Wednesday, November 18, 2015

Kesaksian Tentang PKI (Bag.1) : Berada Dekat TKP Saat Kejadian Dan Melihat Darah Mayjen D.I. Panjaitan Menetes Di Jalanan

Jenderal D.I. Panjaitan
Mayjen (Anumerta) D.I. Panjaitan
Ini adalah cerita (alm) Bapak saya yang ia ceritakan ketika saya masih duduk di kelas 1 SMP. Sebuah kesaksian yang cukup membuat merinding mengenai peristiwa penculikan serta pembunuhan Mayjen (Anumerta) D.I. Panjaitan yang terjadi seolah begitu dekat di depan mata.

Saat itu saya merasa penasaran dengan Peristiwa G30S pada dinihari 1 Oktober 1965 setelah sekolah saya mengadakan study tour ke Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya. Hingga saat itu, setiap menonton film "Pengkhianatan G30S/PKI" yang wajib ditayangkan oleh televisi setiap tanggal 30 September, saya merasa biasa saja dan tidak seperti anak-anak lain yang merasa ketakutan atau bahkan sampai trauma.

Rasa penasaran saya timbul setelah mengetahui teman sekolah saya yang terkenal bandel dan sok jago di sekolah (berbeda kelas walau sama-sama kelas I) lari terbirit-birit dan terkencing-kencing di celana karena ketakutan setelah melihat koleksi dalam Museum Pancasila Sakti. Saya pun, entah kenapa, merasa semriwing setelah melihat sumur maut dan tidak berani masuk ke dalam rumah penyiksaan tempat para jenderal disiksa. Kejadian ini membuat saya mafhum dan teringat kata-kata (alm) kakak sulung saya saat ia melarang saya menyentuh buku "Pengkhianatan G30S/PKI" (entah sekarang bukunya berada dimana, mungkin hanyut terbawa banjir besar). Saat itu kakak saya membentak: "Elo masih kecil jangan baca, ntar lo nggak bisa tidur". Dan apa yang dikatakannya memang benar. Setelah mengunjungi Lubang Buaya saya dan beberapa teman sekelas tidak bisa tidur nyenyak selama seminggu penuh!

Belakangan setelah mencari informasi sana-sini, ternyata banyak kejadian pengunjung Kompleks Monumen Pancasila Sakti yang kesurupan.

Dan saya akan tuliskan kesaksian dan pengalaman (alm) Bapak saya tentang peristiwa maut yang terjadi tak jauh dari tempatnya berada. Tanpa ada fakta yang ditambahkan atau dikurangi sedikit pun. Dan terus terang saya menuliskan ini dengan sedikit gemetar.

Hari itu, 1 Oktober 1965, tidak disangka-sangka bakalan menjadi hari yang panjang dan menentukan sejarah bangsa dan Republik Indonesia. Terlebih lagi, untuk kedua kalinya Bapak merasa "dejavu" dengan PKI setelah sebelumnya ia dan keluarganya nyaris menjadi korban keganasan gerombolan PKI pimpinan Muso pada Desember 1948 di Madiun.

Subuh itu, seperti biasa, Bapak yang berprofesi sebagai sopir pribadi, berangkat kerja dari rumah kontrakan di bilangan Gandaria, Kebayoran Lama, menuju rumah bos-nya di kawasan Mampang Prapatan dengan berjalan kaki. Ya, Bapak saya memang suka berjalan kaki ke tempat kerja karena membuatnya sehat. Di rumah bosnya pun boleh mandi sebelum kerja.

Sekitar pukul 04.30 setelah adzan subuh, Bapak sudah sampai di Jalan Faletehan (sekitar Peruri sekarang yang bersebelahan dengan Terminal Blok M). Lokasi tersebut berada di belakang rumah Brigjen D.I. Panjaitan yang berlokasi di Jalan Sultan Hasanuddin (Blok M, Kebayoran Baru Jakarta Selatan). Sejujurnya, setiap subuh melewati tempat tersebut, Bapak tidak tahu bahwa di tempat tersebut terdapat rumah kediaman seorang Jenderal.

Saat melewati tempat tersebut pada subuh itu pun Bapak tidak melihat sesuatu yang berbeda atau mencurigakan. Sepi seperti biasanya.

Ketika sedang berjalan cukup jauh selewat SMK Penerbangan sekarang, ia mendengar serentetan bunyi tembakan gencar. Tar! Tar! Tar! Bunyi tembakan tersebut terdengar dari kejauhan walau tidak terlalu keras. Saat itu Bapak malahan berpikir, mungkin polisi sedang memburu garong. Maklum, saat itu garong memang marak di Jakarta karena kondisi ekonomi yang sangat sulit.

