Pria yang suka sekali mengenakan sarung dan berkopiah ini beragama Islam, tapi namanya sungguh ajaib, Yesus. Hidupnya pun dipenuhi keajaiban.
Nama asli beliau sesuai yang tertera di KTP elektronik miliknya adalah Slamet Hari Natal. Domisilinya di Dusun Wates, Desa Wonomulyo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ia lahir pada hari Natal, 25 Desember 1962. Kini usianya 57 tahun. Ayah tiga anak sekaligus kakek lima cucu. Pekerjaannya serabutan, penggali kubur, relawan angkut sampah, kadang sopir angkut barang.
Saat dikunjungi pada hari Minggu 22 Desember 2019. Slamet Hari Natal yang akrab disapa Pak Yesus menyambut ramah, murah senyum, banyak canda. Ia didampingi istrinya, Setyowati, yang lebih muda setahun dari dirinya.
Pak Yesus mengatakan, namanya menjadi perbincangan di mana-mana tidak membuatnya minder atau risih. Justru ia bahagia, mendapat banyak berkah.
Menurutnya, itu salah satu bagian dari merawat ajaran toleransi yang didapatkan dari orang tua dan gurunya. Tidak hanya dari namanya, melainkan juga diwujudkan dengan tingkah laku sehari-hari di tengah masyarakat.
”Saya memang diajari untuk tidak melihat siapa yang dibantu. Siapa pun itu kalau butuh bantuan tenaga saya, ya saya bantu,” tutur Pak Yesus kepada Tagar.
Pak Yesus mengatakan ajaran tersebut ia dapatkan dari orang tua dan para guru. Bahwa dalam membantu orang, jangan memandang siapa atau apa latar belakangnya.
”Sejak kecil, saya kalau menolong orang itu diminta agar tidak pilih-pilih. Dari itulah, kalau menolong orang enggak memandang siapa dia dan latar belakangnya apa. Kadang, pekerjaan ditinggal saat ada orang itu butuh tenaga saya,” ujarnya.
Slamet membantu sesama muslim dan juga non muslim. Misalnya ia sering membantu proses penguburan orang Kristen. Rumahnya dekat kuburan khusus umat Kristen.
”Saya ikut menggali. Enggak tahu ya, hati saya itu seperti terketuk untuk membantu. Meskipun malam, jam tiga pagi, jam berapa pun saya ikut bantu,” tuturnya.
Kalau hal demikian tidak dilakukan, ia merasa bersalah. ”Kalau ada orang mati, siapa pun itu, kemudian saya enggak ikut gali dan hanya di rumah, saya merasa punya utang. Sejak muda saya lakukan hal itu.”
Di sisi lain, di desanya, toleransi antarwarga sudah tinggi dan tertanam sejak lama. Dari dulu, antara warga muslim dan non muslim rukun dalam bertetangga serta bersosialisasi.
”Di sini rukun saja. Umpama pas hari besar seperti Natal atau Idul Fitri, saling bantu, silaturahmi, dan menghormati satu sama lain. Sangat kuat ikatan kekeluargaan,” ucapnya.
Indahnya toleransi, Slamet pribadi mengalaminya sejak kecil. Ia terlahir di keluarga dengan ekonomi kekurangan, keadaan sangat susah. Ia sering dibantu tetangga yang muslim dan non muslim.
”Saya dulu susah. Jadi, ikut orang (tetangga) sana atau orang sini. Selain Mbah Saijan yang mengasuh saya waktu itu, ada tetangganya orang Nasrani yang juga ikut membantu,” kenangnya.
Berangkat dari itulah, ia ingin mengimplementasikan sikap toleransi yang sudah pernah dialaminya itu. Satu di antaranya yaitu membantu orang tanpa melihat latar belakang.
Tentang namanya yang membuatnya dipanggil Pak Yesus, Slamet Hari Natal mengatakan tidak ada perasaan menyesal. Menurutnya, nama itu adalah yang terbaik yang sudah diberikan orang tuanya, Ngatinah dan Samsuri, kepadanya.
