Saturday, May 1, 2021

Miris: Tubuh Kolonel Iwa, Mantan Komandan KRI Nanggala-402 Kurus Kering, Rumah Dijual untuk Pengobatan

Mantan Komandan Kapal Selam KRI Nanggala-402 Kolonel Laut (P) Iwa Kartiwa terbaring lemah akibat penyakit paru-paru kronis yang dideritanya. 

Momoh Fatimah (83), ibu kandung Iwa Kartiwa, mengatakan, Iwa mengalami sakit setelah 26 tahun bertugas di kapal selam. Selama ini, lanjut Momoh, Iwa selalu memaksakan bertugas dan rasa sakitnya tak pernah terasa. 

Kolonel Iwa semasa masih sehat dan aktif 

Tak heran, badan Iwa jadi kurus kering dan menderita penyakit paru-paru akibat selalu mengisap bubuk besi saat berlayar di kapal selam. Kini, mantan komandan kapal selam KRI Nanggala-402 itu hanya bisa terbaring lemah dan sulit berbicara. 

"Makanya badannya kurus dan kecil. Iwa sangat paham sekali pekerjaan yang diembannya sebagai ahli kapal selam di Indonesia," ujar Momoh, saat ditemui di rumahnya, Sabtu (1/5/2021) pagi. 

Iwa terpaksa menjual rumahnya. Kini Iwa dan keluarganya tinggal di gang sempit yang ada di wilayah Paseh, Kota Tasikmalaya. "Kalau rumahnya dulu ada, tapi bukan di Jati, di Parhon itu. Itu sudah lama dijual untuk berobat," kata Heni Hunaeni (62), ibu mertua Iwa. Heni mengatakan, Iwa merupakan prajurit TNI AL aktif. Masa tugas Iwa masih menyisakan enam tahun lagi menuju waktu pensiun. Heni hanya bisa berharap Iwa kembali sehat dan bisa membesarkan ketiga anaknya yang masih kecil. 

Sebelumnya diberitakan, mantan Komandan Satuan Kapal Selam (Satsel) Koarmada II sekaligus mantan Komandan KRI Nanggala-402 Kolonel Laut (P) Iwa Kartiwa terbaring lemah akibat penyakit yang dideritanya. Iwa selama ini dikenal sebagai perwira Angkatan Laut di kampung halamannya Tasikmalaya sekaligus adik kandung kelima dari mantan Kapolda Jawa Barat Inspektur Jenderal (Irjen) Purnawirawan Anton Charliyan. 

Kondisi kesehatan Iwa sampai sekarang belum juga membaik. Iwa kini diurus oleh istri dan anak-anaknya. "Iya, Iwa itu adik kandung saya dan dia juga sebagai salah satu petugas pelopor kapal selam di Indonesia. Iwa sekarang terbaring sakit dan saat mendengar insiden KRI Nanggala, kami langsung nangis. Namun, mereka sudah tahu risiko pasukan khusus kapal selam itu gadaikan hidupnya dengan maut," jelas Anton saat dihubungi via WhatsApp pada Hari Jumat (30/4/2021).

Wednesday, April 21, 2021

Kisah Nyata: Istri Anak Ibu Ini Ternyata Adalah Putrinya yang Lama Hilang

Seorang wanita di China merasa kaget dan sedih karena mengetahui menantunya (istri putranya) ternyata adalah anak kandungnya yang lama menghilang. 

Diberitakan 8 World News, semua berawal ketika perempuan itu hadir dalam pernikahan anaknya di Suzhou, 31 Maret lalu. Saat itu, dia melihat ada tanda lahir di tangan menantunya, dan menyadari bahwa dia merasa familiar melihatnya. 

Detik-detik seorang wanita di China menangis karena mengetahui bahwa ia menikah dengan anak ibunya

Si ibu kemudian menduga bahwa menantunya adalah anak kandung yang menghilang ketika dia masih kecil. Wanita itu awalnya ragu. Namun, dia mengumpulkan keberanian dan mengajukan pertanyaan berani ke besannya. 

"Apakah kalian mengadopsi anak ini?" tanya dia yang jelas membuat besannya terperangah, karena mereka tak pernah membeberkan rahasia itu. Si ibu kemudian menjabarkan bahwa tanda lahir di tangan pengantin wanita mirip dengan putrinya yang sudah lama hilang. 

