Fenomena keberadaan turis gembel atau Begpacker di banyak tempat wisata Indonesia, khususnya Bali semakin lama semakin meresahkan. Bukannya mendatangkan devisa malahan membuat citra Indonesia buruk di mata dunia internasional.
Menurut pengamat sosial dan kepariwisataan Musni Umar, pencabutan bebas visa dari pemerintah Indonesia terhadap turis dari beberapa negara, bisa menjadi solusi instan dan ampuh bagi masalah ini..
Menurut dia, keberadaan Backpacker sejatinya telah lama ada di Indonesia. Tapi dulunya para pendatang asing itu benar-benar adalah turis yang melakukan perjalanan dengan misi wisata dan perbekalan memadai.
"Sejak dulu kan Backpacker sudah banyak. di Jalan Jaksa misalnya. Justru itu kan positif bagi pariwisata. Kita juga harusnya meniru mereka, bepergian ke luar negeri, membuka wawasan dengan melakukan perjalanan dengan biaya minimal," kata dia.
Keberadaan Backpaker, kata Umar, bahkan bisa menjadi tenaga marketing gratis bagi tempat wisata di dalam negeri. Sebab saat turis-turis itu kembali ke negara asalnya, dipastikan bakal bercerita mengenai pengalaman mereka ke teman dan saudaranya, lalu membawa banyak turis lain ke Indonesia.
Itu kan justru akan buat malu pihak kedutaannya sendiri
Kini, kata Musni Umar, evolusi sejumlah turis Backpacker menjadi turis Begpacker sudah sampai pada fase mengganggu. Musni yang juga Rektor Universitas Ibnu Chaldun mendukung penuh langkah dinas imigrasi untuk menyerahkan tanggung jawab penuh terhadap turis-turis gembel ke kedutaan negara asal mereka masing-masing.
"Saya kira langkah aparat kita harus melaporkan ke kedutaan terkait itu sudah benar. Itu kan justru akan buat malu pihak kedutaannya sendiri," kata Musni.
"Tapi jangan hanya dengan langkah itu. Kebijakan pembebasan visa harus ditinjau ulang. Fungsi pengawasan juga harus diperketat oleh Imigrasi kita. Lihat kalau ada warga negara kita mau ke Amerika, sulitnya bukan main," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, keberadaan sejumlah turis gembel di Bali, telah merisaukan banyak pihak. Begpacker sendiri berarti turis berkelompok atau individu, yang melakukan perjalanan wisata keluar dari negara mereka dengan membawa perbekalan seadanya.
Di negeri orang, mereka kemudian mengandalkan belas kasihan warga lokal untuk bertahan hidup.
Turis-turis gembel itu kemudian mengamen atau meminta-minta di lokasi wisata, demi mengumpulkan uang untuk bertahan hidup, membeli tiket pulang atau justru melanjutkan perjalanan ke destinasi wisata di negara-negara lain.
"WNA (warga negara asing) yang nggak punya duit atau pura-pura gembel, kita kirimkan orang itu ke kedutaannya." ujar Musni.
Menanggapi hal itu, Kabid Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I TPI Ngurah Rai Setyo Budiwardoyo mengatakan, pihaknya bakal menindak tegas para turis meresahkan tersebut ke kedutaan negara asal masing-masing.
"WNA (warga negara asing) yang nggak punya duit atau pura-pura gembel, kita kirimkan orang itu ke kedutaannya atau minta perlindungan ke kedutaannya. Kedutaan yang notabene harus melindungi warga negaranya" kata dia di Denpasar, Bali beberapa waktu lalu.
"Saya kurang sreg harus kasih makan ke orang yang bersandiwara", tambahnya.
Setyo mengaku geram dengan perilaku turis gembel yang kerap bersandiwara hanya untuk mendapat jatah makan dari pihaknya. Dia juga merasa kurang sepakat dengan kebijakan pelayanan dan penampungan terhadap warga negara asing oleh imigrasi, alih-alih menjadi tanggung jawab kedutaan negara terkait.
"Di kita, kalau kita tampung harus memberi makan. Sebenarnya kalau anggaran kita, saya kurang sreg harus kasih makan ke orang yang bersandiwara," ujarnya.
"Kami cenderung lebih memberikan surat dan bertelepon ke kedutaannya bahwa ada warga negara Anda yang memberikan perlindungan Anda ini saya kirim ke kedutaan. Jadi warga asing mana yang bermasalah di sini penanggungan biaya hidupnya atau makannya diserahkan ke kedutaan," kata dia.