”Itu nama Slamet Hari Natal sudah pemberian nama terbaik dari ibu saya. Dan itu membawa berkah bagi saya sendiri dan keluarga sampai sekarang,” ujarnya. Ia tersenyum sembari menunjukkan kartu tanda penduduk dan surat izin mengemudi. Memang di sana di kolom nama, tertulis: SLAMET HARI NATAL.
Sejarah Nama Slamet Hari Natal
Pak Yesus berkisah, nama Slamet Hari Natal adalah saran bidan yang membantu kelahirannya. Alasannya hanya agar mudah diingat karena dia lahir bertepatan perayaan Natal, 25 Desember 1962. Ia masih ingat nama bidan itu. Ibu Welas Asih atau Bu Kiskio.
”Bu Kis itu yang kasih saran ke Ibu saya. 'Bu, daripada sulit-sulit cari nama dan gampang diingat, kasih saja nama Selamat Hari Natal,” Slamet mengulang ucapan ibunya.
Ibunya menerima saran bidan tersebut. ”Berhubung kelahiran saya selamat dan normal, akhirnya menjadi nama Slamet Hari Natal.”
Artinya, Pak Yesus lahir dalam keadaan selamat, normal, tepat di hari Natal atau pada tanggal 25 Desember. Dan nama itupun tidak pernah digantinya hingga sekarang. ”Enggak ada keinginan mengganti nama. Seperti yang saya katakan tadi, itu sudah nama yang terbaik bagi saya dari ibu.”
Ia tak menyangka namanya menjadi viral, padahal berpuluh tahun tetangganya sudah biasa dengan namanya tersebut. ”Enggak menyangka akan viral. Tapi, ya inilah bentuk berkah tadi. Akhirnya, bisa ketemu dengan Mas ini.” Ia tersenyum kepada wartawan Tagar.
Namanya viral dan banyak orang menjadi kepo, ingin mengetahui kebenaran namanya tersebut. Pada akhirnya, nyaris setiap hari ada yang mencari dirinya, tak terkecuali para wartawan lokal dan nasional yang ingin mewawancarainya.
Namanya membawa banyak berkah, termasuk membuatnya bisa bertemu langsung dengan Bupati Malang pada 2017.
”Saya dulu juga bisa ketemu langsung dengan Bupati Malang karena ia penasaran dan baru tahu waktu itu tentang nama saya. Sekitar tahun 2017-an, setelah saya datang dari Jakarta,” ujarnya sambil menunjukkan fotonya dengan Bupati Malang, Rendra Kresna.
Tak hanya itu, beberapa kali rumahnya yang beralamat di Jalan Sangadi RT 24 RW 08, Dusun Wates, Desa Wonomulyo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang juga kerapkali didatangi polisi dan tentara. Tujuannya sama, yaitu ingin mengetahui kebenaran namanya tersebut.
”Sudah ada beberapa yang ke sini. Dari Polres dan Koramil datang dan tanya kebenaran itu. Pada intinya saya senang dan bersyukur. Berkat nama ini bisa bertemu banyak orang yang akhirnya bisa menambah teman dan dulur (saudara),” tuturnya.
Menjadi terkenal tidak membuatnya mengubah rutinitas. Ia tetap bersosialisasi dengan warga lingkungan rumahnya. Ia tidak berubah. ”Kalau ada kegiatan di masjid ya ikut. Dulu juga sering azan di musala, tapi sekarang sudah jarang karena sering di berada di luar kota,” ucapnya dengan gelak tawa.
Setiap hari ia menjalani profesi sebagai sopir angkut barang. Khusus Rabu dan Kamis, ia secara sukarela mengangkut sampah di sekitar desanya. ”Mengangkut sampah bukan pekerjaan bagi saya. Itu bentuk sosial dan keprihatinan saya kepada alam. Dan saya tidak digaji untuk itu.”