Setelah keluarga si perempuan mengungkapkan fakta dia memang diadopsi, si pengantin menangis bahagia. Si mempelai menyatakan, bisa menemukan orangtua kandungnya merupakan kebahagiaan lain setelah menikah. 

Namun, seperti dilansir World of Buzz, Selasa (6/4/2021), kini si mempelai khawatir karena satu hal lain. Sebabnya, dia menikahi suami yang adalah saudaranya. Namun, ibunya mengungkapkan bahwa putranya itu ternyata juga diadopsi. 

Media berbahasa Mandarin Oriental Daily mengabarkan, keluarga si wanita menemukannya di jalan 20 tahun silam, dan membesarkannya seperti putri kandung. Adapun ibu kandungnya yang terus mencarinya akhirnya menyerah, dan memutuskan mengadopsi anak laki-laki.

Untunglah keduanya merupakan anak adopsi. Sebab apabila bukan maka disebut incest dan pelaku incest bisa mendapatkan hukuman berat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di China. 

Foto: Ulama Malaysia Dikecam Netizen Karena Berfoto Bersama Selebgram Seksi

Seorang ustaz di Malaysia atau Pencetus Ummah (PU) dalam bahasa setempat, dikecam netizen karena berfoto bareng dua selebgram seksi. 

Foto-foto kontroversial yang telah dihapus itu pertama kali diunggah pada Minggu 18 April 2021 oleh influencer Nadira Isaac di media sosial Instagram, dalam peluncuran produk kecantikan terbarunya, Troieka. 

Ia mengundang Ustaz Amin untuk menyampaikan khotbah singkat terkait Ramadhan. 

Foto: Ulama Malaysia Dikecam Netizen Karena Berfoto Bersama Selebgram Seksi
Ustaz Amin (tengah) dikecam netizen Malaysia karena berfoto dengan selebgram seksi di acara peluncuran produk kosmetik

Terlihat Nadira dan selebgram lainnya yaitu Hertonnye Linggom terlihat mengenakan gaun putih ketat yang menjuntai panjang. Foto itu kemudian memantik kecaman netizen karena dinilai terlalu seksi dan memperlihatkan aurat, yang dianggap tidak pantas dalam Islam apalagi saat bulan suci Ramadhan. 

Ustaz Amin berkata ke media Utusan Malaysia, bahwa dia yakin tidak melakukan sesuatu yang salah atau tidak pantas, karena tidak menyentuh atau memeluk kedua wanita tersebut. "Ya memang benar baju mereka tidak menutup aurat, tapi apa yang harus saya katakan? 'Tidak, kamu masuk neraka' saat mereka minta foto bareng?" bela Ustaz Amin.

"Hal sama berlaku untuk komunitas transgender yang meminta foto bersama, apa saya akan mengatakannya juga?" "Orang-orang menghina saya karena tersenyum di foto - itulah yang namanya berfoto. Apa saya harus membuat wajah marah," tambahnya. 

Ustaz Amin kemudian mengaku sudah membicarakan acara itu dengan istri dan teman-temannya sebelum menghadiri undangan. "Mereka semua memberitahu saya ini kesempatan untuk berkhotbah dan itulah yang saya lakukan di sana." "

Saya berbicara tentang cara berpakaian yang benar, mengamati kepekaan selama bulan Ramadhan, dan kekuatan serta kasih sayang Allah - para tamu senang dan menanggapi sesi saya dengan baik," katanya.

Meski menyatakan pembelaan, Ustaz Amin tetap meminta maaf di media sosialnya lewat story Instagram. "Saya minta maaf jika perbuatan saya berfoto itu memalukan dan tidak pantas.

Thursday, December 24, 2020

Foto: Kisah Nyata Penis Kecil Napoleon Bonaparte yang Berpindah-pindah Tangan Antar Benua


"Setiap kali seseorang menyiratkan bahwa sejarah itu membosankan, saya bawakan penis Napoleon," tulis Tony Perrottet dalam bukunya Napoleon's Privates: 2,500 Years of History Unzipped. Buku itu terbit pada 2008.  

