soebroto memutuskan agar Amir ditembak saja walaupun Bung Karno melarangnya dan bersedia memberikan ampunan apabila bertobat dan kembali setia kepada Republik. Amir pun dieksekusi pasukan TNI pada 18 Desember 1948 bersamaan dengan Agresi Militer Belanda yang ke-2 di Yogyakarta.
Alasannya adalah rasa ketidakpercayaan dan kekesalan para tentara yang pada saat bersamaan (saat menumpas para pemberontak ini) pun juga harus mati-matian bertempur melawan Belanda, apabila Amir dibiarkan hidup maka dikhawatirkan ia akan diam-diam membelot kepada Belanda. Hal ini sungguh masuk akal dan sudah melalui perhitungan matang karena Amir merupakan politikus ulung.
Belum lagi tentara merasa kecewa karena Amir yang diutus pemerintah dalam Perundingan Renville pada 8 Desember 1947 malahan (entah disengaja atau tidak) membawa kekalahan dalam perundingan tersebut yang hasilnya amat merugikan Republik Indonesia dan TNI, khususnya Divisi Siliwangi.
Walau PKI sudah luluh lantak ditumpas TNI, namun di kemudian hari D.N. Aidit berhasil membangkitkan PKI dari kuburnya, menjadi partai besar dan kembali memberontak.
(istimewa)
Pemberontakan mereka hanya bisa bertahan selama 12 hari saja sejak 18 September sampai 30 September 1948. Orang-orang komunis dari Partai Komunis Indonesia/Front Demokrasi Rakyat (FDR) bisa ditumpas oleh pasukan gabungan TNI dari Divisi III Siliwangi, Divisi II pimpinan Kolonel Gatot Soebroto, Divisi I pimpinan Kolonel Soengkono serta pasukan polisi Mobil Brigade (kini Brigade Mobil atau Brimob).
Pamflet seruan Pemerintah RI untuk gerombolan PKI Musso yang disebarkan sebelum TNI melakukan penumpasan |
Mereka ini adalah para anggota gerombolan pemberontak dibawah pimpinan Musso |
Ini adalah para anggota pasukan PKI Madiun yang berhasil ditangkap oleh pasukan TNI |
Para tentara yang berjaga di desa tersebut sempat curiga dan memberhentikan seseorang yang belakangan diketahui adalah Musso, sang gembong pemberontak agar menunjukkan surat-surat keterangan. Saat barang bawaannya diperiksa, Musso merampas pistol seorang tentara dan menembak tentara yang memeriksa. Lalu ia kabur dengan naik dokar milik warga setempat yang ia jarah.
Tentara pun lantas mengejar Musso. Belum cukup sampai disitu, dalam pelariannya Musso malahan berbuat lebih nekat lagi. Ia menodong seorang prajurit anggota pasukan TNI dan merampas mobilnya. Sialnya, mobil tersebut tak bisa distarter dan prajurit yang sebelumnya ditodong, balik menodong Musso.
Namun Musso malahan menghardik sang prajurit dan membuatnya semaput. “Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani minta saya menyerah? Lebih baik saya mati dari pada menyerah. Walaupun bagaimana, saya tetap merah putih,”. Alhasil, Musso pun bisa kembali lolos. Ia melarikan diri ke Desa Semanding, Kecamatan Sumoroto di Ponorogo, Jawa Timur. Di desa ini, Musso bersembunyi di sebuah kamar mandi/WC umum yang berdinding bilik bambu. Ia terkepung di tempat sempit tersebut.
Tanpa ampun, pasukan TNI langsung saja memberondong WC umum tersebut dengan gencar. Peluru tentara membuat Musso ambruk namun masih juga belum tewas. Tentara lalu membawa tubuh Musso yang kekar dan berat itu dengan menggotongnya menggunakan tangga bambu.
Foto passport asli milik Musso yang ia gunakan untuk keluar masuk Republik |
Saat para tentara menggotong tubuh Musso, tangga yang digunakan untuk menggotongnya mendadak patah. Akhirnya tubuh Musso yang masih bernyawa pun diseret saja dari tempat tersebut ke Alun-alun Kabupaten Ponorogo dengan menggunakan karung goni.
Di alun-alun, Musso yang ternyata sudah tewas jenazahnya difoto sebagai bukti kalau jenazah tersebut benar-benar adalah Musso. Jenazah tersebut pun dipertontonkan kepada orang banyak yang berkumpul disitu.
Apakah setelah itu jenazahnya dimakamkan? Tidak! Setelah dipertontonkan ke masyarakat, jenazah Musso tidak dikuburkan, tetapi langsung dibakar di alun-alun tersebut. Abu jenazahnya ditinggalkan dan dibiarkan berserakan begitu saja di alun-alun.
Ini jenazah Musso yang difoto di Alun-alun Ponorogo sebelum dibakar ditempat itu juga |
Apabila jenazah Musso dimakamkan dan lokasi makamnya diketahui, maka bisa jadi simbol untuk dipuja-puja pendukungnya kelak. Jenazah Musso harus dibakar karena pada saat itu diyakini banyak gembong dan anggota-anggota serta simpatisan PKI (yang masih hidup) punya ilmu kanuragan (ilmu kebal) dan salah satu cara untuk memusnahkan mereka adalah dengan cara dibakar.
Lalu bagaimana nasib Amir Sjariffoedin yang juga berhasil ditangkap oleh pasukan TNI?
Amir Sjariffoeddin (berkacamata) saat ditangkap oleh Pasukan Siliwangi |
Alasannya adalah rasa ketidakpercayaan dan kekesalan para tentara yang pada saat bersamaan (saat menumpas para pemberontak ini) pun juga harus mati-matian bertempur melawan Belanda, apabila Amir dibiarkan hidup maka dikhawatirkan ia akan diam-diam membelot kepada Belanda. Hal ini sungguh masuk akal dan sudah melalui perhitungan matang karena Amir merupakan politikus ulung.
Belum lagi tentara merasa kecewa karena Amir yang diutus pemerintah dalam Perundingan Renville pada 8 Desember 1947 malahan (entah disengaja atau tidak) membawa kekalahan dalam perundingan tersebut yang hasilnya amat merugikan Republik Indonesia dan TNI, khususnya Divisi Siliwangi.
Walau PKI sudah luluh lantak ditumpas TNI, namun di kemudian hari D.N. Aidit berhasil membangkitkan PKI dari kuburnya, menjadi partai besar dan kembali memberontak.
(istimewa)