Wednesday, August 7, 2019

Nasib Jenderal Moersjid: Antara Bung Karno dan Soeharto

Tidak banyak yang tahu kisah hidup (tragis) Jenderal Moersjid yang sejatinya merupakan nasionalis sejati yang amat setia dan cinta akan bangsa dan tanah airnya, karena namanya secara sistematis dihapuskan dari sejarah oleh rezim.

Sayup-sayup terdengar isak tangis perempuan dari kamar tidur utama kediaman Moersjid di Jakarta. Siddharta, yang baru saja pulang dari sekolah, kaget. Ia tahu itu suara tangis ibunya, Siti Rachma. Tak berapa lama, pintu kamar terbuka. Moersjid, ayahnya, keluar dari kamar. Ia tampak gagah dengan pakaian dinas lengkap dengan pangkat bintang dua di pundak.

Sebuah koper pakaian berada di genggamannya. "Jagain mamamu," ujar Siddharta menirukan ucapan ayahnya saat menceritakan kisah pilu tersebut. Tanpa buang waktu, perwira tinggi bekas Shodancho (komandan peleton) Pembela Tanah Air (PETA) Jakarta II itu menuju mobil pribadinya. Ia segera menuju Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo.

"Ayah langsung menghadap Komandan CPM yang bertugas dan bilang mau masuk," kata Siddharta. Jenderal Moersjid lalu dimasukkan ke sel isolasi. Moersjid dijebloskan ke dalam tahanan hanya dua hari menjelang ulang tahunnya ke-45 yang jatuh pada 10 Desember 1969. Istrinya bahkan baru saja berbelanja untuk persiapan acara syukuran.

Sebelum masuk RTM (Rumah Tahanan Militer) Budi Utomo, pada pagi harinya Jenderal Moersjid dipanggil menghadap Jenderal Umar Wirahadikusumah di Markas Besar Angkatan Darat. Jenderal Umar sebagai Kepala Staf Angkatan Darat menyodorkan selembar surat. Moersjid membaca surat itu dengan hati-hati. Rupanya surat itu berisi berita acara penahanan dirinya. Jenderal Umar, yang tak sabaran, mengambil pulpen dari saku bajunya, kemudian dilemparkan ke arah Moersjid. Tersinggung, Moersjid melempar pulpen itu kembali dan kena baju Umar. "Saat insiden itu ayah bilang, 'Umar, lu di mana saat teman-teman gue diculik," ujar putra Moersjid lainnya, Abdul Rasjid.

Umar menjabat Panglima Kodam V Jaya saat terjadi peristiwa penculikan enam perwira tinggi dan satu perwira Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 pagi. Kala itu Moersjid adalah Deputi I Bidang Operasi Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Boleh dibilang tentara berdarah Purworejo-Betawi itu orang nomor dua setelah Jenderal Ahmad Yani, yang turut diculik. Karena posisinya yang terbilang strategis, banyak yang bertanya mengapa Moersjid tak ikut jadi target penculikan saat itu.

Jenderal Moersjid Dilantik Bung Karno Jadi Dubes Filipina
Jenderal Moerjid (kanan) bersama istri dan Bung Karno saat dilantik menjadi Duta Besar RI untuk Filipina (dok. Keluarga Jenderal Moersjid)

Abdul Rasjid pun menceritakan bahwa pada pagi hari 1 Oktober 1965 rumah keluarganya di Jalan Gresik 26 (kini Jalan Sutan Syahrir) diketok tetangganya, Kolonel dr Sulaiman. Kolonel Sulaiman bercerita beberapa waktu sebelumnya puluhan anggota pasukan Tjakrabirawa nyasar ke rumahnya mencari Jenderal Moersjid. Rumah Kolonel Sulaiman bernomor 20. "Saat itu rumah di kawasan Menteng hampir mirip," kata Rasjid, yang saat itu berusia 15 tahun. Kolonel Sulaiman, yang merasa janggal dengan kedatangan rombongan tersebut, memutuskan berbohong. "Dokter Sulaiman bilang Jenderal Moersjid sedang bertugas ke Kalimantan."