Alkisah, seorang dokter mencabut penis Napoleon selama otopsi pada 1821. Lalu, dokter itu memberikanya kepada pendeta di Corsica. Keluarganya menyimpan penis itu setelah sang pendeta meninggal beberapa tahun kemudian. Selanjutnya, penis itu berpindah tangan, dibeli oleh kolektor Inggris pada 1916. Penis Napoleon sempat dipamerkan di Manhattan, New York City pada 1927.

Perrottet diwawancarai oleh David Farley yang dirilis di Worldhum, majalah daring tentang perjalanan. Dalam wawancara itu ia mengingat sebuah artikel majalah Time yang mengungkapkan ada banyak tangis dan cekikikan diantara penonton yang menyaksikan saat itu dipamerkan.

Penis Napoleon sempat dilelang di London pada 1969, namun tidak laku terjual. Kemudian dilelang kembali di Paris pada 1977 dan dibeli oleh John Kingsley Lattimer, salah satu ahli urologi terkemuka dunia.

John membawanya relik seharga $3.000 itu pulang ke New Jersey dan menyimpanya di bawah tempat tidur sampai ia meninggal 30 tahun kemudian. Menurut Time, putri John telah menerima warisan penis Napoleon itu.

Perrottet mengatakan pada David bahwa Lattimer memang tertarik pada peninggalan-peninggalan yang tidak wajar—seperti kerah berlumuran darah Abraham Lincoln. Karena itulah, Perrottet pergi ke New Jersey untuk melihat barang-barangnya sebelum Lattimer meninggal.

"Ia tidak akan menunjukkan penis itu kepada saya. Saya bertanya lebih dari satu kali apakah saya bisa melihatnya, dan dia terus mengatakan bahwa dia tidak ingin menunjukkannya. Tapi setelah dia meninggal tahun lalu, putrinya—yang mewarisi penis Napoleon—tiba-tiba menunjukkanya padaku," kata Perrottet pada percakapanya dengan David pada 2008.

Dalam buku Perrottet, saat sang dokter mengambil penis Napoleon, ia menyimpanya pada sebuah kotak tanpa formaldehida. Karenanya penis itu mengering dan terlihat "agak mirip dendeng".

Pada 2014 lalu, seorang presenter Channel 4 bernama Mark Evans datang ke New Jersey untuk melihat penis Napoleon. Pemiliknya saat ini adalah Evan Lattimer, putra dari John Lattimer.

Foto: Kisah Nyata Penis Kecil Napoleon Bonaparte yang Berpindah-pindah Tangan Antar Benua
Penis Napoleon Bonaparte


Evan Lattimer memandang bahwa relik itu adalah peninggalan berharga dan hanya mengizinkan 10 orang untuk melihatnya. Sebelumnya, benda itu juga tidak pernah difoto maupun difilmkan. 

“Saya telah melihat banyak penis, dari chihuahua hingga paus sperma. Ini sangat layu, ”kata Mark Evans di laman Independent. “Tempat terakhir yang saya harapkan untuk menemukannya adalah di New Jersey. Sungguh aneh bagaimana penis yang layu telah menjelajah lebih jauh ke seluruh dunia lebih daripada apa yang pernah dilakukan Napoleon."

Pada halaman yang sama, disebutkan bahwa ukuran penis Napoleon berukuran satu setengah inci. 

Kisah Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia

Desember adalah bulan perempuan. Dan tanggal 22 Desember adalah "Hari Ibu" setelah sebelumnya diresmikan pada Kongres Perempuan yang diadakan di Yogyakarta pada 22 Desember 1928. 

Martabat seorang perempuan sejajar dengan laki-laki dan patut dihormati. Tapi hingga kini masih ada perempuan yang hidup dalam dunia patriarki. Sehingga eksistensinya menjadi minoritas. Lebih lagi bahwa perempuan itu adalah keturunan Tionghoa. Maka ia berminoritas ganda.

Kisah Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia
Perempuan-perempuan Tionghoa berkebaya encim dengan dandanan tempo dulu. Mereka tampil dalam salah satu rangkaian acara pameran dan diskusi buku Peranakan Tionghoa Indonesia di Kota Lama Semarang.


Kita perlu kembali pada sejarah perempuan itu sendiri terutama pada karya-karya sastra. Melihat bagaimana ia terdiksriminasi dan tersiksa. Bukan maksud untuk menakut-nakuti. Tapi dari pelajaran sejarah kita bisa mempelajari kesalahan masa lalu supaya tidak terulang di masa depan.

