The Economist merevisi prediksi pertumbuhan ekonomi untuk semua negara-negara anggota G20. Hasilnya, wabah virus corona (Covid-19) membawa hampir seluruh negara-negara G20 jatuh ke jurang resesi.
Lebih dari setengah negara-negara yang masuk dalam jajaran G20 diprediksi mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
“Gambaran ekonomi global tampak suram, dengan resesi di hampir setiap ekonomi maju di seluruh dunia," kata Direktur Forecast Global EIU, Agathe Demarais dikutip dari The Economist, Selasa (31/3/2020).
Data The Economist memperlihatkan, hanya 3 negara-negara G20 yang diprediksi masih menunjukkan pertumbuhan ekonomi positif sepanjang 2020. Meski demikian angka itu tetap menurun kian dalam.
Ekonomi global sendiri diprediksi akan terkontraksi sebesar 2,2 persen. Salah satu dari 3 negara yang masih positif adalah Indonesia. The Economist memprediksi pertumbuhan PDB riil pada tahun 2020 berada di angka 1 persen.
Sebelum virus corona menyerang, PDB Indonesia diprediksi tumbuh 5,1 persen. Selain Indonesia, China dan India juga masih diprediksi mengalami pertumbuhan positif.
Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan berada di angka 1 persen pada 2020 dari yang sebelumnya 5,9 persen. Sementara India, PDB pada tahun 2020 berada di angka 2,1 persen dari perkiraan sebelumnya sebesar 6,9 persen. Demarais menuturkan, pemulihan ekonomi bisa saja terjadi pada semester II tahun 2020. Namun, tidak ada yang menjamin pertumbuhan akan terkontraksi lebih jauh bila ada gelombang epidemi kedua dan ketiga.
"Risiko penurunan skenario dasar ini sangat tinggi, karena munculnya gelombang epidemi kedua, atau ketiga akan menenggelamkan pertumbuhan lebih lanjut," ujarnya.
Selain itu pada tahap ini, Demarais mengaku sulit pula melihat strategi keluar dari penguncian. Artinya ketidakpastian pertumbuhan akan tetap tinggi. "Akhirnya, kombinasi dari pendapatan fiskal yang lebih rendah, dan pengeluaran publik yang lebih tinggi, akan menempatkan banyak negara di ambang krisis utang," ungkapnya lebih lanjut.
Pertumbuhan negatif G20
Selain ketiga negara di atas, ekonomi AS diprediksi akan berkontraksi sebesar 2,8 persen tahun ini setelah sebelumnya diprediksi tumbuh mencapai 1,7 persen. Penyebabnya, respon awal AS terhadap pandemik dinilai buruk sehingga memungkinkan penyakit menyebar dengan cepat. Selain itu, saat risiko ekonomi mulai meningkat akibat corona, perjanjian minyak mentah antara Arab Saudi dengan Rusia untuk memangkas produksi minyak justru runtuh. Hal itu membuat harga minyak dunia jatuh.
Kombinasi epidemi virus corona dan penurunan harga minyak global, membuat investasi akan mengalami kontraksi tajam tahun ini, terutama di sektor energi. Akhirnya pertumbuhan ekspor akan menurun.
"Ini menempatkan tawaran pemilihan ulang Donald Trump (dalam Pilpres) dalam risiko, karena pengangguran tampaknya akan meningkat tajam," tulis The Economist.
Ekonomi China
Dampak ekonomi karena wabah virus corona lebih dalam dibanding dampak SARS untuk ekonomi China. Jika asumsi virus corona "tak kambuh" lagi, pertumbuhan PDB riil China bisa berada pada angka 1 persen pada 2020. Lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi 2019 yang sebesar 6,1 persen.
"Perlambatan akan terkonsentrasi pada kuartal I tahun ini dan masih akan tetap terasa di kuartal II. Pertumbuhan akan pulih pada paruh kedua tahun ini ketika China biasanya menghasilkan sebagian besar PDB-nya," tulis The Economist.
Kawasan Eropa
Kawasan Eropa akan menjadi salah satu daerah yang paling terpukul, dengan membukukan resesi setahun penuh sebesar 5,9 persen. Lebih rinci, pertumbuhan ekonomi Jerman sebesar -6,8 persen, Perancis -5 persen, dan Italia -7 persen.
Di Jerman, sebagian besar sektor manufaktur sangat berorientasi ekspor. Artinya negara tersebut secara khusus akan terkena gangguan rantai pasokan dan permintaan global yang lemah. "Akibatnya, pemulihan yang kami harapkan pada paruh kedua tahun 2020 di negara zona euro lainnya akan terwujud jauh lebih lambat di Jerman," ungkapnya.
Amerika Latin
Selain zona Eropa, prospek pertumbuhan juga sangat buruk di negara-negara Amerika Latin. Pertumbuhan negara Argentina akan terkontraksi sebesar -6,7 persen, Brazil -5,5 persen, dan Meksiko -5,4 persen. Meksiko sendiri sangat bergantung pada tren di AS. Artinya bila pertumbuhan PDB di AS menurun, tentu akan memberikan tekanan para prospek pertumbuhan Meksiko.
Di seluruh kawasan, gangguan bisnis akan menyebabkan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) turun tajam. Hal ini akan sangat merusak wilayah-wilayah yang memiliki tabungan domestik lemah. Dengan FDI menyumbang 3 persen dari PDB dan 15 persen dari total investasi tetap. Sementara itu, untuk negara-negara Amerika Selatan, pendekatan musim dingin di belahan bumi selatan meningkatkan prospek epidemi yang sulit dan berkepanjangan.
