Sebelumnya saya sudah menceritakan cerita nyata ini sebelumnya dalam artikel tulisan yang berjudul Saya, Pertempuran Ayah Saya di Yogya dan Masalah PKI (Bagian 1)
Sebagai seorang anak dan sebagai seorang warga negara, saya merasa sangat beruntung mempunyai kedua orangtua yang merupakan pelaku sekaligus saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia melalui masa-masa kelam.
Dari penuturan dan petuah-petuah sejarah oleh Almarhum Bapak, saya bisa belajar mengenai kebijaksanaan dimana untuk menyongsong masa depan, kita harus mengerti sejarah masa lalu. Karena sejarah masa lalu merupakan sarana bagi kita untuk belajar bersikap bijak demi masa depan yang lebih baik lagi.
Kali ini, saya akan menceritakan penuturan kedua orangtua saya mengenai "zaman kegelapan" bangsa setelah peristiwa G30S yang sering disebutkan didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kebetulan, almarhum Bapak saya mempunyai kesaksian mengenai peristiwa terbunuhnya Mayjend (Anumerta) Donald Isaac Pandjaitan. Cerita kesaksian Bapak saya (seingat saya untuk berusaha menuliskannya) pernah saya tulis dalam artikel berjudul Kesaksian Tentang PKI (Bag.1) : Berada Dekat TKP Saat Kejadian Dan Melihat Darah Mayjen D.I. Panjaitan Menetes Di Jalanan
Nah, tulisan ini merupakan sebuah tulisan pamungkas mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) yang G30S-nya "menghebohkan" dunia hingga saat ini masih banyak sejarawan dari dalam dan luar negeri yang mempelajari dan berupaya menyingkap "kabut gelap" sejarah mengerikan bangsa ini.
Lalu bagaimana sih suasana kehidupan pada masa "kejayaan" PKI?
PKI kembali berjaya semenjak pemilu pertama pada tahun 1955 setalah sempat hancur lebur akibat ulah Musso yang memberontak di Madiun pada tahun 1948. Tokoh dibalik kebangkitan PKI sehingga sampai bisa menjadi partai papan atas sejak tahun 1955 adalah Dipa Nusantara Aidit atau lebih dikenal dengan nama DN Aidit (nb: beberapa sumber literatur yang pernah saya baca menyebutkan bahwa nama asli DN Aidit adalah Djafar Nawawi Aidit. Dia menggunakan nama Dipa Nusantara agar lebih "mentereng" dan meng-Indonesia).
Tak pelak, ditangan Aidit PKI menjadi partai bermassa besar yang menjadi lawan sepadan bagi Partai Nasional Indonesia (PNI), Nadhlatul Ulama (NU), Masyumi, Murba, dan partai-partai lain. Ditambah lagi upaya PKI untuk menggaet massa amat masif dan terstruktur. Di samping bergerak di jalur politik, mereka juga bergerak dalam aksi sosial seperti pemberdayaan wanita (Gerwani), pemberantasan buta huruf, dan sosial budaya melalui organisasi seniman yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Tak pelak hanya dalam waktu tak sampai 10 tahun setelah "kehancuran besar" pada tahun 1948 mereka berhasil membangun citranya, memiliki massa sangat besar dan menjadi partai yang disegani pada era 1960an (era sebelum meletusnya G30S pada 1 Oktober 1965).
Disamping pakai cara "halus" mereka pun juga memakai cara "kasar" untuk menggaet masyarakat Indonesia yang kebanyakan merupakan rakyat kecil dengan jargon "tidak ada kepemilikan individu, yang ada merupakan kepemilikan bersama" (sesuai dengan paham komunis). Hal itulah yang menyebabkan peristiwa penyerobotan tanah di Bandar Betsy (Sumatera Utara) dan Kediri (Jawa Timur) dan daerah-daerah lain oleh para buruh tani yang memakan korban dan memicu kerusuhan.
Terlebih lagi, pada masa itu ekonomi negara sedang susah. Rakyat pun harus antri untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok.
