Mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi telah ditunjuk sebagai Menteri Agama oleh Presiden Joko Widodo pada Rabu 23 Oktober 2019.
Sebelumnya, Fachrul Razi menjabat Presiden Komisaris di PT Central Proteina Prima (CP Prima) dan Komisaris Utama di PT Antam Tbk sejak 2015. Dia juga menjadi komisaris di PT Toba Sejahtera Group milik Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan.
Selama Pilpres 2019, Fachrul Razi menjabat sebagai Ketua Tim Bravo-5. Tim yang dibentuk Luhut Binsar Panjaitan tersebut berisikan purnawirawan TNI yang mendukung Jokowi.
Penunjukan Fachrul Razi seperti mematahkan "tradisi" Menteri Agama sejak era Reformasi yang selalu dijabat kalangan sipil. Bahkan lebih spesifik lagi, Menteri Agama lazimnya diduduki kalangan sipil dari Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama.
Terakhir kali Menteri Agama berasal dari kaum militer terjadi di zaman Orde Baru. Pengangkatan Fachrul Razi menunjukkan Jokowi seakan-akan ingin mengulangi apa yang pernah dilakukan Soeharto.
Pada 1978 Soeharto menunjuk Alamsjah Ratu Prawiranegara sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan III. Alamsjah merupakan seorang serdadu.
Alamsjah Ratu Prawiranegara adalah lulusan HIS Ardjuna dan SMP Lampung Gakuin. Sejak 1944, ia sudah menjadi perwira di tentara sukarela Jepang di Sumatra bagian selatan. Lebih dari 20 tahun hidupnya ia habiskan pada dinas ketentaraan.
Alamsjah, seperti dicatat Harsya Bachtiar dalam "Siapa Dia? Perwira Tinggi TNI AD" (1989:65), terakhir menjabat sebagai Asisten Keuangan dari Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) yang kala itu dijabat oleh Letnan Jenderal Soeharto.
Ia memang termasuk salah seorang yang dekat dengan Soeharto, bahkan sangat loyal. Ketika Soeharto mulai berkuasa pada 1967, Alamsjah adalah Koordinator Staf Pribadi Presiden, yang sebelumnya sempat menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera.
Sejak awal 1968 hingga 1972, ia dijadikan Sekretaris Negara RI. Setelah itu, ia diangkat menjadi Duta Besar Indonesia di Belanda (1972-1975), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (1975-1977).
Alamsjah tak pernah berada dalam Departemen Agama, sampai suatu malam pada awal Maret 1978, Soeharto memanggilnya. Dalam autobiografinya yang berjudul Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu (1995), Alamsjah menceritakan pertemuan itu.
“Saya akan menunjuk Saudara sebagai Menteri Agama,” kata Soeharto. Alamsjah tentu sangat terkejut.
“Jangan main-main, Pak. Saya bukan kiai, bukan ulama, bukan ahli agama dan tidak memiliki pendidikan formal keagamaan. Sedangkan mereka yang ahli dan bergelar profesor saja tidak berhasil, apalagi saya,” jawabnya.
“Bukan di situ soalnya, Saudara Alamsjah. Semuanya sudah saya coba, tetapi kurang berhasil [...] Saya kenal Saudara, saya paham dan kenal cara berpikir Saudara dan cara kerja Saudara,” ucap Soeharto.
Alamsjah lalu bertanya, “Kira-kira apa tugas khusus untuk saya nanti?”
“Tugas yang harus Saudara laksanakan adalah menjelaskan kepada umat beragama, umat Islam khususnya mengenai Pancasila, sehingga mereka tidak lagi bersikap apriori. Selama ini Pancasila [seolah] tidak jelas bagi umat Islam...”
Sekali lagi Alamsjah bertanya, apa tidak ada orang lain yang lebih layak daripada dirinya, dan Soeharto pun menjawab, “Tidak ada.”
Sepulang dari Cendana, ia ditanya istrinya tentang tugas apa yang mesti ia kerjakan. Begitu Alamsjah menjawab Menteri Agama, istrinya geli dan heran.
“Apa yang kamu tahu tentang pekerjaan Menteri Agama?” tanya istrinya. Namun Alamsjah enggan menanggapi.
Persoalan Aliran Kepercayaan
Di zaman Sukarno, Menteri Agama umumnya berasal dari organisasi Islam dengan pendidikan agama Islam yang jelas. Mereka biasanya berlatarbelakang Mejelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi), Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), atau Nahdlatul Ulama (NU). Jika pun bukan orang yang dikenal sebagai tokoh Islam, biasanya hanya di masa darurat—seperti Teuku Mohamad Hasan pada zaman Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Namun, tak ada yang tak mungkin bagi Soeharto, sebab ABRI pun bisa menjadi Menteri Agama. Maka lahirlah pelesetan AMD, yakni ABRI Masuk Depag.