Dijuluki Yesus Sejak SMP
Pak Yesus, begitulah orang sekitar atau tetangga memanggil dirinya. Tak terkecuali para tokoh agama seperti ustaz. Bahkan, nama itu sering tertulis dalam surat undangan yang ditujukan kepadanya. ”Ini ada yang Pak Yesus, Pak Slamet Natal, dan Pak Slamet Londo. Panggilan itu sudah lumrah di sini dan saya sendiri enggah risih. Sudah biasa bagi saya.” Ia menunjukkan setumpuk surat undangan.
Ia mendapatkan penggilan Yesus sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Waktu itu ia dipanggil Yesus oleh temannya, karena saking banyak nama Slamet di kelasnya. ”Awalnya dipanggil Natal. Tapi, mungkin karena kurang pas atau sreg. Apalagi, kalau Natal identik dengan nama Yesus. Jadinya mereka banyak yang memanggil nama itu dan bertahan sampai sekarang ini."
Menurut Pak Yesus, panggilan itu tidak bermaksud mengejek dirinya atau agama lain. Semata panggilan untuk membedakan dirinya dari teman yang sama-sama punya nama Slamet pada zaman sekolah. Kalau kemudian tetangganya juga banyak yang memanggilnya demikian, juga tidak bermaksud mem-bully. ”Niatnya bukan itu (menghina). Di sini sudah lumrah seperti itu, memberikan julukan. Banyak yang dipanggil bukan dengan nama asli."
Karena itulah, ia dan keluarga tidak merasa terganggu dengan julukan yang disematkan kepadanya itu. ”Sudah saya anggap biasa tetangga memanggil dengan julukan itu. Malah, Ustaz di Belung (sebuah desa di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang) juga begitu. Memanggil saya Yesus.”
Cerita Unik di Balik Namanya
Memiliki nama unik, banyak momen mengesankan dialami Slamet Hari Natal. Bukan hanya dirinya, hal serupa juga dialami istri dan anak-anaknya. Seperti dialami anak ketiganya, Guruh Tedi Prasetyo Susanto, berprofesi tentara dimarahi komandannya karena dipikir guyon saat ditanya siapa nama orang tuanya.
”Kamu ditanya, kok malah guyon,” Pak Yesus menirukan ucapan komandan anaknya. Akhirnya setelah diperlihatkan KTP orang tua, sang komandan pun percaya sambil tersenyum. Waktu itu anaknya sedang dinas di Kalimantan. Sekarang lagi menempuh pendidikan lanjutan di Jakarta.
Pak Yesus menoleh sekilas sambil tersenyum pada foto anaknya itu yang terpajang di dinding.
Momen lucu berikutnya saat ia mengurus KTP dan SIM. Petugas yang melayaninya menunjukkan wajah heran, penuh tanda tanya. Bahkan ia harus menunggu berjam-jam karena namanya. ”Kalau yang lain bisa sebentar, saya lama. Bukan dipersulit, tapi ditanya-tanya perihal nama saya. Malah kadang diminta foto bersama.”
Hal serupa dialami istrinya, Setyowati. Suatu hari istrinya memeriksakan dirinya ke dokter. Saat ia memperlihatkan KTP suami untuk dicatat, dokter tidak percaya dengan nama suaminya yang bertolak belakang dengan agamanya.
”Ini benar namanya, Bu? Iki jenenge Hari Natal kok agamane Islam (namanya Hari Natal kok agamanya Islam),” Setyowati menirukan ucapan dokter kala itu.
Di dalam keluarga besar, nama Slamet Hari Natal tidak menjadi persoalan. Begitu pula keluarga Setyowati, tidak mempermasalahkannya. Karena kepada Setyowati sejak awal, Ngatinah ibunda Pak Yesus telah menceritakan asal-usul nama Slamet Hari Natal. ”Malah, cucu yang sering tanya karena mbahnya sering masuk tivi (televisi). 'Mbah masuk tivi ya. Hebat, mbah sudah jadi artis sekarang'.”
