Hingga saat ini, peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) adalah tragedi nasional yang paling kontroversial dan tidak akan pernah dilupakan oleh bangsa Indonesia.
Dalam peristiwa itu, enam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD menjadi korban. Bahkan Ade Irma Suryani, putri Jenderal TNI AH Nasution juga menjadi korban.
Selama bertahun-tahun, sekolah mengajarkan peristiwa itu adalah kudeta atau pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Buku Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Seri IV yang diterbitkan oleh Departemen Sosial RI Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan 1994-1995 mengemukakan alasan PKI menculik dan membunuh para jenderal.
Dimulai dengan menculik dan kemudian membunuh pejabat-pejabat teras Angkatan Darat untuk melumpuhkan angkatan ini. Selanjutnya diterangkan alasan penculikan tersebut, yaitu dalam penilaian PKI, Angkatan Darat harus dilumpuhkan terlebih dahulu. Sebab Angkatan Darat dianggap sebagai lawan utama mereka. Begitulah narasi pemerintah Orde Baru melalui berbagai buku dan film.
Namun fakta sejarah mengungkap bukan itu yang sebenarnya terjadi. Untuk mengetahui kenapa para jenderal diculik dan dibunuh, maka kita harus menyimak kesaksian pelakunya terlebih dahulu.
Siapa pelaku G30S?
PKI dianggap sebagai dalang dari penculikan dan pembunuhan para jenderal. Setelah peristiwa G30S, ribuan orang ditangkap bahkan dibunuh tanpa diadili karena dituduh PKI.
Mereka yang pernah diadili, mengungkapkan peristiwa G30S tidak bisa dilihat sebagai dosa tunggal PKI. Salah satunya, Kolonel Abdul Latief yang kala itu menjabat Komandan Garnisun Kodam Jaya. Ia divonis mati dan akhirnya menghabiskan 32 tahun di penjara karena keterlibatannya dalam G30S. Dalam kesaksiannya, Latief mengatakan penculikan para jenderal adalah inisiatifnya bersama rekan-rekannya sesama perwira militer, yakni Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa) dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim).
Rapat persiapan gerakan bahkan dilakukan sampai sepuluh kali. Lokasinya pun berganti-ganti, yaitu di rumah Sjam Kamaruzaman, Kolonel Latief, atau kediaman Kapten Wahyudi. Dalam rencana itu, ada Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus (BC) PKI yang merupakan badan intelijen PKI.
Daftar Jenderal yang jadi sasaran disusun oleh Sjam bersama para perwira militer. Sasaran operasi terbatas PKI baru ditentukan pada 26 September 1965. Tim pelaksana menentukan ada 10 tokoh antikomunis yang harus "diamankan".
Daftar nama-nama tokoh yang rencananya menjadi sasaran G30S adalah:
1. Jenderal TNI AH Nasution
2. Letnan Jenderal Ahmad Yani
3. Mayor Jenderal Raden Soeprapto
4. Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono
5. Mayor Jenderal Siswondo Parman
6. Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan
7. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo
8. Wakil Presiden Mohammad Hatta
9. Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh
10. Jenderal Soekendro
Namun, pada saat-saat terakhir, Ketua Central Committee (CC) PKI, DN Aidit mencoret tiga nama terakhir.
Apa yang menyebabkan mereka menculik para Jenderal?
Peristiwa G30S dipicu dari kabar burung yang mengatakan adanya sekelompok Jenderal atau Dewan Jenderal yang hendak mengudeta Presiden Sukarno.
Mengutip Jenderal TNI Anumerta Basoeki Rachmat dan Supersemar (2008) karya Dasman Djamaluddin, sebelumnya PKI telah melancarkan isu bahwa Dewan Jenderal akan merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno dengan memanfaatkan pengerahan pasukan dari daerah yang didatangkan ke Jakarta dalam rangka peringatan HUT ABRI pada 5 Oktober 1965.
Menurut sumber tersebut, isu Dewan Jenderal yang akan melakukan kegiatan politik, melakukan coup (kudeta) terhadap negara dan bangsa tidak benar. Yang ada hanyalah Wanjakti (Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi Angkatan Darat). Tugasnya adalah membahas kenaikan pangkat dan jabatan dari Kolonel ke Brigjen dan dari Brigjen ke Mayjen dan seterusnya.
Apakah mereka berniat menghabisi para Jenderal?
Dalam buku Mengapa G30S/PKI Gagal?: Suatu Analisis (2004) karya Samsudin, Latief mengaku bahwa Jenderal-jenderal itu dibunuh atas perintah Syam. Syam duduk dalam pimpinan intel Cakrabirawa.
