Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata di Jakarta Selatan merupakan kompleks pemakaman bagi jasad-jasad yang berjasa bagi bangsa dan negara Republik Indonesia. Namun siapa sangka, di kompleks taman makam pahlawan ini kita akan menemukan makam sosok yang bisa dikatakan kontroversial terkait perjalanan sejarah bangsa.
Di Blok E, terdapat makam tokoh Partai Komunis Indonesia. Di nisan tertulis Alimin Prawirodirdjo, tokoh nasional, wafat pada 26 Juni 1964. Uniknya, petugas keamanan makam dan tukang bersih-bersih TMP Kalibata malahan tidak mengetahui siapa sosok Alimin. Mereka hanya mengenal Kiai Haji Agus Salim karena namanya terdengar hampir mirip.
Unikya lagi, letak makam Alimin berada di belakang 5 pusara Pahlawan Revolusi. Makam Alimin termasuk kuburan paling lama dari ribuan jasad yang dikebumikan di TMP Kalibata. Setidaknya itu bisa dilihat dari lokasi pusara, tak jauh dari igintu masuk area pemakaman.
Nama Alimin tenggelam dalam jagat pahlawan nasional yang semarak dan 10 November diperingati bangsa kita. Namanya pun juga dilenyapkan pada diorama makam di depan pintu masuk TMP Kalibata.
Di TMP Kalibata, yang sekali lagi merupakan tempat pemakaman para pahlawan yang berjasa bagi bangsa dan negara, Alimin bisa dikatakan sebagai sebuah anomali di antara jajaran pahlawan nasional. Bagaimana tidak, di negara yang anti-komunis ini, Alimin bisa menjadi pahlawan dan bersemayam di taman makam pahlawan, di Kalibata pula!
Tentu saja jasa dan keterlibatannya dalam pergerakan nasional demi kemerdekaan Indonesia hanya bisa dibantah oleh orang-orang yang buta sejarah dan sekaligus fanatik. Alimin sangat beruntung karena wafat pada 1964 ketika Sukarno masih berkuasa sebagai presiden seumur hidup sehingga Taman Makam Pahlawan Kalibata pun membuka pintu untuk jenazahnya. Bahkan gelar pahlawan nasional dianugerahkan oleh Sukarno, berdasar Surat Keputusan Presiden Nomor 163 tanggal 26 Juni 1964.
Tak hanya Alimin, berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 53 tanggal 23 Maret 1963, Sukarno juga menganugerahi tokoh komunis lainnya, Tan Malaka sebagai pahlawan nasional.
Lokasi makam Alimin bahkan dekat dengan makam para Pahlawan Revolusi, yang dimakamkan hanya 1,5 tahun setelah Alimin dimakamkan. Hingga hari ini belum ada pihak yang dengan kurang-ajar memindahkan makamnya, seperti dialami jenazah Heru Atmodjo yang terlibat G30S. Dan, karena buku teks sejarah banyak menyensor peran kaum komunis dalam pergerakan kebangsaan demi kemerdekaan Indonesia, maka barang tentu banyak yang tidak mengetahui siapa Alimin.
Dari sekian tokoh pergerakan Indonesia terpelajar, Alimin termasuk golongan langka. Kebanyakan orang terpelajar bukanlah berasal dari kaum kere (miskin). Setelah memimpin permainan bersama kawan-kawannya, seorang Belanda yang terkenal karena jabatannya sebagai Penasehat Urusan Pribumi bernama G.A.J. Hazeu memberinya beberapa keping uang. Hazeu terpesona pada sikap sama rasa sama rasa bocah ini yang membagi-bagikan uang tersebut.
Menurut Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia (2010), Alimin bin Prawirodirdjo lahir di Solo pada 1889 dari keluarga miskin. Ia dijadikan anak angkat oleh GAJ Hazeu. Ia mengenyam pendidikan di sekolah Eropa di Batavia. Ayah angkatnya berharap Alimin akan bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah, namun Alimin malah masuk dunia politik dan menjadi jurnalis.