Pengalaman unik lain, Pak Yesus akhirnya bertemu anak bidan yang membantu kelahirannya. Anak bidan itu bernama Wiwik. Suatu hari Pak Yesus menambal ban truk, seorang perempuan bertanya kepadanya siapa namanya. Basa-basi biasa sebenarnya. Sering terjadi pada banyak orang. Yang membuat tidak biasa, sang penanya adalah Wiwik. Pak Yesus memanggilnya Hajah Wiwik.
”Saya kan sering lewat depan rumahnya, menembel ban di sana. Nah, saya ditanya nama dan alamat," kata Pak Yesus.
Ia menjawab namanya Slamet dari Dusun Wates. Mendengar jawaban itu, Wiwik mengungkapkan cerita ibunya. Suatu hari pada masa yang lampau, ibunya yang adalah bidan tadi, berkata bahwa ia satu saat akan bertemu saudara bernama Slamet Hari Natal.
”Saya pun kaget dan mengatakan saya yang dimaksud tersebut. Sejak saat itu kami akrab seperti saudara dekat. Tapi sekarang Hajah Wiwik sudah meninggal, tahun kemarin,” cerita Pak Yesus.
Saat ini, Pak Yesus menempati rumah sederhananya. Ia memiliki tiga anak, yakni Arif Wendi Yunianto Frediansyah, Nova Dewi Nur Ayomi Ayu, dan Guruh Tedy Prasetyo Susanto. Semua anaknya sudah berkeluarga. ”Dulu saya di seberang jalan sana rumah saya. Kemudian pindah ke sini dengan beli tanah dan bisa menyekolahkan anak dari hasil pekerjaan sopir itu tadi. Anak ketiga saat ini jadi prajurit TNI angkatan darat.”
Pak Yesus tak putus mengucap syukur. Namanya membuatnya banyak saudara dari berbagai kalangan yang berdatangan ke rumahnya.
Nama asli beliau sesuai yang tertera di KTP elektronik miliknya adalah Slamet Hari Natal. Domisilinya di Dusun Wates, Desa Wonomulyo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ia lahir pada hari Natal, 25 Desember 1962. Kini usianya 57 tahun. Ayah tiga anak sekaligus kakek lima cucu. Pekerjaannya serabutan, penggali kubur, relawan angkut sampah, kadang sopir angkut barang.
Saat dikunjungi pada hari Minggu 22 Desember 2019. Slamet Hari Natal yang akrab disapa Pak Yesus menyambut ramah, murah senyum, banyak canda. Ia didampingi istrinya, Setyowati, yang lebih muda setahun dari dirinya.
Slamet Hari Natal alias Pak Yesus memperlihatkan SIM dan KTP elektronik miliknya |
Pak Yesus mengatakan, namanya menjadi perbincangan di mana-mana tidak membuatnya minder atau risih. Justru ia bahagia, mendapat banyak berkah.
Menurutnya, itu salah satu bagian dari merawat ajaran toleransi yang didapatkan dari orang tua dan gurunya. Tidak hanya dari namanya, melainkan juga diwujudkan dengan tingkah laku sehari-hari di tengah masyarakat.
”Saya memang diajari untuk tidak melihat siapa yang dibantu. Siapa pun itu kalau butuh bantuan tenaga saya, ya saya bantu,” tutur Pak Yesus kepada Tagar.
Pak Yesus mengatakan ajaran tersebut ia dapatkan dari orang tua dan para guru. Bahwa dalam membantu orang, jangan memandang siapa atau apa latar belakangnya.
”Sejak kecil, saya kalau menolong orang itu diminta agar tidak pilih-pilih. Dari itulah, kalau menolong orang enggak memandang siapa dia dan latar belakangnya apa. Kadang, pekerjaan ditinggal saat ada orang itu butuh tenaga saya,” ujarnya.
Slamet membantu sesama muslim dan juga non muslim. Misalnya ia sering membantu proses penguburan orang Kristen. Rumahnya dekat kuburan khusus umat Kristen.