Jadi ia meneruskan terus berjalan sambil mengisap rokoknya dengan santai. Kata Bapak, setiap pagi ia merokok sebelum kerja agar tidak ngantuk. Sedangkan saya sama sekali anti rokok.

Ia menyempatkan berhenti sejenak untuk (maaf) buang air kecil di bawah sebuah pohon di dekat selokan pinggir jalan (perbuatan ini jangan dicontoh ya). Di dekatnya, tepatnya di seberang jalan, pun ada beberapa gelandangan yang tidur di pinggir jalan di dekat sebuah kios rokok yang sudah buka. Saat sedang "asyik" tersebut ia mendengar suara gaduh mesin kendaraan yang meraung. Ia menoleh. Rupanya ada truk tentara dan bus PPD (bus kota) yang melintas di depan hidungnya (Bapak tak menyebutkan mengenai jumlah truk tentara dan bus yang melintas). Bapak melirik ke arloji Seiko (Seiko asli lho) pemberian bosnya. Saat itu pukul 05.25 subuh. Hari sudah terang.

Dalam momen tersebut Bapak melihat bahwa tentara yang menaiki truk tersebut (di bagian belakang truk) kelihatan masih muda, kira-kira usia 22-25 tahun. Wajah mereka tampak tegang dengan tatapan seperti sedang memikirkan sesuatu hal yang berat. Mereka tidak menatap ke kanan kiri jalan, melainkan hanya menatap lurus saja. Bahkan mereka pun seolah tidak peduli atau tidak memperhatikan Bapak saya yang sedang asyik buang air kecil di pinggir jalan.

Dalam pengamatannya yang sekilas itu terlihat bahwa mereka membawa senjata panjang. Namun sayangnya, Bapak tidak melihat apakah pada truk tersebut ada logo Tjakrabirawa atau tidak, karena kejadiannya agak cepat.

Namun, pada bus PPD yang melintas tersebut, Bapak melihat bus tersebut ditumpangi banyak tentara.

Melintasnya kendaraan-kendaraan tersebut yang deru mesinnya berisik pun membangunkan para gelandangan di seberang jalan. Namun mereka sepertinya hanya melihat sekilas tanpa memperhatikan kendaraan-kendaraan bising yang melintas tersebut.

Bapak menyeberang jalan ke arah lajur kiri. Nah, ini dia! Dia melihat ceceran tetesan berwarna merah gelap di aspal pada bagian tengah jalan. Ukuran tetesannya konstan dalam jarak sekitar 1 meter. Ukuran tetesan tersebut kira-kira seukuran uang logam Rp 25 (anak sekolah era 1980-an sampai awal era 1990-an pasti pernah punya uang logam untuk jajan es mambo ini).

Sampai saat itu Bapak masih berpikir tidak ada sesuatu yang janggal. Ia mengira mungkin mereka habis menembak kawanan garong dan membawa garong-garong tersebut ke rumah sakit untuk diotopsi. Jadi ia terus berjalan ke Mampang melewati gelandangan yang hanya garuk-garuk kepala kemudian tidur lagi.

Saat tiba di rumah bosnya, ia pun masih belum menyadari sesuatu yang sedang terjadi. Begitu pula sang bos yang duduk santai di teras sembari mendengarkan radio dan sarapan dengan Bapak. Jam menunjukkan pukul 07.00 lewat sedikit ketika sebuah pengumuman yang disebut Bapak mengenai "Gerakan 30 September telah menyelamatkan Presiden Soekarno". Mendengar hal tersebut, bos Bapak spontan menyeletuk "Ada peristiwa kudeta kok kita tidak tahu. Ini Aneh". Saat Bapak menceritakan pengalamannya di sepanjang perjalanan ke Mampang tadi, barulah mereka berdua menyadari ada "sesuatu kejadian yang tidak beres". Karena, kata bos Bapak, tidak mungkin tentara memburu garong. Ya, bisa jadi, itu bisa jadi ada kaitannya dengan pengumuman yang didengar di radio ini.

Sepanjang perjalanan ke kantor pun mereka berdua tidak melihat sesuatu yang janggal. Bahkan hingga malam hari (Bapak saya lembur karena harus mengantar bosnya rapat direksi kantor hingga larut malam). Namun sekitar jam 23.00 barulah didapat kabar jelas bisa dipercaya bahwa telah terjadi pembunuhan dan penculikan para jenderal. Info tersebut didapat dari beberapa pegawai bos Bapak saya yang sempat pulang sebentar.

