Masih banyak elemen masyarakat yang ternyata tidak mengetahui aturan Undang-undang (UU) yang amat krusial dan sensitif yang nampaknya pada hari-hari kedepan akan sangat mempengaruhi perjalanan bangsa ini.
Sebulan sebelum Joko Widodo dilantik jadi presiden, pada 23 September 2014, DPR RI mengesahkan RUU Pemerintahan Daerah (Pemda) yang baru, yaitu UU 23/2014.
UU baru ini adalah salah satu dari dua lainnya yaitu UU Desa dan UU Pemilihan Kepala Daerah, yang merupakan tiga pecahan dari UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Mengapa tedapat tiga pecahan UU sendiri-sendiri?
Karena ada keperluan penyempurnaan sesuai urusan masing-masing. Beberapa kelemahan yang diperbaiki misalnya menyangkut konsep kebijakan desentralisasi dalam negara kesatuan, hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat sipil dan berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah yang belum diatur.
Dalam konteks UU 23/2014 tentang Pemda itu, terdapat 15 isu krusial yang jadi perbaikan dari UU sebelumnya.
Salah satunya, adalah soal sanksi kepada kepala daerah berkinerja buruk atau dianggap melanggar UU.
Jika pada UU sebelumnya disebutkan bahwa kepala daerah baru bisa diberhentikan apabila sudah ada rekomendasi DPRD kepada Presiden melalui Mendagri, kini prosesnya sudah diubah.
Pada Pasal 60 UU Pemda itu, pemberhentian gubernur atau wakil gubernur bisa dilakukan oleh Presiden apabila pimpinan DPRD tidak menyampaikan usulan pemberhentian paling lambat 14 hari.
Sedangkan walikota dan bupati diberhentikan langsung oleh Mendagri jika DPRD tak mengajukan usulan.
Jadi, DPRD tidak bisa mengulur-ulur waktu lagi.
Lebih kejam lagi, pada Pasal 63, gubernur dan wakil gubernur diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, juga disebutkan kewenangan Presiden memberikan teguran tertulis kepada gubernur yang meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 hari tanpa izin.
Apabila teguran itu tidak digubris, maka kepala daerah diwajibkan mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh kementerian yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri.
Kira-kira selama 10 tahun sebelum UU 23/2014 disahkan, terdapat “mata rantai kekuasaan” yang putus antara pemerintah pusat dengan daerah.
Akibatnya, kepala daerah menjadi raja-raja kecil yang tidak takut kepada Presiden karena merasa dipilih langsung oleh rakyat setempat.
Namun sekarang hal tersebut tidak bisa lagi. “Loe payah, loe gue pecat,” begitulah konstitusi membenarkan kekuasaan Presiden.
Itulah juga makna di balik simbol pelantikan gubernur dengan segala paradenya yang keren oleh presiden di Istana Negara sejak Joko Widodo berkuasa.
Apa iya ada pejabat yang mau dipecat oleh presiden yang sama untuk kedua kalinya?
(Josef H. Wenas)
Gubernur DKI Anies Baswedan dan Presiden Joko Widodo (foto: Tempo) |
Sebulan sebelum Joko Widodo dilantik jadi presiden, pada 23 September 2014, DPR RI mengesahkan RUU Pemerintahan Daerah (Pemda) yang baru, yaitu UU 23/2014.
UU baru ini adalah salah satu dari dua lainnya yaitu UU Desa dan UU Pemilihan Kepala Daerah, yang merupakan tiga pecahan dari UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Mengapa tedapat tiga pecahan UU sendiri-sendiri?
Karena ada keperluan penyempurnaan sesuai urusan masing-masing. Beberapa kelemahan yang diperbaiki misalnya menyangkut konsep kebijakan desentralisasi dalam negara kesatuan, hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat sipil dan berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah yang belum diatur.
Dalam konteks UU 23/2014 tentang Pemda itu, terdapat 15 isu krusial yang jadi perbaikan dari UU sebelumnya.
Salah satunya, adalah soal sanksi kepada kepala daerah berkinerja buruk atau dianggap melanggar UU.
Jika pada UU sebelumnya disebutkan bahwa kepala daerah baru bisa diberhentikan apabila sudah ada rekomendasi DPRD kepada Presiden melalui Mendagri, kini prosesnya sudah diubah.
Pada Pasal 60 UU Pemda itu, pemberhentian gubernur atau wakil gubernur bisa dilakukan oleh Presiden apabila pimpinan DPRD tidak menyampaikan usulan pemberhentian paling lambat 14 hari.
Sedangkan walikota dan bupati diberhentikan langsung oleh Mendagri jika DPRD tak mengajukan usulan.
Jadi, DPRD tidak bisa mengulur-ulur waktu lagi.
Lebih kejam lagi, pada Pasal 63, gubernur dan wakil gubernur diberhentikan sementara oleh presiden tanpa melalui usulan DPRD apabila didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Selain itu, juga disebutkan kewenangan Presiden memberikan teguran tertulis kepada gubernur yang meninggalkan tugas dan wilayah kerja lebih dari 7 hari tanpa izin.
Apabila teguran itu tidak digubris, maka kepala daerah diwajibkan mengikuti program pembinaan khusus pendalaman bidang pemerintahan yang dilaksanakan oleh kementerian yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri.
Kira-kira selama 10 tahun sebelum UU 23/2014 disahkan, terdapat “mata rantai kekuasaan” yang putus antara pemerintah pusat dengan daerah.
Akibatnya, kepala daerah menjadi raja-raja kecil yang tidak takut kepada Presiden karena merasa dipilih langsung oleh rakyat setempat.
Namun sekarang hal tersebut tidak bisa lagi. “Loe payah, loe gue pecat,” begitulah konstitusi membenarkan kekuasaan Presiden.
Itulah juga makna di balik simbol pelantikan gubernur dengan segala paradenya yang keren oleh presiden di Istana Negara sejak Joko Widodo berkuasa.
Apa iya ada pejabat yang mau dipecat oleh presiden yang sama untuk kedua kalinya?
(Josef H. Wenas)
No comments:
Post a Comment