Pak Yesus (57 tahun) bersama istrinya, Setyowati (56 tahun) saat diwawancarai |
”Saya ikut menggali. Enggak tahu ya, hati saya itu seperti terketuk untuk membantu. Meskipun malam, jam tiga pagi, jam berapa pun saya ikut bantu,” tuturnya.
Kalau hal demikian tidak dilakukan, ia merasa bersalah. ”Kalau ada orang mati, siapa pun itu, kemudian saya enggak ikut gali dan hanya di rumah, saya merasa punya utang. Sejak muda saya lakukan hal itu.”
Di sisi lain, di desanya, toleransi antarwarga sudah tinggi dan tertanam sejak lama. Dari dulu, antara warga muslim dan non muslim rukun dalam bertetangga serta bersosialisasi.
”Di sini rukun saja. Umpama pas hari besar seperti Natal atau Idul Fitri, saling bantu, silaturahmi, dan menghormati satu sama lain. Sangat kuat ikatan kekeluargaan,” ucapnya.
Indahnya toleransi, Slamet pribadi mengalaminya sejak kecil. Ia terlahir di keluarga dengan ekonomi kekurangan, keadaan sangat susah. Ia sering dibantu tetangga yang muslim dan non muslim.
”Saya dulu susah. Jadi, ikut orang (tetangga) sana atau orang sini. Selain Mbah Saijan yang mengasuh saya waktu itu, ada tetangganya orang Nasrani yang juga ikut membantu,” kenangnya.
Berangkat dari itulah, ia ingin mengimplementasikan sikap toleransi yang sudah pernah dialaminya itu. Satu di antaranya yaitu membantu orang tanpa melihat latar belakang.
Tentang namanya yang membuatnya dipanggil Pak Yesus, Slamet Hari Natal mengatakan tidak ada perasaan menyesal. Menurutnya, nama itu adalah yang terbaik yang sudah diberikan orang tuanya, Ngatinah dan Samsuri, kepadanya.
”Itu nama Slamet Hari Natal sudah pemberian nama terbaik dari ibu saya. Dan itu membawa berkah bagi saya sendiri dan keluarga sampai sekarang,” ujarnya. Ia tersenyum sembari menunjukkan kartu tanda penduduk dan surat izin mengemudi. Memang di sana di kolom nama, tertulis: SLAMET HARI NATAL.
Pak Yesus memperlihatkan fotonya bersama Bupati Malang, Rendra Kresna |
Sejarah Nama Slamet Hari Natal
Pak Yesus berkisah, nama Slamet Hari Natal adalah saran bidan yang membantu kelahirannya. Alasannya hanya agar mudah diingat karena dia lahir bertepatan perayaan Natal, 25 Desember 1962. Ia masih ingat nama bidan itu. Ibu Welas Asih atau Bu Kiskio.
”Bu Kis itu yang kasih saran ke Ibu saya. 'Bu, daripada sulit-sulit cari nama dan gampang diingat, kasih saja nama Selamat Hari Natal,” Slamet mengulang ucapan ibunya.
Ibunya menerima saran bidan tersebut. ”Berhubung kelahiran saya selamat dan normal, akhirnya menjadi nama Slamet Hari Natal.”
Artinya, Pak Yesus lahir dalam keadaan selamat, normal, tepat di hari Natal atau pada tanggal 25 Desember. Dan nama itupun tidak pernah digantinya hingga sekarang. ”Enggak ada keinginan mengganti nama. Seperti yang saya katakan tadi, itu sudah nama yang terbaik bagi saya dari ibu.”
Ia tak menyangka namanya menjadi viral, padahal berpuluh tahun tetangganya sudah biasa dengan namanya tersebut. ”Enggak menyangka akan viral. Tapi, ya inilah bentuk berkah tadi. Akhirnya, bisa ketemu dengan Mas ini.” Ia tersenyum kepada wartawan Tagar.