Saat Kolonel Sulaiman masih berada di rumah Moersjid, datang seorang perwira membawa pesan agar Moersjid segera ke Istana Negara menghadap Presiden Sukarno. Namun, begitu mendekati kawasan istana, mobil Moersjid dicegat segerombolan pasukan tanpa identitas. Belakangan diketahui pasukan ini bekas anak buah Letkol Untung Sjamsuri, Komandan Batalion I Tjakrabirawa. "Ayah yang marah turun dari mobil dan menampar komandan peleton pasukan itu. Untung ayah tidak didor saat itu," kata Rasjid.

Tapi Moersjid tetap tak dibolehkan lewat. Dalam keadaan marah, Moersjid memerintahkan sopirnya Kopral CPM Santa menuju markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang tak seberapa jauh dari situ. Letnan Ali Said, yang belakangan diangkat oleh Soeharto menjadi Jaksa Agung, menyambutnya. "Ayah tanya, 'Mana Soeharto?" kata Rasjid. Tapi tak seorang pun yang menjawabnya. Moersjid yang emosional menuju ruang kerja Soeharto dan menendang pintunya. Tapi rupanya Jenderal Soeharto tak berada di ruang itu. Baru setelah Moersjid kembali bertanya para perwira Kostrad menunjukkan sebuah ruangan.

Saat mantan Panglima Kodam XIII/Merdeka itu masuk dalam ruangan, ia melihat Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris Nasution dalam keadaan terluka kakinya sedang duduk di lantai. "Ayah kembali ke rumah dari Kostrad sore hari diantar Kepala Biro di Mabes AD Letkol Herman Sarens Sudiro pakai panser," ujar Rasjid.

Keesokan paginya, Moersjid bersama sejumlah perwira tinggi dan menteri dipanggil Bung Karno yang sedang berada di Istana Bogor. Sampai di Cibinong, Moersjid berpindah kendaraan ke mobil yang ditumpangi Soeharto. "Soeharto bilang ke ayah, 'Jenderal Moersjid, tolong bantu saya," ujar Siddharta. Menurut Siddharta, sesampai di Istana Bogor, Moersjid yang paling banyak berbicara kepada Bung Karno. "Ayah juga yang kasih senjata Chung hasil sitaan RPKAD di RRI ke Bung Karno, bukan Soeharto seperti yang di film. Aslinya senjata itu juga tidak dibungkus."

Dalam rapat tersebut, Moersjid juga menyampaikan kepada Presiden Sukarno, ada pihak dalam internal Angkatan Darat yang tak nyaman jika Mayjen Pranoto Reksosamudro, Asisten III Menteri Panglima Angkatan Darat, ditunjuk sebagai pimpinan Angkatan Darat menggantikan Menpangad Jenderal Ahmad Yani yang dibunuh pasukan G30S. Moersjid sendiri, sebagai Deputi I Menpangad, menurut sejumlah sumber, pernah hendak dipilih Bung Karno sebagai Menpangad, hanya beberapa hari sebelum penculikan para jenderal Angkatan Darat.

"Ketika Bung Karno bilang akan memimpin langsung Angkatan Darat, Ayah menyela. Menurutnya, tidak bisa menjabat Panglima Tertinggi sekaligus Menteri Panglima Angkatan Darat," ujar Siddharta. Moersjid pernah bercerita, dalam rapat itu Presiden Sukarno menyebut Moersjid mempunyai sifat diri "te kordaat" atau sangat tegas. "Jadi Bung Karno tak sebut Moersjid tukang berkelahi," kata Siddharta.