Sebenarnya dalam perundingan tidak ada rencana untuk membunuh para Jenderal. Pada awalnya, niat mereka untuk membawa para jenderal menghadap kepada Presiden/Pangti Soekarno di Istana.
Pelaksanaannya adalah Resimen "Cakrabirawa" yang dikomandoi Letkol Untung. Dalam G30S, Fakta atau Rekayasa? (2013) karya Julius Pour, Untung membagi eksekutor ke dalam tiga satuan tugas. Satgas Pasopati pimpinan Letnan I (Inf) Abdul Arief dari Resimen Tjakrabirawa bertugas menangkap tujuh Jenderal yang jadi sasaran. Satgas Bimasakti dipimpin Kapten (Inf) Soeradi Prawirohardjo dari Batalyon 530/Brawijaya, bertugas mengamakan Ibu Kota dan menguasai kantor Pusat Telekomunikasi dan Studio RRI Pusat. Terakhir, satgas Pringgodani di bawah kendali Mayor (Udara) Soejono, bertugas menjaga basis dan wilayah di sekeliling Lubang Buaya, yang rencananya akan jadi lokasi penyanderaan para Jenderal.
Julius Pour mencatat dalam buku G30S, Fakta atau Rekayasa? (2013), operasi penculikan di bawah Untung direncanakan secara serampangan. Banyak unsur yang akan dilibatkan, ternyata tidak jadi datang. Jumlah pasukan kurang dari 100 personel, jauh dari yang diharapkan mampu memantik revolusi. Yang berikutnya terjadi persis yang dikhawatirkan Untung. Penculikan berubah jadi serangan berdarah.
Pukul 03.30, anggota Batalyon I Resimen Tjakrabirawa, Peltu Mukidjan mengingat bahwa pasukannya termasuk yang terakhir diberangkatkan dari Lubang Buaya. Ia khawatir, alokasi 15 sampai 20 menit untuk meluncurkan penculikan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani, tak akan cukup.
"Saya sendiri berpikir kok hanya 20 menit, peluangnya pasti singkat sekali? Meski begitu saya tidak lupa. Perintahnya jelas, saya mendengar langsung dari Lettu Abdul (Doel) Arief, '...tangkap sasaran, hidup atau mati'," kata Mukidjan..
Lettu Doel Arief mengaku instruksi itu datang dari Sjam. Sjam menginstruksikan bila mengalami kesulitan menghadapi para Jenderal diambil hidup atau mati.
Sesampai di kediaman Yani di Jalan Lembang, Menteng, Jakata Pusat, Mukidjan dan rekan-rekannya segera meminta Yani ikut dengan alasan akan dibawa ke hadapan presiden. Yani pun meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Mukidjan dan rekan-rekannya menolak permintaan itu. Hal ini membuat Yani marah hingga menampar salah satu prajurit. Salah satu prajurit yang bernama Gijadi melepaskan tembakan, dan mengenai Yani hingga membunuhnya.
Di kediaman Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution juga menerima tembakan dari Tjakrabirawa. Akibatnya, anaknya Ade Irma Suryani meninggal di rumah sakit dan ajudannya Pierre Tendean diculik.
Sedangkan Jenderal AH Nasution berhasil menyelamatkan diri dengan memanjat tembok belakang.
Memasuki fajar, seluruh pasukan G30S kembali ke Lubang Buaya. Wakil Komandan Satgas Pringgodani Mayor (Udara) Gatot Soekrisno kebingungan ketika para prajurit menurunkan empat orang yang terikat dan ditutup matanya, serta tiga mayat. Padahal, Letkol (Inf) Untung Samsoeri mengatakan, "...tangkap mereka, akan kita hadapkan kepada Paduka Yang Mulia (Soekarno)."
Gatot bingung apa yang akan dihadapkan ke Presiden jika sasaran sudah meningal. "Saya segera menghubungi Mayor (Udara) Soejono, Komandan Satgas Pringgidani di Cenko I, minta petunjuk, bagaimana menangani kondisi baru yang menyimpang dari skenario awal tersebut," kata Gatot.
Siang itu, eksekutor G30S akhirnya mengumumkan penangkapan dan pembunuhan yang telanjur terjadi. RRI menyiarkan pengumuman soal ditangkapnya sekelompok orang yang disebut Dewan Jenderal. Penangkapan dilakukan oleh Dewan Revolusi yang mencegah tindakan Dewan Jenderal yang ingin mengkudeta Presiden Sukarno.
No comments:
Post a Comment