Bapak baru menyadari, bahwa ceceran darah yang ia temui di jalanan pada subuh tadi bisa jadi adalah darah salah satu jenderal tersebut setelah temannya tersebut mengatakan "penembakan terjadi di Blok M dan Menteng".

Dan keesokan paginya, 2 Oktober 1965, Jakarta seolah amat mencekam karena banyak tentara berjaga dimana-mana. Desas-desus yang berhembus bahwa PKI yang melakukan perbuatan keji tersebut seolah membuat luka lama Bapak terbuka kembali. Bapak dalam hati merasa marah karena menjadi teringat kebiadaban PKI di Madiun pada tahun 1948 yang ia lihat sendiri serta nyaris merenggut keluarganya. Terlebih lagi sebelum terjadinya peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal pada dinihari 1 Oktober 1965 tersebut, PKI beserta ormas-ormasnya telah banyak melakukan aksi sepihak yang meresahkan masyarakat di berbagai tempat.

Setelah 1 Oktober 1965 suasana Jakarta amat mencekam. Rasa saling curiga merebak dimana-mana. Lalu, banyak orang yang menonton proses pengangkatan jenazah dari sumur maut di televisi dengan perasaan sedih dan tidak percaya. Mengapa semuanya ini bisa terjadi?

Suasana haru makin terasa saat iring-iringan panser yang mengangkut peti jenazah para Pahlawan Revolusi melintas saat menuju Taman Makam Pahlawan Kalibata pada 5 Oktober 1965. Banyak wanita muda yang meneteskan airmata, khususnya saat panser yang membawa jenazah Lettu Pierre Tendean melintas. Maklum, Lettu Pierre Tendean ini berwajah tampan dan setengah bule. Seandainya Bapak merupakan orang berpunya, mungkin ia akan merekam iring-ringan yang melintasi jalan depan rumah bosnya dengan kamera.

Beberapa dekade kemudian, fakta-fakta mengenai penculikan Jenderal Panjaitan didapatkan dari beberapa literatur mengenai kesaksian Catherine Panjaitan (putri Jenderal D.I. Panjaitan) tentang pembunuhan keji terhadap ayahnya (saya lupa judulnya).

Dalam melancarkan aksinya, gerombolan brutal tersebut menembaki seisi rumah Jenderal Panjaitan serta merusak perabotan-perabotan yang ada. Pantas saja Bapak mendengar serentetan tembakan-tembakan tersebut. Sambil menembak membabi-buta tersebut, gerombolan tersebut memerintahkan Sang Jenderal agar turun menemui mereka sembari mengancam akan meledakkan seisi rumah tersebut apabila perintah mereka tidak diluluskan. Dalam peristiwa ini, dua orang sepupu Catherine terkena tembakan. Albert Naiborhu tewas. Sedangkan Victor Naiborhu selamat dengan luka tembak di kakinya.

Akhirnya dengan berpakaian dinas lengkap, Jenderal Panjaitan turun. Di teras garasi, ia menyempatkan diri berdoa sejenak. Namun rupanya, hal tersebut malahan membuat para gerombolan menjadi kalap. Catherine melihat ayahnya ditembak dari jarak dekat. Darah membanjir di lantai garasi. Juga ada semacam cairan putih bercampur darah di tempat tersebut, yang belakangan diketahui merupakan bagian otak Sang Jenderal. Ya, Brigjen D.I. Panjaitan gugur dengan luka tembak parah di kepala bagian belakang dan tubuh. Raganya yang tegap gugur oleh berondongan peluru senapan Thomson.

Kekejian mereka belum berakhir disitu. Karena pintu pagar dan garasi rumah Jenderal Panjaitan masih dalam keadaan terkunci, mereka melemparkan jenazah sang Jenderal tersebut dari ketinggian pagar yang tingginya kira-kira 2 meter lalu melemparkan jenazah ke dalam truk untuk menuju Lubang Buaya. Sungguh biadab.

Peristiwa penculikan dan pembunuhan Brigjen D.I. Panjaitan, digambarkan dalam cuplikan film "Pengkhianatan G30S/PKI" di bawah ini:



Pada tulisan saya berikutnya, saya akan tuliskan cerita Bapak saya saat terjadinya Peristiwa Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 yang (sekali lagi) nyaris merenggut nyawa sekeluarganya.

Peristiwa ini sungguh merupakan sebuah kejadian sejarah yang kelam. Mari kita perkuat kewaspadaan. Jangan sampai ekstremisme seperti ini terulang lagi. Jayalah Indonesia. Jayalah Pancasila.

No comments:

Post a Comment