Sekitar dua minggu kemudian, Presiden Sukarno mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Menpangad menggantikan Ahmad Yani. Mayjen Moersjid tetap di posisinya sebagai Deputi I. Namun, pada Desember 1965, perwira lulusan Infantry Officers Advance Course di Fort Benning, Amerika Serikat, seangkatan dengan Maraden Panggabean dan Hario Kecik itu memilih mundur. "Alasan Ayah,  apa yang dikatakan di dalam dan yang dikatakan di luar berbeda. Prinsip ayah itu kan hitam ya hitam, putih ya putih. Tidak bisa di dalam hitam di luar bilang putih," kata Siddharta.

Mayjen Moersjid lalu ditunjuk menjadi Wakil Menteri Koordinator Pertahanan di Kabinet 100 Menteri (Dwikora II). Ketika berada dalam Kabinet Dwikora II ini, Moersjid diajak Menpangad Mayjen Soeharto pergi bersama tiga perwira tinggi utusannya meminta surat tugas yang kemudian dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret. "Ayah menolak ikut. Katanya, 'Ngapain saya harus ikut?" ujar Siddharta. Moersjid kemudian menjadi Asisten Wakil Perdana Menteri Sosial Politik di Kabinet Dwikora III.

Menjelang Bung Karno lengser, Moersjid dilantik menjadi Duta Besar Indonesia untuk Filipina pada 10 Maret 1967. Dua hari kemudian, Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera ditunjuk menjadi penjabat presiden. "Kami harus menunggu di Hong Kong, surat kepercayaan dari Presiden baru untuk dibawa ke Manila. Ayah satu-satunya dubes yang datang ke Presiden Marcos dengan dua surat kepercayaan," ujar Rasjid.

Foto Keluarga Jenderal Moersjid
Foto Keluarga Jenderal Moersjid, 1962 (dok. Keluarga Jenderal Moersjid)

Dua tahun lebih bertugas di Manila, meletus sebuah insiden di Manila International Airport. Dalam sebuah jamuan di ruang VIP yang dihadiri para duta besar untuk mengantar Menteri Luar Negeri Filipina kunjungan kerja, Moersjid sebagai ketua klub dubes di Filipina dikenalkan dengan Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik Marshall Green. Saat meletus peristiwa G30S, Marshall menjabat sebagai Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia.

Rasjid, yang saat itu mendampingi ayahnya, sedang mengambil minuman dingin tiba-tiba heran ruangan yang tak seberapa besar itu mendadak hening. Moersjid tampak sedang melotot ke arah Marshall, yang kemudian balik kanan meninggalkan ruangan. Moersjid bercerita kepada anaknya, Marshall bertanya "How is the Bung doing?" Bung yang dimaksud Green adalah Bung Karno. "Ayah jawab sambil melotot, 'Mister Green, kamu seharusnya lebih tahu," kata Rasjid. Bagi Moersjid, pertanyaan Marshall tersebut tak pantas. Dalam ingatan Moersjid, Marshall merupakan dalang kudeta Presiden Syngman Rhee di Korea Selatan. "Ayah mengaku, kalau Green memukul, saya sudah siap melempar dia ke tembok."

Setelah peristiwa tersebut, Moersjid sadar, umur jabatannya akan segera berakhir. Benar saja, beberapa hari kemudian datang utusan khusus Menteri Luar Negeri Adam Malik. Melalui surat tulisan tangan, Moersjid diminta kembali ke Jakarta untuk konsultasi. Ujungnya, Moersjid dikembalikan ke Markas Besar Angkatan Darat tanpa jabatan. Tak cuma tidak punya jabatan, Moersjid harus menghadapi interogasi. Moersjid juga diminta menjadi saksi untuk mengadili Sukarno. "Tapi Ayah menolak," kata Siddharta.