Naning Pranoto, seorang Novelis dan Penggerak Literasi menceritakan banyak kisah perempuan Tionghoa yang bisa diambil saripatinya. Hal ini tertuang dalam buku-bukunya yang berjudul Mei Merah 1998, Miss Lu, Musim Semi di Shizi, dan Naga Hongkong.

Semua novelnya berpijak dari kisah nyata. Supaya ada pelajaran yang dapat diambil pada tiap ceritanya. "Semua novel saya berpijak dari kisah nyata. Saya senang menulis bersifat naratif. Saya ingin membagikan cerita yang ada rasa air mata. Saya ingin menulis untuk pencerahan," kata Naning di acara Serial Webinar Nggosipin Tionghoa Yuk!.

Bukunya, Mei Merah 1988 mengisahkan tragedi kelam pemerkosaan pemerempuan Tionghoa pada masa akhir kepemimpinan Soeharto. Inspirasinya dia dapat dari seorang anak gadis Tionghoa korban pemerkosaan.

Naning saat itu sedang menerapkan terapi pada perempuan yang kadung linglung itu. Dengan menulis puisi atau dalam istilah terapinya "menangis di atas kertas".

"Dari situ saya tersentuh pengen nangis juga. Saya mengumpulkan kliping ingin menulis novel," tutur Naning.

Cerita lainya juga ia dapati dari seorang supir taksi online kala ia membawa banyak kliping soal data-data kejadian 1998. Supir perempuan berdarah Tionghoa itu bercerita bahwa ia dahulu adalah saksi kerusuhan Mei 1998.

Rumahnya tidak dirusak karena dianggap miskin. Tapi ia menyaksikan bagaimana orang-orang menjarah, merusak, dan memperkosa perempuan-perempuan Tionghoa. Ia bercerita bahwa di kompleknya ada pengumuman dari Lurah supaya orang Tionghoa berkumpul di lapangan agar dilindungi. Tapi ibunya tidak percaya, menyuruh keluarganya sipa memegang senjata. Sang supir itu bawa jarum untuk jaga-jaga.

"Terus akhirnya saya wawancara dia. Saya minta dia ke rumah saya. Dia cerita sambil nangis dari pagi jam 10 sampai jam 5 sore. Setelah itu saya menulis novel itu," ucap Naning. 

Kisah Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia
Novel "Mei Merah"


Novel lainya, masih bertema perempuan Tionghoa. Seperti novel Musim Semi di Shizi yang bercerita seorang perempuan berdarah Tionghoa kelahiran Amerika berumur 50 tahun yang jatuh cinta kepada seorang pemuda. Lalu Naga Hongkong yang bercerita soal kisah TKW di Hongkong yang mendapat perlakuan baik dengan segala toleransi dari orang-orang Hongkong.

Naning adalah seorang novelis yang menggemari karya sastra Pearl S. Buck. Ia dekat dengan orangorang Tionghoa sejak kecil. Maka itu, ia terinspirasi untuk menulis karya sastra bertema Tionghoa.

"Saya dilahirkan di Yogyakarta, keluarga kami adalah pedagang yang dekat sekali hubunganya dengan orang Tionghoa. Bahkan bapak saya selalu mengajarkan untuk hidup seperti orang Tionghoa yang rajin, hemat, dan disiplin," ucap Naning, "Niru Cino." 

Lanjutnya, bahwa seorang perempuan adalah rahim. Bukan hanya seorang yang disetubuhui tapi penyubur kehidupan. Perempuan adalah payudara yang tidak hanya menyusui tapi kita bisa mengambil saripati kehidupan.

Widya Fitria Ningsih, Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Vrije Universiteit Amsterdam & Staf Pengajar Departemen Sejarah UGM punya cerita lain soal diaspora perempuan Tionghoa di Belanda. Bahwa komunitas itu membawa warisan kultural yang kompleks. 

"Apa faktor pendorong perempuan Tionghoa melakukan migrasi ke Belanda saya rasa sudah banyak dibahas oleh forum sebelumnya baik Masa kolonial maupun pasca kolonial. Masa kemerdekaan bangsa kita mewarisi kolonial, Tionghoa menjadi Indonesia yang lain, karena diskriminasi. Beberapa diantara mereka harus mengubah nama. Misalnya nama belakang mereka," katanya di acara yang sama. 

