Hari-hari menjelang 30 September 1965 bukan hanya isu seputar penculikan sejumlah jenderal ABRI yang membuat camas. Selama berbulan-bulan menjelang hari kelam itu, AS dicemaskan oleh ambisi nuklir Bung Karno. Presiden pertama RI itu disebut mendekati China, Uni Soviet sampan Perancis untuk membuat Indonesia bisa membuat bom atom.
Kecemasan Washington pada ambisi nuklir Bung Karno sudah menumpuk bertahun-tahun. Pada Juli 1965 kecemasan itu memuncak. "Insya Allah dalam maktu dekat ini kita akan berhasil membuat bom atom sendiri. Bom atom itu bukan akan kita gunakan untuk mengagresi bangsa atau negara lain, tetapi sekadar untuk menjaga kedaulatan tanah air kita dari gangguan-gangguan tangan jahil. Bila kita diganggu, seluruh rakyat Indonesia akan maju ke depan dan menggerakkan seluruh senjata yang ada pada kita," kata Bung Karno dalam Muktamar Muhammadiyah pada 24 Juli 1965 di Bandung, Jawa Barat.
Dalam laporan pada 28 Juli 1965, surat kabar Angkatan Bersenjata malah mengutip pernyataan Direktur Pengadaan Senjata AD Brigadir Jenderal Hartono. Ia menyebutkan, uji coba bom atom Indonesia akan digelar pada Oktober 1965.
Pidato Bung Karno di Bandung disampaikan hampir sebulan setelah Badan Pusat Intelijen AS (CIA) mengirimkan memo dari Jakarta ke Washington. Dalam memo pada Juni 1965 itu diungkap upaya CIA melacak daerah-daerah yang mungkin menjadi lokasi peluncuran rudal darat ke Utara (SAM) di sekitar Jakarta. CIA curiga, Uni Soviet akan menempatkan rudalnya di sekitar Jakarta. Dalam memo pada Desember 1965, CIA memfokuskan pencarian lokasi peluncuran rudal itu di sekitar Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.
Menggandeng semua
CIA wajar curiga karena Bung Karno tidak menutupi kedekatan Indonesia dengan Uni Soviet dan China. Pada saat bersamaan, Bung Karno juga mendekati AS. Bung Karno bisa membujuk Presiden AS Dwight D Eisenhower menghibahkan 350.000 dollar AS untuk membangun reaktor mini di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada periode hampir bersamaan, Bung Karno juga membujuk Sekretaris Pertama Partai Komunis Uni Soviet, Nikita Khrushchev membantu Indonesia membangun reaktor tambahan. Reaktor bantuan Moskwa itu sampai sekarang masih beroperasi di Serpong, Banten.
Adapun dalam memo CIA pada 29 September 1965 terungkap Bung Karno juga mendekati Beijing agar China mau membantu Indonesia mengembangkan bom atom. Pendekatan dilakukan setelah China meledakkan bom atom pertamanya pada 16 Oktober 1964, sehari sebelum Indonesia sukses menguji reaksi nuklir di reaktor ITB.
Sayangnya, China menolak itu. Dalam lawatan ke Jakarta pada September 1965, Menteri Luar Negeri China Chen Yi mengatakan bahwa Beijing ingin melihat bangsa-bangsa Asia dan Afrika mengembangkan sediri kemampuan membuat bom atom. Pernyataan itu menyiratkan keengganan China membantu Indonesia mengembangkan teknologi senjata nuklir. Menurut laporan CIA pada September 1965, ada beberapa penyebab China tidak mau berbagi teknologi nuklir dengan Indonesia.
Pertama, China tidak yakin Indonesia akan terus dekat apabila masa kekuasaan Bung Karno berakhir. Kedua, China pun tidak punya cukup bahan baku untuk membuat bom atom. Karena itu, sulit bagi China membagikan bahan baku terbatas itu ke negara lain. Masalah lain adalah China khawatir Indonesia berkembang menjadi terlalu kuat dan menjadi pressing China.
Dengan bantuan Uni Soviet, Indonesia pada awal dekade 1960-an memang menjadi salah satu negara terkuat secara militer. Aneka kapal perang dan pesawat tempur modern buatan Soviet membuat ABRI kuat di udara dan laut.
Jalan terus
Meski terkesan ada penolakan Beijing, kerja sama pengembangan nuklir jalan terus. Setidaknya hal itu berdasarkan pernyataan Menteri Tenaga Atom Nasional Dr. Gerrit A Siwabessy. Di sela-sela konferensi Asosiasi Tenaga Atom Internasional (IAAA) di Tokyo pada September 1965, Siwabessy menyebut Indonesia sedang bekerja sama dengan China untuk mengembangkan teknologi nuklir. Dengan bantuan China, ia meyakini Indonesia akan bisa membuat reaktor sendiri pada dekade 1970-an.
Menteri Tenaga Atom Nasional Dr. Gerrit Augustinus Siwabessy |
Pada Februari 1965, Brigadir Jenderal Hartono malah membuat pengumuman lebih mengejutkan. Ia menyebutkan 200 peneliti sedang berupaya membuat bom atom yang akan diledakkan pada 5 Oktober 1965 atau pada perayaan HUT ABRI.
Pengumuman itu diragukan Australia, Malaysia dan tentu saja AS. Sebab Indonesia tidak punya fisikawan maupun peralatan untuk mendukung pembuatan bom atom. Reaktor Triga Mark II di ITB tidak bisa memproduksi Plutonium-239 untuk pembuatan bom atom, bahkan untuk skala uji coba sekalipun.
Meski ragu, Washington serius mendalami pernyataan Hartono. Hal itu antara lain, terungkap dalam laporan Kedutaan Besar AS di Jakarta pada 10 Februari 1965. Dalam laporan pada 29 Juli 1965, Kedubes AS di Jakarta meyakini China membantu Indonesia mengembangkan kemampuan membuat bom atom.
Media AS, The New York Times edisi 25 Agustus 1965 dan media Inggris, The Sunday Times, edisi 12 September 1965 juga melaaporkan kemungkinan China menguji coba bom atom di Indonesia. The Sunday Times mengutip laporan Antara pada 11 September 1965. Dalam berita pada Sabtu 11 September 1965 itu, Antara mengutip sumber intelijen Filipina yang menduga akan ada uji coba bom nuklir di pesisir Papua.
Adapun dalam laporan pada 3 Agustus 1965, Kedubes AS menyebut Brigadir Jenderal Mohammad Sabur terbang ke Paris, Perancis pada 2 Agustus 1965 dengan misi khusus. Sabur yang merupakan Komandan Tjakrabirawa (saat ini adalah Pasukan Pengamanan Presiden atau Paspampres) disebut berusaha membujuk Perancis agar mau berbagi teknologi bom nuklir dengan Indonesia. Bung Karno disebut menyiapkan dana sebesar 800.000 dollar AS untuk membeli perangkat atau bom atom dari Perancis.
Kala berita itu tersiar, Perancis tengah membantu Israel membuat reaktor di Dimona. Sampai sekarang, reaktor Dimona masih menjadi pusat nuklir Israel dan dijaga sangat kesat.
Adapun "Misi Sabur" tidak terlihat wujudnya sampai sekarang. Ambisi Bung Karno agar Indonesia memiliki senjata nuklir punah bersamaan dengan peristiwa 30 September 1965. Peristiwa itu menjadi awal kejatuhan Bung Karno berikut semua mimpi dan ambisinya.
Sumber: Kompas, Sabtu 11 Desember 2021 (halaman 4)
No comments:
Post a Comment