Sunday, December 19, 2021

Siskaeee: Antara Ekshibisionisme vs Ekshibionistik

Video seorang wanita yang beken dengan nama Siskaeee mempertontonkan organ intimnya di sudut Bandara International Yogyakarta viral di media sosial pada akhir November 2021. Sang membuat video yang mempunyai nama asli FCN (23 tahun) sudah ditangkap oleh aparat kepolisian dengan sangkaan melakukan kejahatan cyber atas perilaku melanggar kesusilaan.

FCN alias Siskaeee sudah lama mengunggah konten pornografi sejak tahun 2017. Konten itu diunggah di 7 akun media sosial dan situs berbayar miliknya hingga menyebar ke berbagai grup percakapan. Dampaknya, sosok Siskaeee dikenal oleh warganet khususnya mereka yang berstatus pemburu "konten pemersatu bangsa". Berdasarkan hasil penyelidikan Polda DIY, Siskaeee memperoleh pendapatan miliaran Rupiah dari hasil memproduksi dan distribusi video pornografi dirinya sendiri melalui dunia maya.

Selain motif ekonomi, Siskaeee memiliki kecenderungan bertindak tak senonoh dengan mempertontonkan alat kemaluannya kepada orang lain atau ekshibisionis. Tindakan itu dilakukan di berbagai tempat mulai kamar kos, hotel, pusat kebugaran, toilet pesawat, hingga tempat yang lebih terbuka seperti mall, supermarket, tempat parkir, toko buku hingga rest area jalan tol.

Salah satu konten Siskaee yang masih terbilang "sopan" yang beredar di media sosial. Ternyata dia punya banyak konten tak senonoh yang dia buat saat di Yogyakarta


Meski demikian, pelaku ekshibisionis belum tentu memiliki gangguan seksual ekshibionistik. Penegakan diagnostik perlu dilakukan karena bisa mempengaruhi hukuman ataupun terapi yang tepat untuk pelaku.


Berbeda

Peneliti Psikologi Forensik dan dosen Psikologi Klinis Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Margaretha, mengatakan perilaku ekshibisionis atau disebut ekshibisionisme berbeda dengan gangguan seksual ekshibionistik. Meski sama-sama menampilkan bagian intim tubuh, keduanya memiliki tujuan dan motif yang berbeda.

"Perilaku ekshibisiosnis dengan menampilkan bagian tubuh pribadi seperti pantat, payudara, atau alat kelamin maupun orang yang telanjang di tempat umum bisa saja dilakukan untuk mendapat perhatian orang lain atau memprotes satu hal," katanya.

Sementara pada penderita gangguan ekshibionistik, perilaku ekshibisionis kepada orang yang tidak dikenal di tempat umum dilakukan demi mendapat kepuasan seksual, bukan sekadar ingin ditonton atau ingin dilihat orang lain. Tanpa melakukan hal itu, mereka sulit untuk mengembangkan fantasi seksual dan mencapai orgasme. Jika perilaku ekshibisionis itu tidak dilakukan, penderita akan mengalami distres karena kebutuhan seksualnya tidak terpenuhi.

Gangguan ekshibisionistik merupakan salah satu bentuk gangguan parafilia atau penyimpangan seksual. penderitanya cenderung menutup jati dirinya, bukan malah memamerkan identitas atau sosoknya di tempat umum. Intensitas dorongan seksual yang muncul juga sama seperti masyarakat umum, tidak setiap hari, sepanjang tidak memiliki gangguan hiperseksual.

Screenshot adegan video Siskaeee saat berbuat tak pantas kepada ojek online pengantar makanan yang viral di aplikasi Whatsapp. Beruntung driver ojol tersebut langsung pergi (karena jijik) melihat perilaku Siskaeee. 


Kondisi itu berbeda dengan orang yang berlaku ekshibisionis demi mendapatkan uang atau menjadikannya sebagai pekerjaan. Mereka bisa melakukan tindakan itu tiap hari dan melengkapi diri dengan sejumlah alat kerja untuk merekam untuk mengunggah foto dan videonya. Respon positif penonton adalah energi yang mendorong mereka untuk terus melakukannya.

Peneliti perilaku seksual dan dosen Psikologi Universitas Gunadarma, Depok, Wahyu Rahardjo, menambahkan, gangguan ekshibisionistik umumnya ditemukan pada laki-laki karena penyimpangan itu trekant hormon testosteron. Kelainan itu membuat penderitanya kewalahan mengelola dan menyalurkan hasrat seksualnya secara sehat sesuai norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Karena terkait hormon testosteron, ekshibionistik pada perempuan jarang ditemukan. Literatur yang menjelaskannya pun juga terbatas. Charles S Grob dalam publikasinya di The Journal of Nervous and Mental Disease, pada Mei 1985 yang mempelajari kasus tunggal menyebut ekshibionistik pada perempuan dipicu rasa tertolak dan ketidakmampuan mengembangkan hubungan empatik. Penderita cenderung menggantungkann harga dirinya pada kesuksesan profesinya. Saat kehilangan pekerjaan, dia berusaha mengompensasinya dengan berlaku ekshibisionis demi tetap mendapat pengakuan orang lain.

 Namun, "Jika dorongan ekonomi lebih mendominasi, apa yang dilakukan pelaku ekshibisionis perempuan itu tidak berbeda dengan yang dilakukan model-model di majalah atau film dewasa," kata Wahyu.


Respons berbeda

Pengungkapan kasus ekshibisionisme FCN alias Siskaeee menimbulkan respons yang ramai di kalangan netizen. Mereka yang merespons positif umumnya laki-laki karena menyayangkan penangkapan tersebut. Banyak laki-laki dewasa sudah lama mengenal Siskaeee dan menjadikannya sebagai hiburan. Bahkan konten-konten yang diproduksi Siskaeee mereka juluki sebagai konten "pemersatu bangsa" karena bisa mempersatukan bangsa Indonesia yang terpecah belah oleh SARA dan pilihan politik.

Respons positif kaki-laki itu tidak muncul saat pengungkapan kasus ekshibisionisme di Stasiun Sudirman, Jakarta, pada Oktober 2021 yang pelakunya adalah laki-laki. Saat itu, respons terbesar justru ditunjukkan netizen perempuan yang merasa geram dengan tindakan pelaku, berbagi dukungan, hingga saling memberi tips agar tidak menjadi korban tindakan ekshibisionis.

Menurut Wahyu, respons berbeda netizen terhadap kasus ekshibisionisme laki-laki dan ekshibisionisme perempuan itu terjadi karena laki-laki mudah terangsang secara visual, sedangkan perempuan peka terhadap rangsangan bau. Karena itu, laki-laki heteroseksual akan cenderung bersikap positif saat melihat perilaku ekshibisionis perempuan.

Sementara terhadap perilaku ekshibisionis laki-laki, laki-laki heteroseksual akan cenderung merasa jijik dan bisa jadi marah karena merasa dilecehkan. Mereka cenderung membela perempuan yang jadi korban.

"Persoalan budaya turut mempengaruhi. Hegemoni maskulinitas membuat laki-laki merasa lebih superior dan menjadi penikmat, sedangkan perempuan di posisi submisif yang melayani," tambahnya.

Margaretha menambahkan beda respons laki-laki dan perempuan terhadap kasus ekshibisionisme laki-laki dan perempuan itu merupakan konsekuensi dari obyektivikasi seksual perempuan dalam masyarakat.

No comments:

Post a Comment