Generasi yang besar pada era Orde Baru pastilah kenal betul dengan film "Pengkhianatan Gerakan 30 September/PKI" yang amat mengerikan untuk ditonton.
Nah, salah satu bintang dalam film tersebut adalah Wawan Wanisar yang memerankan Lettu Pierre Andries Tendean. Ia menceritakan asal mula bisa menjadi salah satu pemeran hingga proses syuting dalam film "legendaris" tersebut.
Pada pertengahan 1981. Wawan Wanisar yang tengah bersantai di rumahnya di saat cuaca Jakarta yang sedang cerah dikejutkan oleh kedatangan tamu tak dia kenal.
Karena merasa punya masalah apa pun dan dengan siapapun, dia lantas heran kenapa sang tamu mengajak dirinya datang ke rumah Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
Sebenarnya, saat itu dalam hati Wawan merasa bangga lantaran diundang ke rumah Jenderal Nasution yang menjadi idolanya. Tapi, ya itu, kenapa undangannya mendadak.
”Beliau (Jenderal Nasution) sosok yang berwibawa. Saya selalu takjub ketika mendengar ceramah beliau ketika menjadi khatib salat Jumat,” kenang Wawan.
Wawan pada awal 1980-an tinggal di Jakarta Pusat. Tidak jauh dari kediaman Nasution di Jalan Teuku Umar.
Setelah pensiun dari dinas kemiliteran dan menjadi Purnawirawan, Pak Nas (demikian sapaan karib beliau)yang lolos dari upaya penculikan pada dinihari 1 Oktober 1965 itu, memang menghabiskan banyak waktunya untuk berdakwah.
Esok harinya, Wawan memenuhi undangan untuk datang ke rumah Nasution. Di sanalah dia tahu, orang yang mengundangnya ke rumah Pak Nas adalah seorang petugas dari Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN), rumah produksi film Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Ia pun merasa senang karena ia bisa berjabat tangan dan berbincang dengan Pak Nas yang diidolakannya. Bahkan Pak Nas menyambutnya dengan hangat dan ramah..
Di rumah Pak Nas pada siang itu juga ada Arifin C. Noer. Wawan cuek saja, tidak tahu maksud kedatangan sutradara kenamaan tersebut di sana.
Di dekat Arifin, ada Mitzi Farre, yang merupakan kakak kandung mendiang Kapten (Anumerta) Pierre Tendean, yang kala kejadian menjabat sebagai ajudan Pak Nas.
Ternyata tanpa sepengetahuan Wawan, Mitzi mengamati sosok Wawan. Wajahnya, tubuhnya, dan gerak-geriknya.
Tanpa sepengetahuan Wawan pula, pertemuan siang itu sebenarnya adalah casting kilat untuk menentukan layak atau tidaknya Wawan menjadi salah seorang tokoh utama film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang akan segera dibuat.
Tidak lama bincang-bincang itu berjalan, Mitzi terlihat membisikkan sesuatu kepada Arifin.”Dia orangnya…mirip dengan Pierre,” kata Wawan menirukan ucapan Mitzi kepada Arifin yang mampu didengarnya meski diucapkan sambil berbisik.
Belum hilang kekaguman bertamu Nasution, Wawan diajak ke halaman belakang rumah oleh seseorang yang tidak dia kenal dalam pertemuan itu.
”Ikut saya sebentar,” ajak orang tersebut kepada Wawan dengan nada tak bersahabat.
Ajakan tak bersahabat itu sudah membuat jengkel Wawan. Karena tamu, dia ikut saja. Namun, kesabaran Wawan habis ketika orang itu memarahinya di halaman belakang rumah Nasution.
”Saya lupa, dia marah soal apa. Yang pasti sangat menyebalkan,” kata Wawan, lantas tertawa.
Tak terima dimarahi tanpa alasan, Wawan tanpa ba-bi-bu langsung balas membentak. Bukannya membalas bentakan Wawan, pria itu malah berseru kepada Arifin yang ada di ruang tengah.
”Oke nih, Mas,” kata pria yang ternyata asisten sutradara tersebut.
Sejak saat itulah, Arifin memutuskan Wawan menjadi pemeran Pierre Tendean. Bentakan kepada Wawan adalah ujian untuk melihat apakah dia memiliki watak sama dengan sang pahlawan.
Sebab, secara fisik, sebagaimana penilaian Mitze, Wawan sudah sangat mirip dengan Pierre.