Sepasang begpacker asal Australia yang menjual foto perjalanan mereka ke sejumlah negara. |
Menurut pengamat sosial dan kepariwisataan Musni Umar, pencabutan bebas visa dari pemerintah Indonesia terhadap turis dari beberapa negara, bisa menjadi solusi instan dan ampuh bagi masalah ini..
Menurut dia, keberadaan Backpacker sejatinya telah lama ada di Indonesia. Tapi dulunya para pendatang asing itu benar-benar adalah turis yang melakukan perjalanan dengan misi wisata dan perbekalan memadai.
"Sejak dulu kan Backpacker sudah banyak. di Jalan Jaksa misalnya. Justru itu kan positif bagi pariwisata. Kita juga harusnya meniru mereka, bepergian ke luar negeri, membuka wawasan dengan melakukan perjalanan dengan biaya minimal," kata dia.
Keberadaan Backpaker, kata Umar, bahkan bisa menjadi tenaga marketing gratis bagi tempat wisata di dalam negeri. Sebab saat turis-turis itu kembali ke negara asalnya, dipastikan bakal bercerita mengenai pengalaman mereka ke teman dan saudaranya, lalu membawa banyak turis lain ke Indonesia.
Itu kan justru akan buat malu pihak kedutaannya sendiri
Kini, kata Musni Umar, evolusi sejumlah turis Backpacker menjadi turis Begpacker sudah sampai pada fase mengganggu. Musni yang juga Rektor Universitas Ibnu Chaldun mendukung penuh langkah dinas imigrasi untuk menyerahkan tanggung jawab penuh terhadap turis-turis gembel ke kedutaan negara asal mereka masing-masing.
"Saya kira langkah aparat kita harus melaporkan ke kedutaan terkait itu sudah benar. Itu kan justru akan buat malu pihak kedutaannya sendiri," kata Musni.
"Tapi jangan hanya dengan langkah itu. Kebijakan pembebasan visa harus ditinjau ulang. Fungsi pengawasan juga harus diperketat oleh Imigrasi kita. Lihat kalau ada warga negara kita mau ke Amerika, sulitnya bukan main," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, keberadaan sejumlah turis gembel di Bali, telah merisaukan banyak pihak. Begpacker sendiri berarti turis berkelompok atau individu, yang melakukan perjalanan wisata keluar dari negara mereka dengan membawa perbekalan seadanya.
Di negeri orang, mereka kemudian mengandalkan belas kasihan warga lokal untuk bertahan hidup.
Turis-turis gembel itu kemudian mengamen atau meminta-minta di lokasi wisata, demi mengumpulkan uang untuk bertahan hidup, membeli tiket pulang atau justru melanjutkan perjalanan ke destinasi wisata di negara-negara lain.
"WNA (warga negara asing) yang nggak punya duit atau pura-pura gembel, kita kirimkan orang itu ke kedutaannya." ujar Musni.
Menanggapi hal itu, Kabid Intelijen dan Penindakan Keimigrasian Kantor Imigrasi Kelas I TPI Ngurah Rai Setyo Budiwardoyo mengatakan, pihaknya bakal menindak tegas para turis meresahkan tersebut ke kedutaan negara asal masing-masing.
"WNA (warga negara asing) yang nggak punya duit atau pura-pura gembel, kita kirimkan orang itu ke kedutaannya atau minta perlindungan ke kedutaannya. Kedutaan yang notabene harus melindungi warga negaranya" kata dia di Denpasar, Bali beberapa waktu lalu.
"Saya kurang sreg harus kasih makan ke orang yang bersandiwara", tambahnya.
Setyo mengaku geram dengan perilaku turis gembel yang kerap bersandiwara hanya untuk mendapat jatah makan dari pihaknya. Dia juga merasa kurang sepakat dengan kebijakan pelayanan dan penampungan terhadap warga negara asing oleh imigrasi, alih-alih menjadi tanggung jawab kedutaan negara terkait.
"Di kita, kalau kita tampung harus memberi makan. Sebenarnya kalau anggaran kita, saya kurang sreg harus kasih makan ke orang yang bersandiwara," ujarnya.
"Kami cenderung lebih memberikan surat dan bertelepon ke kedutaannya bahwa ada warga negara Anda yang memberikan perlindungan Anda ini saya kirim ke kedutaan. Jadi warga asing mana yang bermasalah di sini penanggungan biaya hidupnya atau makannya diserahkan ke kedutaan," kata dia.
No comments:
Post a Comment