Sudah sejak Republik yang kita cintai ini masih berusia muda, sudah banyak abdi negara yang "terciduk" menjarah kekayaan negara, bahkan dengan "produk turunan" berupa seks!
Di masa dewasa ini pun malahan makin banyak hamba hukum yang terjerat praktek rasuah yang notabene jelas-jelas melanggar sumpahnya.
Salah satu yang masih segar dalam ingatan adalah Patrialis Akbar yang terjerat operasi tangkap tangan atas tuduhan menerima suap dari Basuki Hariman pada 25 Januari 2017. "Dugaan suap itu terkait dengan 'Judicial Review' Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan," kata Basaria Panjaitan, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Antara 21 Januar2017.
Kasus ini menyeret seorang perempuan muda yang kala penangkapan sedang menemani Patrialis, meski kemudian KPK menampik spekulasi bahwa perempuan tersebut terkait kasus.
Spekulasi soal gratifikasi seks tidak muncul sekonyong-konyong. Ihwal gratifikasi seks pernah dibahas oleh KPK. Direktur Gratifikasi KPK Giri Supradiono mengatakan pemberian dalam bentuk pelayanan seks bisa digolongkan sebagai gratifikasi. Gratifikasi tidak selalu berbentuk uang, tetapi bisa dalam bentuk potongan harga dan kesenangan.
"Memang pembuktiannya tidak mudah, jadi ini jatuhnya ke case building (pembangunan kerangka kasus) karena itu harus dibuktikan," kata Giri, 4 tahun lalu, seperti dikutip Kompas.
Selang beberapa minggu dari pernyataan KPK soal gratifikasi seks, Ahmad Fathanah ditangkap ketika sedang bersama perempuan di kamar hotel Le Meridien, 29 Januari 2013. Maharani, nama perempuan ini, diberi uang Rp10 juta atas jasanya menemani Fathanah yang kemudian dipidana atas tindak pidana korupsi kuota impor daging sapi. Namun, Maharani saat sidang menampik pertanyaan bahwa jasanya dijadikan gratifikasi seks.
Setahun kemudian, Tubagus Chaery Wardana alias Wawan yang juga terjerat kasus korupsi. Dalam persidangan, terungkap bahwa seorang pesohor bernama Jennifer Dunn mendapatkan mobil Toyota Vellfire dari Wawan yang kemudian divonis penjara 7 tahun atas pidana suap yang terkait Ketua MK Akil Mochtar.
Melihat kasus-kasus di atas, Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan bisa dibilang beruntung. Mereka tidak dikecam sebegitu rupa seperti Jusuf Muda Dalam (JMD) yang sama-sama dituduh korupsi dan punya hubungan istimewa dengan banyak perempuan.
JMD dulu adalah pejabat setara menteri Gubernur Bank Indonesia yang sempat disebut Menteri Negara Urusan Bank Sentral. Dua jabatan basah sekaligus vital di Republik Indonesia ini. JMD terkena tuduhan subversif terlibat G30S. Sidang JMD cukup ramai. Pejabat penting negara yang jadi musuh G30S hadir menonton, misalnya Menteri Kehakiman Oemar Senoadjie, Ketua Mahkamah Agung Soerjadi, Jaksa Agung Sugih Arto, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Kapolri) Soetjipto Joedihardjo, dan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Kisah kasusnya itu dibukukan dalam sebuah buku tipis, berjudul Anak Penyamun Di Sarang Perawan (Skandal JMD) dengan penulis Drs. Effendy Sahib yang diterbitkan Varia, Jakarta, 1966.
“Perkara skandal bekas Menteri Bank Central Jusuf Muda Dalam, tidaklah hanya merupakan skandal sex atau perkara korupsi biasa, tetapi adalah merupakan penggambaran pribadi dari Orde Lama yang penuh penyelewengan,” tulis salah satu pendiri Orde Baru Jenderal Abdul Haris Nasution dalam pengantar buku tersebut.
Namun pada akhirnya belakangan malahan Nasution justru berseberangan dengan Soeharto. Begitu pula dengan Mayor Jenderal Amir Machmud, yang di buku ini memberi pengantar tak kalah dahsyat dari Nasution. Amir menulis, “Buku (tipis yang isinya mulu soal kejahatan JMD) ini telah pula memberikan sumbangan kepada masyarakat, suatu kekayaan, suatu perbendaharaan sejarah, suatu catatan yang sangat penting.”
