Tragedi 1 Oktober 1965 membuat Ahmad Yani gagal menuntaskan misinya.
Saat ba'da Isya pada 30 September 1965 itu, Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani menerima Brigjen Basuki Rahmat di kediaman pribadinya di Jalan Lembang 58, Menteng.
Basuki Rahmat yang menjabat sebagai Panglima Kodam VII/Brawijaya melaporkan situasi dan kondisi terkini di Jawa Timur yang menjadi wilayah militernya terkait pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta elemen-elemen dan ormas-ormasnya.
Basuki Rahmat, seperti dikutip dalam "Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional" terbitan tahun 1983 halaman 284, yang baru saja tiba di Jakarta dari Surabaya langsung melaporkan kepada Yani bahwa pergerakan PKI di Jawa Timur semakin berbahaya dengan maraknya aksi-aksi sepihak (klaim-klaim sepihak) serta unjuk rasa yang selalu berujung ricuh.
“Dilihat dari keseluruhan, maka peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jawa Timur dan berbagai aksi sepihak PKI, bisa dipastikan adalah gerakan yang sistematis... yang sedang berjalan,” kata Basuki Rahmat.
Jenderal Yani menyimak laporan itu dengan serius. Ia mengatakan kepada Basuki agar esoknya pada 1 Oktober 1965 bersama-sama ke istana menghadap Presiden Soekarno untuk melaporkan situasi genting tersebut. “Memang keadaannya semakin meruncing. Kita menghadap bersama-sama besok. Secepatnya ini perlu dilaporkan,” tegasnya.
Namun sayangnya, pertemuan dengan Basuki pada hari itu merupakan malam terakhir dalam kehidupan Yani. Yani tidak pernah sempat lagi menjalankan misinya menemui Bung Karno karena pada dini hari 1 Oktober 1965, perwira tinggi militer kepercayaan dan kesayangan Presiden Soekarno dibunuh oleh para penculik berseragam Tjakrabirawa di kediamannya.
Yani gugur. Tubuhnya yang berbalut piyama dan bersimbah darah kemudian diseret di lantai rumahnya dan diangkut dengan truk untuk dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jenazahnya bersama jenazah 6 orang koleganya sesama perwira Angkatan Darat lainnya baru ditemukan 2 hari kemudian.
Semasa muda, Yani pernah mendapat julukan juru selamat dari rakyat Magelang, Jawa Tengah. Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Yani bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk turut menghadang Belanda yang ingin berkuasa kembali.
Yani yang saat itu ditugaskan di Magelang, membentuk batalion dalam pertempuran melawan pasukan Inggris (Sekutu). Setelah melalui beberapa pertempuran sengit, tentara Inggris diam-diam meninggalkan Magelang pada 21 November 1945 karena kewalahan menghadapi gempuran Yani dan pasukannya.
Yayu Rulia Sutowiryo (1981:76), istri Yani mengisahkan dalam buku "Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan", proses mundurnya pasukan Inggris dari Magelang ternyata berlangsung sangat sulit lantaran dihadang TKR dan laskar-laskar pemuda di sepanjang jalan. Pihak Inggris sendiri mengakui hal tersebut, mereka menyatakan hanya satu kompi saja yang bisa meloloskan diri.
Kegemilangan Ahmad Yani di Magelang tidak terjadi hanya sekali itu saja. Beberapa bulan berselang, tepatnya pada 23 Juli 1947, Resimen 19 dari batalion yang dipimpin Ahmad Yani juga berhasil memukul mundur pasukan Belanda kembali ke Ambarawa (Moh Oemar, dkk., Sejarah Daerah Jawa Tengah, 1994:217).
Dua tahun kemudian, saat Belanda tengah menggencarkan agresi militer-nya yang kedua, Ahmad Yani kembali unjuk gigi. Jelang Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, ia memainkan andil yang sangat penting untuk menunjang kesuksesan pertempuran besar yang menjadi bukti bahwa Republik Indonesia masih berdiri itu.
Pada 19 Februari 1949, pasukan Ahmad Yani kembali menghadang tentara Belanda yang sedang menuju ke Yogyakarta, ibukota RI saat itu. Ahmad Yani yang saat itu berpangkat Mayor memimpin Brigade IX dengan wilayah operasinya mencakup Kedu bagian utara hingga Semarang barat (Sekolah Staf dan Komando AD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya, 1990:55).