Hari itu benar-benar penuh berkah bagi Wawan. Bisa bertemu Jenderal Nasution, lalu mendapatkan kepercayaan memerankan sosok pahlawan yang diidolakan oleh banyak orang khususnya kaum wanita.
Apalagi jika mengingat fakta bahwa Wawan bukanlah seorang pekerja seni, apalagi aktor. Bahwa dia dibidik Arifin, itu berkat rekomendasi Rudi, temannya yang menjadi aktor sebelumnya.
Sejatinya, Wawan yang beristri Sri Rohayati tersebut adalah seorang pengusaha yang berbisnis di bidang logistik, jasa angkutan, di kawasan Tanjung Priok. Dia sama sekali tak punya pengalaman akting, bahkan sebagai figuran pun ia sama sekali tidak pernah.
Perawakan yang gagah, wajah rupawan, dan sifat temperamen mengantarkan dia menjadi pemeran tokoh pahlawan yang diidamkan oleh banyak aktor top kala itu.
Walau pada awalnya sempat ragu, tapi akhirnya menerima peran sebagai Pierre. ”Saya merasa terpanggil untuk terlibat dalam film sejarah, apalagi yang tentang G 30 S/PKI,” kenangnya.
Sebagai catatan, pada 1966, sewaktu masih SMA, Wawan bergabung dengan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) yang aktif menuntut PKI dibubarkan.
Sebelum memulai proses syuting, Wawan bersama pemeran lain diwajibkan mengikuti diklat militer selama dua hari. Dalam diklat itu, mereka ”dihajar” instruktur militer. Wawan dkk harus bisa menunjukkan gerakan, sikap, cara bicara, cara berjalan, dan sikap hormat layaknya tentara.
Syuting pertama, Wawan menjalani pengambilan gambar di rumah Nasution. Yakni, adegan ketika Pierre membaca surat cinta dari kekasihnya, Rukmini yang berada di Medan, Sumatera Utara.
Syuting dilakukan di kamar yang pernah ditempati Pierre selama bertugas sebagai ajudan Nasution.
Karena belum ada pengalaman akting, Wawan awalnya kaku saat memerankan Pierre. Ketelatenan dan tangan dingin Arifin membuat Wawan bisa cepat belajar.
Arifin juga memberikan hasil risetnya terkait sosok Pierre Tendean kepada Wawan untuk dipelajari.
Selain syuting di rumah Nasution, Wawan mengikuti syuting adegan penculikan dan penyiksaan para Jenderal di Lubang Buaya, yang menjadi tempat Pierre kehilangan nyawa.
Syuting dilakukan di sebuah kebun karet di Kranggan, Jakarta Timur. Lokasinya mirip dengan kawasan Lubang Buaya. Syuting dilakukan saat subuh lantaran tragedi keji itu memang terjadi pada dinihari.
”Saya baru pertama menjadi aktor. Karena itu, saya harus menutupi kelemahan saya dengan bekerja sepenuh hati,” katanya.
Untuk menghasilkan ekspresi yang mendekati kenyataan, Wawan rela disiksa sungguhan. Salah satunya ketika dia memerankan adegan Pierre diikat di tiang dan benar-benar dihajar dengan senjata.
Saat itu wawan benar-benar dipukul dengan popor bedil. Meski, popornya dilapisi bantalan karet hitam. ”Lumayan sakit juga,” ucapnya.
Tidak hanya itu. Saat adegan tangan Pierre disundut rokok, tangan Wawan juga benar-benar disundut rokok yang sedang menyala.
Panas dan perih dirasakan di bagian telapak tangan. Hasilnya, ekspresi dan akting kesakitan yang amat mengerikan benar-benar muncul dan bisa kita saksikan dalam film tersebut..
Menurut Wawan, saat pengambilan gambar, Arifin mampu menciptakan suasana tegang dan menyayat hati lewat arahannya yang detail.
Satu adegan bisa disyuting berkali-kali demi mendapatkan shot yang sempurna. Arifin juga piawai mengarahkan ekspresi para pemeran agar lebih natural.
”Dia pokoknya jago banget mengarahkan saya dan pemeran lain yang rata-rata orang awam alias bukan aktor,” kata Wawan.
Wawan ingin film Pengkhianatan G 30 S/PKI diputar kembali di layar kaca.
”Kalau bisa diputar 3,5 jam utuh tanpa dipotong sehingga anak-anak sekarang dapat gambaran penuhnya,” harap ayah enam anak itu.