Bahkan pada Bab IV yang berjudul "Bukan Harem 1001 Malam", disebutkan ada 25 perempuan yang menerima harta tak jelas dari JMD mulai dari uang, rumah, dan mobil. Di situ tercatat Sutiasmi (istri pertama), Salamah (istri kedua), Jajah (istri ketiga), Ida Djuabaedah (istri keempat), Djufriah (istri kelima), dan Sari Nurulita (istri keenam yang sudah enam tahun kawin dengan JMD).
Beberapa nama lain seperti Ratna Sari Dewi dan Titiek Puspa juga disebut dalam buku ini.
Dalam persidangan pada 1966, di Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) Jakarta, ketika ditanya apakah mobil Fiat 1300 yang dimilikinya didapat dari Jusuf Muda Dalam, Titiek yang kala itu berusia 29 tahun menjawab: “Saya membeli dengan harga 40 juta rupiah atau empat puluh ribu rupiah uang baru.”
Rupanya mobil itu dibeli Titiek dari JMD. Pembayaran diangsur dan tidak dilakukan di kantor, tapi di rumah JMD, di Jalan Hang Tuah. Ketika hakim bertanya “mengapa pembayaran tidak di kantor?”
“Karena saya dijemput oleh pesuruh atau pembantu Pak Jusuf,” jawab Titiek.
Hakim yang penasaran betapa murahnya Fiat tersebut, bertanya lagi, “Mengapa Jusuf begitu baik mau jual mobil murah kepada saudara?”
“Mungkin Pak Jusuf tahu saya mau beli mobil murah, karena saya tidak mampu,” jawab Titiek. Mobil-mobil yang diberikan pada perempuan-perempuan itu ketika JMD disidangkan sudah disita pemerintah.
Titiek membantah mobil Fiat itu diberikan cuma-cuma oleh JMD. Dalam biografinya, ia bahkan mengaku hanya mencicipi mobil itu kurang dari sehari karena mobil itu diambil mahasiswa dari bengkel dengan alasan untuk demonstrasi, dan mobil itu pun kemudian tak pernah kembali lagi ke tangannya.
"Kasus isu affair dengan Yusuf Muda Dalam mencuatkan nama saya dengan dahsyat menjadi selebriti yang sangat populer saat itu. Jumlah permintaan show meroket. Berbagai daerah dari Sabang sampai Merauke memanggil saya menyanyi. Saya berpikir positif saja. Tuhan memberi saya rezeki lewat cobaan ini. Dan melalui show-show itu saya luruskan lagi nama saya," kata Titiek Puspa kepada Alberthiene Endah yang menulis buku Titiek Puspa, A Legendary Diva (2008, hal. 197)
Nama lain yang dituduh mendapatkan mobil adalah Tina Woworuntu. Perempuan 22 tahun asal Manado ini juga menjadi saksi dalam sidang JMD. Tina dituduh menerima mobil Mazda, lalu kemudian VW. Di persidangan Tina mengaku mobil VW cuma ia pinjam dari JMD. JMD juga royal kepada bintang film Rika Suatan. Di persidangan, JMD mengaku membiayai keberangkatan Rika untuk sekolah di Tokyo. JMD setidaknya memberi $500.
Ketika ditanya hakim mengapa JMD memberi uang sebesar itu, JMD hanya menjawab, “Lantaran orangnya juga begitu baik.”
JMD, yang oleh Jaksa disebut dalam dakwaan sebagai "diktator moneter" (Proses Jusuf Muda Dalam, Ex Menteri Urusan Bank Sentral, 1967, hal 10), akhirnya dinyatakan terbukti terlibat gerakan subversif, menimbun ratusan senjata api tanpa izin, korupsi, dan perkawinan yang dilarang oleh Undang-Undang. Pada 9 September 1966, pengadilan memberi vonis mati kepadanya.
Usaha JMD melakukan kasasi di Mahkamah Agung (MA) pun menemui kegagalan. Pada tahun berikutnya, persisnya pada 8 April 1967, MA memutuskan menolak kasasi JMD. Majelis hakim kasasi yang diketuai oleh Surjadi S.H., mengeluarkan putusan penolakan kasasi melalui keputusan No. 15 K/Kr/1967.
Dibanding Jusuf Muda Dalam yang divonis hukuman mati (ia meninggal sebelum eksekusi dilakukan), Tubagus Wawan dan Ahmad Fathanah bisa dibilang cukup beruntung. Mereka tak dihukum mati, tapi hanya menghuni bui selama masing-masing 7 dan 16 tahun yang bisa jadi mendapat fasilitas istimewa disitu.