Lalu bagaimana kehidupan keluarga para "pentolan" PKI tersebut? Apakah mereka benar-benar kafir dan atheis seperti yang dituduhkan?
Ibu saya yang pada era akhir 1950an dan awal 1960an menjadi siswa sebuah SMP negeri di Solo, Jawa Tengah (nama sekolahnya sengaja tidak saya sebutkan disini) menceritakan sebuah hal yang kontradiktif dengan apa yang banyak dianggap orang mengenai seorang komunis.
Hal ini karena ibu saya bahkan satu sekolah dan mengenal langsung (walau tidak dekat alias asal menjadi teman saja) dengan anak Walikota Solo (kala itu) Oetomo Ramelan yang merupakan seorang tokoh PKI. Kebetulan juga di sekolah tersebut juga bersekolah Sri Bintang Pamungkas (mantan politisi senior Partai Persatuan Pembangunan) yang juga kenal dengan ibu saya (nb: walau satu sekolah dan kenal anak PKI, bukan berarti harus ikut-ikutan menjadi PKI kan?).
Menurut penuturan ibu saya, anak Pak Walikota ini pandai bergaul dan baik hati. Pak Walikota pun juga sering membantu melalui koceknya sendiri untuk membiayai kegiatan sekolah. Keluarga Pak Walitota pun ramah.
Pertanyaannya, apakah keluarga Pak Walikota yang komunis ini atheis (seperti anggapan umum bahwa komunis = atheis?). Tidak, keluarga Pak Walikota bahkan taat beribadah (mama saya sering melihat anak Pak Walikota melaksanakan shalat di sekolah). Jadi sebenarnya, komunis itu bukanlah dogma anti agama, melainkan dogma politik walaupun kaum komunis kerap bilang "agama adalah racun dunia".
Sebenarnya soal isu "agama adalah racun dunia" versi komunis ini amat relevan apabila melihat kondisi sekarang. Agama bukannya mencerahkan dan memberi ketentraman, malahan digunakan sebagai alat pemecah belah bangsa (padahal komunis sendirinya juga sering melakukan praktek fitnah untuk "menggembosi" lawan-lawan politiknya).
Saat G30S pecah, Bapak dan Ibu masih sudah menikah dan tinggal di Jakarta. Ketika mudik ke Solo (kampung Ibu saya) dan Madiun (kampung Bapak saya), mereka melihat pemandangan yang "mengerikan" sebagai ekses peristiwa (yang disebut sebagai) kudeta tersebut.
"Pembersihan" terhadap orang-orang yang dianggap PKI ternyata memang banyak salah sasaran atau dimanfaatkan oleh sekelompok golongan yang "memancing di air keruh".
Banyak korban yang dibantai karena dianggap PKI sejatinya bukan merupakan seorang simpatisan komunis apalagi seorang PKI. Masalah persaingan bisnis, rebutan perempuan atau persoalan iri-dengki bisa membuat seseorang kehilangan nyawanya (walau dia bukan PKI) karena difitnah/dilaporkan oleh "pesaingnya". Bapak saya pernah melihat bahwa salah seorang tetangganya yang merupakan seorang Haji dan kaya raya "diambil" oleh sekelompok orang dan tidak pernah kembali lagi. Anak istrinya yang ketakutan pun entah lenyap kemana rimbanya. Sedangkan harta bendanya termasuk tanahnya dijarah dan diserobot. Padahal jelas-jelas, Pak Haji ini bukanlah seorang komunis dan beliau merupakan seorang yang taat agama dan sering berbuat amal. Bisa jadi Pak Haji ini sudah "ditarget" karena kekayaannya. Para penculiknya bukan orang kampung tersebut (Bapak saya dan tetangga-tetangga lainnya tidak mengenal seorang pun dari mereka).
Penjarahan, pemerkosaan, penculikan serta pembunuhan saat itu amat marak seperti yang pernah terjadi pada kerusuhan Mei 1998. Karena, ada selentingan kabar, bahwa siapapun yang membawa kepala seseorang komunis maka akan diberi imbalan sebesar Rp 5.000 (jumlah tersebut saat itu amatlah besar, kira-kira setara dengan Rp 50 juta sekarang kali ya).
