Sejatinya, kalau mahasiswa atau pelajar melakukan aksi unjuk rasa, adalah sebagai ajang mereka unjuk keberanian, untuk ditunjukkan kepada kawan-kawan di kampus dan sekolah. Bahkan ketika tertangkap polisi, merupakan kebanggaan tersendiri.
Alasan dari ungkapan di atas, karena ternyata mayoritas massa yang bahkan nekat sampai menggunakan senjata tajam atau bom molotov untuk menyerang aparat keamanan, tidak mamahami misi apa yang mereka bawa ketika berbondong-bondong mendengarkan orasi di jalanan.
Lebih jauh, seandainya mereka tahu tentang ajaran agama, tak ada yang menghalalkan cara mengemukakan pendapat melalui aksi di jalanan. Itu dosa dan haram hukumnya. Sebagaimana nasihat rasulullah, jika hendak memberikan nasihat kepada seseorang, hindari cara mempermalukannya. Apalagi jika yang diberi nasihat adalah pemimpin sendiri.
Pertanyaan sederhana yang bisa diajukan kepada para pengunjuk rasa, dengan sekian ribu kali pun melakukan aksi anti korupsi, apakah berdampak pada penurunan index korupsi ? Ternyata hasilnya justru korupsi makin merajalela.
Atau ketika sekian kali mahasiswa memprotes harga BBM naik, apakah berhasil membuat BBM semakin murah ? Tak bakalan senekat itu pemerintah merugikan negara, karena secara logika, BBM yang dijual adalah hasil produksi yang juga memakan biaya yang tidak murah.
Yang jelas terlihat dari berbagai unjuk rasa, yang hingga berakhir dengan kerusuhan, menimbulkan korban jiwa serta luka-luka. Harta benda dan aset pemerintah untuk fasilitas umum dirusak dan dibakar. Semuanya merupakan dampak buruk, dan tidak satupun yang bisa kita maklumi sebagai hal positif.
Baca juga: Sindiran Fahri Hamzah Kepada Anies Baswedan Agar Meniru Ahok
Yang mendapatkan keuntungan justru orang yang menjadi agen pengerah massa, karena mereka mendapatkan bayaran dari bohir, yang memiliki agenda mengganggu konsentrasi pemerintah. Tujuan mereka jelas, meningkatkan daya tawar terhadap pemerintah, sehingga banyak aturan yang sebelumnya berlaku, mereka harapkan lebih menguntungkan kelompok dan golongannya.
Baca juga: KPK Menguat(irkan)?
Dalam konteks menentang disahkannya UU KPK, yang membiayai ya orang-orang yang sama dengan mereka yang berpotensi terjerat kasus korupsi. Kesimpulannya, alih-alih membela kepentingan rakyat, para pendemo justru membela para koruptor yang ingin kasusnya tetap bisa dibekukan, seperti sebelum diberlakukannya UU baru tentang KPK.
Ketika pihak keamanan berusaha meredakan kerusuhan, sesekali timbul kesalahpahaman, dan kejadian ini kembali dipelintir, seolah-olah polisi tidak menghargai harkat manusia dan menginjak-injak kehormatan tempat ibadah.
Sementara, jejak digital pun dijumpai, yang memasuki masjid dengan tetap beralaskan sepatu ternyata bukan monopoli petugas polisi. Mereka yang dianggap tahu adab memasuki rumah ibadah, ternyata menunjukkan perilaku yang sama. Bahkan kalau dibandingkan polisi, mereka yang paham adab tersebut, seharusnya diberi teguran yang lebih keras.
Kenyataan yang kita jumpai, dalam banyak aksi unjuk rasa para mahasiswa, bukanlah manfaat dan kemaslahatan yang dihasilkan. Banyak dari aksi itu sebenarnya lebih menjelaskan kegamangan para politisi yang menentang pemerintah. Mereka seperti tak menginginkan masyarakat terlalu menganggap pemerintah berhasil.
Para oportunis itu hanya ingin menunjukkan, bahwa pemerintah tidak seharusnya berkonsentrasi penuh untuk menyejahterakan rakyat. Mereka ternyata tak suka kalau rakyat difasilitasi oleh biaya negara, karena kalau rakyat kebagian terlalu banyak, maka anggaran yang bisa mereka ganggu akan semakin tipis.
Prinsip yang mudah kita pahami dari para oportunis itu, kalau anggaran yang terbatas itu dibagi rata kepada rakyat, tak ada manfaat lebih yang bisa dirasakan, karena kalau pembaginya sangat banyak, berarti jatah per orang menjadi sangat kecil.
Mereka justru ingin pembagi dari anggaran kesejahteraan itu dibuat sedikit atau jumlahnya sangat kecil. Siapakah sejumlah kecil pembagi yang mereka maksudkan, ya siapa lagi kalau bukan kalangan tertentu yang bisa leluasa memanfaatkan anggaran itu jika berhasil dihadang di tengah jalan.
Praktek seperti itu tidak lagi menjadi rahasia, melainkan sudah menjadi kondisi umum di masyarakat. Maka sasaran yang mereka tuju, adalah Undang-undang yang berpotensi mengurangi peluang mereka menjarah anggaran negara.
Mereka sudah terlalu lama menikmati keberadaan Undang-undang yang sangat ramah kepada koruptor. Maka ketika ada revisi yang justru memagari celah bagi koruptor, tentu saja mereka gerah. Dengan bahasa anti korupsi, digunakanlah tangan mahasiswa sebagai tameng dari agenda sebenarnya.
