Tuesday, November 3, 2020

Tragedi di Era Khilafah, Demi Kursi Khalifah, Tak Segan-segan Memenggal Leher Cucu dan Cicit Nabi Muhammad SAW

 Dilansir dari NU Online Jatim, setiap tanggal 10 Muharram, sebagian umat Islam memperingati wafatnya Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib. Cucu Nabi Muhammad itu wafat secara tragis pada tahun 61 hijriyah atau saat berusia 58 tahun.

Dalam catatan Prof Nadirsyah Hosen, Sayyidina Husein keluar dari tenda sesaat setelah menunaikan sholat subuh. Ia bergegas dengan menaiki kuda kesayangannya. Beliau menatap pasukan yang tengah mengepungnya. Sebelumnya, pasukan Husein bertempur merangsek menghadapi hujan panah, lembing, tombak, dan ayunan pedang pasukan musuh. Namun, mereka akhirnya tumpas.


Di hadapan 4000 pasukan musuh yang dipimpin Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash, Sayyidina Husen berpidato yang begitu indah dan menyentuh hati.

“Lihatlah nasabku, pandangilah siapa aku ini, lantas lihatlah siapa diri kalian? Perhatikan, apakah halal bagi kalian untuk membunuhku dan mencederai kehormatanku? Bukankah aku ini putra dari anak perempuan Nabimu? Bukankah aku ini anak dari washi dan keponakan nabimu yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabimu? Bukankah Hamzah pemuka para syuhada adalah pamanku? Bukankah Ja’far yang akan terbang dengan dua sayap di surga itu pamanku? Tidakkah kalian mendengar kalimat yang masyhur di antara kalian sendiri bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata tentang saudaraku dan aku, kata baginda Rasul, keduanya adalah pemuka dari pemuda ahli surga”.

Jika kalian percaya dengan apa yang aku sampaikan, dan sungguh itu benar karena aku tak pernah berdusta. Tapi jika kalian tidak mempercayaiku, maka tanyakanlah kepada para sahabat Nabi, Jabir bin Abdullah al-Anshori, Abu Said Al-Khudri, Sahal bin Sa’ad, Zayd bin Aqam, dan Anas bin Malik, yang kesemuanya akan memberi tahu kalian bahwa mereka pun mendengar apa yang Nabi sampaikan mengenai kedudukan saudaraku, dan aku. Tidakkah ini semua cukup menghalangi kalian untuk menumpahkan darahku?”

Menurut penuturan Prof Nadirsyah, kata-kata yang begitu elok dari Sayyidina Husen itu direkam oleh sejumlah kitab dari para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, seperti misalnya Tarikh At-Thabari di jilid ke-5 halaman 425, dan Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wan-Nihayah jilid ke-8 halaman 193.

“Namun, sayangnya, mereka yang telah terkunci hatinya tidak akan tersadar dengan pidato tersebut. Pasukan yang mengepung atas perintah Ubaidillah bin Ziyad itu memaksa lelaki yang bernama Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib untuk mengakui kekuasaan khalifah Yazid bin Mu’awiyah,” ujar Prof Nadisryah melalui video yang diunggah di akun media sosialnya.

“Tidakkah ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bapak-ibu sekalian bahwa pertarungan di masa khilafah itu dulu sampai mengorbankan nyawa seorang cucu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apa masih mau dibilang khilafah itu satu-satunya solusi umat?” tanya Prof Nadirsyah.

Rais Syuriyah PCINU Australia-New Zeland ini menukil bagaimana Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah bercerita tentang Sayyidina Husein yang terbunuh di Karbala pada 10 Muharram atau yang dikenal dengan hari Asyura. Begini penuturan Ibnu Katsir:

“Pasukan memukul kepala Husein dengan pedang hingga berdarah. Husein membalut luka di kepalanya dengan merobek kain jubahnya, dan dengan cepat balutan kain itu terlihat penuh dengan darah Husein. Syimr bin Dzil Jausyan memerintah pasukannya menyerbu Husein. Mereka menyerang dari segala penjuru”.

Ibnu Katsir melanjutkan tulisannya, “yang membunuh Husein dengan tombak adalah Sinan bin Anas bin Khamr dan kemudian dia menggorok leher Husein dan menyerahkan kepala Husein kepada Hawali bin Yazid.” (Kitab Al-Bidayah wan-Nihayah Jilid 8 hlm 204).

Anas melaporkan bahwa ketika kepala Husein yang dipenggal itu dibawa kepada Ubaidillah bin Ziyad, yang kemudian memainkan ujung tongkatnya menyentuh mulut dan hidung Husein. Anas berkata, “Demi Allah sungguh aku pernah melihat Rasulullah mencium tempat engkau memainkan tongkatmu ke wajah Husein ini.” Ibnu Katsir mencatat, 72 orang pengikut Sayyidina Husein yang terbunuh hari itu.

Imam as-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafah mencatat 4.000 pasukan yang mengepung Sayyidina Husein dan keluarganya di bawah kendali Umar bin Sa’ad bin Abiwaqas. Pada hari terbunuhnya Sayyidina Husein, Imam Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafah mengatakan, dunia seakan berhenti selama tujuh hari, mentari merapat laksana kain yang menguning, terjadi gerhana matahari di hari itu. Langit pun terlihat memerah selama enam bulan.

Imam Suyuthi juga mengutip dari Imam At-Tirmidzi yang meriwayatkan kisah dari Salma, yang menemui Ummu Salamah, istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang saat itu masih hidup. Ummu Salamah wafat pada tahun 64 Hijriyah, sementara Sayyidina Husein terbunuh tahun 61 Hijriyah. Salamah bertanya, mengapa engkau menangis? Ummu Salamah menjawab, “Semalam saya bermimpi melihat Rasulullah yang kepala dan jenggot beliau terlihat berdebu. Saya tanya, mengapa engkau wahai Rasul? Rasulullah menjawab, ‘saya baru saja menyaksikan pembunuhan Husein’.

“Begitulah dahsyatnya pertarungan kekuasaan di masa khilafah dulu, mereka tidak segan membunuh cucu Nabi demi kursi khilafah. Apa mereka sangka Rasulullah tidak akan tahu peristiwa ini? Lantas, apakah mereka yang telah membunuh Sayyidina Husein kelak masih berharap mendapat syafaat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di padang mahsyar? Dalam kisah yang memilukan ini sungguh ada pelajaran untuk kita semua,” pungkas Prof Nadirsyah.

Dalam tragedi karbala itu, Ali Azghar, anak Sayyidina Husein yang baru berusia enam bulan juga terbunuh. Cicit Nabi Muhammad itu dibunuh Hurmala dengan melepas anak panah bermata tiga ke leher sang bayi sebelum abahnya, Sayyidina Husein meminta air untuk bayinya yang kehausan itu.

Sumber: NU Online Jawa Timur

No comments:

Post a Comment