Pada 28 Maret 1978, Alamsjah menjadi menteri paling pagi yang melapor kepada Soeharto. Ketika presiden bertanya apa persoalan yang dihadapinya, Alamsjah menyebut empat perkara: aliran kepercayaaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; umat Islam merasa ditekan dalam berdakwah; persoalan Pancasila dan umat Islam; dan terakhir masalah-masalah pokok lain yang harus diselesaikan menteri agama.
“Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah semacam kebudayaan,” kata Soeharto.
Jawaban itu membuat Alamsjah seperti mendapat pencerahan. Waktu itu, perkara aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa sudah terkatung-katung selama sepuluh tahun dan membuat cemas umat Islam.
Kepada wartawan, Alamsjah menjelaskan, “Masalah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah kebudayaan. Bukan menjadi masalah atau persoalan keagamaan, karena merupakan bagian dari kebudayaan, tempatnya adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.”
“Apa itu betul?” tanya wartawan.
“Saya ini Menteri dan baru saja berkonsultasi dengan Presiden, masa saya berbohong,” jawabnya.
Setelah itu, sejumlah surat kabar segera memberitakan penjelasan Alamsjah. Maka hilanglah kecemasan umat Islam soal aliran kepercayaan yang hendak berstatus sebagai agama.
Dalam sensus penduduk tahun 1980, seperti dikutip Andree Feillard dalam NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna (1999:184), Alamsjah menginstruksikan kolom agama tak boleh kosong dan harus diisi oleh para penganut aliran kepercayaan dengan memilih salah satu dari lima agama resmi yang ditetapkan pemerintah Orde Baru, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, atau Buddha.
Tugas penting lain Alamsjah adalah membumikan Pancasila. Pada 28 Juli 1978, di hadapan ribuan santri di Denanyar, Jombang, ia berceramah tentang sejarah Pancasila.
“Orang yang mengatakan Pancasila itu haram, bertentangan dengan Islam, orang-orang itu semua adalah bodoh, orang yang tidak mengerti sejarah. Pancasila adalah pengorbanan sekaligus hadiah umat Islam untuk kemerdekaan dan persatuan,” kata Alamsjah.
Ia menambahkan bahwa salah satu tokoh NU, Kiai Haji Wachid Hasjim, ikut berjasa dalam kelahiran Pancasila.
Selain ke Jombang, Menteri Agama juga pergi ke Situbondo, ke pesantren yang dipimpin oleh Kiai Haji As’ad Samsul Arifin yang konon saat itu belum bisa menerima Pancasila. Meski harus menunggu dua jam, Alamsjah akhirnya bertemu dengan sang kiai. Sebelum bertanya maksud kedatangannya, Kiai As'ad terlebih dulu mengajaknya makan dan salat.
Alamsjah menerangkan bahwa kedatangannya adalah untuk sowan dan silaturahmi.
“Sekarang Pak Menteri lulus,” kata Kiai As’ad.
“Selama ini ulama jadi Menteri Agama, ia jadi tua. Sekarang jenderal jadi Menteri Agama, ia jadi ulama,” imbuh sang kiai.
Kepada Kiai As’ad, Alamsjah menjelaskan sejarah Pancasila yang menurutnya merupakan hasil perjuangan orang Islam. Kiai As'ad pun akhinya bisa menerima. Setelah pertemuan itu, Kiai As'ad berangkat ke Jakarta untuk menemui presiden daripada Soeharto.
“Sekarang saya tahu Pancasila dari dia. Kalau bukan Alamsjah jadi menteri, sampai sekarang saya tidak mengerti Pancasila. Wawasan saya tidak terbuka, ” ucap Kiai As'ad kepada Soeharto seperti dikutip Alamsjah.
Tak hanya di kalangan NU, di kalangan Muhammadiyah pun Pancasila diterangkan. Alamsjah menjelaskan bahwa ada orang Muhammadiyah yang juga memperjuangkan Pancasila, yaitu Ki Bagus Hadikusumo.
“Alhasil, Muktamar Muhammadiyah tahun 1984 di Solo pun akhirnya menetapkan Pancasila sebagai azas organisasi,” ungkapnya.
Untuk semakin merekatkan pemerintah dengan umat Islam, ia mengusulkan kepada Menteri Penerangan Ali Moertopo agar TVRI menayangkan azan setiap datang waktu salat pada jam-jam siarannya. Ide itu ia dapatkan dari sejumlah negara Islam dan negeri jiran, Malaysia.