Cukup disayangkan jika mahasiswa kurang memahami tujuan politik di balik unjuk rasa itu, yang sangat janggal, karena inisiatifnya dimulai dari kalangan legislatif, namun mendapatkan perlawanan juga dari kalangan yang sama.
Alasan dari ungkapan di atas, karena ternyata mayoritas massa yang bahkan nekat sampai menggunakan senjata tajam atau bom molotov untuk menyerang aparat keamanan, tidak mamahami misi apa yang mereka bawa ketika berbondong-bondong mendengarkan orasi di jalanan.
Lebih jauh, seandainya mereka tahu tentang ajaran agama, tak ada yang menghalalkan cara mengemukakan pendapat melalui aksi di jalanan. Itu dosa dan haram hukumnya. Sebagaimana nasihat rasulullah, jika hendak memberikan nasihat kepada seseorang, hindari cara mempermalukannya. Apalagi jika yang diberi nasihat adalah pemimpin sendiri.
Pertanyaan sederhana yang bisa diajukan kepada para pengunjuk rasa, dengan sekian ribu kali pun melakukan aksi anti korupsi, apakah berdampak pada penurunan index korupsi ? Ternyata hasilnya justru korupsi makin merajalela.
Atau ketika sekian kali mahasiswa memprotes harga BBM naik, apakah berhasil membuat BBM semakin murah ? Tak bakalan senekat itu pemerintah merugikan negara, karena secara logika, BBM yang dijual adalah hasil produksi yang juga memakan biaya yang tidak murah.
Yang jelas terlihat dari berbagai unjuk rasa, yang hingga berakhir dengan kerusuhan, menimbulkan korban jiwa serta luka-luka. Harta benda dan aset pemerintah untuk fasilitas umum dirusak dan dibakar. Semuanya merupakan dampak buruk, dan tidak satupun yang bisa kita maklumi sebagai hal positif.
Baca juga: Sindiran Fahri Hamzah Kepada Anies Baswedan Agar Meniru Ahok
Yang mendapatkan keuntungan justru orang yang menjadi agen pengerah massa, karena mereka mendapatkan bayaran dari bohir, yang memiliki agenda mengganggu konsentrasi pemerintah. Tujuan mereka jelas, meningkatkan daya tawar terhadap pemerintah, sehingga banyak aturan yang sebelumnya berlaku, mereka harapkan lebih menguntungkan kelompok dan golongannya.
Baca juga: KPK Menguat(irkan)?
Dalam konteks menentang disahkannya UU KPK, yang membiayai ya orang-orang yang sama dengan mereka yang berpotensi terjerat kasus korupsi. Kesimpulannya, alih-alih membela kepentingan rakyat, para pendemo justru membela para koruptor yang ingin kasusnya tetap bisa dibekukan, seperti sebelum diberlakukannya UU baru tentang KPK.
Ketika pihak keamanan berusaha meredakan kerusuhan, sesekali timbul kesalahpahaman, dan kejadian ini kembali dipelintir, seolah-olah polisi tidak menghargai harkat manusia dan menginjak-injak kehormatan tempat ibadah.
Sementara, jejak digital pun dijumpai, yang memasuki masjid dengan tetap beralaskan sepatu ternyata bukan monopoli petugas polisi. Mereka yang dianggap tahu adab memasuki rumah ibadah, ternyata menunjukkan perilaku yang sama. Bahkan kalau dibandingkan polisi, mereka yang paham adab tersebut, seharusnya diberi teguran yang lebih keras.
Kenyataan yang kita jumpai, dalam banyak aksi unjuk rasa para mahasiswa, bukanlah manfaat dan kemaslahatan yang dihasilkan. Banyak dari aksi itu sebenarnya lebih menjelaskan kegamangan para politisi yang menentang pemerintah. Mereka seperti tak menginginkan masyarakat terlalu menganggap pemerintah berhasil.
Para oportunis itu hanya ingin menunjukkan, bahwa pemerintah tidak seharusnya berkonsentrasi penuh untuk menyejahterakan rakyat. Mereka ternyata tak suka kalau rakyat difasilitasi oleh biaya negara, karena kalau rakyat kebagian terlalu banyak, maka anggaran yang bisa mereka ganggu akan semakin tipis.
Prinsip yang mudah kita pahami dari para oportunis itu, kalau anggaran yang terbatas itu dibagi rata kepada rakyat, tak ada manfaat lebih yang bisa dirasakan, karena kalau pembaginya sangat banyak, berarti jatah per orang menjadi sangat kecil.
Mereka justru ingin pembagi dari anggaran kesejahteraan itu dibuat sedikit atau jumlahnya sangat kecil. Siapakah sejumlah kecil pembagi yang mereka maksudkan, ya siapa lagi kalau bukan kalangan tertentu yang bisa leluasa memanfaatkan anggaran itu jika berhasil dihadang di tengah jalan.
Praktek seperti itu tidak lagi menjadi rahasia, melainkan sudah menjadi kondisi umum di masyarakat. Maka sasaran yang mereka tuju, adalah Undang-undang yang berpotensi mengurangi peluang mereka menjarah anggaran negara.
Mereka sudah terlalu lama menikmati keberadaan Undang-undang yang sangat ramah kepada koruptor. Maka ketika ada revisi yang justru memagari celah bagi koruptor, tentu saja mereka gerah. Dengan bahasa anti korupsi, digunakanlah tangan mahasiswa sebagai tameng dari agenda sebenarnya.
Cukup disayangkan jika mahasiswa kurang memahami tujuan politik di balik unjuk rasa itu, yang sangat janggal, karena inisiatifnya dimulai dari kalangan legislatif, namun mendapatkan perlawanan juga dari kalangan yang sama.
No comments:
Post a Comment