Semula Alimin adalah wartawan koran Djawa Moeda dan bergabung dengan Boedi Oetomo. Setelah muncul Sarekat Islam yang begitu jelas garis perlawanannya pada politik pemerintah kolonial, Alimin pun bergabung di sana. Selama beberapa waktu, ia juga pernah tinggal di rumah kost milik Ketua Sarekat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Bersama dokter yang radikal terhadap penjajahan, dr. Tjipto Mangunkusumo, Alimin bergabung dalam organisasi bernama Insulinde. Selain itu Alimin juga menjadi seorang editor di jurnal bernama Modjopahit di Batavia.
Dalam pergerakannya, Alimin aktif mengorganisir kaum buruh pelabuhan dan pelaut, khususnya di Tanjung Priok. Ketika organisasi komunis pertama di Indonesia bernama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) lahir, Alimin bergabung di situ. ISDV kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia menjadi pimpinan wilayah Jakarta sejak 1918. Menurut Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010), Alimin yang bergerak di pelabuhan Tanjung Priok juga berhubungan dengan jawara Banten. Belakangan, PKI wilayah Jakarta dengan sadar merekrut para jawara itu dalam pergerakan. Sikap militansi dan solidaritas kaum jagoan dari dunia hitam itu memberi perlindungan bagi PKI dari gangguan penjahat lain yang disewa oleh penguasa kolonial maupun kaum kapitalis industri sekitar Batavia.
Setelah Pemberontakan PKI terhadap pemerintah kolonial yang gagal pada tahun 1926, Alimin berkelana dari satu negara ke negara lain, seperti Tan Malaka. Mereka berhasil lolos dari kejaran pemerintah kolonial. Ia baru kembali lagi ke Indonesia pada 1946. Sempat sebentar aktif di PKI yang baru dibangun lagi, tapi sebagai tokoh tua ia kemudian tersingkir oleh tokoh-tokoh muda seperti Dipa Nusantara (DN) Aidit, Njoto, Sudisman, Sakirman.
Alimin yang menikah dengan Hajjah Mariah dan dikarunai dua putra, Tjipto dan Lilo, tinggal di Jakarta hingga ia meninggal pada 1964. Sehari setelah Alimin wafat, ia dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Sukarno.
Deretan pusara di Taman Makam Pahlawan Kalibata |
Di Blok E, terdapat makam tokoh Partai Komunis Indonesia. Di nisan tertulis Alimin Prawirodirdjo, tokoh nasional, wafat pada 26 Juni 1964. Uniknya, petugas keamanan makam dan tukang bersih-bersih TMP Kalibata malahan tidak mengetahui siapa sosok Alimin. Mereka hanya mengenal Kiai Haji Agus Salim karena namanya terdengar hampir mirip.
Unikya lagi, letak makam Alimin berada di belakang 5 pusara Pahlawan Revolusi. Makam Alimin termasuk kuburan paling lama dari ribuan jasad yang dikebumikan di TMP Kalibata. Setidaknya itu bisa dilihat dari lokasi pusara, tak jauh dari igintu masuk area pemakaman.
Nama Alimin tenggelam dalam jagat pahlawan nasional yang semarak dan 10 November diperingati bangsa kita. Namanya pun juga dilenyapkan pada diorama makam di depan pintu masuk TMP Kalibata.
Di TMP Kalibata, yang sekali lagi merupakan tempat pemakaman para pahlawan yang berjasa bagi bangsa dan negara, Alimin bisa dikatakan sebagai sebuah anomali di antara jajaran pahlawan nasional. Bagaimana tidak, di negara yang anti-komunis ini, Alimin bisa menjadi pahlawan dan bersemayam di taman makam pahlawan, di Kalibata pula!
Tentu saja jasa dan keterlibatannya dalam pergerakan nasional demi kemerdekaan Indonesia hanya bisa dibantah oleh orang-orang yang buta sejarah dan sekaligus fanatik. Alimin sangat beruntung karena wafat pada 1964 ketika Sukarno masih berkuasa sebagai presiden seumur hidup sehingga Taman Makam Pahlawan Kalibata pun membuka pintu untuk jenazahnya. Bahkan gelar pahlawan nasional dianugerahkan oleh Sukarno, berdasar Surat Keputusan Presiden Nomor 163 tanggal 26 Juni 1964.