Aksi ini menjadi pembuktian bahwa Ahmad Yani tidak hanya piawai memimpin penyerangan. Ia ulung pula dalam menerapkan taktik bertahan dengan menjadikan wilayah utara Magelang sebagai garis pertahanan yang sangat tangguh sehingga Belanda terpaksa menyerah dan akhirnya mundur (Yayu Rulia Sutowiryo, 1981:76).
Ahmad Yani memang bukan aktor utama yang mengambil peran sentral dalam adegan inti, ia tidak bertempur di Yogyakarta sebagai pusat Serangan Umum 1 Maret 1949. Namun, aksi Ahmad Yani dari pinggiran justru menjadi kunci keberhasilan serangan massal, serentak namun singkat yang akhirnya membuka mata dunia bahwa RI ternyata masih ada.
Pembasmi Pengkhianat NKRI
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sejak awal 1950, problem internal bermunculan secara bergantian. Ahmad Yani pun berkali-kali berada di garda paling depan untuk menghadapi perlawanan-perawanan dari berbagai daerah terhadap pemerintahan di Jakarta.
Tahun 1952, Ahmad Yani turut meresmikan dibentuknya pasukan khusus bernama Banteng Raiders. Para prajurit yang tergabung dalam kesatuan ini dilatih dengan amat keras sehingga memiliki tingkat kedisiplinan dan kemampuan militer yang sangat bisa diandalkan. Salah satu tujuan dibentuknya Banteng Raiders adalah untuk membasmi aksi-aksi separatisme.
Cikal-bakal pasukan Banteng Raiders sudah diujicobakan sebelum resmi dibentuk, yakni menghadapi aksi perlawanan Angkatan Oemat Islam (AOI) di Kebumen, Jawa Tengah, pada 1950. AOI berafiliasi kepada Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berambisi mendirikan negara Islam di Indonesia (Andito, Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, 1999:190).
Setelah AOI dapat dipadamkan, giliran DI/TII pimpinan Maridjan Kartosoewirdjo yang disasar oleh Ahmad Yani dan Banteng Raiders. Setidaknya ada dua aksi militer penting yang dilancarkan Banteng Raiders, yakni pada Mei 1952 dan Juni 1954 (Cornelis van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, 1995). Pasukan khusus ini menangkap orang-orang DI/TII di Jawa Tengah yang bermaksud kabur ke Jawa Barat.
DI/TII pun akhirnya bisa dibasmi. Namun, ancaman separatisme belum berakhir. Ahmad Yani kembali mengerahkan Banteng Raiders untuk memadamkan aksi-aksi berbau separatis lainnya, termasuk PRRI/Permesta. Banteng Raiders juga turut ambil bagian dalam operasi pembebasan Irian Barat.
Akhir Riwayat Sang Jenderal
Ahmad Yani merupakan salah satu perwira TNI-AD kepercayaan Presiden Soekarno. Memburuknya hubungan presiden dengan A.H. Nasution selaku Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) karena peristiwa yang kerap disebut sebagai upaya kudeta pertama di Indonesia pada 17 Oktober 1952 berdampak mulus bagi karier Ahmad Yani.
Pada 23 Juni 1962, Yani diangkat sebagai KASAD atau Menteri/Panglima Angkatan Darat yang baru menggantikan Nasution. Posisi Nasution sendiri dialihkan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan yang secara struktural lebih tinggi namun kurang strategis.
Angkatan Darat di bawah Nasution memiliki loyalitas terbatas kepada Presiden Soekarno (Taufik Abdullah, dkk., Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3 Berakhir dan Bermula, 2012:18). Nasution yang sangat anti-komunis dianggap sebagai penghalang presiden yang saat itu gencar mengkampanyekan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), termasuk merangkul PKI sebagai salah satu pilarnya selain militer dan kelompok Islam.
Bung Karno menilai Yani lebih lunak daripada Nasution soal Nasakom. Namun, anggapan Presiden ternyata tidak sepenuhnya tepat. Dalam isu-isu strategis yang dilontarkan PKI, seperti wacana Angkatan Kelima dan Nasakomisasi Angkatan Bersenjata, Yani secara tegas menentangnya (Taufik Abdullah, 2012:18).
Sikap yang tidak selalu sepakat ini membuat Yani menjadi salah satu target utama Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang ditengarai diinisiasi oleh petinggi PKI, di antaranya D.N. Aidit, serta melibatkan faksi militer terutama Angkatan Darat.
Tragedi kelam ini yang memutuskan riwayat Sang Jenderal.