Bapak saya mengatakan bahwa saat itu lebih aman menjadi orang miskin, bodoh, dan buta politik. Karena apabila tidak demikian, maka nyawa bisa terancam.
Itulah mengapa selepas perang, walau Bapak saya ikut bertempur bersama Pasukan Siliwangi, tidak berniat mendaftar masuk ketentaraan di Bandung (walau diajak dan dijamin tempat). Karena bagi Bapak saya, cepat atau lambat tentara akan terjebak pusaran konflik politik walau sejatinya tentara tidak pernah ingin terlibat dan akhirnya tentara ikut kena getahnya dan menjadi "korban".
Demikianlah yang terjadi akibat ekses G30S. Pak Maulwi Saelan yang pernah menjadi Komandan Cakrabirawa (Paspampres pada zaman Presiden Soekarno) yang walau tidak pernah terlibat politik ikutan menjadi tahanan politik bersama atasannya (Brigjen M. Sabur) dan para anak buahnya tanpa melalui pengadilan gara-gara ada segelintir anggotanya (yang sebenarnya tidak tahu menahu alias dimanfaatkan kesetiaannya terhadap Presiden Soekarno) untuk ikut "berpartisipasi" dalam gerakan keji yang dinamakan "Gerakan 30 September/G30S"
Adapun kesaksian-kesaksian mengenai peristiwa-peristiwa setelah G30S dari sisi atau versi kaum komunis bisa dilihat dalam tulisan berikut ini: Kesaksian Ketua Gerwani Ungkap Hubungan CIA - Al Quran - PKI vs NU
Sebagai seorang anak dan sebagai seorang warga negara, saya merasa sangat beruntung mempunyai kedua orangtua yang merupakan pelaku sekaligus saksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia melalui masa-masa kelam.
Dari penuturan dan petuah-petuah sejarah oleh Almarhum Bapak, saya bisa belajar mengenai kebijaksanaan dimana untuk menyongsong masa depan, kita harus mengerti sejarah masa lalu. Karena sejarah masa lalu merupakan sarana bagi kita untuk belajar bersikap bijak demi masa depan yang lebih baik lagi.
Kali ini, saya akan menceritakan penuturan kedua orangtua saya mengenai "zaman kegelapan" bangsa setelah peristiwa G30S yang sering disebutkan didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kebetulan, almarhum Bapak saya mempunyai kesaksian mengenai peristiwa terbunuhnya Mayjend (Anumerta) Donald Isaac Pandjaitan. Cerita kesaksian Bapak saya (seingat saya untuk berusaha menuliskannya) pernah saya tulis dalam artikel berjudul Kesaksian Tentang PKI (Bag.1) : Berada Dekat TKP Saat Kejadian Dan Melihat Darah Mayjen D.I. Panjaitan Menetes Di Jalanan
Nah, tulisan ini merupakan sebuah tulisan pamungkas mengenai Partai Komunis Indonesia (PKI) yang G30S-nya "menghebohkan" dunia hingga saat ini masih banyak sejarawan dari dalam dan luar negeri yang mempelajari dan berupaya menyingkap "kabut gelap" sejarah mengerikan bangsa ini.
Lalu bagaimana sih suasana kehidupan pada masa "kejayaan" PKI?
PKI kembali berjaya semenjak pemilu pertama pada tahun 1955 setalah sempat hancur lebur akibat ulah Musso yang memberontak di Madiun pada tahun 1948. Tokoh dibalik kebangkitan PKI sehingga sampai bisa menjadi partai papan atas sejak tahun 1955 adalah Dipa Nusantara Aidit atau lebih dikenal dengan nama DN Aidit (nb: beberapa sumber literatur yang pernah saya baca menyebutkan bahwa nama asli DN Aidit adalah Djafar Nawawi Aidit. Dia menggunakan nama Dipa Nusantara agar lebih "mentereng" dan meng-Indonesia).