Pada saat kemerdekaan sampai 1960, Widya menemukan dilema perempuang Tionghoa untuk memilih antara Indonesia, Tiongkok, atau Belanda. Kekhawatiranya bahwa di Indonesia ada bahaya kawin campur dan di Tiongkok ada larangan beragama, gumam Widya yang mengutip tulisan di majalah Liberty.

Belanda meruakan pilihan logis bagi mereka. karena memang eks kolonialisme dan ada kedekatan kulutral. Alhasil, ada sekitar 400.000 orang Tionghoa yang pada saat itu melakukan migrasi ke Belanda.

Sedikit cerita dari penelitian Widya ini sebetulnya ingin mengungkapkan bahwa narasi perempuan Tionghoa selama ini diabaikan. Dengan menulis tentang itu, Widya berharap untuk mendobrak bingkai nasional yang selalu terpaku pada elit laki-laki. Narasi perempua telah luput dalam sejarah Indonesia.

Sumber: National Geographic Indonesia

Rentetan-rentetan Praktik Korupsi Pemicu "Perang Jawa" Pangeran Diponegoro

Setelah lengsernya VOC (Serikat Dagang Hindia) ke tangan pemerintah kolonial Belanda yang berada di bawah pengaruh Perancis, Hindia Belanda melakukan perubahan administrasi melalui kepemimpinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. 

Namun tetap saja praktik korupsi masih marak dilakukan tak hanya oleh pemerintah kolonial, tapi juga pemerintahan Kesultanan Mataram yang membuat Pangeran Diponegoro jadi gerah.

Lukisan Raden Saleh "Penangkapan Pangeran Diponegoro"


Melalui seminar yang diadakan oleh KPK beberapa tahun silam, Peter Carey menyampaikan "Praktik korupsi sejatinya bukanlah hal yang baru dalam tatanan hidup masyarakat melainkan sudah ada sejak dahulu. Korupsi dianggap mampu merusak tatanan sosial dan bahkan dapat memicu instabilitas politik-ekonomi. Ditengarai, perang Dipanagara pun salah satu penyebabnya adalah praktik-praktik korupsi yang merajalela pada saat itu”.

Sejarawan Onghokham, dalam Tradisi dan Korupsi, menambahkan bahwa di lingkup kesultanan di Jawa memaknai uang negara adalah uang raja. Pada masa itu pun jual beli jabatan dianggap sesuatu yang legal, dengan cara menyetor upeti kepada raja.

Di Mataram, tidak ada pusat yang mengurus keuangan negara atau tidak ada sentralisasi keuangan. Setiap jabatan berdiri sendiri dan otonom, yang satu tidak ada huungan dengan yang lain," tulisnya. "Di sini jelas tidak ada pemisahan antara kepentingan pribadi dan umum."

Melalui bukunya yang berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, isu korupsi juga menjadi pemicu Perang Jawa. Ia menuliskan bahwa Pangeran Diponegoro sempat menampar Patih Danureja IV dari Yogyakarta dengan selop akibat penyewaan tanah kerajaan yang diberikan kepada bangsa Eropa.

Tak bisa dipungkiri, usaha penyewaan tanah kepada bangsa Eropa membawa keuntungan yang menggiurkan sehingga membuat pejabat kesultanan korup. Penyewaan tersebut didapat dengan praktik suap yang bisa menggembungkan kantong pejabat.

Dalam bukunya, Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa, Carey menyebutkan dalam transaksi hasil perkebunan banyak ditemukan praktik uang pelicin dalam bea cukai petugas penjaga gerbang kota. Gerbang kota menjadi tempat yang umum dalam kasus pemerasan dan penyitaan hasil kebun pribumi, maka uang pelicin berfungsi agar pengaduan tersebut tak sampai ke telinga pejabat Jawa.

"Ditambah, lika-liku prosedur untuk mengajukan kasus ke pengadilan atau ke hadapan para penguasa adalah cara-cara yang berada di luar kemampuan rata-rata para petani," tulis Carey. "Satunya cara yang dapat ditempuh, untuk dapat membalaskan dendamnya secara sungguh-sungguh, adalah dengan meminta bantuan jago-jago setempat untuk menjarah gerbang tol (masuk kota) atau membakarnya."