Saat ba'da Isya pada 30 September 1965 itu, Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal (Letjen) Ahmad Yani menerima Brigjen Basuki Rahmat di kediaman pribadinya di Jalan Lembang 58, Menteng.
Jenderal Ahmad Yani |
Basuki Rahmat yang menjabat sebagai Panglima Kodam VII/Brawijaya melaporkan situasi dan kondisi terkini di Jawa Timur yang menjadi wilayah militernya terkait pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta elemen-elemen dan ormas-ormasnya.
Basuki Rahmat, seperti dikutip dalam "Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional" terbitan tahun 1983 halaman 284, yang baru saja tiba di Jakarta dari Surabaya langsung melaporkan kepada Yani bahwa pergerakan PKI di Jawa Timur semakin berbahaya dengan maraknya aksi-aksi sepihak (klaim-klaim sepihak) serta unjuk rasa yang selalu berujung ricuh.
“Dilihat dari keseluruhan, maka peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jawa Timur dan berbagai aksi sepihak PKI, bisa dipastikan adalah gerakan yang sistematis... yang sedang berjalan,” kata Basuki Rahmat.
Jenderal Yani menyimak laporan itu dengan serius. Ia mengatakan kepada Basuki agar esoknya pada 1 Oktober 1965 bersama-sama ke istana menghadap Presiden Soekarno untuk melaporkan situasi genting tersebut. “Memang keadaannya semakin meruncing. Kita menghadap bersama-sama besok. Secepatnya ini perlu dilaporkan,” tegasnya.
Namun sayangnya, pertemuan dengan Basuki pada hari itu merupakan malam terakhir dalam kehidupan Yani. Yani tidak pernah sempat lagi menjalankan misinya menemui Bung Karno karena pada dini hari 1 Oktober 1965, perwira tinggi militer kepercayaan dan kesayangan Presiden Soekarno dibunuh oleh para penculik berseragam Tjakrabirawa di kediamannya.
Yani gugur. Tubuhnya yang berbalut piyama dan bersimbah darah kemudian diseret di lantai rumahnya dan diangkut dengan truk untuk dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Jenazahnya bersama jenazah 6 orang koleganya sesama perwira Angkatan Darat lainnya baru ditemukan 2 hari kemudian.
Semasa muda, Yani pernah mendapat julukan juru selamat dari rakyat Magelang, Jawa Tengah. Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Yani bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk turut menghadang Belanda yang ingin berkuasa kembali.
Yani yang saat itu ditugaskan di Magelang, membentuk batalion dalam pertempuran melawan pasukan Inggris (Sekutu). Setelah melalui beberapa pertempuran sengit, tentara Inggris diam-diam meninggalkan Magelang pada 21 November 1945 karena kewalahan menghadapi gempuran Yani dan pasukannya.
Yayu Rulia Sutowiryo (1981:76), istri Yani mengisahkan dalam buku "Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan", proses mundurnya pasukan Inggris dari Magelang ternyata berlangsung sangat sulit lantaran dihadang TKR dan laskar-laskar pemuda di sepanjang jalan. Pihak Inggris sendiri mengakui hal tersebut, mereka menyatakan hanya satu kompi saja yang bisa meloloskan diri.
Kegemilangan Ahmad Yani di Magelang tidak terjadi hanya sekali itu saja. Beberapa bulan berselang, tepatnya pada 23 Juli 1947, Resimen 19 dari batalion yang dipimpin Ahmad Yani juga berhasil memukul mundur pasukan Belanda kembali ke Ambarawa (Moh Oemar, dkk., Sejarah Daerah Jawa Tengah, 1994:217).
Dua tahun kemudian, saat Belanda tengah menggencarkan agresi militer-nya yang kedua, Ahmad Yani kembali unjuk gigi. Jelang Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, ia memainkan andil yang sangat penting untuk menunjang kesuksesan pertempuran besar yang menjadi bukti bahwa Republik Indonesia masih berdiri itu.
Pada 19 Februari 1949, pasukan Ahmad Yani kembali menghadang tentara Belanda yang sedang menuju ke Yogyakarta, ibukota RI saat itu. Ahmad Yani yang saat itu berpangkat Mayor memimpin Brigade IX dengan wilayah operasinya mencakup Kedu bagian utara hingga Semarang barat (Sekolah Staf dan Komando AD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta: Latar Belakang dan Pengaruhnya, 1990:55).
Aksi ini menjadi pembuktian bahwa Ahmad Yani tidak hanya piawai memimpin penyerangan. Ia ulung pula dalam menerapkan taktik bertahan dengan menjadikan wilayah utara Magelang sebagai garis pertahanan yang sangat tangguh sehingga Belanda terpaksa menyerah dan akhirnya mundur (Yayu Rulia Sutowiryo, 1981:76).