DN Aidit, Ketua Commite Central (Pengurus Pusat) alias Ketua Umum Partai Komunis Indonesia |
Tak pelak, ditangan Aidit PKI menjadi partai bermassa besar yang menjadi lawan sepadan bagi Partai Nasional Indonesia (PNI), Nadhlatul Ulama (NU), Masyumi, Murba, dan partai-partai lain. Ditambah lagi upaya PKI untuk menggaet massa amat masif dan terstruktur. Di samping bergerak di jalur politik, mereka juga bergerak dalam aksi sosial seperti pemberdayaan wanita (Gerwani), pemberantasan buta huruf, dan sosial budaya melalui organisasi seniman yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Tak pelak hanya dalam waktu tak sampai 10 tahun setelah "kehancuran besar" pada tahun 1948 mereka berhasil membangun citranya, memiliki massa sangat besar dan menjadi partai yang disegani pada era 1960an (era sebelum meletusnya G30S pada 1 Oktober 1965).
Disamping pakai cara "halus" mereka pun juga memakai cara "kasar" untuk menggaet masyarakat Indonesia yang kebanyakan merupakan rakyat kecil dengan jargon "tidak ada kepemilikan individu, yang ada merupakan kepemilikan bersama" (sesuai dengan paham komunis). Hal itulah yang menyebabkan peristiwa penyerobotan tanah di Bandar Betsy (Sumatera Utara) dan Kediri (Jawa Timur) dan daerah-daerah lain oleh para buruh tani yang memakan korban dan memicu kerusuhan.
Terlebih lagi, pada masa itu ekonomi negara sedang susah. Rakyat pun harus antri untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok.
Lalu bagaimana kehidupan keluarga para "pentolan" PKI tersebut? Apakah mereka benar-benar kafir dan atheis seperti yang dituduhkan?
Ibu saya yang pada era akhir 1950an dan awal 1960an menjadi siswa sebuah SMP negeri di Solo, Jawa Tengah (nama sekolahnya sengaja tidak saya sebutkan disini) menceritakan sebuah hal yang kontradiktif dengan apa yang banyak dianggap orang mengenai seorang komunis.
Hal ini karena ibu saya bahkan satu sekolah dan mengenal langsung (walau tidak dekat alias asal menjadi teman saja) dengan anak Walikota Solo (kala itu) Oetomo Ramelan yang merupakan seorang tokoh PKI. Kebetulan juga di sekolah tersebut juga bersekolah Sri Bintang Pamungkas (mantan politisi senior Partai Persatuan Pembangunan) yang juga kenal dengan ibu saya (nb: walau satu sekolah dan kenal anak PKI, bukan berarti harus ikut-ikutan menjadi PKI kan?).
Menurut penuturan ibu saya, anak Pak Walikota ini pandai bergaul dan baik hati. Pak Walikota pun juga sering membantu melalui koceknya sendiri untuk membiayai kegiatan sekolah. Keluarga Pak Walitota pun ramah.
Pertanyaannya, apakah keluarga Pak Walikota yang komunis ini atheis (seperti anggapan umum bahwa komunis = atheis?). Tidak, keluarga Pak Walikota bahkan taat beribadah (mama saya sering melihat anak Pak Walikota melaksanakan shalat di sekolah). Jadi sebenarnya, komunis itu bukanlah dogma anti agama, melainkan dogma politik walaupun kaum komunis kerap bilang "agama adalah racun dunia".
Sebenarnya soal isu "agama adalah racun dunia" versi komunis ini amat relevan apabila melihat kondisi sekarang. Agama bukannya mencerahkan dan memberi ketentraman, malahan digunakan sebagai alat pemecah belah bangsa (padahal komunis sendirinya juga sering melakukan praktek fitnah untuk "menggembosi" lawan-lawan politiknya).
Saat G30S pecah, Bapak dan Ibu masih sudah menikah dan tinggal di Jakarta. Ketika mudik ke Solo (kampung Ibu saya) dan Madiun (kampung Bapak saya), mereka melihat pemandangan yang "mengerikan" sebagai ekses peristiwa (yang disebut sebagai) kudeta tersebut.