Ilustrasi |
Di masa dewasa ini pun malahan makin banyak hamba hukum yang terjerat praktek rasuah yang notabene jelas-jelas melanggar sumpahnya.
Salah satu yang masih segar dalam ingatan adalah Patrialis Akbar yang terjerat operasi tangkap tangan atas tuduhan menerima suap dari Basuki Hariman pada 25 Januari 2017. "Dugaan suap itu terkait dengan 'Judicial Review' Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan," kata Basaria Panjaitan, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Antara 21 Januar2017.
Kasus ini menyeret seorang perempuan muda yang kala penangkapan sedang menemani Patrialis, meski kemudian KPK menampik spekulasi bahwa perempuan tersebut terkait kasus.
Spekulasi soal gratifikasi seks tidak muncul sekonyong-konyong. Ihwal gratifikasi seks pernah dibahas oleh KPK. Direktur Gratifikasi KPK Giri Supradiono mengatakan pemberian dalam bentuk pelayanan seks bisa digolongkan sebagai gratifikasi. Gratifikasi tidak selalu berbentuk uang, tetapi bisa dalam bentuk potongan harga dan kesenangan.
"Memang pembuktiannya tidak mudah, jadi ini jatuhnya ke case building (pembangunan kerangka kasus) karena itu harus dibuktikan," kata Giri, 4 tahun lalu, seperti dikutip Kompas.
Selang beberapa minggu dari pernyataan KPK soal gratifikasi seks, Ahmad Fathanah ditangkap ketika sedang bersama perempuan di kamar hotel Le Meridien, 29 Januari 2013. Maharani, nama perempuan ini, diberi uang Rp10 juta atas jasanya menemani Fathanah yang kemudian dipidana atas tindak pidana korupsi kuota impor daging sapi. Namun, Maharani saat sidang menampik pertanyaan bahwa jasanya dijadikan gratifikasi seks.
Setahun kemudian, Tubagus Chaery Wardana alias Wawan yang juga terjerat kasus korupsi. Dalam persidangan, terungkap bahwa seorang pesohor bernama Jennifer Dunn mendapatkan mobil Toyota Vellfire dari Wawan yang kemudian divonis penjara 7 tahun atas pidana suap yang terkait Ketua MK Akil Mochtar.
Melihat kasus-kasus di atas, Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan bisa dibilang beruntung. Mereka tidak dikecam sebegitu rupa seperti Jusuf Muda Dalam (JMD) yang sama-sama dituduh korupsi dan punya hubungan istimewa dengan banyak perempuan.
JMD dulu adalah pejabat setara menteri Gubernur Bank Indonesia yang sempat disebut Menteri Negara Urusan Bank Sentral. Dua jabatan basah sekaligus vital di Republik Indonesia ini. JMD terkena tuduhan subversif terlibat G30S. Sidang JMD cukup ramai. Pejabat penting negara yang jadi musuh G30S hadir menonton, misalnya Menteri Kehakiman Oemar Senoadjie, Ketua Mahkamah Agung Soerjadi, Jaksa Agung Sugih Arto, Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Kapolri) Soetjipto Joedihardjo, dan Jenderal Abdul Haris Nasution.
Kisah kasusnya itu dibukukan dalam sebuah buku tipis, berjudul Anak Penyamun Di Sarang Perawan (Skandal JMD) dengan penulis Drs. Effendy Sahib yang diterbitkan Varia, Jakarta, 1966.
“Perkara skandal bekas Menteri Bank Central Jusuf Muda Dalam, tidaklah hanya merupakan skandal sex atau perkara korupsi biasa, tetapi adalah merupakan penggambaran pribadi dari Orde Lama yang penuh penyelewengan,” tulis salah satu pendiri Orde Baru Jenderal Abdul Haris Nasution dalam pengantar buku tersebut.
Namun pada akhirnya belakangan malahan Nasution justru berseberangan dengan Soeharto. Begitu pula dengan Mayor Jenderal Amir Machmud, yang di buku ini memberi pengantar tak kalah dahsyat dari Nasution. Amir menulis, “Buku (tipis yang isinya mulu soal kejahatan JMD) ini telah pula memberikan sumbangan kepada masyarakat, suatu kekayaan, suatu perbendaharaan sejarah, suatu catatan yang sangat penting.”