Namun lagi-lagi usaha anarkisme tersebut sia-sia karena pemerintah akan membalasnya dengan perundang-undangan Jawa, hingga menyebabkan kerugian yang lebih tinggi hingga nyawa.

Jauh sebelum perang Jawa, Gubernur Jenderal Daendels hanya memberikan tindak pencegahan korupsi pada pejabat-pejabat kolonial, dan membiarkan praktik tersebut terjadi pada kaum pribumi.

Kebijakan Daendels yang bisa dianggap sebagai awal terbentuknya negara hukum (rechtsaat), juga menyebabkan bupati-bupati yang biasanya dijabat golongan pribadi kehilangan pemasukannya. Terutama pada sektor monopoli perdagangan kayu jati yang jatuh ke tangan pengusaha-pengusaha Tionghoa.

Carey menilai praktik ini jadi pemantik sentimen anti-Tionghoa di masa mendekati Perang Jawa, selain skandal Pangeran Diponegoro dengan tukang pijat peranakan Tionghoa, dan penjaga gerbang kota yang umumnya diisi oleh keturunan Tionghoa.

Keruwetan permasalahan tindakan gelap makin parah terutama saat Gubernur Jenderal van der Capellen, mengeluarkan dekrit 6 Mei 1823 agar tanah dikembalikan ke pemiliknya. Keraton Yogyakarta terancam bangkrut, dekrit itu juga mewajibkan pemilik tanah memberikan kompensasi batas waktu pengembalian tanah oleh penyewa Eropa.

Kebijakan ini membuat Pangeran Diponegoro makin kecewa terhadap Kesultanan. Sebab, bukannya menghentikan praktik gelap, Kesultanan membiarkan dan berpihak dengan Belanda. Akibat kesewenangan dan ketidakadilan terhadap masyarakat tersebut, ia memutuskan hubungan dengan Kesultanan.

Dari Stasiun Solo Balapan Hingga Istana: Menapaki Kekuasaan Dinasti Mangkunegaran

Komunitas "Saya Pejalan Bijak", menyelenggarakan avontur daring #JelajahdariRumah pada Minggu, 21 Juni silam. Demi menuntaskan akhir pekan bersama, kami mengajak peserta untuk berkunjung ke Surakarta dan menapaki tilas Mangkunegara.

Alfonsus Aditya, penikmat budaya, memandu peserta avontur daring. Dia mengajak untuk mengenali jejak-jejak Mangkunegara—bagaimana wangsa ini turut memberikan sumbangsih bagi peradaban. Selain itu, kita juga dapat menyaksikan kisah-kisah hidup warganya. Bermula dari Stasiun Balapan, berikut rute yang kami tempuh:


Stasiun Solo Balapan

Tempat pertama yang dikunjungi adalah Stasiun Solo Balapan atau yang terkenal dengan nama Het Centraal Station van Soerakarta saat zaman penjajahan Belanda. Ditemani oleh pemandu wisata lokal, Agung, Adit mengajak peserta virtual tour untuk melihat bangunan bersejarah ini melalui sebuah video.

“Atap tiga susun menjadi ciri khas Stasiun Balapan. Unsur Jawa-nya tidak bisa dilepaskan meski didesain pada era Belanda,” jelas Agung dalam video sambil menunjukkan bagian atas bangunan Stasiun Solo Balapan.


Ia memaparkan, stasiun ini dulunya merupakan alun-alun milik Mangkunegara, di mana terdapat sebuah pacuan kuda. Balapan yang identik dengan pacuan kuda pun akhirnya disematkan pada nama stasiun. 

Wilayah pembangunan stasiun ini menggunakan lahan milik Mangkunegara. Pembangunannya melalui dua tahapan penting yaitu pada era Mangkunegara IV pada sisi Selatan stasiun  yang dimulai pada tahun 1864 dan diresmikan pada tahun 1870. Kemudian, pada era Mangkunegara VII, Stasiun Solo Balapan direvitalitasi, tapi tetap mempertahankan kekhasan bangunannya. Mangkunegara VII mengundang Thomas Kaarsten, arsitek ternama kala itu yang juga sahabatnya, untuk melakukan pembangunan tahap dua pada sisi utara stasiun.