Nah, salah satu bintang dalam film tersebut adalah Wawan Wanisar yang memerankan Lettu Pierre Andries Tendean. Ia menceritakan asal mula bisa menjadi salah satu pemeran hingga proses syuting dalam film "legendaris" tersebut.
Pada pertengahan 1981. Wawan Wanisar yang tengah bersantai di rumahnya di saat cuaca Jakarta yang sedang cerah dikejutkan oleh kedatangan tamu tak dia kenal.
Karena merasa punya masalah apa pun dan dengan siapapun, dia lantas heran kenapa sang tamu mengajak dirinya datang ke rumah Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris Nasution di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat.
Sebenarnya, saat itu dalam hati Wawan merasa bangga lantaran diundang ke rumah Jenderal Nasution yang menjadi idolanya. Tapi, ya itu, kenapa undangannya mendadak.
”Beliau (Jenderal Nasution) sosok yang berwibawa. Saya selalu takjub ketika mendengar ceramah beliau ketika menjadi khatib salat Jumat,” kenang Wawan.
Wawan pada awal 1980-an tinggal di Jakarta Pusat. Tidak jauh dari kediaman Nasution di Jalan Teuku Umar.
Setelah pensiun dari dinas kemiliteran dan menjadi Purnawirawan, Pak Nas (demikian sapaan karib beliau)yang lolos dari upaya penculikan pada dinihari 1 Oktober 1965 itu, memang menghabiskan banyak waktunya untuk berdakwah.
Esok harinya, Wawan memenuhi undangan untuk datang ke rumah Nasution. Di sanalah dia tahu, orang yang mengundangnya ke rumah Pak Nas adalah seorang petugas dari Perusahaan Produksi Film Negara (PPFN), rumah produksi film Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Ia pun merasa senang karena ia bisa berjabat tangan dan berbincang dengan Pak Nas yang diidolakannya. Bahkan Pak Nas menyambutnya dengan hangat dan ramah..
Di rumah Pak Nas pada siang itu juga ada Arifin C. Noer. Wawan cuek saja, tidak tahu maksud kedatangan sutradara kenamaan tersebut di sana.
Di dekat Arifin, ada Mitzi Farre, yang merupakan kakak kandung mendiang Kapten (Anumerta) Pierre Tendean, yang kala kejadian menjabat sebagai ajudan Pak Nas.
Ternyata tanpa sepengetahuan Wawan, Mitzi mengamati sosok Wawan. Wajahnya, tubuhnya, dan gerak-geriknya.
Tanpa sepengetahuan Wawan pula, pertemuan siang itu sebenarnya adalah casting kilat untuk menentukan layak atau tidaknya Wawan menjadi salah seorang tokoh utama film Pengkhianatan G 30 S/PKI yang akan segera dibuat.
Tidak lama bincang-bincang itu berjalan, Mitzi terlihat membisikkan sesuatu kepada Arifin.”Dia orangnya…mirip dengan Pierre,” kata Wawan menirukan ucapan Mitzi kepada Arifin yang mampu didengarnya meski diucapkan sambil berbisik.
Belum hilang kekaguman bertamu Nasution, Wawan diajak ke halaman belakang rumah oleh seseorang yang tidak dia kenal dalam pertemuan itu.
”Ikut saya sebentar,” ajak orang tersebut kepada Wawan dengan nada tak bersahabat.
Ajakan tak bersahabat itu sudah membuat jengkel Wawan. Karena tamu, dia ikut saja. Namun, kesabaran Wawan habis ketika orang itu memarahinya di halaman belakang rumah Nasution.
”Saya lupa, dia marah soal apa. Yang pasti sangat menyebalkan,” kata Wawan, lantas tertawa.
Tak terima dimarahi tanpa alasan, Wawan tanpa ba-bi-bu langsung balas membentak. Bukannya membalas bentakan Wawan, pria itu malah berseru kepada Arifin yang ada di ruang tengah.
”Oke nih, Mas,” kata pria yang ternyata asisten sutradara tersebut.
Sejak saat itulah, Arifin memutuskan Wawan menjadi pemeran Pierre Tendean. Bentakan kepada Wawan adalah ujian untuk melihat apakah dia memiliki watak sama dengan sang pahlawan.
Sebab, secara fisik, sebagaimana penilaian Mitze, Wawan sudah sangat mirip dengan Pierre.