Namanya viral dan banyak orang menjadi kepo, ingin mengetahui kebenaran namanya tersebut. Pada akhirnya, nyaris setiap hari ada yang mencari dirinya, tak terkecuali para wartawan lokal dan nasional yang ingin mewawancarainya.
KTP elektronik atas nama Slamet Hari Natal |
Namanya membawa banyak berkah, termasuk membuatnya bisa bertemu langsung dengan Bupati Malang pada 2017.
”Saya dulu juga bisa ketemu langsung dengan Bupati Malang karena ia penasaran dan baru tahu waktu itu tentang nama saya. Sekitar tahun 2017-an, setelah saya datang dari Jakarta,” ujarnya sambil menunjukkan fotonya dengan Bupati Malang, Rendra Kresna.
Tak hanya itu, beberapa kali rumahnya yang beralamat di Jalan Sangadi RT 24 RW 08, Dusun Wates, Desa Wonomulyo, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang juga kerapkali didatangi polisi dan tentara. Tujuannya sama, yaitu ingin mengetahui kebenaran namanya tersebut.
”Sudah ada beberapa yang ke sini. Dari Polres dan Koramil datang dan tanya kebenaran itu. Pada intinya saya senang dan bersyukur. Berkat nama ini bisa bertemu banyak orang yang akhirnya bisa menambah teman dan dulur (saudara),” tuturnya.
Menjadi terkenal tidak membuatnya mengubah rutinitas. Ia tetap bersosialisasi dengan warga lingkungan rumahnya. Ia tidak berubah. ”Kalau ada kegiatan di masjid ya ikut. Dulu juga sering azan di musala, tapi sekarang sudah jarang karena sering di berada di luar kota,” ucapnya dengan gelak tawa.
Setiap hari ia menjalani profesi sebagai sopir angkut barang. Khusus Rabu dan Kamis, ia secara sukarela mengangkut sampah di sekitar desanya. ”Mengangkut sampah bukan pekerjaan bagi saya. Itu bentuk sosial dan keprihatinan saya kepada alam. Dan saya tidak digaji untuk itu.”
Dijuluki Yesus Sejak SMP
Pak Yesus, begitulah orang sekitar atau tetangga memanggil dirinya. Tak terkecuali para tokoh agama seperti ustaz. Bahkan, nama itu sering tertulis dalam surat undangan yang ditujukan kepadanya. ”Ini ada yang Pak Yesus, Pak Slamet Natal, dan Pak Slamet Londo. Panggilan itu sudah lumrah di sini dan saya sendiri enggah risih. Sudah biasa bagi saya.” Ia menunjukkan setumpuk surat undangan.
Ia mendapatkan penggilan Yesus sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama di Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Waktu itu ia dipanggil Yesus oleh temannya, karena saking banyak nama Slamet di kelasnya. ”Awalnya dipanggil Natal. Tapi, mungkin karena kurang pas atau sreg. Apalagi, kalau Natal identik dengan nama Yesus. Jadinya mereka banyak yang memanggil nama itu dan bertahan sampai sekarang ini."
Menurut Pak Yesus, panggilan itu tidak bermaksud mengejek dirinya atau agama lain. Semata panggilan untuk membedakan dirinya dari teman yang sama-sama punya nama Slamet pada zaman sekolah. Kalau kemudian tetangganya juga banyak yang memanggilnya demikian, juga tidak bermaksud mem-bully. ”Niatnya bukan itu (menghina). Di sini sudah lumrah seperti itu, memberikan julukan. Banyak yang dipanggil bukan dengan nama asli."
Karena itulah, ia dan keluarga tidak merasa terganggu dengan julukan yang disematkan kepadanya itu. ”Sudah saya anggap biasa tetangga memanggil dengan julukan itu. Malah, Ustaz di Belung (sebuah desa di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang) juga begitu. Memanggil saya Yesus.”