Ahmad Yani memang bukan aktor utama yang mengambil peran sentral dalam adegan inti, ia tidak bertempur di Yogyakarta sebagai pusat Serangan Umum 1 Maret 1949. Namun, aksi Ahmad Yani dari pinggiran justru menjadi kunci keberhasilan serangan massal, serentak namun singkat yang akhirnya membuka mata dunia bahwa RI ternyata masih ada.
Pembasmi Pengkhianat NKRI
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sejak awal 1950, problem internal bermunculan secara bergantian. Ahmad Yani pun berkali-kali berada di garda paling depan untuk menghadapi perlawanan-perawanan dari berbagai daerah terhadap pemerintahan di Jakarta.
Tahun 1952, Ahmad Yani turut meresmikan dibentuknya pasukan khusus bernama Banteng Raiders. Para prajurit yang tergabung dalam kesatuan ini dilatih dengan amat keras sehingga memiliki tingkat kedisiplinan dan kemampuan militer yang sangat bisa diandalkan. Salah satu tujuan dibentuknya Banteng Raiders adalah untuk membasmi aksi-aksi separatisme.
Cikal-bakal pasukan Banteng Raiders sudah diujicobakan sebelum resmi dibentuk, yakni menghadapi aksi perlawanan Angkatan Oemat Islam (AOI) di Kebumen, Jawa Tengah, pada 1950. AOI berafiliasi kepada Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang berambisi mendirikan negara Islam di Indonesia (Andito, Politik Demi Tuhan: Nasionalisme Religius di Indonesia, 1999:190).
Setelah AOI dapat dipadamkan, giliran DI/TII pimpinan Maridjan Kartosoewirdjo yang disasar oleh Ahmad Yani dan Banteng Raiders. Setidaknya ada dua aksi militer penting yang dilancarkan Banteng Raiders, yakni pada Mei 1952 dan Juni 1954 (Cornelis van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, 1995). Pasukan khusus ini menangkap orang-orang DI/TII di Jawa Tengah yang bermaksud kabur ke Jawa Barat.
DI/TII pun akhirnya bisa dibasmi. Namun, ancaman separatisme belum berakhir. Ahmad Yani kembali mengerahkan Banteng Raiders untuk memadamkan aksi-aksi berbau separatis lainnya, termasuk PRRI/Permesta. Banteng Raiders juga turut ambil bagian dalam operasi pembebasan Irian Barat.
Akhir Riwayat Sang Jenderal
Ahmad Yani merupakan salah satu perwira TNI-AD kepercayaan Presiden Soekarno. Memburuknya hubungan presiden dengan A.H. Nasution selaku Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) karena peristiwa yang kerap disebut sebagai upaya kudeta pertama di Indonesia pada 17 Oktober 1952 berdampak mulus bagi karier Ahmad Yani.
Pada 23 Juni 1962, Yani diangkat sebagai KASAD atau Menteri/Panglima Angkatan Darat yang baru menggantikan Nasution. Posisi Nasution sendiri dialihkan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan yang secara struktural lebih tinggi namun kurang strategis.
Angkatan Darat di bawah Nasution memiliki loyalitas terbatas kepada Presiden Soekarno (Taufik Abdullah, dkk., Malam Bencana 1965: Dalam Belitan Krisis Nasional Bagian 3 Berakhir dan Bermula, 2012:18). Nasution yang sangat anti-komunis dianggap sebagai penghalang presiden yang saat itu gencar mengkampanyekan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), termasuk merangkul PKI sebagai salah satu pilarnya selain militer dan kelompok Islam.
Bung Karno menilai Yani lebih lunak daripada Nasution soal Nasakom. Namun, anggapan Presiden ternyata tidak sepenuhnya tepat. Dalam isu-isu strategis yang dilontarkan PKI, seperti wacana Angkatan Kelima dan Nasakomisasi Angkatan Bersenjata, Yani secara tegas menentangnya (Taufik Abdullah, 2012:18).
Sikap yang tidak selalu sepakat ini membuat Yani menjadi salah satu target utama Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang ditengarai diinisiasi oleh petinggi PKI, di antaranya D.N. Aidit, serta melibatkan faksi militer terutama Angkatan Darat.
Tragedi kelam ini yang memutuskan riwayat Sang Jenderal.
No comments:
Post a Comment