Jejak Solosche Radio Vereniging (SRV)

Raja Mangkunegara VII dikenal cerdas pada zamannya. Ia juga merupakan penikmat budaya yang luar biasa. Adit bercerita, Mangkunegara VII menganggap budaya Jawa merupakan adiluhung. Ia ingin budaya Jawa tidak dianggap remeh.

“Saat diundang ke Kerajaan Belanda, ia pun mengajak anaknya untuk menampilkan tarian Jawa,” katanya.

Keseriusan Mangkunegara VII untuk melestarikan budaya Jawa, membuatnya membentuk Java Insitituut. Ini kemudian menjadi cikal balak berdirinya Solosche Radio Vereninging (SRV). Radio ini tumbuh untuk menyebarkan pesan budaya Kepada masyarakat dengan pemutaran alunan musik-musik Jawa. Tidak hanya sampai disitu, radio ini pun berkembang pesat di seantero Nusantara dengan jumlah anggota kurang lebih 4.000 orang.

Adapun Gedung SRV kini menjadi Radio Republik Indonesia (RRI).


Pasar Legi dan masyarakatnya

Perjalanan selanjutnya, peserta diajak mengunjungi dan menyusuri lorong-lorong Pasar Legi—bertemu dengan beberapa penjual di sana. Dari video, kita bisa melihat bagaimana aktivitas di pasar.

“Bisa dibilang, Pasar Legi tidak pernah tidur. Datang jam berapa pun, selalu ada kegiatan,” kata Adit.

Walaupun kini Pasar Legi sudah rata dengan tanah karena kebakaran pada 2019 lalu, tapi para penjual tidak meninggalkan area tersebut. Mereka tetap berjualan di pinngir pasar. “Meski tidak ada bangunan, tapi semangatnya tetap terjaga,” imbuh Adit.

Agung, sang pemandu wisata pun menceritakan sejarah Pasar Legi yang tidak dapat dilepaskan oleh tradisi dan hitung-hitungan Jawa. Pasar ini awalnya hanya dibuka pada tanggalan Jawa yaitu Legi. Namun, dalam perkembangannya, ia menjadi wajah kehidupan 24 jam kota Surakarta.

Pasar ini hadir seiring berdirinya tahta Mangkunegaran. Mangkunegara I adalah raja yang mendirikan pasar ini.

“Didirikan pada era Mangkunegara I, kemudian berkembang. Kepemimpinan Mangkunegara 4 mulai dibangun dengan beton dan kemudian diperbaiki lagi di era Mangkunegara 7,” ungkap Agung.

Adit dan Agung melanjutkan perjalanan sambil berbincang dengan beberapa penjual yang sudah menempati pasar sejak 25 hingga 50 tahun lalu. 

Menurut Adit, pasar adalah gambaran terbaik untuk berkenalan pada suatu kota yang kita kunjungi. Mencoba meresapi semangat, rasa syukur, dan ketekunan dari setiap pedagang yang ada di dalamnya.

“Saya selalu senang ke pasar, makanya saya mengajak sahabat ke sini,” ungkapnya.


Ponten

Nama Ponten berasal dari bahasa Belanda “Fontein” yang berarti air mancur. Bangunan ini merupakan sebuah pancuran atau tempat pemandian umum di tengah kota Surakarta.

Ponten dibangun pada masa Mangkunegara VII dan dirancang oleh Thomas Karsten. “Arsitektur Ponten bergaya Indische, tapi tetap ada unsur Jawa seperti bentuk candi. Jadi, bangunannya gabungan arsitektur Jawa-Eropa,” kata Agung.

Mendapat pendidikan di Eropa dan tinggal di sana selama bertahun-tahun memengaruhi jalan pikiran Mangkunegara VII. Ia melihat bagaimana Belanda dan Prancis menjaga kebersihan dan kesehatan warganya. Hal inilah yang membuat Mangkunegara VII akhirnya membangun Ponten.

Raja juga membangun MCK di setiap kampung untuk menjaga kebersihan warga dan bahkan mengharuskan menjemur bantal, guling, dan tikar pada setiap Hari Rabu.

Setelah berjalan kaki di beberapa tempat, saatnya kita ‘berisitirahat’ di sebuah rumah bersejarah. Tempat yang dikunjungi selanjutnya merupakan rumah awal Raden Mas Said yang bergelar Mangkunegara I.