Hari itu benar-benar penuh berkah bagi Wawan. Bisa bertemu Jenderal Nasution, lalu mendapatkan kepercayaan memerankan sosok pahlawan yang diidolakan oleh banyak orang khususnya kaum wanita.
Apalagi jika mengingat fakta bahwa Wawan bukanlah seorang pekerja seni, apalagi aktor. Bahwa dia dibidik Arifin, itu berkat rekomendasi Rudi, temannya yang menjadi aktor sebelumnya.
Sejatinya, Wawan yang beristri Sri Rohayati tersebut adalah seorang pengusaha yang berbisnis di bidang logistik, jasa angkutan, di kawasan Tanjung Priok. Dia sama sekali tak punya pengalaman akting, bahkan sebagai figuran pun ia sama sekali tidak pernah.
Perawakan yang gagah, wajah rupawan, dan sifat temperamen mengantarkan dia menjadi pemeran tokoh pahlawan yang diidamkan oleh banyak aktor top kala itu.
Walau pada awalnya sempat ragu, tapi akhirnya menerima peran sebagai Pierre. ”Saya merasa terpanggil untuk terlibat dalam film sejarah, apalagi yang tentang G 30 S/PKI,” kenangnya.
Sebagai catatan, pada 1966, sewaktu masih SMA, Wawan bergabung dengan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) yang aktif menuntut PKI dibubarkan.
Sebelum memulai proses syuting, Wawan bersama pemeran lain diwajibkan mengikuti diklat militer selama dua hari. Dalam diklat itu, mereka ”dihajar” instruktur militer. Wawan dkk harus bisa menunjukkan gerakan, sikap, cara bicara, cara berjalan, dan sikap hormat layaknya tentara.
Syuting pertama, Wawan menjalani pengambilan gambar di rumah Nasution. Yakni, adegan ketika Pierre membaca surat cinta dari kekasihnya, Rukmini yang berada di Medan, Sumatera Utara.
Syuting dilakukan di kamar yang pernah ditempati Pierre selama bertugas sebagai ajudan Nasution.
Karena belum ada pengalaman akting, Wawan awalnya kaku saat memerankan Pierre. Ketelatenan dan tangan dingin Arifin membuat Wawan bisa cepat belajar.
Arifin juga memberikan hasil risetnya terkait sosok Pierre Tendean kepada Wawan untuk dipelajari.
Selain syuting di rumah Nasution, Wawan mengikuti syuting adegan penculikan dan penyiksaan para Jenderal di Lubang Buaya, yang menjadi tempat Pierre kehilangan nyawa.
Syuting dilakukan di sebuah kebun karet di Kranggan, Jakarta Timur. Lokasinya mirip dengan kawasan Lubang Buaya. Syuting dilakukan saat subuh lantaran tragedi keji itu memang terjadi pada dinihari.
”Saya baru pertama menjadi aktor. Karena itu, saya harus menutupi kelemahan saya dengan bekerja sepenuh hati,” katanya.
Untuk menghasilkan ekspresi yang mendekati kenyataan, Wawan rela disiksa sungguhan. Salah satunya ketika dia memerankan adegan Pierre diikat di tiang dan benar-benar dihajar dengan senjata.
Saat itu wawan benar-benar dipukul dengan popor bedil. Meski, popornya dilapisi bantalan karet hitam. ”Lumayan sakit juga,” ucapnya.
Tidak hanya itu. Saat adegan tangan Pierre disundut rokok, tangan Wawan juga benar-benar disundut rokok yang sedang menyala.
Panas dan perih dirasakan di bagian telapak tangan. Hasilnya, ekspresi dan akting kesakitan yang amat mengerikan benar-benar muncul dan bisa kita saksikan dalam film tersebut..
Menurut Wawan, saat pengambilan gambar, Arifin mampu menciptakan suasana tegang dan menyayat hati lewat arahannya yang detail.
Satu adegan bisa disyuting berkali-kali demi mendapatkan shot yang sempurna. Arifin juga piawai mengarahkan ekspresi para pemeran agar lebih natural.
”Dia pokoknya jago banget mengarahkan saya dan pemeran lain yang rata-rata orang awam alias bukan aktor,” kata Wawan.
Wawan ingin film Pengkhianatan G 30 S/PKI diputar kembali di layar kaca.
”Kalau bisa diputar 3,5 jam utuh tanpa dipotong sehingga anak-anak sekarang dapat gambaran penuhnya,” harap ayah enam anak itu.
No comments:
Post a Comment