Bahkan pada Bab IV yang berjudul "Bukan Harem 1001 Malam", disebutkan ada 25 perempuan yang menerima harta tak jelas dari JMD mulai dari uang, rumah, dan mobil. Di situ tercatat Sutiasmi (istri pertama), Salamah (istri kedua), Jajah (istri ketiga), Ida Djuabaedah (istri keempat), Djufriah (istri kelima), dan Sari Nurulita (istri keenam yang sudah enam tahun kawin dengan JMD).
Beberapa nama lain seperti Ratna Sari Dewi dan Titiek Puspa juga disebut dalam buku ini.
Dalam persidangan pada 1966, di Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) Jakarta, ketika ditanya apakah mobil Fiat 1300 yang dimilikinya didapat dari Jusuf Muda Dalam, Titiek yang kala itu berusia 29 tahun menjawab: “Saya membeli dengan harga 40 juta rupiah atau empat puluh ribu rupiah uang baru.”
Rupanya mobil itu dibeli Titiek dari JMD. Pembayaran diangsur dan tidak dilakukan di kantor, tapi di rumah JMD, di Jalan Hang Tuah. Ketika hakim bertanya “mengapa pembayaran tidak di kantor?”
“Karena saya dijemput oleh pesuruh atau pembantu Pak Jusuf,” jawab Titiek.
Hakim yang penasaran betapa murahnya Fiat tersebut, bertanya lagi, “Mengapa Jusuf begitu baik mau jual mobil murah kepada saudara?”
“Mungkin Pak Jusuf tahu saya mau beli mobil murah, karena saya tidak mampu,” jawab Titiek. Mobil-mobil yang diberikan pada perempuan-perempuan itu ketika JMD disidangkan sudah disita pemerintah.
Titiek membantah mobil Fiat itu diberikan cuma-cuma oleh JMD. Dalam biografinya, ia bahkan mengaku hanya mencicipi mobil itu kurang dari sehari karena mobil itu diambil mahasiswa dari bengkel dengan alasan untuk demonstrasi, dan mobil itu pun kemudian tak pernah kembali lagi ke tangannya.
"Kasus isu affair dengan Yusuf Muda Dalam mencuatkan nama saya dengan dahsyat menjadi selebriti yang sangat populer saat itu. Jumlah permintaan show meroket. Berbagai daerah dari Sabang sampai Merauke memanggil saya menyanyi. Saya berpikir positif saja. Tuhan memberi saya rezeki lewat cobaan ini. Dan melalui show-show itu saya luruskan lagi nama saya," kata Titiek Puspa kepada Alberthiene Endah yang menulis buku Titiek Puspa, A Legendary Diva (2008, hal. 197)
Nama lain yang dituduh mendapatkan mobil adalah Tina Woworuntu. Perempuan 22 tahun asal Manado ini juga menjadi saksi dalam sidang JMD. Tina dituduh menerima mobil Mazda, lalu kemudian VW. Di persidangan Tina mengaku mobil VW cuma ia pinjam dari JMD. JMD juga royal kepada bintang film Rika Suatan. Di persidangan, JMD mengaku membiayai keberangkatan Rika untuk sekolah di Tokyo. JMD setidaknya memberi $500.
Ketika ditanya hakim mengapa JMD memberi uang sebesar itu, JMD hanya menjawab, “Lantaran orangnya juga begitu baik.”
JMD, yang oleh Jaksa disebut dalam dakwaan sebagai "diktator moneter" (Proses Jusuf Muda Dalam, Ex Menteri Urusan Bank Sentral, 1967, hal 10), akhirnya dinyatakan terbukti terlibat gerakan subversif, menimbun ratusan senjata api tanpa izin, korupsi, dan perkawinan yang dilarang oleh Undang-Undang. Pada 9 September 1966, pengadilan memberi vonis mati kepadanya.
Usaha JMD melakukan kasasi di Mahkamah Agung (MA) pun menemui kegagalan. Pada tahun berikutnya, persisnya pada 8 April 1967, MA memutuskan menolak kasasi JMD. Majelis hakim kasasi yang diketuai oleh Surjadi S.H., mengeluarkan putusan penolakan kasasi melalui keputusan No. 15 K/Kr/1967.
Dibanding Jusuf Muda Dalam yang divonis hukuman mati (ia meninggal sebelum eksekusi dilakukan), Tubagus Wawan dan Ahmad Fathanah bisa dibilang cukup beruntung. Mereka tak dihukum mati, tapi hanya menghuni bui selama masing-masing 7 dan 16 tahun yang bisa jadi mendapat fasilitas istimewa disitu.
No comments:
Post a Comment