Polisi Syariat Islam atau Wilayatul Hisbah (WH) Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mengeksekusi seorang warga Sumatera Utara beragama Buddha, RN, dengan hukuman cambuk sebanyak 27 kali karena tertangkap basah berduaan dengan pasangan tidak sahnya, ND.
RN dan ND dikenakan dakwaan pasal ikhtilath atau bermesraan dengan pasangan tidak sah. Keduanya terbukti melanggar Pasal 25 ayat 1 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Lantas bagaimana penjelasan dalam hukum pidana islam atau hukum jinayat terkait pemberian hukuman cambuk bagi nonmuslim di Aceh ini?
Menurut Pakar hukum pidana Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, M. Nurul Irfan pemberian hukuman cambuk bagi warga Buddha di Aceh dinilai sesuai dengan teori teritorial yang dianut para ulama. Dalam pemberian hukum jinayat, para ulama mengacu pada dua teori, yakni teori teritorial dan subjek hukum
Irfan menjelaskan bahwa teori teritorial menyatakan bahwa siapapun yang melanggar hukum di suatu daerah yang menganut hukum jinayat, maka dapat dijatuhi hukuman itu."Teori teritorial berdasarkan tempat, di mana satu tempat itu berlaku hukum pidana Islam atau hukum jinayat, maka siapapun pelaku yang melanggar hukum jinayat apapun agamanya, yang penting dia sedang ada di situ maka diberlakukan (hukum pidana Islam)," jelas Irfan, Kamis 1 Agustus 2019.
"Tampaknya teori teritorial ini yang dianut oleh qanun jinayat Aceh ini, sehingga orang Buddha yang dicambuk itu sekalipun dia beragama non-muslim, tetap diberlakukan. Tampaknya dengan fenomena yang terjadi budaya Aceh ini menganut teori teritorial," imbuhnya.
Sedangkan, teori subjek hukum menjelaskan tentang pemberian hukum jinayat hanya berlaku bagi kaum muslim saja. Namun menurut Irfan, apabila teori ini berlaku di Aceh, maka non muslim tak akan mendapat hukum jinayat, seperti dicambuk
"Seandainya teori yang diyakini oleh jinayat Aceh adalah subjek hukum, maka orang Buddha tidak berlaku (dikenai hukuman). Cuma ini menjadi permasalahan sendiri mengingat pelanggaran hukum kan tak hanya dilakukan oleh orang islam saja," tambahnya.
Celah teori teritorial dan subjek hukum pidana Islam
Namun menurut Irfan, kedua teori itu memiliki celah hukum. Teori teritorial bisa disalahgunakan orang Islam yang lolos dari jerat hukum jinayat apabila melakukan pelanggaran di luar daerah yang berlaku hukum itu.
"Teori ini dijadikan alasan orang-orang yang punya kemampuan ekonomi buat pergi ke Eropa, Prancis, Indonesia, termasuk Ciawi untuk melakukan pelanggaran. (Contohnya) biasanya mereka membungkusnya dalam istilah nikah siri, padahal menunaikan hasrat seksual untuk berzina di tempat lain. Celah ini dimanfaatkan oleh orang yang ingin melakukan tindak pidana tapi aman dilakukan di tempat lain," terangnya.
Sementara celah pada teori subjek hukum bisa terjadi saat orang Islam berbohong dengan mengaku beragama lain agar tak mendapat hukum jinayat. "Apabila orang tertangkap dan mengaku tidak muslim (padahal muslim) maka ini juga menjadi celah," jelasnya.
Hukum jinayat bagi nonmuslim sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad
Lebih lanjut Irfan menjelaskan bahwa sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sudah diberlakukan hukum jinayat bagi non muslim yang artinya teori teritorial sudah berlaku sejak saat itu. "Yang dilakukan oleh qanun jinayat pasti ada referensi dan dalil karena dulu Nabi juga menghukum orang Yahudi yang melakukan zina dengan hukuman rajam. Ada satu riwayat seperti itu meski tak disebutkan identitasnya," ungkapnya.
Untuk membandingkan, Irfan pun menambahkan bahwa dalam ajaran Yahudi telah dijelaskan bahwa hukum rajam juga berlaku bagi kaum Yahudi.
"Tapi kita paham dalam Yahudi dalam kitab Taurat memang sama hukumnya dengan orang Islam. Nah ini apakah dalam orang Buddha, kitab-kitab agama Buddha yang menyebut adanya sanksi rajam bagi pezina kan belum tentu," pungkasnya.