Cerita Unik di Balik Namanya
Memiliki nama unik, banyak momen mengesankan dialami Slamet Hari Natal. Bukan hanya dirinya, hal serupa juga dialami istri dan anak-anaknya. Seperti dialami anak ketiganya, Guruh Tedi Prasetyo Susanto, berprofesi tentara dimarahi komandannya karena dipikir guyon saat ditanya siapa nama orang tuanya.
”Kamu ditanya, kok malah guyon,” Pak Yesus menirukan ucapan komandan anaknya. Akhirnya setelah diperlihatkan KTP orang tua, sang komandan pun percaya sambil tersenyum. Waktu itu anaknya sedang dinas di Kalimantan. Sekarang lagi menempuh pendidikan lanjutan di Jakarta.
Pak Yesus menoleh sekilas sambil tersenyum pada foto anaknya itu yang terpajang di dinding.
Momen lucu berikutnya saat ia mengurus KTP dan SIM. Petugas yang melayaninya menunjukkan wajah heran, penuh tanda tanya. Bahkan ia harus menunggu berjam-jam karena namanya. ”Kalau yang lain bisa sebentar, saya lama. Bukan dipersulit, tapi ditanya-tanya perihal nama saya. Malah kadang diminta foto bersama.”
Hal serupa dialami istrinya, Setyowati. Suatu hari istrinya memeriksakan dirinya ke dokter. Saat ia memperlihatkan KTP suami untuk dicatat, dokter tidak percaya dengan nama suaminya yang bertolak belakang dengan agamanya.
”Ini benar namanya, Bu? Iki jenenge Hari Natal kok agamane Islam (namanya Hari Natal kok agamanya Islam),” Setyowati menirukan ucapan dokter kala itu.
Di dalam keluarga besar, nama Slamet Hari Natal tidak menjadi persoalan. Begitu pula keluarga Setyowati, tidak mempermasalahkannya. Karena kepada Setyowati sejak awal, Ngatinah ibunda Pak Yesus telah menceritakan asal-usul nama Slamet Hari Natal. ”Malah, cucu yang sering tanya karena mbahnya sering masuk tivi (televisi). 'Mbah masuk tivi ya. Hebat, mbah sudah jadi artis sekarang'.”
Pengalaman unik lain, Pak Yesus akhirnya bertemu anak bidan yang membantu kelahirannya. Anak bidan itu bernama Wiwik. Suatu hari Pak Yesus menambal ban truk, seorang perempuan bertanya kepadanya siapa namanya. Basa-basi biasa sebenarnya. Sering terjadi pada banyak orang. Yang membuat tidak biasa, sang penanya adalah Wiwik. Pak Yesus memanggilnya Hajah Wiwik.
”Saya kan sering lewat depan rumahnya, menembel ban di sana. Nah, saya ditanya nama dan alamat," kata Pak Yesus.
Ia menjawab namanya Slamet dari Dusun Wates. Mendengar jawaban itu, Wiwik mengungkapkan cerita ibunya. Suatu hari pada masa yang lampau, ibunya yang adalah bidan tadi, berkata bahwa ia satu saat akan bertemu saudara bernama Slamet Hari Natal.
”Saya pun kaget dan mengatakan saya yang dimaksud tersebut. Sejak saat itu kami akrab seperti saudara dekat. Tapi sekarang Hajah Wiwik sudah meninggal, tahun kemarin,” cerita Pak Yesus.
Saat ini, Pak Yesus menempati rumah sederhananya. Ia memiliki tiga anak, yakni Arif Wendi Yunianto Frediansyah, Nova Dewi Nur Ayomi Ayu, dan Guruh Tedy Prasetyo Susanto. Semua anaknya sudah berkeluarga. ”Dulu saya di seberang jalan sana rumah saya. Kemudian pindah ke sini dengan beli tanah dan bisa menyekolahkan anak dari hasil pekerjaan sopir itu tadi. Anak ketiga saat ini jadi prajurit TNI angkatan darat.”
Pak Yesus tak putus mengucap syukur. Namanya membuatnya banyak saudara dari berbagai kalangan yang berdatangan ke rumahnya.
No comments:
Post a Comment