Mulailah sejumlah tuduhan ditimpakan kepada Jenderal Moersjid. Dia dinilai punya hubungan khusus dengan Bung Karno. Rumah yang ditempati keluarga Moersjid saat bertugas di Filipina disebut-sebut milik Sukarno. Padahal rumah tersebut kepunyaan keluarga mantan Presiden Filipina Jose P Laurel. "Kalau dibilang Sukarnois, dia tak pernah ikut barisan pendukung Sukarno. Buat dia, Sukarno adalah panglima tertinggi angkatan bersenjata. Dia harus loyal kepada pimpinan," ujar Siddharta.

Jenderal Moersjid bersama Siddharta
Jenderal Moersjid bersama putranya, Siddharta, di Manado saat menjabat Panglima Kodam XIII/Merdeka tahun 1959 (dok. Keluarga Jenderal Moersjid)

Tidak mempan dengan tudingan itu, Moersjid disebut punya kaitan dengan Partai Komunis Indonesia dengan berada di Pangkalan Udara Halim pada 1 Oktober 1965. "Ayah jawab, 'Faktanya, pada 1 Oktober saya berada di Markas Kostrad bersama dengan Soeharto sampai sore. Saat peristiwa Madiun 1948, saya komandan kompi pertama yang masuk Madiun. Waktu itu Soeharto ada di mana?'" Siddharta bercerita. Setelah melalui beberapa kali proses interogasi, surat perintah penahanan tetap keluar. Tanpa ada proses pengadilan, Jenderal Moersjid dijebloskan ke dalam penjara.

Moersjid bukan tentara yang suka berlama-lama di belakang meja. Pengalaman tempurnya berderet panjang. Sebagai prajurit Siliwangi, Moersjid ikut hijrah ke Jawa Tengah. Setelah mengikuti kursus di Amerika Serikat, ia ditunjuk menjadi Komandan Operasi Merdeka memadamkan pemberontakan Perjuangan Rakyat Semesta di Sulawesi Utara. Ia juga menjadi saksi pertempuran Laut Aru yang menewaskan Deputi I Menteri Panglima Angkatan Laut Komodor Yos Sudarso.

Ia berkeras ikut dalam operasi penyelundupan pasukan ke daratan Irian. "Sebagai Asisten Operasi Panglima Angkatan Darat, apa saya harus duduk saja ongkang-ongkang di belakang meja? Saya toh juga harus tahu situasi lapangan. Dan apa tega kita melepas begitu saja pasukan yang sudah sekian lama kita bina," ujar Moersjid seperti yang dikutip dari buku Laksamana Sudomo, Mengatasi Gelombang Kehidupan. Saat operasi itu, Moersjid ikut dalam KRI Harimau bersama Sudomo.

Kepala LKBN Antara Indonesia Timur 1952-1966 Ali Kamah, yang pernah bertemu dengan Moersjid di Minahasa dan di Makassar seusai pertempuran Laut Aru, menulis catatan bahwa Moersjid merupakan komandan yang pendiam dan enggan bicara banyak kepada wartawan. "Moersjid doyannya bertempur," tulis Ali seperti yang diceritakan oleh anaknya Iwan Satyanegara Kamah kepada detikX.

Hampir empat tahun lamanya Moersjid berada dalam kurungan. Berpindah-pindah antara RTM Budi Utomo dan RTM Nirbaya. Menurut anak-anaknya, sebenarnya Soeharto sudah meneken surat rehabilitasi Moersjid pada akhir 1970. Tapi surat itu tak pernah sampai hingga akhirnya Moersjid dibebaskan pada 1973. "Yang ingin Ayah ketahui, siapa yang sebenarnya ingin menahan dirinya. Apakah ada permintaan dari luar? Atau dari dalam. Tidak ada yang mau menjawab," kata Siddharta.

Menjelang akhir hayatnya, Moersjid berwasiat tak ingin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan alasan tertentu. Anak-anaknya kemudian memilih Taman Giritama, Tonjong, Bogor, sebagai tempat persemayaman Jenderal Moersjid saat wafat pada Agustus 2008.

No comments:

Post a Comment