Gedung Kementerian Agama RI |
Sebelumnya, Fachrul Razi menjabat Presiden Komisaris di PT Central Proteina Prima (CP Prima) dan Komisaris Utama di PT Antam Tbk sejak 2015. Dia juga menjadi komisaris di PT Toba Sejahtera Group milik Jenderal TNI (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan.
Selama Pilpres 2019, Fachrul Razi menjabat sebagai Ketua Tim Bravo-5. Tim yang dibentuk Luhut Binsar Panjaitan tersebut berisikan purnawirawan TNI yang mendukung Jokowi.
Penunjukan Fachrul Razi seperti mematahkan "tradisi" Menteri Agama sejak era Reformasi yang selalu dijabat kalangan sipil. Bahkan lebih spesifik lagi, Menteri Agama lazimnya diduduki kalangan sipil dari Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama.
Terakhir kali Menteri Agama berasal dari kaum militer terjadi di zaman Orde Baru. Pengangkatan Fachrul Razi menunjukkan Jokowi seakan-akan ingin mengulangi apa yang pernah dilakukan Soeharto.
Pada 1978 Soeharto menunjuk Alamsjah Ratu Prawiranegara sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan III. Alamsjah merupakan seorang serdadu.
Alamsjah Ratu Prawiranegara adalah lulusan HIS Ardjuna dan SMP Lampung Gakuin. Sejak 1944, ia sudah menjadi perwira di tentara sukarela Jepang di Sumatra bagian selatan. Lebih dari 20 tahun hidupnya ia habiskan pada dinas ketentaraan.
Alamsjah, seperti dicatat Harsya Bachtiar dalam "Siapa Dia? Perwira Tinggi TNI AD" (1989:65), terakhir menjabat sebagai Asisten Keuangan dari Menteri/Panglima Angkatan Darat (Menpangad) yang kala itu dijabat oleh Letnan Jenderal Soeharto.
Ia memang termasuk salah seorang yang dekat dengan Soeharto, bahkan sangat loyal. Ketika Soeharto mulai berkuasa pada 1967, Alamsjah adalah Koordinator Staf Pribadi Presiden, yang sebelumnya sempat menjadi Ketua Presidium Kabinet Ampera.
Sejak awal 1968 hingga 1972, ia dijadikan Sekretaris Negara RI. Setelah itu, ia diangkat menjadi Duta Besar Indonesia di Belanda (1972-1975), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (1975-1977).
Alamsjah tak pernah berada dalam Departemen Agama, sampai suatu malam pada awal Maret 1978, Soeharto memanggilnya. Dalam autobiografinya yang berjudul Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu (1995), Alamsjah menceritakan pertemuan itu.
“Saya akan menunjuk Saudara sebagai Menteri Agama,” kata Soeharto. Alamsjah tentu sangat terkejut.
“Jangan main-main, Pak. Saya bukan kiai, bukan ulama, bukan ahli agama dan tidak memiliki pendidikan formal keagamaan. Sedangkan mereka yang ahli dan bergelar profesor saja tidak berhasil, apalagi saya,” jawabnya.
“Bukan di situ soalnya, Saudara Alamsjah. Semuanya sudah saya coba, tetapi kurang berhasil [...] Saya kenal Saudara, saya paham dan kenal cara berpikir Saudara dan cara kerja Saudara,” ucap Soeharto.
Alamsjah lalu bertanya, “Kira-kira apa tugas khusus untuk saya nanti?”
“Tugas yang harus Saudara laksanakan adalah menjelaskan kepada umat beragama, umat Islam khususnya mengenai Pancasila, sehingga mereka tidak lagi bersikap apriori. Selama ini Pancasila [seolah] tidak jelas bagi umat Islam...”
Sekali lagi Alamsjah bertanya, apa tidak ada orang lain yang lebih layak daripada dirinya, dan Soeharto pun menjawab, “Tidak ada.”
Sepulang dari Cendana, ia ditanya istrinya tentang tugas apa yang mesti ia kerjakan. Begitu Alamsjah menjawab Menteri Agama, istrinya geli dan heran.
“Apa yang kamu tahu tentang pekerjaan Menteri Agama?” tanya istrinya. Namun Alamsjah enggan menanggapi.
Persoalan Aliran Kepercayaan
Di zaman Sukarno, Menteri Agama umumnya berasal dari organisasi Islam dengan pendidikan agama Islam yang jelas. Mereka biasanya berlatarbelakang Mejelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi), Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), atau Nahdlatul Ulama (NU). Jika pun bukan orang yang dikenal sebagai tokoh Islam, biasanya hanya di masa darurat—seperti Teuku Mohamad Hasan pada zaman Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Namun, tak ada yang tak mungkin bagi Soeharto, sebab ABRI pun bisa menjadi Menteri Agama. Maka lahirlah pelesetan AMD, yakni ABRI Masuk Depag.