Sumber: Kompas
Lebih dari setengah negara-negara yang masuk dalam jajaran G20 diprediksi mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.
“Gambaran ekonomi global tampak suram, dengan resesi di hampir setiap ekonomi maju di seluruh dunia," kata Direktur Forecast Global EIU, Agathe Demarais dikutip dari The Economist, Selasa (31/3/2020).
Data The Economist memperlihatkan, hanya 3 negara-negara G20 yang diprediksi masih menunjukkan pertumbuhan ekonomi positif sepanjang 2020. Meski demikian angka itu tetap menurun kian dalam.
Ekonomi global sendiri diprediksi akan terkontraksi sebesar 2,2 persen. Salah satu dari 3 negara yang masih positif adalah Indonesia. The Economist memprediksi pertumbuhan PDB riil pada tahun 2020 berada di angka 1 persen.
Sebelum virus corona menyerang, PDB Indonesia diprediksi tumbuh 5,1 persen. Selain Indonesia, China dan India juga masih diprediksi mengalami pertumbuhan positif.
Pertumbuhan ekonomi China diperkirakan berada di angka 1 persen pada 2020 dari yang sebelumnya 5,9 persen. Sementara India, PDB pada tahun 2020 berada di angka 2,1 persen dari perkiraan sebelumnya sebesar 6,9 persen. Demarais menuturkan, pemulihan ekonomi bisa saja terjadi pada semester II tahun 2020. Namun, tidak ada yang menjamin pertumbuhan akan terkontraksi lebih jauh bila ada gelombang epidemi kedua dan ketiga.
"Risiko penurunan skenario dasar ini sangat tinggi, karena munculnya gelombang epidemi kedua, atau ketiga akan menenggelamkan pertumbuhan lebih lanjut," ujarnya.
Selain itu pada tahap ini, Demarais mengaku sulit pula melihat strategi keluar dari penguncian. Artinya ketidakpastian pertumbuhan akan tetap tinggi. "Akhirnya, kombinasi dari pendapatan fiskal yang lebih rendah, dan pengeluaran publik yang lebih tinggi, akan menempatkan banyak negara di ambang krisis utang," ungkapnya lebih lanjut.
Pertumbuhan negatif G20
Selain ketiga negara di atas, ekonomi AS diprediksi akan berkontraksi sebesar 2,8 persen tahun ini setelah sebelumnya diprediksi tumbuh mencapai 1,7 persen. Penyebabnya, respon awal AS terhadap pandemik dinilai buruk sehingga memungkinkan penyakit menyebar dengan cepat. Selain itu, saat risiko ekonomi mulai meningkat akibat corona, perjanjian minyak mentah antara Arab Saudi dengan Rusia untuk memangkas produksi minyak justru runtuh. Hal itu membuat harga minyak dunia jatuh.
Kombinasi epidemi virus corona dan penurunan harga minyak global, membuat investasi akan mengalami kontraksi tajam tahun ini, terutama di sektor energi. Akhirnya pertumbuhan ekspor akan menurun.
"Ini menempatkan tawaran pemilihan ulang Donald Trump (dalam Pilpres) dalam risiko, karena pengangguran tampaknya akan meningkat tajam," tulis The Economist.
Ekonomi China
Dampak ekonomi karena wabah virus corona lebih dalam dibanding dampak SARS untuk ekonomi China. Jika asumsi virus corona "tak kambuh" lagi, pertumbuhan PDB riil China bisa berada pada angka 1 persen pada 2020. Lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi 2019 yang sebesar 6,1 persen.
"Perlambatan akan terkonsentrasi pada kuartal I tahun ini dan masih akan tetap terasa di kuartal II. Pertumbuhan akan pulih pada paruh kedua tahun ini ketika China biasanya menghasilkan sebagian besar PDB-nya," tulis The Economist.
Kawasan Eropa
Kawasan Eropa akan menjadi salah satu daerah yang paling terpukul, dengan membukukan resesi setahun penuh sebesar 5,9 persen. Lebih rinci, pertumbuhan ekonomi Jerman sebesar -6,8 persen, Perancis -5 persen, dan Italia -7 persen.
Di Jerman, sebagian besar sektor manufaktur sangat berorientasi ekspor. Artinya negara tersebut secara khusus akan terkena gangguan rantai pasokan dan permintaan global yang lemah. "Akibatnya, pemulihan yang kami harapkan pada paruh kedua tahun 2020 di negara zona euro lainnya akan terwujud jauh lebih lambat di Jerman," ungkapnya.
Amerika Latin
Selain zona Eropa, prospek pertumbuhan juga sangat buruk di negara-negara Amerika Latin. Pertumbuhan negara Argentina akan terkontraksi sebesar -6,7 persen, Brazil -5,5 persen, dan Meksiko -5,4 persen. Meksiko sendiri sangat bergantung pada tren di AS. Artinya bila pertumbuhan PDB di AS menurun, tentu akan memberikan tekanan para prospek pertumbuhan Meksiko.
Di seluruh kawasan, gangguan bisnis akan menyebabkan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) turun tajam. Hal ini akan sangat merusak wilayah-wilayah yang memiliki tabungan domestik lemah. Dengan FDI menyumbang 3 persen dari PDB dan 15 persen dari total investasi tetap. Sementara itu, untuk negara-negara Amerika Selatan, pendekatan musim dingin di belahan bumi selatan meningkatkan prospek epidemi yang sulit dan berkepanjangan.
Sumber: Kompas
No comments:
Post a Comment