"Pembersihan" terhadap orang-orang yang dianggap PKI ternyata memang banyak salah sasaran atau dimanfaatkan oleh sekelompok golongan yang "memancing di air keruh".
Banyak korban yang dibantai karena dianggap PKI sejatinya bukan merupakan seorang simpatisan komunis apalagi seorang PKI. Masalah persaingan bisnis, rebutan perempuan atau persoalan iri-dengki bisa membuat seseorang kehilangan nyawanya (walau dia bukan PKI) karena difitnah/dilaporkan oleh "pesaingnya". Bapak saya pernah melihat bahwa salah seorang tetangganya yang merupakan seorang Haji dan kaya raya "diambil" oleh sekelompok orang dan tidak pernah kembali lagi. Anak istrinya yang ketakutan pun entah lenyap kemana rimbanya. Sedangkan harta bendanya termasuk tanahnya dijarah dan diserobot. Padahal jelas-jelas, Pak Haji ini bukanlah seorang komunis dan beliau merupakan seorang yang taat agama dan sering berbuat amal. Bisa jadi Pak Haji ini sudah "ditarget" karena kekayaannya. Para penculiknya bukan orang kampung tersebut (Bapak saya dan tetangga-tetangga lainnya tidak mengenal seorang pun dari mereka).
Penjarahan, pemerkosaan, penculikan serta pembunuhan saat itu amat marak seperti yang pernah terjadi pada kerusuhan Mei 1998. Karena, ada selentingan kabar, bahwa siapapun yang membawa kepala seseorang komunis maka akan diberi imbalan sebesar Rp 5.000 (jumlah tersebut saat itu amatlah besar, kira-kira setara dengan Rp 50 juta sekarang kali ya).
Bapak saya mengatakan bahwa saat itu lebih aman menjadi orang miskin, bodoh, dan buta politik. Karena apabila tidak demikian, maka nyawa bisa terancam.
Itulah mengapa selepas perang, walau Bapak saya ikut bertempur bersama Pasukan Siliwangi, tidak berniat mendaftar masuk ketentaraan di Bandung (walau diajak dan dijamin tempat). Karena bagi Bapak saya, cepat atau lambat tentara akan terjebak pusaran konflik politik walau sejatinya tentara tidak pernah ingin terlibat dan akhirnya tentara ikut kena getahnya dan menjadi "korban".
Demikianlah yang terjadi akibat ekses G30S. Pak Maulwi Saelan yang pernah menjadi Komandan Cakrabirawa (Paspampres pada zaman Presiden Soekarno) yang walau tidak pernah terlibat politik ikutan menjadi tahanan politik bersama atasannya (Brigjen M. Sabur) dan para anak buahnya tanpa melalui pengadilan gara-gara ada segelintir anggotanya (yang sebenarnya tidak tahu menahu alias dimanfaatkan kesetiaannya terhadap Presiden Soekarno) untuk ikut "berpartisipasi" dalam gerakan keji yang dinamakan "Gerakan 30 September/G30S"
Maulwi Saelan (mengenakan baret dan tersenyum) kala sedang mengawal Presiden Soekarno |
Adapun kesaksian-kesaksian mengenai peristiwa-peristiwa setelah G30S dari sisi atau versi kaum komunis bisa dilihat dalam tulisan berikut ini: Kesaksian Ketua Gerwani Ungkap Hubungan CIA - Al Quran - PKI vs NU
Sedangkan keperihan yang timbul akibat peristiwa G30S bisa Anda ketahui dalam kisah nyata berikut: Pierre Tendean Di Mata Kakak-Adiknya, Kasih Tak Sampai, Kemarahan Ibunda Soal Kematiannya
Jangan pernah sesekali melupakan sejarah, karena sejarah, sekali lagi, merupakan jembatan bagi kita untuk melangkah ke masa depan. Mari kita bersatu demi membangun Indonesia yang lebih baik di masa depan.
(istimewa)
No comments:
Post a Comment