Pusara makam Alimin berada di belakang pusara Pahlawan Revolusi Letjen. (Anumerta) S. Parman |
Tak hanya Alimin, berdasarkan Surat Keputusan Presiden nomor 53 tanggal 23 Maret 1963, Sukarno juga menganugerahi tokoh komunis lainnya, Tan Malaka sebagai pahlawan nasional.
Lokasi makam Alimin bahkan dekat dengan makam para Pahlawan Revolusi, yang dimakamkan hanya 1,5 tahun setelah Alimin dimakamkan. Hingga hari ini belum ada pihak yang dengan kurang-ajar memindahkan makamnya, seperti dialami jenazah Heru Atmodjo yang terlibat G30S. Dan, karena buku teks sejarah banyak menyensor peran kaum komunis dalam pergerakan kebangsaan demi kemerdekaan Indonesia, maka barang tentu banyak yang tidak mengetahui siapa Alimin.
Dari sekian tokoh pergerakan Indonesia terpelajar, Alimin termasuk golongan langka. Kebanyakan orang terpelajar bukanlah berasal dari kaum kere (miskin). Setelah memimpin permainan bersama kawan-kawannya, seorang Belanda yang terkenal karena jabatannya sebagai Penasehat Urusan Pribumi bernama G.A.J. Hazeu memberinya beberapa keping uang. Hazeu terpesona pada sikap sama rasa sama rasa bocah ini yang membagi-bagikan uang tersebut.
Menurut Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia (2010), Alimin bin Prawirodirdjo lahir di Solo pada 1889 dari keluarga miskin. Ia dijadikan anak angkat oleh GAJ Hazeu. Ia mengenyam pendidikan di sekolah Eropa di Batavia. Ayah angkatnya berharap Alimin akan bekerja sebagai pegawai negeri pemerintah, namun Alimin malah masuk dunia politik dan menjadi jurnalis.
Keterangan identitas Alimin |
Semula Alimin adalah wartawan koran Djawa Moeda dan bergabung dengan Boedi Oetomo. Setelah muncul Sarekat Islam yang begitu jelas garis perlawanannya pada politik pemerintah kolonial, Alimin pun bergabung di sana. Selama beberapa waktu, ia juga pernah tinggal di rumah kost milik Ketua Sarekat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Bersama dokter yang radikal terhadap penjajahan, dr. Tjipto Mangunkusumo, Alimin bergabung dalam organisasi bernama Insulinde. Selain itu Alimin juga menjadi seorang editor di jurnal bernama Modjopahit di Batavia.
Dalam pergerakannya, Alimin aktif mengorganisir kaum buruh pelabuhan dan pelaut, khususnya di Tanjung Priok. Ketika organisasi komunis pertama di Indonesia bernama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) lahir, Alimin bergabung di situ. ISDV kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dia menjadi pimpinan wilayah Jakarta sejak 1918. Menurut Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 (2010), Alimin yang bergerak di pelabuhan Tanjung Priok juga berhubungan dengan jawara Banten. Belakangan, PKI wilayah Jakarta dengan sadar merekrut para jawara itu dalam pergerakan. Sikap militansi dan solidaritas kaum jagoan dari dunia hitam itu memberi perlindungan bagi PKI dari gangguan penjahat lain yang disewa oleh penguasa kolonial maupun kaum kapitalis industri sekitar Batavia.
Setelah Pemberontakan PKI terhadap pemerintah kolonial yang gagal pada tahun 1926, Alimin berkelana dari satu negara ke negara lain, seperti Tan Malaka. Mereka berhasil lolos dari kejaran pemerintah kolonial. Ia baru kembali lagi ke Indonesia pada 1946. Sempat sebentar aktif di PKI yang baru dibangun lagi, tapi sebagai tokoh tua ia kemudian tersingkir oleh tokoh-tokoh muda seperti Dipa Nusantara (DN) Aidit, Njoto, Sudisman, Sakirman.
Alimin di masa tuanya |
Alimin yang menikah dengan Hajjah Mariah dan dikarunai dua putra, Tjipto dan Lilo, tinggal di Jakarta hingga ia meninggal pada 1964. Sehari setelah Alimin wafat, ia dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Sukarno.
No comments:
Post a Comment