Sumber
Algojo sedang melaksanakan hukuman cambuk terhadap pelanggar syariat |
RN dan ND dikenakan dakwaan pasal ikhtilath atau bermesraan dengan pasangan tidak sah. Keduanya terbukti melanggar Pasal 25 ayat 1 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Lantas bagaimana penjelasan dalam hukum pidana islam atau hukum jinayat terkait pemberian hukuman cambuk bagi nonmuslim di Aceh ini?
Menurut Pakar hukum pidana Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, M. Nurul Irfan pemberian hukuman cambuk bagi warga Buddha di Aceh dinilai sesuai dengan teori teritorial yang dianut para ulama. Dalam pemberian hukum jinayat, para ulama mengacu pada dua teori, yakni teori teritorial dan subjek hukum
Seorang non muslim tengah menjalani hukuman cambuk |
Irfan menjelaskan bahwa teori teritorial menyatakan bahwa siapapun yang melanggar hukum di suatu daerah yang menganut hukum jinayat, maka dapat dijatuhi hukuman itu."Teori teritorial berdasarkan tempat, di mana satu tempat itu berlaku hukum pidana Islam atau hukum jinayat, maka siapapun pelaku yang melanggar hukum jinayat apapun agamanya, yang penting dia sedang ada di situ maka diberlakukan (hukum pidana Islam)," jelas Irfan, Kamis 1 Agustus 2019.
"Tampaknya teori teritorial ini yang dianut oleh qanun jinayat Aceh ini, sehingga orang Buddha yang dicambuk itu sekalipun dia beragama non-muslim, tetap diberlakukan. Tampaknya dengan fenomena yang terjadi budaya Aceh ini menganut teori teritorial," imbuhnya.
Terdakwa dibawa ke hadapan algojo untuk menjalani hukuman cambuk |
Sedangkan, teori subjek hukum menjelaskan tentang pemberian hukum jinayat hanya berlaku bagi kaum muslim saja. Namun menurut Irfan, apabila teori ini berlaku di Aceh, maka non muslim tak akan mendapat hukum jinayat, seperti dicambuk
"Seandainya teori yang diyakini oleh jinayat Aceh adalah subjek hukum, maka orang Buddha tidak berlaku (dikenai hukuman). Cuma ini menjadi permasalahan sendiri mengingat pelanggaran hukum kan tak hanya dilakukan oleh orang islam saja," tambahnya.
Celah teori teritorial dan subjek hukum pidana Islam
Namun menurut Irfan, kedua teori itu memiliki celah hukum. Teori teritorial bisa disalahgunakan orang Islam yang lolos dari jerat hukum jinayat apabila melakukan pelanggaran di luar daerah yang berlaku hukum itu.
"Teori ini dijadikan alasan orang-orang yang punya kemampuan ekonomi buat pergi ke Eropa, Prancis, Indonesia, termasuk Ciawi untuk melakukan pelanggaran. (Contohnya) biasanya mereka membungkusnya dalam istilah nikah siri, padahal menunaikan hasrat seksual untuk berzina di tempat lain. Celah ini dimanfaatkan oleh orang yang ingin melakukan tindak pidana tapi aman dilakukan di tempat lain," terangnya.
Hukum cambuk |
Sementara celah pada teori subjek hukum bisa terjadi saat orang Islam berbohong dengan mengaku beragama lain agar tak mendapat hukum jinayat. "Apabila orang tertangkap dan mengaku tidak muslim (padahal muslim) maka ini juga menjadi celah," jelasnya.
Hukum jinayat bagi nonmuslim sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad
Lebih lanjut Irfan menjelaskan bahwa sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sudah diberlakukan hukum jinayat bagi non muslim yang artinya teori teritorial sudah berlaku sejak saat itu. "Yang dilakukan oleh qanun jinayat pasti ada referensi dan dalil karena dulu Nabi juga menghukum orang Yahudi yang melakukan zina dengan hukuman rajam. Ada satu riwayat seperti itu meski tak disebutkan identitasnya," ungkapnya.
Untuk membandingkan, Irfan pun menambahkan bahwa dalam ajaran Yahudi telah dijelaskan bahwa hukum rajam juga berlaku bagi kaum Yahudi.
"Tapi kita paham dalam Yahudi dalam kitab Taurat memang sama hukumnya dengan orang Islam. Nah ini apakah dalam orang Buddha, kitab-kitab agama Buddha yang menyebut adanya sanksi rajam bagi pezina kan belum tentu," pungkasnya.
Sumber
No comments:
Post a Comment