Pada 28 Maret 1978, Alamsjah menjadi menteri paling pagi yang melapor kepada Soeharto. Ketika presiden bertanya apa persoalan yang dihadapinya, Alamsjah menyebut empat perkara: aliran kepercayaaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; umat Islam merasa ditekan dalam berdakwah; persoalan Pancasila dan umat Islam; dan terakhir masalah-masalah pokok lain yang harus diselesaikan menteri agama.
“Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah semacam kebudayaan,” kata Soeharto.
Jawaban itu membuat Alamsjah seperti mendapat pencerahan. Waktu itu, perkara aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa sudah terkatung-katung selama sepuluh tahun dan membuat cemas umat Islam.
Kepada wartawan, Alamsjah menjelaskan, “Masalah kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah kebudayaan. Bukan menjadi masalah atau persoalan keagamaan, karena merupakan bagian dari kebudayaan, tempatnya adalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.”
“Apa itu betul?” tanya wartawan.
“Saya ini Menteri dan baru saja berkonsultasi dengan Presiden, masa saya berbohong,” jawabnya.
Setelah itu, sejumlah surat kabar segera memberitakan penjelasan Alamsjah. Maka hilanglah kecemasan umat Islam soal aliran kepercayaan yang hendak berstatus sebagai agama.
Dalam sensus penduduk tahun 1980, seperti dikutip Andree Feillard dalam NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna (1999:184), Alamsjah menginstruksikan kolom agama tak boleh kosong dan harus diisi oleh para penganut aliran kepercayaan dengan memilih salah satu dari lima agama resmi yang ditetapkan pemerintah Orde Baru, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, atau Buddha.
Tugas penting lain Alamsjah adalah membumikan Pancasila. Pada 28 Juli 1978, di hadapan ribuan santri di Denanyar, Jombang, ia berceramah tentang sejarah Pancasila.
“Orang yang mengatakan Pancasila itu haram, bertentangan dengan Islam, orang-orang itu semua adalah bodoh, orang yang tidak mengerti sejarah. Pancasila adalah pengorbanan sekaligus hadiah umat Islam untuk kemerdekaan dan persatuan,” kata Alamsjah.
Ia menambahkan bahwa salah satu tokoh NU, Kiai Haji Wachid Hasjim, ikut berjasa dalam kelahiran Pancasila.
Selain ke Jombang, Menteri Agama juga pergi ke Situbondo, ke pesantren yang dipimpin oleh Kiai Haji As’ad Samsul Arifin yang konon saat itu belum bisa menerima Pancasila. Meski harus menunggu dua jam, Alamsjah akhirnya bertemu dengan sang kiai. Sebelum bertanya maksud kedatangannya, Kiai As'ad terlebih dulu mengajaknya makan dan salat.
Alamsjah menerangkan bahwa kedatangannya adalah untuk sowan dan silaturahmi.
“Sekarang Pak Menteri lulus,” kata Kiai As’ad.
“Selama ini ulama jadi Menteri Agama, ia jadi tua. Sekarang jenderal jadi Menteri Agama, ia jadi ulama,” imbuh sang kiai.
Kepada Kiai As’ad, Alamsjah menjelaskan sejarah Pancasila yang menurutnya merupakan hasil perjuangan orang Islam. Kiai As'ad pun akhinya bisa menerima. Setelah pertemuan itu, Kiai As'ad berangkat ke Jakarta untuk menemui presiden daripada Soeharto.
“Sekarang saya tahu Pancasila dari dia. Kalau bukan Alamsjah jadi menteri, sampai sekarang saya tidak mengerti Pancasila. Wawasan saya tidak terbuka, ” ucap Kiai As'ad kepada Soeharto seperti dikutip Alamsjah.
Tak hanya di kalangan NU, di kalangan Muhammadiyah pun Pancasila diterangkan. Alamsjah menjelaskan bahwa ada orang Muhammadiyah yang juga memperjuangkan Pancasila, yaitu Ki Bagus Hadikusumo.
“Alhasil, Muktamar Muhammadiyah tahun 1984 di Solo pun akhirnya menetapkan Pancasila sebagai azas organisasi,” ungkapnya.
Untuk semakin merekatkan pemerintah dengan umat Islam, ia mengusulkan kepada Menteri Penerangan Ali Moertopo agar TVRI menayangkan azan setiap datang waktu salat pada jam-jam siarannya. Ide itu ia dapatkan dari sejumlah negara Islam dan negeri jiran, Malaysia.
No comments:
Post a Comment