Disambut oleh Mintorogo, sang pemilik rumah saat ini yang merupakan turunan trah Mangkunegara I, peserta diajak melihat ruangan-ruangan yang ada di dalamnya.

Kondisi rumah masih sangat terjaga dan kayu-kayu yang digunakan masih orsinil--belum ada penggantian sama sekali. Hanya ada satu tiang penyangga plafon saja yang sudah diganti. Kayu jati yang digunakan pun berasal dari hutan Donoloyo milik Kasunanan Surakarta yang sangat terkenal sebagai penghasil kayu jati terbaik di Tanah Jawa.


Legion de Mangkunegaran

Tak jauh dari rumah awal Mangkunegara, peserta diajak berjalan ke kompleks Pura Mangkunegaran. Di dalamnya, kita akan melihat bangunan yang dulunya digunakan sebagai militer. Bangunan ini merupakan saksi bisu dari sebuah Legiun yang dimiliki oleh Mangkunegara.

Adit bercerita, legiun Mangkunegaran ini dididik dan dilatih secara profesional—melibatkan tiga negara yaitu Perancis, Inggris, dan Belanda. Legiun yang didirikan oleh Mangkunegaran II ini bertepatan dengan tibanya Gubernur Jenderal Deandels di Batavia yang merupakan perpanjangan tangan kekaisaran Napoleon.

Legiun Mangkunegaran—Korps militer pada masa Mangkunegara II yang menandai warisan Daendels di kota ini. Gayanya mengadopsi pasukan Grand Armee Napoleon Bonaparte.


Dari beberapa sumber disebutkan bahwa para prajurit yang tergabung dalam Legiun ini sangatlah bangga menyebut diri mereka sebagai “Fusi” atau singkatan dari Fusilier atau pasukan infantri. Meniru gaya pasukan Grand Armee Napoleon Bonaparte, pasukan ini pun telah terjun di beberapa medan laga pertempuran dan Legiun ini pun secara resmi dibubarkan oleh Mangkunegara VIII dan menyatakan diri bergabung ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain melihat bangunan militernya, peserta juga diajak melihat rumah0rumah di sekitarnya yang menjadi tempat tinggal para keturuan prajurit Semut Ireng yang merupakan pasukan legiun,


Cerita di Balik Istana

Tempat terakhir yang dikunjungi dari tur virtual jejak Mangkunegara ini adalah istana. Namun, tidak hanya mengunjungi bangunan, peserta pun bisa melihat dan mendengar cerita langsung dari para abdi dalem.

Ada Mbah Wasinem yang telah mengabdi selama 66 tahun. Dalam bahasa Jawa, Mbah Wasinem bercerita bahwa ia mengalami masa transisi dari Mangkunegara VIII ke Mangkunegara IX. Selama mengabdi, ia bertugas merawat pangeran-pangeran dan menyiapkan sesaji berupa bunga di atas cawan berisi air yang diletakkan di tempat-tempat khusus di Istana.

Selain Mbah Wasinem, kita juga diajak bertemu dengan Mbah Ngadimin, abdi dalem yang bertugas menjaga area parkir dan membersihkan bagian luar Pura Mangkunegara. Memasuki usia 80 tahun, Mbah Ngadimin telah mengabdi selama 44 tahun di Istana.

“Tidak selamanya Istana harus tentang raja atau permaisuri. Dengan mengenal kedua sosok ini, kita dapat mengambil pelajaran untuk selalu jujur dan ikhlas dalam bekerja,” tutur Adit.

Setelah berjumpa dengan kedua abdi dalem tadi, perjalanan dilanjutkan untuk melihat-lihat bagian dalam kompleks Mangkunegaran. Di sana, kita bisa melihat beberapa keindahan istana termasuk pendopo terbesar di Indonesia.

Di dalam pendopo tersebut juga tersimpan satu set gamelan yang berusia kurang lebih 300 tahun. Gamelan tersebut digunakan pada saat mengiringi misi budaya Mangkunegara VII di Belanda.

Acara virtual tour #JelajahDariRumah Mengenal Jejak-Jejak Mangkunegara merupakan program donasi untuk membantu para pemandu wisata lokal yang kehilangan pendapatannya sehari-hari akibat pagebluk COVID-19.